Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Nyonya Bovary

Nyonya Bovary

Published by Digital Library, 2021-01-28 01:36:19

Description: Nyonya Bovary oleh Gustave Flaubert

Keywords: Gustave Flaubert,Sastra,Sastra Dunia

Search

Read the Text Version

Nyonya Bovary 185 atau sekurang-kurangnya m au lebih banyak m endengarkan nasihat ilm u pengetahuan! Saya um pam anya hari-hari belakangan ini telah m enulis karya tebal, disertasi tujuh puluh dua halam an lebih dengan judul: ‘Tentang Minum an Anggur Apel, Pem buatannya, dan Pengaruh-pengaruhnya; Ditam bah dengan Beberapa Pem ikiran Baru tentang Hal Itu’. Telah saya kirim kepada Lem baga Agronom i di Rouen. Dan saya bahkan telah m endapat kehorm atan diterim a di kalangan anggotanya, bagian pertanian, jurusan pohon buah-buahan. Nah, seandainya karya saya diperkenalkan kepada um um ....” Tetapi apoteker berhenti, karena perhatian Nyonya Lefrançois kelihatan tertambat di tempat lain. “Coba lihat,” kata Nyonya Lefranfois, “tidak m engerti saya! Padahal kelas kam bing tem pat m akan m ereka!” Dan sambil berkali-kali mengangkat bahu sehingga benang rajutan blusnya tertarik-tarik di dada, ia m enunjuk dengan kedua tangannya ke kabaret saingannya yang tam u-tam unya kedengaran sedang bernyanyi-nyanyi. “Ah, tapi tidak bakal lam a lagi tahannya,” tam bahnya. “Tak sampai delapan hari lagi, habis dia.” Hom ais m undur, tercengang. Nyonya Lefrançois turun tiga tangga, dan berbisik ke telinganya, “Masa, Anda tidak tahu? Ia akan disita m inggu ini. Lheureux yang m enjadi sebab dia harus m enjual. Tercekik lehernya oleh bon-bon utangnya kepada Lh eu r eu x.” “Ben can a besar! Men yeram kan !” seru apoteker yan g selalu m em punyai istilah-istilah yang cocok untuk kejadian b a ga im a n a p u n . Lalu pem ilik penginapan m ulai m enceritakan soalnya yang didengarnya dari Théodore, pelayan Tuan Guillaum in. Dan m eskipun ia benci kepada Tellier, ia m encela Lheureux. Tukang rayu dia, tukang jilat.

186 Gustave Flaubert “Nah! Lihat,” katanya, “itu dia di los pasar. Ia m enyalam i Nyonya Bovary yang m em akai topi hijau. Coba, Nyonya Bovary bergandengan dengan Tuan Boulanger.” “Nyon ya Bovary!” seru H om ais. “Ah, saya m au cepat m enyam paikan salam takzim kepadanya. Boleh jadi senang dia kalau bisa mendapat tempat di bagian tamu, di bawah serambi balai kota.” Dan tanpa m endengarkan lagi Nyonya Lefrançois yang m em anggilnya kem bali karena m au m elanjutkan ceritanya, apoteker m enjauh dengan langkah cepat, senyum di bibir dan dengan kaki regang, sambil mengobral salam ke kanan dan ke kiri, dan m engam bil banyak tem pat dengan ekor jasnya yang besar yang m elam bai-lam bai di belakangnya kena angin. Rodolphe yang telah m elihatnya dari jauh m em percepat langkanhnya. Tetapi Nyonya Bovary kehabisan napas. Karena itu Rodolphe berjalan lebih lam bat dan sam bil tersenyum berkata dengan nada kasar, “Saya m au m enghindar dari laki-laki gem uk itu, Anda tahu, si apoteker.” Em m a m enyikutnya. Apa artiny a itu? tanya Rodolphe dalam hati. Lalu ia m elirik kepada Em m a sam bil berjalan terus. Proil Emma begitu tenang hingga tak dapat ditebak perasaannya. Dalam cahaya terang, raut m ukanya jelas m enyem bul dalam bentuk oval kerudungnya yang pita-pitanya pucat m irip daun alang-alang. Matanya dengan bulunya yang panjang melentik itu melihat ke depan dan meskipun terbuka lebar, m em beri kesan seolah-olah agak m enyipit lantaran tulang pipinya, lantaran darah yang berdenyut pelan di bawah kulit halusnya. Warna m erah jam bu m enerawang di dinding sekat hidungnya, ia m enelengkan kepalanya, dan di antara bibirnya kelihatan ujung gigi putihnya seperti m utiara. Apa dia m em perm ainkan aku? pikir Rodolphe.

Nyonya Bovary 187 Padahal sikutan Em m a tidak lain hanya untuk m em peringatkan Rodolphe. Sebab Tuan Lheureux ada bersam a mereka, dan kadang-kadang ia bicara kepada mereka seakan- akan hendak m encam puri percakapan m ereka. “Cerah benar hari ini! Sem ua orang keluar! Angin ke tim ur em busannya.” Tetapi baik Nyon ya Bovary m aupun Rodolphe tidak menjawab, meskipun kalau mereka sedikit saja bergerak, Lheureux sudah m endekat sam bil berkata, “Ada apa?” sam bil m enyentuh topi dengan tangannya. Waktu mereka sampai di depan rumah pandai besi, Rodolphe tidak mengambil jalan menuju palang pintu tetapi tiba-tiba m asuk jalan setapak sam bil m enarik Nyonya Bovary. Ia berseru, “Selam at sore, Tuan Lheureux! Sam pai jum pa!” “Bukan m ain cara Anda m em buat dia pergi.” “Mengapa harus m em biarkan orang lain m engganggu kita?” sahut Rodolphe. “Dan karena hari ini saya m endapat kebahagiaan bisa bersam a Anda.... “ Muka Emma memerah. Rodolphe tidak menghabisi kalim atnya, lalu ia bicara tentang cuaca cerah dan tentang rasa senang kalau jalan di rerum putan. Beberapa bunga m argerit dikesam pingnya. “Ada bunga paquerette di sini,” katanya. “Manis-m anis. Sering m enjadi bahan ram alan bagi sem ua gadis yang jatuh cinta di negeri ini.” Lalu tam bahnya, “Saya petik? Bagaim ana pendapat An d a ?” “Apakah Anda sedang jatuh cinta?” kata Em m a sam bil mendeham sedikit. “Wah! Siapa tahu?” jawab Rodolphe. Ladang rum put m ulai dipenuhi orang, dan ibu-ibu rum ah tangga m endesak-desak dengan payung besar m ereka, keranjang m ereka dan anak-anak kecil m ereka. Acap kali orang harus m enyingkir karena bertem u dengan iring-iringan panjang

188 Gustave Flaubert perem puan dari pedesaan, pem bantu-pem bantu yang berkaus kaki biru, bersepatu rendah, bercincin perak, dan yang bau susu apabila kita m elewatinya dekat-dekat. Mereka berjalan bergandengan tangan, dan dengan demikian merentang sepanjang padang rumput, mulai dari deretan pohon trem ble sampai tenda bangket. Tetapi saat pengujian sudah tiba, dan para pengusaha kebun satu per satu masuk ke dalam semacam gelanggang kuda yang disekat oleh seutas tam bang panjang yang disangga dengan t on gga k-t on gga k. Di situlah tem pat hewan-hewan yang berdiri dengan hidung ke arah tam bang, dan pantat m ereka yang tak sam a tingginya m em ben tuk deretan yan g kuran g rapi. Babi-babi, seten gah tertidur, m em benam kan m oncongnya ke dalam tanah. Anak-anak sapi menguak-nguak, biri-biri mengembik. Sapi-sapi dengan satu kaki terlipat memamerkan perut mereka di atas lapangan rumput, dan sambil memamah biak dengan lamban mengejap- ngejapkan kelopak m ata m ereka yang berat, yang diganggu oleh lalat-lalat yang m endengung-dengung m engerubungi m ereka. Tukang-tukang pedati dengan lengan telanjang menahan tali leher kuda-kuda yang m endom pak-dom pak dan m eringkik sekuat tenaga ke arah betina-betina. Betina-betina itu berdiri dengan tenang, m engulurkan kepala dengan ram but surainya yang m enggerai, sedangkan anak-anak m ereka beristirahat dalam bayangan induknya, atau kadang-kadang datang m enyusu. Dan di atas gelom bang panjang badan-badan yang berim pitan ini kelihatan surai putih salah seekor kuda terangkat oleh angin bagaikan om bak pecah, atau tanduk-tanduk lancip yang m encuat, dan kepala orang-orang yang berlarian. Agak ke sam ping, seratus langkah di luar tambang gelanggang, terdapat seekor banteng hitam besar yang diberangus. Gelang besi m encocok hidungnya. Tanpa gerak ia tak ubahnya binatang dari perunggu. Talinya dipegang anak yang pakaiannya com pang-cam ping.

Nyonya Bovary 189 Sementara itu beberapa pria berjalan dengan langkah berat di antara kedua deretan binatang itu dan memeriksa setiap hewan, lalu berunding dengan suara pelan. Salah seorang dari mereka yang kelihatannya lebih berwibawa, m em buat catatan di dalam sebuah albun sam bil berjalan. Itu ketua juri, Tuan Derozerays de la Panville. Begitu ia m engenali Rodolphe, ia m aju dengan cepat. Dan dengan senyum ram ah ia m enegur, “Bagaim ana, Tuan Boulanger, m asa kam i Anda lupakan?” Rodolphe berkata dengan sungguh-sungguh bahwa sebentar lagilah ia akan datang. Tetapi setelah ketua juri itu pergi, ia berkata, “Ah, tidak usah saja! Saya tidak m au ke sana. Lebih baik bersam a Anda daripada bersam a dia.” Dan sambil berkelakar menertawakan pameran pertanian itu, Rodolphe m em perlihatkan kartu birunya kepada polisi penjaga supaya lebih gam pang keluar m asuk ke m ana-m ana. Bahkan kadang-kadang ia berhenti di depan suatu barang pameran yang bagus tapi yang sam a sekali tidak dihargai Nyonya Bovary. Rodolphe m enyadarinya. Lalu ia m elancarkan berbagai m acam olok m en gen ai n yon ya-n yon ya Yon ville, m en gen ai pakaian m ereka. Lalu ia pun m inta m aaf karena pakaiannya sendiri kurang rapi. Pakaiannya itu m em perlihatkan paduan dari hal- hal yang um um dan hal-hal yang sengaja dicari-cari, yang lazim nya oleh orang kebanyakan dikira m enyingkapkan suatu kehidupan yang eksentrik, keberantakan perasaan, kesewenang- wenangan seni, dan selalu agak mencemoohkan adat kebiasaan m asyarakat. Dan caranya itu m em ikat atau m enjengkelkan orang. Dem ikian kalau diem bus angin, kem eja batisnya dengan m anset pelisiran itu m engem bung di belahan rom pinya yang terbuat dari dril abu-abu, dan pantalonnya yang berlorek-lorek lebar m em perlihatkan di m ata kakinya sepatu botnya dari nankin, yang dilapis dengan kulit yang dikilapkan. Begitu kem ilau sepatu bot itu hingga rum put m em bayang di dalam nya. Dengan sepatu bot

190 Gustave Flaubert itu Rodolphe menginjak tahi kuda, dengan satu tangan masuk saku rom pinya dan topi pandannya dikepit di sisi. “Lagi pula,” tam bahnya, “apabila tinggal di pedesaan....” “Usaha apa pun sia-sia saja,” kata Em m a. “Ben ar!” sahut Rodolphe. “Kalau dipikirkan bahwa tak satu pun dari orang-orang yang baik-baik itu m am pu m engerti bagaim ana potongan jas seharusnya.” Lalu m ereka berbicara tentang jiwa kedaerahan yang sedang- sedang saja, tentang kehidupan-kehidupan yang tercekik olehnya, tentang angan-angan yang hilang di dalam nya. “Melihat sem ua itu,” kata Rodolphe, “saya terbenam ke dalam kesedihan....” “Anda!” seru Em m a keheranan. “Saya sangka Anda seorang p er ia n g?” “Ya m em ang, kelihatannya. Sebab di tengah-tengah orang banyak saya pandai m em asang kedok penuh canda. Padahal kalau saya m elihat kuburan di bawah sinar bulan purnam a, betapa seringnya saya bertanya-tanya tidak lebih baikkah saya m enyusul m ereka yang sudah tidur di sana!” “Oh! Dan sahabat-sahabat Anda?” kata Em m a. “Tidak Anda p ikir ka n ?” “Sahabat saya? Yang m ana, coba? Adakah sahabat saya? Siapa m enghiraukan saya?” Dan kata-kata terakhir ini dibarengi dengan bunyi desis dari bibirnya. Tetapi m ereka terpaksa berpisah sebentar karena di belakang m ereka ada orang yang m au lewat yang m em ikul kursi setum pukan besar. Ia begitu terim pit oleh bebannya sehingga yang kelihatan hanya ujung sepatu kelom nya dan ujung kedua tangannya yang terentang lem pang. Orang itu Lestiboudois, penggali kuburan, yang m engangkat kursi-kursi gereja di tengah- tengah keram aian orang. Penuh daya khayal dalam segala hal yang m enyangkut kepentingan pribadinya, ia telah m enem ukan

Nyonya Bovary 191 cara ini untuk menarik keuntungan dari pameran pertanian itu. Dan gagasannya berhasil, karena ia sam pai kewalahan siapa yang harus dilayaninya dulu. Mem ang, orang-orang desa yang kepanasan itu berebutan tem pat duduk yang anyam annya bau dupa itu, dan m ereka bersandar pada sandarannya yang besar, yang kotor kena lelehan lilin, dengan rasa kagum dan segan. Nyon ya Bovary bergan den g kem bali den gan Rodolphe. Seakan-akan berbicara kepada dirinya sendiri, Rodolphe m elanjutkan, “Begitulah! Begitu banyak yang tidak kuperoleh! Selalu sendiri! Ah! Sekiranya saya m em punyai tujuan hidup! Sekiranya dulu saya m enjum pai kelem butan rasa sayang! Sekiranya saya m endapatkan seseorang.... Oh, betapa akan saya pergunakan segala daya kem am puan, akan saya atasi apa pun juga, akan saya dobrak yang bagaim anapun!” “Tetapi m enurut penglihatan saya,” kata Em m a, “Anda sam a sekali tidak perlu dikasihani.” “Ah! Begitu!” seru Rodolphe. “Sebab bagaim anapun,” sahut Em m a, “Anda bebas....” Em m a ragu-ragu, “Kaya....” “ “J angan m em perolok saya,” sahut Rodolphe. Lalu Em m a bersum pah bahwa ia tidak berolok-olok, tapi suara meriam bergegar. Orang langsung berdesak-desak kacau- balau menuju ke kota. Dentum an itu ternyata tidak benar. Tuan Prefek belum datang. Dan anggota juri tidak enak benar rasanya karena tidak tahu apa mereka harus mulai bersidang atau masih harus menunggu lagi. Akhirnya, di ujung lapangan um um m uncul kereta landau sewaan yang besar, ditarik dua kuda kurus yang dipecuti sekuat tenaga oleh kusir bertopi putih. Binet m asih sem pat berteriak, “Horm at senjata!” ditiru oleh kolonel. Bawahannya berlarian ke tem pat bedil berdiri. Sem ua m aju bergegas. Bahkan ada

192 Gustave Flaubert beberapa yang sam pai lupa m em asang kerah m ereka. Tetapi para pengawal kereta Prefek seakan-akan telah m engetahui akan adanya kerepotan itu, dan kedua kuda berpasangan yang berlenggak-lenggok di ujung tali kekang, tiba dengan berlari kecil di depan serambi balai kota tepat pada waktu barisan kepolisian dan pem adam kebakaran m enyebar, m em ukul genderang dan berjalan di tempat. “Beri horm at!” teriak Binet. “Berhenti!” teriak Kolonel. “Satu-satu, belok kiri!” Dan sesudah pem berian horm at dengan senjata yang berbunyi ram ai seperti ketel tem baga yang jatuh bergelontangan dari tangga, maka semua bedil mengeprak diturunkan kembali. Lalu tam pak turun dari kereta seorang pria yang berpakaian jas pendek dengan sulam an benang perak, licin jidatnya, dengan sejumput rambut di tengah-tengah tempurung kepala, pucat warna m ukanya, dan kelihatannya ram ah sekali. Kedua m atanya yang sangat besar dan berkelopak tebal, setengah dipicingkan untuk m em andangi khalayak ram ai, sedangkan hidung lancipnya m endongak dan m ulutnya yang m asuk ke dalam disenyum kannya. Ia mengenali walikota karena memakai kain selempang, lalu m enerangkan kepadanya bahwa Tuan Prefek tidak sem pat datang. Ia sendiri seorang penasihat kantor prefek. Lalu ia tam bahkan ucapan m inta m aaf. Tuvache m enjawab dengan kata-kata sopan santun. Lawan bicaranya m engaku m erasa bingung karenanya. Dan mereka terus berdiri begitu berhadapan muka dengan dahi hampir bersentuhan dikitari anggota-anggota juri, dewan kotapraja, para pembesar, barisan kepolisian dan kerumunan penonton. Tuan penasihat yang m endekapkan topi kecilnya yang berujung tiga kepada dadanya, m engulangi sam butannya, sedangkan Tuvache yang m em bungkuk rendah ikut tersenyum , m enggagap, m encari-cari kata, m enyatakan betapa besar

Nyonya Bovary 193 kesetiaannya kepada kerajaan, dan betapa besar kehorm atan yang diberikan kepada Yonville. Hippolyte, kacung penginapan, datang hendak m em egang tali leher kuda-kuda dari sais. Dan sambil tertimpang-timpang dengan kakinya yang pincang, ia m enuntun kuda-kuda itu ke bawah seram bi Singa Em as. Banyak petani datang berkerum un m elihat kereta itu. Tam bur berbunyi. Meriam bergelegar. Dan tuan-tuan satu per satu naik ke panggung untuk mengambil tem pat di kursi-kursi yang disalut kain Utrecht m erah yang dipinjam kan oleh Nyonya Tuvache. Orang-orang ini sem uanya m irip rupanya. Muka m ereka yang em puk pirang dan terbakar sedikit oleh panas m atahari, m em punyai warna seperti anggur apel yang m anis, dan cam bang m ereka m enyem bul ke luar dan kerah-kerah yang besar kaku, yang ditegakkan oleh dasi putih dengan ikatan sam pul yang besar. Rom pi m ereka sem uanya dari beledu bahan syal. Arloji m ereka sem uanya m em punyai pita panjang yang ujungnya dipasangi khatam lonjong dari batu kornalin. Dan sem uanya m enaruh kedua tclapak tangan mereka di atas kedua paha, setelah dengan hati-hati m ereka kangkangkan kaki pantalon yang kainnya lebih m engkilap daripada kulit sepatu bot m ereka yang kukuh dan kuat. Kaum wanita kalangan terkem uka berdiri di belakang, di bawah vestibula, di antara tiang-tiang, sedangkan rakyat kecil di seberangnya berdiri, atau duduk di atas kursi. Sebab Lestiboudois telah m em indahkan ke sana sem ua kursi yang diangkutnya dari tanah lapang, bahkan setiap m enit ia m asih juga lari m encari yang lain lagi dari gereja, dan dengan kesibukannya m enyebabkan kem acetan yang begitu besar hingga sulit sekali bagi orang untuk mencapai tangga kecil ke panggung. “Menurut pendapat saya,” kata Tuan Lheureux (ia m enegur apoteker yang lewat m enuju tem patnya), “sebenarnya di sana

194 Gustave Flaubert sebaiknya ditanam dua tiang Venesia. Kalau diberi hiasan yang agak angker dan m ewah sebagai unsur baru, rezeki m ata jadinya.” “Mem an g,” jawab H om ais. “Tetapi apa lacur. Walikota m engam bil oper sem uanya. Malangnya, si Tuvache itu tidak begitu hebat seleranya. Ia bahkan sam a sekali tidak m em punyai yang dinam akan keulungan berseni.” Sem entara itu Rodolphe bersam a Nyonya Bovary sudah naik ke tingkat pertama balai kota, dan masuk ruang sidang. Karena ruang itu kosong, tem patnya dinyatakan Rodolphe baik untuk menikmati tontonan dengan lebih santai. Ia mengambil tiga dingklik dari meja lonjong di bawah patung dada sang Raja, lalu m enaruhnya dekat salah sebuah jendela. Mereka duduk berdekatan. Di atas panggung orang-orang sedang ribut. Mereka lama berbisik-bisik, m ereka berunding. Pada akhirnya tuan penasihat berdiri. Sekarang diketahui bahwa nam anya Lieuvain, dan nam a itu terulang-ulang dari m ulut ke m ulut di tengah-tengah khalayak ram ai. Maka setelah diperiksanya beberapa lem bar kertas dan didekatkannya ke m ata supaya lebih jelas m elihatnya, ia pun m u la ila h : “Tu a n -t u a n , Perkenankanlah saya terlebih dahulu (sebelum m em bicarakan m aksud pertem uan hari ini, dan perasaan ini—saya yakin—juga pasti m enjadi perasaan Anda sem ua), perkenan kanlah saya, kata saya, m enyatakan betapa besar jasa pim pinan adm inistrasi, pem erintah, sang Raja. Tuan-tuan, Sri Baginda sang Raja yang kita cintai, yang tidak m erem ehkan cabang kesejahteraan um um ataupun khusus m ana pun, dan yang dengan tangan yang teguh dan sekaligus bijaksana mengemudikan kapal kenegaraan m enem puh bahaya yang tak hentinya tim bul di tengah lautan m em badai, yang m ahir pula m em buat orang m enghorm ati

Nyonya Bovary 195 baik perdamaian maupun perang, perindustrian, perniagaan, pertanian, dan kesenian.” “Sebaiknya saya m undur sedikit,” kata Rodolphe. “Mengapa?” tanya Em m a. Tetapi pada saat itu, suara tuan penasihat meninggi dengan nada yang luar biasa. Yang didengungkannya ini: “Zam an kita tidak lagi seperti dahulu, Tuan-tuan, waktu gara- gara perselisihan persaudaraan, darah menggelimangi lapangan- lapangan besar kita, waktu si pemilik, si pedagang, si buruh pun, malam-malam lelap dengan tenang, tapi gemetar kaget karena tiba-tiba terbangun m endengar tanda bahaya kebakaran, waktu slogan-slogan yang paling subversif dengan berani m erongrong sen d i-sen d i....” “Sebabnya, saya bisa kelihatan dari bawah,” sahut Rodolphe. “Kalau sam pai begitu, selam a lim a belas hari saya bakal terpaksa m em beri alasan, dan dengan nam a saya yang sudah kurang baik....” “Ah! Anda m enjelek-jelekkan diri sendiri,” kata Em m a. “Oh, tidak! Mem ang jelek sekali nam a saya. Percayalah.” “Tetapi, Tuan-tuan,” lanjut tuan penasihat, “J ika saya halau adegan-adegan suram itu dari ingatan saya, dan m ata saya m em andangi keadaan sekarang di tanah air kita yang indah ini, apa gerangan yang saya lihat? Di m ana-m ana perniagaan dan kerajinan tumbuh dengan subur. Di mana-mana jalan-jalan lalu lintas baru bagaikan sekian banyak urat nadi di dalam tubuh negara, menjalin hubungan-hubungan baru. Pusat-pusat pabrik kita yang besar giat kem bali. Agam a yang sudah lebih kukuh, tersenyum m engim bau hati kita sem ua. Pelabuhan-pelabuhan

196 Gustave Flaubert kita penuh. Kepercayaan tim bul kem bali. Prancis bernapas lega lagi!” “Tapi,” tam bah Rodolphe, “kalau dilihat dari sudut orang lain, boleh jadi orang memang benar.” “Mengapa begitu?” tanya Em m a. “Apa!” kata Rodolphe. “Apakah Anda tidak tahu bahwa ada jiwa-jiwa yang selalu tersiksa? Mereka itu m em erlukan im pian dan perbuatan berganti-ganti, kegairahan yang sem urni- m urninya, kenikm atan yang seliar-liarnya, dan karena itu m ereka terjun ke dalam segala m acam khayal dan kegilaan.” Lalu Em m a m enatapnya seperti orang m engam ati kelana yang telah m enjelajahi negeri-negeri yang luar biasa. Lalu ia berkata lagi, “Bagi kam i, kaum perem puan yang m alang, hiburan seperti itu pun tidak ada!” “H iburan yan g m en yedihkan , karen a kebahagiaan tak didapati di situ.” “Tapi, pernahkah didapati kebahagian itu?” tanya Em m a. “Ya, pada suatu hari datang juga,” jawab Rodolphe. “Dan inilah yang telah Anda paham i,” kata tuan penasihat. “Anda, para petani dan pekerja di ladang! Para perintis penuh dam ai yang m elakukan suatu karya peradaban sem ata-m ata! Anda, m anusia kem ajuan yang berbudi bahasa! Anda telah paham , kata saya, bahwa badai-badai politik benar-benar lebih layak ditakuti daripada gangguan cuaca!” “Pada suatu hari datang juga,” ulang Rodolphe, “pada suatu hari, tiba-tiba, kalau Anda sudah m au putus asa. Lalu cakrawala m enyibak, seakan-akan terdengar suara yang berseru: ‘Itulah dia!’ Hati Anda m erasa perlu m enitipkan hidup Anda kepada orang itu, m em berinya segala-galanya, m engorbankan segala-

Nyonya Bovary 197 galanya kepadanya! Tidak perlu saling m em buka hati, sudah terasa dengan sendirinya. Sudah pernah terkelebat di dalam im pian. (Dan Rodolphe m enatap Em m a). Pendeknya, dia ada, jantung hati yang sudah lam a dicari, dia ada di depan Anda. Ia berseri, ia bercahaya. Meskipun begitu, m asih ada keraguan, tidak berani Anda percaya. Seperti m ata tersilau, seperti baru keluar dari tem pat gelap ke dalam cahaya terang.” Dan waktu m engakhiri kata-kata itu, Rodolphe m enyam bung ucapannya dengan gerak, tangannya m enyapu m ukanya, seperti orang yang sedang kebingungan. Lalu tangan itu dijatuhkannya pada tangan Em m a. Em m a m enarik tangannya. Tetapi tuan penasihat masih terus membaca. “Dan siapa yang akan heran, Tuan-tuan? Hanya orang yang buta, yang terbenam (saya tidak takut m engatakannya), yang terbenam dalam prasangka-prasangka zam an lain, sedem ikian rupa hingga belum juga bisa menghargai jiwa penduduk petani. Di manakah selain di tanah pedesaan terdapat rasa patriotisme yang lebih hebat, rasa kesetiaan yang lebih m endalam pada kepentingan um um , pendek kata, kecerdasan yang lebih tinggi? Dan yang saya m aksudkan, Tuan-tuan, bukanlah kecerdasan yang dangkal, yang m enjadi hiasan kosong bagi jiwa yang iseng, tapi kecerdasan yang m endalam dan seim bang yang di atas segala- galanya hendak m encapai tujuan-tujuan yang berguna, dan dengan demikian memberi sumbangan kepada kebaikan untuk setiap orang, kepada perbaikan m asyarakat um um , dan kepada pengukuhan negara, buah dari kepatuhan pada undang-undang dan dari pelaksanaan kewajiban....” “Ah! Itu-itu lagi,” kata Rodolphe. “Lagi-lagi kewajiban . Saya sudah jera m endengar kata-kata itu. Yang laki-laki tolol- tolol berompi lanel, yang perempuan fanatik-fanatik, selalu

198 Gustave Flaubert dengan alat pem anas kaki dan tasbihnya, selalu m endengung- dengungkan di tetinga kita: ‘Kewajiban! Kewajiban!’ Ah! Apa! Kewajiban seseorang ialah m erasakan apa yang besar, sayang akan yang indah, dan bukannya m enerim a sem ua adat kesopanan m asyarakat beserta segala hal yang m em alukan yang dipaksakan kepada kita itu.” “Tetapi... tetapi....” Nyonya Bovary m em protes. “Tidak! Tidak! Mengapa m enolak hawa nafsu? Bukankah hawa nafsu itu satu-satunya yang bagus di bum i ini, sum ber kepahlawanan, kegairahan, puisi, musik, kesenian, sumber segala-galanya, pendeknya!” “Tetapi,” kata Em m a, “kita tetap sedikit ban yak harus m engikuti pendapat orang banyak dan m em atuhi yang m enjadi patokan kesusilaan.” “Ah! Itulah! Ada dua m acam ,” jawabnya. “Yang kecil, yang disetujui, yang kepunyaan m anusia, yang berubah selalu dan berkoar-koar keras sekali, yang sibuk di bawah-bawah dekat- dekat tanah, seperti kum pulan orang-orang tolol yang Anda lihat di situ. Tetapi lainnya, yang abadi, terdapat di sekeliling dan di atasnya, seperti tam asya yang m engelilingi kita dan langit biru yang m enerangi kita.” Tuah Lieuvain habis m enyeka m ulut dengan saputangannya. Lalu ia berkata lagi. “Dan buat apa, Tuan-tuan, saya di sini m em beberkan kepada Anda kegunaan pertanian? Siapa lagi yang m em enuhi kebutuhan kita? Siapa lagi yang m enyediakan m akanan kita? Siapa lagi kalau bukan pak tani? Pak tani, Tuan-tuan, yang dengan tangan rajin menebarkan benih ke dalam alur-alur subur peladangan kita, dan m enum buhkan gandum yang sudah digiling m enjadi bubuk dengan alat-alat rumit, lalu keluar dari situ dengan nama tepung, dan dari sana diangkat ke kota-kota, lalu diserahkan

Nyonya Bovary 199 kepada tukang roti yang m em buat dari tepung itu m akanan bagi yang m iskin m aupun yang kaya. Bukankah lagi-lagi pak tani yang untuk pakaian kita m enggem ukkan gem balaannya yang m engerum uni padang perum putan? Sebab bagaim ana kita dapat berpakaian, sebab bagaimana kita dapat makan tanpa pak tani? Bahkan, Tuan-tuan, perlukah kita m encari contoh-contoh sejauh itu? Siapa tidak sering memikirkan segala keuntungan yang ditarik dari binatang sederhana yang m enghiasi halam an- halam an kita itu dan sekaligus m enyediakan bantal em puk untuk tilam kita, daging lezat untuk m eja m akan kita, serta telur pula? Tetapi saya tidak akan selesai-selesai jika harus saya sebut satu per satu aneka ragam buah yang dihasilkan oleh bum i yang digarap dengan baik seperti pem berian ibu yang m urah hati kepada anak-anaknya. Di tem pat ini ada kebun anggur. Di tem pat lain ada pohon apel untuk anggur apel. Di sana itu ada kolza. Lebih jauh lagi ada keju. Dan dom ba. Tuan-tuan, jangan sam pai kita lupa akan bulu dom ba! Yang tahun-tahun belakangan ini sudah m engalam i kem ajuan besar dan yang saya m inta perhatian Anda yang khusus padanya.” Tidak perlu ia minta perhatian, sebab semua mulut dalam kerumunan itu sudah menganga seakan-akan hendak mereguk kata-katanya. Tuvache, di sisinya, m endengarkannya dengan m ata m em belalak. Tuan Derozerays sekali-sekali pelan-pelan m em ejam kan m ata. Dan lebih jauh, apoteker dengan anaknya Napoléon di antara kakinya, m em asang tangannya di belakang telinga supaya jangan kehilangan satu suku kata pun. Anggota- anggota juri lainnya pelan-pelan m enganggukkan dagu di dalam rom pi m ereka, tan da setuju. Barisan kebakaran , di bawah panggung, beristirahat bersandar pada bayonet m ereka. Dan Binet tetap tak bergerak dengan sikut terangkat ke luar dan pucuk pedang menunjuk ke udara. Mungkin ia mendengar,

200 Gustave Flaubert tetapi pasti ia tidak m elihat apa-apa lantaran kelap topinya yang turun sam pai ke atas hidungnya. Letnannya, anak bungsu Tuan Tuvache, keterlaluan pula topinya, karena yang dipakainya itu besarnya bukan m ain dan bergoyang-goyang di atas kepalanya, hanya seujung syalnya dari kain cita dengan kem anisan yang m asih kekanak-kanakan, dan m ukanya yang kecil pucat berleleran keringat itu mengungkapkan nikmat, lesu, dan kantuk. Lapangan besar penuh sesak sam pai ke rum ah-rum ah. Orang- orang tam pak bersandar pada setiap jendela; ada lagi yang berdiri di setiap pintu. Dan J ustin, di depan kaca pajangan apoteker, kelihatan terpaku oleh pem andangan yang sedang ditatapnya. Meskipun orang diam sem ua, suara Tuan Lieuvain hilang di udara. Yang sam pai pada telinga hanya potongan-potongan kalim at saja yang di sana sini diselingi derit kursi di tengah- tengah kerum unan penonton. Lalu tiba-tiba kedengaran dari belakang lenguh sapi yang m em anjang, atau em bik anak-anak dom ba yang sahut-m enyahut di ujung-ujung jalan. Gem bala- gembala sapi dan domba telah menggiring hewan-hewan mereka sampai ujung-ujung situ. Dan hewan-hewan itu menguak sekali- sekali, dan dengan lidahnya m encabut selem bar daun yang menggelantung di atas moncong mereka. Duduk Rodolphe sudah lebih dekat pada Em m a. Katanya dengan suara lirih, sam bil bicara cepat, “Apakah dunia yang sekongkol ini tidak m em buat Anda m au m em berontak? Adakah perasaan satu pun yang tidak dicela? Rasa naluri yang paling mulia, rasa simpati yang paling murni dikejar-kejar, diitnah, dan jika pada akhirriya dua jiwa m alang bertem u, segalanya diatur supaya m ereka tidak dapat berjum pa lagi. Sekalipun begitu, yang dua itu akan berikhtiar, m ereka akan m engepakkan sayap, m ereka akan saling m engim bau. Ah, tak m engapa, cepat atau lambat, enam bulan lagi, sepuluh tahun lagi, mereka akan bersatu juga, m ereka akan bercinta, karena dikehendaki oleh nasib yang

Nyonya Bovary 201 tak terhindarkan dan karena m ereka m em ang lahir yang satu untuk yang lain.” Rodolphe duduk dengan lengan bersilang tertumpu pada pangkuannya, dan dengan sikap dem ikian ia m enengadah kepada Em m a, ia m enatapnya dari dekat, tak berkedip. Di dalam bola mata Rodolphe, Emma melihat dengan jelas sinar- sinar keem asan, kecil-kecil, m em ancar di sekeliling biji m atanya yang hitam ; ia bahkan dapat m encium harum m inyaknya yang m engilapkan ram butnya. Lalu rasa lem as m enjalari badannya. Ia teringat pada Vicom te yang dahulu m em bawanya m enari wals di La Vaubyessard, dan yang jenggotnya, seperti ram but yang sekarang tam pak di depannya ini, m eruapkan bau vanili dan lim au. Dan tanpa disengaja m atanya setengah m em ejam untuk lebih dalam m enghirupnya. Tetapi dalam m em buat gerakan m enelekankan tubuhnya ke sandaran kursi itu, terbayang oleh Emma di kejauhan, nun di sana di cakrawala, kereta tua Hirondelle, yang dengan lam ban m enuruni lereng bukit Leux, dengan debu m engekor panjang di belakangnya. Di dalam kereta kuning itulah Léon dulu sering kem bali padanya, dan m elalui jalan itulah ia telah pergi untuk selam a-lam anya! Rasa- rasanya Em m a m elihatnya di hadapannya di dekat jendelanya. Lalu sem ua itu m engabur, awan-awan berlalu. Rasanya ia m asih berputar-putar m enari wals itu di bawah cahaya lam pu-lam pu gom by ong, dituntun oleh Vicom te, dan seperti Léon tidak jauh tem patnya, sebentar lagi akan datang... dalam pada itu m asih terus terasa olehnya kepala Rodolphe di sam pingnya. Maka kelem butan perasaan itu m enyusupi keinginan-keinginannya m asa dahulu. Dan bagaikan butir-butir pasir yang terangkat oleh sapuan angin, keinginan-keinginan itu berpusing kena bersit wangian yang dengan halus m eliputi jiwanya. Beberapa kali cuping hidung Emma mengembang lebar untuk menghirup kesegaran tum buhan m enjalar yang m eliliti ujung atas pilar-pilar.

202 Gustave Flaubert Ia luluskan sarung tangannya, ia seka tangannya. Lalu dengan saputangannya, ia m engipasi m ukanya, sem entara di sela-sela deburan darah di pelipisnya ia m endengar bisikan orang banyak dan suara tuan penasihat yang m engalunkan kalim atnya. Kata tuan penasihat: “Teruskan! Tabahkan hati! J angan dengarkan saran-saran kebiasaan ataupun nasihat-nasihat yang terburu-buru diberikan oleh suatu em pirism e yang dakar! Yang terutam a harus Anda tekuni ialah penyuburan tanah, pem akaian pupuk yang baik m utunya, perkem bangan jenis kuda, sapi, dom ba, dan babi! Mudah-m udahan pam eran pertanian ini bagi Anda m erupakan gelanggang yang tentram dam ai, yang akan ditinggalkan oleh si pem enang dengan uluran tangan kepada yang kalah agar bergaul secara bersahabat dengartnya dengan harapan akan m encapai sukses yang lebih gem ilang lagi! Dan Anda, ham ba- ham ba yang patut dim uliakan, pelayan-pelayan yang rendah hati, yang susah payahnya sam pai sekarang belum pernah m endapat tanggapan dari pemerintah mana pun, datanglah kemari untuk m en erim a gan jaran atas kebajikan Anda yan g tanpa suara, dan hendaklah Anda yakin bahwa negara untuk selanjutnya m em perhatikan Anda, bahwa Anda m endapat dorongannya, bahwa Anda dilindunginya, bahwa tuntutan-tuntutan Anda yang besar akan didengarnya, dan beban pengorbanan Anda yang berat akan diringankannya sedapat-dapatnya!” Tuan Lieuvain pun lalu duduk. Tuan Derozerays bangkit, dan m ulai dengan pidato baru. Pidatonya boleh jadi tidak sebanyak pidato tuan penasihat bunganya, tetapi baik karena gayanya yang lebih konkret, artinya karena lebih khusus pengetahuannya dan lebih berm utu tanggapannya. Maka pujian kepada pem erintah kurang m endapat perhatiannya, agam a dan pertanian lebih

Nyonya Bovary 203 ditonjolkan. Tam paklah hubungan antara yang satu dengan yang lain, dan bagaimana kedua bidang itu selalu memberi sumbangan kepada peradaban. Rodolphe, dengan Nyonya Bovary, sedang berbicara tentang mimpi, irasat, dan daya pesona pribadi. Yang berpidato kem bali ke asal m ula m asyarakat, dan m enggam barkan jaman-jaman kebuasan ketika orang-orang masih hidup dari buah pohon chêne di tengah-tengah hutan. Kem udian m ereka meninggalkan kulit hewan, dan mengenakan pakaian, membuat alur-alur di tanah, m enanam pohon anggur. Apakah itu hal yang baik? Tidakkah dalam penem uan itu terkandung lebih banyak kesukaran daripada keuntungan? Tuan Derozerays m em persoalkannya. Dari daya pesona pribadi, Rodolphe sedikit demi sedikit beralih ke keakuran perasaan, dan sementara tuan ketua m enyebut Cincinnatus dengan bajaknya, Dioclétien yang m enanam pohon kol, dan kaisar-kaisar negeri Tiongkok yang m em buka tahun baru dengan m enyebar benih, m aka si jejaka menerangkan kepada si perempuan muda bahwa rasa saling tertarik yang tak dapat dilawan itu m em punyai sebabnya dalam suatu kehidupan yang sudah lam pau. “Begitu pula kita,” kata Rodolphe, “m engapa kita sam pai berkenalan? Nasib apa yang telah m enghendakinya? Pastilah karena dari tem pat-tem pat kita yang berjauhan, bagaikan dua sungai yang m engalir sam pai bergabung, kecenderungan khusus kita telah mendorong kita untuk saling mendekat.” Lalu ia m eraih tangan Em m a. Em m a m em biarkannya. “Gabungan budidaya yang baik,” teriak ketua. “Seperti tadi, um pam an ya, waktu saya pergi ke rum ah An d a ....” “Untuk Tuan Binet, dari Quincam poix.” “Apakah saya sudah tahu, bahwa saya bakal m enem ani An d a ?” “Tujuh puluh franc!”

204 Gustave Flaubert “Ratusah kali saya sudah m au pergi, tetapi saya toh m engikuti Anda, saya tidak pergi.” “P u p u k!” “Dan saya tidak akan pergi nanti m alam , besok pagi, hari- hari berikutnya, selam a hidup saya!” “Untuk Tuan Caron dari Argueil, m edali em as!” “Sebab belum pernah saya tem ukan dalam pergaulan siapa pun pesona yang sesem purna ini.” “Untuk Tuan Bain, dari Givry-Saint-Martin!” “Dan akan saya bawa kenang-kenangan Anda itu.” “Berkat seekor biri-biri jantan jenis m erinos....” “Tetapi Anda, Anda akan m elupakan saya, seperti bayangan yang lewat saja.” “Untuk Tuan Belot dari Notre-Dam e....” “Katakan tidak! Tidak, bukan? Saya akan m em punyai arti juga dalam pikiran Anda, dalam hidup Anda?” “J enis babi, hadiah seri, untuk Tuan-tuan Léhérissé dan Cullem bourg, enam puluh franc!” Rodolphe memeras tangan Emma. Dan tangan itu terasa hangat sekali dan bergetar-getar seperti burung perkutut yang tertangkap dan mau terbang meloloskan diri. Tetapi entah karena m au m encoba m em bebaskan tangannya, entah karena m au m em balas rem asan Rodolphe, jari-jarinya bergerak. Maka Rodolphe berseru, “Ah! Terim a kasih! Anda tidak m enolak saya! Anda baik! Anda m engerti bahwa saya ini kepunyaan Anda! Izinkan saya m endatangi Anda, m enatap Anda!” Angin m enyilir dari jendela-jendela dan m engerutkan taplak meja. Dan di lapangan umum di bawah, kerudung para petani perem puan terangkat sem ua seperti sayap kupu-kupu putih yang bergerak-gerak.

Nyonya Bovary 205 “Pem akaian am pas biji-biji m inyak,” sam bung ketua; lebih cepat sekaran g, “pupuk Flam —tan am an lin an —saluran air— sewa-m enyewa jangka panjang jasa pelayan.” Rodolphe tidak berbicara lagi. Mata mereka bertatapan, keinginan yang kuat sekali m enggetarkan bibir m ereka yang kering. Dan tanpa daya, dengan lem ah, jari m ereka jalin-m enjalin. “Cath érin e-Nicaise-Elisabeth Lèroux dari Sassetot-la- Guerriêre, untuk dinas selama lima puluh empat tahun di tempat pertanian yang sam a, m edali perak bernilai dua puluh lim a f r a n c!” “Cathérine Leroux di m ana?” ulang tuan penasihat. Tidak ada yang tam pil ke depan, terdengar suara-suara berbisik, “Ayo, dong!” “Tid a k.” “Di sebelah kiri!” “Tidak usah takut!” “Aduh! Tololnya!” “Bagaim ana? Orangnya ada tidak?” seru Tuvache. “Ada! Itu dia!” “Suruh dia m aju!” Lalu tam paklah seorang perem puan tua kecil m aju ke panggung dengan sikap ketakutan. Dan dia seperti makin mengerut di dalam pakaiannya yang serbam iskin. Kakinya m em akai bakiak besar, dan sepanjang pinggulnya tertutup celem ek besar warna biru. Mukanya yang kurus dikelilingi kerudung tanpa pinggiran, kerutnya lebih kering daripada apel reinette yang sudah kisut, dan dari lengan bajunya yang m erah terjulur dua buah tangan panjang yang buku-bukunya m em bonggol. Debu gudang, air abu bekas cuciannya dan lem ak dari bulu dom ba sudah dem ikian m elengket pada tangannya sam pai berkerak, terbeset-beset, kapalan, sehingga kelihatannya dekil m eskipun sudan dicuci dengan air bersih. Dan karena sudah terbiasa m elayani, tangan-tangannya

206 Gustave Flaubert selalu setengah terbuka seakan-akan dengan sendirinya m enjadi bukti sederhana dari segala penderitaan yang sudah sekian banyak dipikulnya. Pengaruh hidup bersahaja m em uliakan raut m ukanya. Tak sebersit pun kesedihan atau keharuan m elunakkan m atanya yang pudar. Karena biasa bergaul dengan hewan, ia telah ketularan kebisuan dan kesabaran mereka. Sekarang ini untuk pertam a kalinya ia m elihat dirinya di tengah-tengah kum pulan orang yang sebanyak ini. Dan hatinya kebingungan oleh segala bendera itu, oleh tam bur-tam bur, oleh tuan-tuan yang berpakaian hitam dan oleh salib tanda jasa yang dipakai tuan penasihat itu, tapi badannya tegak tak bergerak. Tak tahu ia harus m aju atau lari, tak tahu ia m engapa orang banyak itu m endorong-dorongnya dan m engapa penguji-penguji itu tersenyum kepadanya. Maka di hadapan borjuis-borjuis yang m ukanya berseri-seri, berdirilah lambang perhambaan selama setengah abad itu. “Majulah, Cathérine-Nicaise-Elisabeth Leroux yang m ulia!” kata tuan penasihat yang telah m engam bil daftar orang-orang yang m enang dari tangan ketua. Dan sambil berganti-ganti melihat pada halaman kertas dan pada perempuan tua itu, ia pun mengulangi dengan nada kebapak-bapakan, “Mari, m ajulah!” “Anda pekak?” kata Tuvache yang duduk di kursinya dengan gelisa h . Lalu ia berteriak ke telinganya, “Dinas Anda lim a puluh em pat tahun! Medali perak! Dua puluh lim a franc! Untuk Anda!” Lalu setelah diterim anya m edali itu, perem puan tua itu m enatapnya. Dan sebuah senyum kebahagiaan m erekah di wajahnya, dan terdengarlah gum am nya sam bil ia berjalan, “Akan kuberikan kepada pastor di tem pat kam i. Biar dia m em bacakan misa untukku berkali-kali.” “Aduh fanatiknya!” seru apoteker sam bil m em bungkuk ke arah notaris.

Nyonya Bovary 207 Upacara telah usai. Orang-orang yang berkerum un bubar. Maka sekarang, sehabis pembacaan pidato-pidato, setiap orang kem bali ke tem patnya m asing-m asing dan sem uanya kem bali seperti biasa, m ajikan m em bentak pelayan dan pelayan m em ukuli binatang pem enang yang tak perduli dan kem bali pulang ke kandang dengan karangan hijau-hijau di tanduknya. Sementara itu barisan kepolisian telah naik ke tingkat pertama balai kota dengan roti brioche disatai pada bayonet m ereka, sedangkan tukang tambur batalion membawa sekeranjang penuh m inum an botol. Nyonya Bovary m enerim a gandengan Rodolphe. Rodolphe m engantarnya pulang. Mereka berpisah di depan pintu. Lalu Rodolphe berjalan-jalan seorang diri di ladang rum put, sambil menantikan saat bangket dimulai. Pesta makan itu berlarut-larut, ramai, dan kurang baik pelayanannya. Para tam u duduk m engelilingi m eja m akan sedem ikian rapatnya hingga sikut pun sukar digerakkan, dan papan-papan sem pit yang dipakai sebagai bangku nyaris roboh tertekan berat badan m ereka. Banyak sekali m ereka m akan. Masing-m asing m enghabiskan hidangan yang dibagikan kepadanya. Keringat berleleran di dahi. Dan uap keputih-putihan seperti kabut sungai pada pagi hari musim gugur, mengambang di atas m eja di antara pelita-pelita m inyak. Rodolphe yang bersandar pada kain tenda begitu asyik m em ikirkan Em m a, sehingga ia tidak m endengar apa-apa. Di belakangnya di atas rerum putan, para pelayan m enum pukkan piring-piring kotor. Tetangga- tetangganya bicara, ia tidak m enjawab. Gelasnya diisi, tapi pikirannya diliputi keheningan, sekalipun di sekelilingnya suara bertam bah ribut. Ia m elam un tentang apa yang dikatakan Em m a tadi, tentang bentuk bibirnya. Mukanya, bagaikan dalam cerm in ajaib, berseri-seri di atas pelat topi-topi syako. Lipatan-lipatan gaunnya m engurai sepanjang tem bok-tem bok. Dan hari-hari

208 Gustave Flaubert cinta asm ara silih berganti tanpa akhir waktu ia m em bayangkan hari-hari yang akan datang. Ia berjumpa kembali dengan Emma malam itu, waktu kem bang api dinyalakan. Tetapi Em m a bersam a suam inya, Nyonya Hom ais, dan apoteker yang susah sekali hatinya m em ikirkan bahaya petasan sereng yang tak ketahuan di m ana jatuhnya. Dan sebentar-sebentar ia m eninggalkan rom bongannya untuk m em beri nasihat kepada Binet. Karena terlalu berhati-hati, bahan-bahan piroteknik yang dikirim kan kepada Tuan Tuvache, telah disim pan di dalam gudangnya di bawah tanah. J adi m esiu yang m enjadi basah itu tak m au m enyala, dan pertunjukan utam a berupa seekor naga yang m enggigit ekornya sendiri sam a sekali gagal. Sekali-sekali m enyala juga sebuah kandil Rom awi dengan cara yang m engibakan. Lain kerum unan penonton yang ternganga m enyorakinya, bercam pur dengan pekik perem puan-perem puan yang digelitik pinggangnya pada waktu sem uanya m enjadi gelap. Em m a yang berdiam diri, pelan-pelan m elendoti bahu Charles. Lalu dengan dagu terangkat, ia m engikuti di langit hitam pancaran cahaya petasan sereng. Rodolphe m enatapnya dalam sinar lam pu-lam pu teng yang m enyala. Lam pu teng itu satu per satu m ati. Bintang-bintang m enyala. Beberapa tetes hujan jatuh di sana sini. Em m a m engikat kepalanya yang tak tertutup dengan syal. Pada saat itu kereta tuan penasihat keluar dari tempat penginapan. Saisnya yang sudah m abuk tiba-tiba terlena. Dan dari jauh kelihatan m enyem bul dari atas tenda keretanya, di antara kedua lenteranya, gum palan badannya yang bergoyang- goyang dari kanan ke kiri m engikuti naik turunnya kereta. “Sebenarnya,” kata apoteker, “kem abukan perlu diberantas dengan keras! Mau saya, setiap m inggu dituliskan pada papan tulis khusus di pintu balai kota nam a sem ua orang yang selam a

Nyonya Bovary 209 m inggu yang lalu telah m eracuni dirinya dengan m inum an keras. Lagi pula dalam hubungan dengan statistik, itu bisa m enjadi laporan harian yang kalau perlu.... Maafkan sebentar.” Lalu larilah lagi apoteker itu m enem ui Kapten. Kapten itu sudah m au pulang. Kem bali ke pelarikannya. “Barangkali tidak ada jeleknya,” kata Hom ais kepadanya, “jika Anda m enyuruh salah seorang anak buah Anda atau jika Anda sendiri pergi....” “Aduh! J angan ganggu saya lagi,” jawab pem ungut pajak itu. “Kan, tidak ada apa-apa!” “Tidak usah khawatir,” kata apoteker ketika ia kem bali ke tem an-tem annya. “Tuan Binet telah m enegaskan bahwa tindakan sudah diambil. Tak akan jatuh sepercik api pun. Pompa-pompa penuh air. Mari kita tidur.” “Syukurlah! Saya m em ang perlu tidur,” kata Nyonya Hom ais yang m enguap terus. “Tetapi tak apalah, hari pesta kita ini indah sekali.” Rodolphe m enirunya dengan suara rendah dan dengan pandangan lem but, “Mem ang! Indah sekali!” Dan setelah bersalaman, mereka berpisah. Dua hari kem udian, ada artikel besar di dalam Fanal de Rouen tentang pam eran pertanian itu. Hom ais-lah yang telah m em buat karangan itu dengan sem angat besar, keesokan harinya juga. “Untuk apa sem ua untaian kem bang, sem ua bunga, rangkaian hiasan ini? Ke m ana orang berbondong-bondong begitu bagaikan alun an -alun an om bak lautan yan g sedan g m en gam uk? Ke m ana m ereka bergegas di bawah siram an m atahari tropis yang m em ancarkan panasnya ke atas tanah kita yang baru digarap itu?” Lalu ia bicara tentang keadaan kaum tani.

210 Gustave Flaubert Benar, banyak yang sudah dikerjakan pem erintah, tetapi belum juga m em adai! “Tabahkan hati!” serunya. “Seribu satu perubahan m asih harus diadakan, m ari kita laksanakan.” Lalu ia menceritakan kedatangan tuan penasihat, dan tidak lupa ia akan “kegagahan m ilisi kita,” atau akan “ibu-ibu kita dari pedesaan yang sigap dan lincah”, atau akan “kakek-kakek yang berkepala botak, yang bagaikan tetua-tetua hadir juga dan yang beberapa di antaranya, sisa-sisa dari barisan-barisan kita yang tak akan mati, masih merasa jantung mereka berdegup mendengar suara jantan genderang”. Nam anya terdapat di antara para anggota juri yang disebutnya yang paling dahulu, bahkan dalam sebuah catatan diperingatkannya bahwa Tuan Hom ais, apoteker, pernah mengirim sebuah nota mengenai minuman anggur apel kepada Perkumpulan Pertanian. Sampai pada pembagian hadiah- hadiah, ia melukiskan kegembiraan para pemenang dengan kata- kata penuh pujian. Ayah m em eluk anaknya, kakak adiknya, si suam i istrinya. Tak sedikit yang m em perlihatkan dengan bangga m edalinya yang sederhana, yang pasti setelah kem bali pulang ke sisi sang istri, pengurus rum ah tangganya, sam bil m enangis akan digantungkannya pada tem bok gubuknya yang hina. “Menjelang pukul enam , bangket yang diselenggarakan di padang rum put Tuan Liégard telah m engum pulkan tokoh-tokoh utam a di pesta itu. Suasana selam anya diliputi keram ahan yang sebesar-besarnya. Beberapa kali orang m inum untuk m em beri penghorm atan; Tuan Lieuvain m engangkat gelasnya dem i sang Raja! Tuan Tuvache dem i Prefek! Tuan Derozerays dem i pertanian! Tuan Homais demi perindustrian dan kesenian, dua kakak beradik itu! Tuan Leplichey dem i perbaikan-perbaikan! Malam harinya pesta kem bang api yang cem erlang m endadak m enerangi langit. Boleh dikatakan seperti kaleidoskop benar- benar, seperti dekor opera, dan sesaat lam anya tem pat kita yang

Nyonya Bovary 211 kecil itu bisa-bisa m enganggap dirinya telah dipindahkan ke tengah-tengah im pian ‘Seribu Satu Malam ’. Boleh dicatat bahwa tak terjadi apa-apa yang m erugikan dan mengganggu pertemuan kekeluargaan itu.” Lalu ia m enam bah, “Hanya, kaum gereja ternyata tidak hadir. Para pendeta mungkin mengartikan kemajuan itu dengan cara yang lain. Silakan, Tuan-tuan pengikut Loyola!”

Bab IX ENAM MINGGU berlalu. Rodolphe tidak kembali. Pada suatu m alam , akhirnya ia m uncul juga. Keesokan harinya sesudah pameran pertanian, ia berkata di dalam hati. Jangan terlalu cepat kem bali. Salah. Dan akhir minggu itu, ia pergi berburu. Sesudah berburu, ia anggap sudah terlam bat waktunya, lalu ia bernalar begini. Jika m ulai dari hari pertam a ia sudah m encintaiku, karena tak sabar ingin m elihatku kem bali, m estiny a m akin dalam cintany a padaku. Jadi kita teruskan saja! Dan ia m engetahui bahwa perhitungannya m em ang tepat, ketika melihat wajah Emma menjadi pucat waktu ia masuk ke ruang duduk. Emma seorang diri. Hari sudah rembang petang. Tirai-tirai kecil dari kain m uslin yang terjurai m enutupi sem ua jendela membuat keremangan senja terasa lebih pekat, dan sepuhan

Nyonya Bovary 213 em as barom eter yang tertim pa sinar m atahari berkilau dalam kaca cermin di antara liuk liku kembang karang hiasan. Rodolphe tegak. Dan hampir tidak ada sambutan Emma atas kalim at-kalim at basa-basinya yang pertam a. “Saya,” kata Rodolphe, “banyak urusan. Lalu saya jatuh sakit.” “Parah?” seru Em m a. “Parah?” kata Rodolphe, dan duduklah ia di atas bangku rendah di sisi Em m a. “Ah, tidak! Sesungguhnya saya tidak m au kembali kemari.” “Men ga p a ?” “Anda tidak dapat m enerka?” Sekali lagi Rodolphe m enatapnya, tetapi dengan cara yang begitu liar hingga Em m a m enundukkan wajahnya yang dironai merah. Rodolphe berkata lagi, “Em m a....” “Tuan,” kata Em m a sam bil m undur sedikit. “Nah! Anda lihat sendiri,” jawab Rodolphe dengan nada sayu. “Saya m em ang benar tidak m au kem bali kem ari. Sebab nam a itu, nam a yang m em enuhi jiwaku dan yang terlepas dari m ulutku, Anda m elarang saya m em akainya! Nyonya Bovary! Mem ang, sem ua orang m em anggil Anda begitu! Tetapi sebenarnya bukan nam a Anda. Nam a orang lain!” Ia m engulangi, “Nam a orang lain!” Lalu ia m enyungkupkan m ukanya ke dalam kedua tangannya. “Itulah, saya m em ikirkan Anda senantiasa! Ingatan kepada Anda m em buat saya putus asa! Ah! Maafkan saya! Saya akan pergi.... Selam at tinggal untuk selam a-lam anya! Saya akan pergi jauh, begitu jauh hingga Anda tak akan m endengar kabar saya lagi! Nam un begitu... hari ini... entah karena dorongan apa pula, saya datang kem ari! Karena kita tidak dapat m elawan Tuhan, kita tidak

214 Gustave Flaubert dapat m enolak senyum m alaikat! Kita m enyerah dihanyutkan oleh yang indah, yang asri, yang juwita!” Ini untuk pertam a kalinya Em m a m endengar orang m enyatakan hal-hal sedem ikian kepada dirinya. Dan seperti badan yang beristirah m enikm ati m andi panas, rasa harga dirinya menggeliat malas dalam kehangatan bahasa itu. “Tapi biar saya tidak datang,” lanjut Rodolphe, “biar saya tidak dapat bertem u dengan Anda, nam un sekurang-kurangnya sudah lam a saya tatap segala sesuatu yang m engelilingi Anda. Malam hari, setiap m alam , saya bangun, saya datang kem ari, saya pandang rum ah Anda, atap yang m engilau di bawah sinar bulan, pohon-pohon pekarangan yang berayun-ayun di dekat jendela Anda, dan sebuah lam pu kecil yang m enyala dalam kerem angan, sebuah pelita yan g teran gn ya m en em bus kaca jen dela. Ah! Anda tidak tahu bahwa am at dekat, nam un betapa jauhnya, ada seseorang yang sengsara m engibakan....” Em m a m enghadap kepadanya dengan isak. “Oh! Anda baik!” ka t a n ya . “Tidak. Saya cinta pada Anda, hanya itu! Tidak Anda ragukan, bukan? Katakan, satu kata! Hanya satu kata!” Dan tahu-tahu, dengan tak terasa, Rodolphe telah merosot dari bangku rendahnya sam pai berlutut di lantai. Tetapi bunyi bakiak terdengar di dapur, dan pintu ruangan itu dilihatnya tidak tertutup. “Maukah An da berm urah hati,” lan jutn ya sam bil tegak kem bali, “m aukah Anda m em enuhi keinginan hatiku?” Keinginannya itu ialah m engunjungi rum ahnya. Ia ingin m engenalnya. Nyonya Bovary tidak m elihat adanya alasan untuk berkeberatan. Kedua-duanya lalu berdiri. Tapi Charles m asuk. “Selam at pagi, Dokter,” kata Rodolphe. Sang dokter yang m erasa senang dipanggil dengan gelar itu secara tak tersangka-sangka, menghamburkan basa-basi. Dan

Nyonya Bovary 215 Rodolphe m em anfaatkan saat itu untuk m engatasi kagetnya sedikit. “Nyonya tadi m enceritakan kesehatannya...” katanya. Charles m enyela, ia m em ang m erasa waswas sekali. Sesak napas istrinya kam buh lagi. Maka Rodolphe bertanya apakah tidak ada baiknya kalau Em m a berolahraga naik kuda. “Sudah tentu! Bagus sekali, itu yang sebaik-baiknya! Gagasan yang jitu! Harus kau turuti, Em m a.” Dan karena Emma mengajukan keberatan bahwa ia tidak m em punyai kuda, Tuan Rodolphe m enawarinya seekor. Em m a m enolak tawarannya. Rodolphe tidak m endesak lagi. Lalu sebagai alasan ia datang berkunjung, ia bercerita bahwa tukang pedatinya, orang yang dipantik dahulu, m asih juga m erasa pusing-pusing. “Kapan-kapan saya akan m am pir,” kata Bovary. “J angan, jangan, dia akan saya suruh kem ari. Kam i akan datang, lebih gam pang untuk Anda.” “Ah! Baiklah kalau begitu. Terim a kasih banyak.” Lalu, begitu m ereka sendirian, “Mengapa tidak kau terim a usul Tuan Boulanger yang sebaik itu?” Em m a m em asang wajah yang m em berengut, m encari seribu satu dalih, dan pada akhirnya berkata bahwa nanti bisa aneh kelih a t a n n ya . “Ah! Masa bodoh!” kata Charles sam bil m em utar badannya dengan bertum pu pada pangkal tum itnya. “Kesehatanlah nom or satu. Kau salah!” “Lah! Bagaim ana m aum u aku naik kuda, kalau aku tidak m em punyai pakaian berkuda?” “Harus kau pesan!” jawab Charles. Karena pakaian naik kuda itu, Em m a akhirnya m au.

216 Gustave Flaubert Sesudah kostum itu selesai, Charles m enulis kepada Tuan Boulanger bahwa istrinya siap m enunggunya, dan bahwa m ereka m engharapkan sekali kem urahan hatinya. Esok harinya, tengah hari, Rodolphe tiba di depan pintu Charles dengan m em bawa dua ekor kuda kepunyaannya sendiri. Yang satu dipasangi jam bul-jam bul bundar jam bon di telinga dan pelana untuk wanita dari kulit rusa. Rodolphe m em akai sepatu bot tinggi yang em puk. Pikirnya, Emma pasti belum pernah melihat bot semacam itu. Dan memang Em m a terpesona oleh penam pilannya waktu Rodolphe m uncul di seram bi tangga dengan m em akai jas beledu yang longgar dan celana dari kaus putih. Emma sudah siap, ia menanti kedatangan Rod olp h e. J ustin kabur dari apotek untuk melihat Emma, dan apoteker pun butuh keluar menonton. Ia memberi nasihat-nasihat kepada Tuan Boulanger. “Kecelakaan m udah sekali terjadi! Berhati-hatilah! Kuda- kuda Anda keren, ya?” Em m a m endengar bunyi di atas kepalanya. Datangnya dari Félicité yang m enggenderangi kaca jendela untuk m elengah- lengah hati si kecil Berthe. Anak itu dari jauh m engirim cium an. Ibunya m em balas dengan m enaikkan pangkal cem etinya. “Selam at jalan!” teriak Tuan Hom ais. “Hati-hati, ya! J angan lupa! Hati-hati!” Dan korannya dilam baikannya waktu m enatap m ereka m en ja u h . Begitu kuda Em m a m erasa kakinya m enginjak tanah, ia m ulai m enderap. Rodolphe m enderapkan kudanya di sisinya. Sekali- sekali mereka bertukar kata. Dengan wajah agak menunduk, tangan tinggi dan lengan kanan dibentangkan, Emma mengikuti iram a gerak kuda yang m engayun-ayunkannya di atas pelana.

Nyonya Bovary 217 Setiba di bawah lereng, Rodolphe mengendurkan tali kekangnya. Dengan satu lonjakan, m ereka m aju bersam a-sam a. Lalu, sam pai di atas, kedua kuda tiba-tiba berhenti, dan selubung kepala Em m a yang besar biru lerai kem bali. Waktu itu hari-hari pertama bulan Oktober. Di peladangan ada kabut. Di cakrawala ruapan udara m em anjang m enyela garis yang m em bentuk bukit-bukit. Di tem pat lain kabut itu koyak-koyak, naik dan m enghilang. Sekali-sekali apabila awan m en yibak, atap-atap Yon ville yan g tertim pa sin ar m atahari kelihatan di kejauhan bersama kebun-kebun di pinggir air, pekarangan-pekarangan, tembok-tembok, dan menara jam gereja. Em m a m enyipitkan m atanya untuk m encari rum ahnya. Dan belum pernah kota hina yang didiam inya itu tam pak sekecil ini. Dari ketinggian tempat mereka berada, seluruh lembah seakan-akan sebuah danau besar yang m em udar, yang m eruap ke udara. Gumpalan-gumpalan pepohonan di sana sini menonjol seperti karang-karang hitam. Dan garis-garis tinggi pohon-pohon peuplier yang keluar m engatasi genangan kabut, rupanya seperti tepian pasir yang digerakkan angin. Di samping, di atas hamparan rerumputan, di antara pohon- pohon cem ara, ada cahaya cokelat yang beredar di dalam udara hangat. Tanah yang warnanya kem erah-m erahan, seperti bubuk tembakau meredam suara langkah. Dan dengan ujung tapal besinya, kuda-kuda itu m elangkah m enyepaki buah-buah cem ara yang terjatuh di depannya. Dem ikianlah Rodolphe dan Em m a m enyusuri tepi hutan. Emma sekali-sekali membuang muka untuk menghindari mata Rodolphe. Maka yang dilihatnya hanyalah pokok-pokok pohon cem ara yang berderet-deret, dan urutan yang tak habisnya itu agak m enggam angkannya. Kuda-kuda m endengus. Kulit pelana mereka berkeriat-keriut. Pada saat mereka masuk hutan, muncullah matahari.

218 Gustave Flaubert “Tuhan m elindungi kita!” kata Rodolphe. “Anda percaya?” tanya Em m a. “Kita terus saja! Mari!” sahut Rodolphe. Rodolphe m endecakkan lidah. Kedua binatang itu pun larilah. Daun-daun pakis yang tum buh tinggi di sepanjang jalanan, tersangkut-sangkut pada sanggurdi Emma. Sambil jalan terus, Rodolphe m em bungkuk dan sebentar-sebentar m enariknya lepas. Ada kalanya lagi ia m elewatinya dekat-dekat karena m au mengelakkan dahan, dan lutut Rodolphe terasa oleh Emma m enyerem pet kakinya. Langit sudah m enjadi biru. Daun-daun tidak bergerak. Ada keluasan-keluasan penuh dengan tanam an bruy ère yang sedang berbunga. Dan genangan ungu silih berganti dengan gerombolan pepohonan warna abu-abu, merah karat, atau keem as-em asan, m enurut keanekaan daunnya. Seringkali terdengar kepak sayap binatang kecil yang m elesat di bawah sem ak atau gaok parau dan lem ah burung-burung gagak yang terbang menghilang ke dalam pohon-pohon chêne. Mereka turun dari kuda. Rodolphe mengikat binatang- binatang itu. Emma jalan mendahului di atas lumut di antara legokan-legokan bekas roda. Tetapi gaunnya yang terlalu panjang m engganggu, m eskipun roknya sudah diangkatnya ujungnya yang m enyeret di tanah. Dan Rodolphe yang berjalan di belakangnya, m enatap di antara kain yang gelap itu dan sepatu botnya yang hitam kehalusan kaus kaki putihnya yang olehnya tam pak seperti bagian dari ketelanjangan Emma. Emma berhenti. “Saya lelah,” katanya. “Mari, coba lagi!” sahut Rodolphe. “Tabahlah!” Lalu seratus langkah lebih jauh, Em m a sudah berhenti lagi. Dan m elalui selubungnya yang turun m iring dari topi laki-lakinya ke atas pinggulnya, wajahnya tam pil dalam keheningan kebiruan-

Nyonya Bovary 219 biruan seakan-akan sedang berenang di bawah gelombang la zu a r d i. “Ke m ana kita sehenarnya?” Rodolphe tidak menjawab apa-apa. Emma tersengal napasnya. Rodolphe m elihat berkeliling. Ia m enggigit-gigit kum isnya. Mereka sam pai ke suatu tem pat yang lebih lapang, pohon- pohonnya yang sebenarnya harus tum buh tinggi, telah ditebang. Mereka duduk di atas sebuah pokok kayu yang tum bang. Lalu Rodolphe m ulai bicara tentang cintanya. Mula-m ula ia tidak m enakutinya dengan segala m acam rayuan, ia tenang, bersungguh-sungguh, sayu sendu. Em m a m endengarkannya dengan kepala tunduk, dan ujung kakinya m engoreki keping-keping kayu yang tertabur m enutupi tanah. Tetapi pada kalim at, “Bukankah nasib kita sekarang telah menjadi nasib bersama?” Em m a m enjawab, “Oh, bukan! Anda tahu benar. Tidak m ungkin!” Emma berdiri hendak pergi. Rodolphe meraih pergelangan tangannya. Em m a berhenti. Lalu, setelah Rodolphe ditatapnya beberapa menit dengan mata sebak penuh asmara, Emma berkata cepat. “Ah! Sudahlah, jangan kita bicara lagi tentahg hal itu.... Di mana kuda kita? Mari pulang saja.” Dari Rodolphe ada gerak marah dan jengkel. Emma berkata sekali lagi. “Di m ana kuda? Di m ana kuda?” Lalu dengan senyum aneh di bibirnya dan biji m ata yang tak lekang-lekang, dengan gigi dirapatkan, Rodolphe melangkah m aju sam bil m engem bangkan kedua belah tangannya. Em m a surut gemetar. Ia menggagap.

220 Gustave Flaubert “Oh! Anda m enakutkan saya! Anda m enyakiti saya. Mari kita pergi.” “Ya, lah, kalau m em ang harus,” sahut Rodolphe dengan cahaya m uka yang telah berubah. Dan seketika itu ia kembali penuh hormat, lembut, tersipu- sipu. Em m a m enggandengkan tangannya. Mereka kem bali. Rodolphe berkata, “Ada apa tadi? Mengapa? Saya tidak m engerti. Anda pasti salah tangkap? Anda dalam hati saya seperti m adona di atas lapik, tinggi tem patnya, kukuh, tanpa noda. Tetapi Anda saya perlukan untuk hidup! Saya perlu m ata Anda, suara Anda, pikiran Anda. J adilah tem anku, adikku, m alaikatku!” Lalu ia m engulurkan tangannya dan m elingkari pinggang Em m a. Em m a m encoba m elepaskan diri. Lem ah usahanya. Rodolphe terus m enyangganya begitu sam bil berjalan. Lalu m ereka m endengar kedua kuda sedang m elahap dedaunan. “Ah! Sebentar lagi,” kata Rodolphe. “J angan kita pulang dulu! Tinggallah sebentar!” Ia m engajak Em m a lebih jauh, m engitari kolam kecil yang riaknya ditutupi hijau-hijauan dari tum buh-tum buhan air. Ada bunga-bunga teratai, sudah layu, yang tegak tak bergerak di antara alang-alang. Waktu mendengar suara langkah mereka di rum put, beberapa katak berloncatan m enyem bunyikan diri. “Salah, saya salah,” kata Em m a. “Saya gila m au m endengarkan An d a .” “Mengapa? Em m a! Em m a!” “Oh! Rodolphe...” kata wanita m uda itu pelan, dan kepalanya m enyandar ke bahu Rodolphe. Kain lin en dari gaun n ya m en yan gkut pada beledu jas Rodolphe. Kepalanya terkulai ke belakang, dan kerongkongannya yang putih m engepuh karena helaan napas. Dan terhuyung-

Nyonya Bovary 221 huyung, beruraian air m ata, dengan gigil yang m erayapi sekujur tubuh dan sam bil m enyem bunyikan m ukanya, Em m a m enyerah. Bayan gan sen ja turun . Sin ar m atahari yan g m en yusup datar di sela-sela dahan, m enyilaukan m atanya. Di sana sini, di sekelilingnya, di dedaunan atau di tanah, bercak-bercak terang bergetaran seperti kalau burung-burung kolibri sewaktu terbang m enyebarkan bulu-bulunya. Sunyi di m ana-m ana. Pohon- pohon seolah-olah memancarkan kelembutan. Emma merasa jantungnya m ulai berdebar kem bali dan darahnya beredar di dalam tubuhnya seperti arus susu. Lalu ia m endengar jauh sekali, di balik hutan, di bukit-bukit lainnya, jeritan sayup m em anjang, suara berlam a. Dan didengarnya dengan berdiam diri betapa suara itu terpadu bagaikan musik dengan geletar penghabisan dari sarafnya yang penuh haru. Rodolphe, dengan serutu di antara giginya, m em betulkan salah satu dari dua tali kekang yang putus dengan pisau lipatnya. Mereka pulang ke Yonville m elalui jalan yang sam a. Mereka melihat kembali di dalam lumpur jejak kuda-kuda mereka tadi, berdam pingan, dan sem ak-sem ak yang sam a, kerikil-kerikil yang sam a di dalam rum put. Tak satu pun di sekeliling m ereka yang berubah. Padahal di dalam diri Emma telah terjadi sesuatu yang lebih hebat daripada kalau um pam anya gunung-gunung berpindah. Rodolphe sekali-sekali membungkuk, memegang tangannya yang dicium nya. Em m a m em ang m enarik sekali di atas kudanya. Tegak, pinggang genting, lutut terlipat di atas surai hewannya, dan pipi agak merah karena udara lepas, dalam rona senja hari. Waktu m asuk kota Yonville, kuda Em m a m elonjak-lonjak di atas batu jalanan. Dari jendela-jendela, orang-orang pada menonton dia. Menurut suam inya, waktu m ereka m akan m alam , Em m a segar rupanya. Tetapi Em m a seperti tidak m endengarnya ketika

222 Gustave Flaubert ia m enanyakan pesiarnya. Dan Em m a tinggal duduk dengan siku di dekat piringnya, diapit dua lilin yang m enyala. “Em m a!” kata Rodolphe. “Ada apa?” “Den garkan . Tadi sian g saya m am pir di tem pat Tuan Alexandre. Ia m em punyai anak kuda, betina yang sudah besar dan m asih bagus benar, hanya di sekeliling lututnya ada bekas luka sedikit. Saya pasti, ia dapat dibeli untuk kira-kira seratus écu....” Dan ia m enam bahkan, “Karena kukira m ungkin kau akan senang, kusuruh dia m enyim pannya untukku, sudah kubeli.... Benar perbuatanku? Katakan!” Em m a m engangguk tanda setuju. Lalu, seperem pat jam kem udian, “Kau keluar nanti m alam ?” tanya Em m a. “Ya. Mengapa?” “Ah! Tidak apa-apa, tidak apa-apa.” Dan begitu ia tidak terganggu lagi oleh kehadiran Charles, Emma naik ke tingkat atas dan mengurung diri di dalam kamar. Mula-m ula, rasanya seakan-akan m enggam ang. Ia m elihat pohon-pohon, jalan-jalan, parit-parit, Rodolphe, dan ia kembali m erasakan dekap rangkulannya diiringi desir daun-daunan dan desis tumbuhan kercut. Tetapi waktu ia m elihat bayangannya di dalam kaca, m ukanya m engherankannya sendiri. Belum pernah m atanya sebesar itu, sehitam itu, sedalam itu. Ada suatu kehalusan yang m eliputi dirinya dan yang m em buatnya lain sam a sekali. Berulan g-ulan g ia m em batin , Aku m em puny ai kekasih! Kekasih! Dan betapa nikm atnya ia m em ikirkannya, seakan- akan m engalam i m asa rem aja baru. J adi pada akhirnya ia akan mengalami juga gairah asmara, resah kebahagiaan, sedangkan sebenarnya sudah habis harapannya. Ia sedang m em asuki sesuatu yang indah sekali, yang sem uanya diliputi keasyikan,

Nyonya Bovary 223 kegiuran, kem abukan sem ata; kem ahaluasan yang sem u biru m engepungnya, puncak-puncak keharuan berpendar-pendar dirangsang pikirannya, dan kehidupan sehari-hari hanya sayup- sayup di kejauhan, di bawah sekali dalam rem ang, di sela-sela ketinggian-ketinggian itu. Lalu ia teringat lagi pada wanita-wanita yang m em egang peranan utam a di dalam buku-buku yang dahulu pernah dibacanya. Dan berbondong-bondong perem puan pezina itu penuh perasaan m ulai bersenandung di dalam kenangannya dengan suara saudara- saudara yang m em ikat hati. Ia sendiri seolah-olah m enjadi bagian nyata dari khayalnya dan m ewujudkan im pian yang sudah sekian lam a m engisi m asa m udanya, karena ia m em bayangkan dirinya sebagai kekasih yang selam a itu begitu diirinya selalu. Lagi pula Em m a m erasakan kepuasan pem balasan dendam . Bukankah cukup banyak penderitaannya? Tetapi sekarang ia m enang, dan cinta asm ara yang selam a ini terbendung, m eluap sekaligus, m enggelegak penuh kegem biraan. Em m a m engecapnya tanpa sesal, tanpa gelisah, tanpa resah. Esok harinya berlalu dengan rasa m anis yang baru. Mereka saling mengangkat sumpah. Emma menceritakan kesedihan- kesedihannya. Rodolphe m enyelanya dengan kecupan-kecupan. Dan Em m a yang m enatapnya dengan pelupuk m ata setengah terpejam , m inta supaya Rodolphe sekali lagi m em anggil nam anya dan m engulangi bahwa ia m encintainya. Mereka di dalam hutan, seperti kem arinnya, di gubuk seorang tukang pem buat sepatu kayu. Dinding-dindingnya dari jeram i dan atapnya begitu rendah, hingga mereka terpaksa membungkuk kalau berdiri. Duduk m ereka sandar-m enyandar di atas lapik daun-daun kering. Mulai hari itu mereka setiap malam saling mengirim surat. Em m a m em bawa suratnya ke ujung pekarangan, di dekat sungai, ke dalam sebuah celah teras. Rodolphe datang m engam bilnya

224 Gustave Flaubert di sana dan m enggantinya dengan surat lain yang m enurut kata Emma selalu terlalu pendek. Pada suatu pagi, waktu Charles sudah pergi sebelum fajar, tiba-tiba timbul keinginan pada Emma untuk melihat Rodolphe seketika itu juga. Ia dapat pergi cepat-cepat ke La Huchette tinggal di sana selam a satu jam dan sudah kem bali lagi di Yonville sebelum ada seorang pun yang bangun. Pikiran ini m em buatnya terengah-engah karena hasrat, dan tak lama kemudian ia sudah berada di tengah-tengah padang rum put. J alannya cepat tanpa menengok ke belakang. Fajar m ulai m enyingsing. Dari jauh Em m a sudah m engenali rum ah kekasihn ya. Kedua pen un juk m ata an gin n ya yan g berbentuk kuku bujang kelihatan hitam pada latar langit pagi yang m asih rem ang-rem ang pucat. Di seberang pekarangan rumah pertanian, ada sebuah bangunan terpisah. Agaknya itulah purinya. Ia m asuk. Tem bok- tem bok seakan-akan dengan sendirinya m enyingkir waktu ia m endekat. Ada tangga besar lurus yang naik ke sebuah lorong serambi. Emma memutar kancing pintu. Dan tiba-tiba di ujung kam ar itu dilihatnya ada seorang laki-laki yang sedang tidur. Rodolphe. Ia memekik. “Kau di sini! Kau di sini!” kata Rodolphe berulang-ulang. “Bagaim ana kau sam pai dapat datang? Ah! Gaunm u basah!” “Aku cinta padam u!” jawab Em m a dan tangannya m erangkul leher Rodolphe. Setelah kali pertam a keberaniannya itu berhasil, m aka sekarang setiap kali Charles berangkat pagi-pagi, Em m a lekas berpakaian dan diam -diam turun dari tangga yang m enuju tepi air. Tetapi kalau papan titian sapi terangkat, ia harus m enyusuri tem bok-tem bok yang m engikuti tepi kali. Tanggulnya licin. Supaya tidak jatuh, Em m a berpegangan erat pada gerom bolan-

Nyonya Bovary 225 gerom bolan tanam an ravenelle yang sudah layu. Lalu ia m elintasi ladang-ladang yang sedang digarap, ia terperosok ke dalam nya, tersandung-sandung, dan sepatu botnya yang tipis tersangkut- sangkut. Syalnya yang diikat di kepala, berkibar-kibar ditiup angin di padang rumput. Ia takut sapi, maka ia pun lari. Ia tiba dengan kehabisan napas, dengan pipi kemerah-merahan. Dan seluruh tubuhnya m em bawa bau segar getah tanam an, hijau- hijauan dan udara lepas. Rodolphe sepagi itu masih tidur. Rasa- rasanya seperti pagi m usim sem i yang m em asuki kam arnya. Tirai-tirai kuning yang bergantung sepanjang jendela-jendela, sayup-sayup m enyaring cahaya pirang pekat. Em m a m aju sam bil m eraba-raba, m atanya m engedip-ngedip, dan titik-titik em bun yang bergantung pada ram butnya seolah-olah m em bentuk hiasan topas di sekeliling m ukanya. Rodolphe tertawa dan m erenggut badannya yang didekapkannva ke dada. Kem udian Em m a m em eriksa tem pat kediam an itu. Ia m em buka-buka laci m ebel, ia m enyisir ram butnya dengan sisir Rodolphe, dan m em andangi bayangannya di dalam cerm in cukur. Sering kali ia bahkan m enyelipkan di antara giginya tangkai cangklong besar yang tergeletak di atas m eja kecil di sam ping tempat tidur, di antara beberapa limau dan gumpalan-gumpalan gula, dekat sebuah kan air. Seperempat jam lebih mereka perlukan untuk berpisah. Lalu Em m a m enangis. Maunya, untuk selam a-lam anya ia tidak usah lagi m eninggalkan Rodolphe. Ada sesuatu, lebih kuat dari kehendaknya sendiri, yang m endorongnya ke Rodolphe. Sehingga pada suatu hari, ketika melihat Emma muncul dengan mendadak begitu saja, Rodolphe m engernyitkan dahinya seperti orang yang merasa terganggu. “Ada apa?” kata Em m a. “Kau sakit? Katakan!”

226 Gustave Flaubert Akhirnya Rodolphe m enjawab dengan m uka bersungguh- sungguh, bahwa kunjungan-kunjungan Emma makin lama makin nekat dan bahwa nama Emma bisa rusak.

Bab X LAMA-KELAMAAN KEKHAWATIRAN Rodolphe menular juga kepada Emma. Asmaranya mula-mula memabukkan, dan tak ada yang dipikirkannya lebih dari itu. Tetapi sekarang, setelah merasa tidak lagi dapat hidup tanpa cintanya itu, Emma takut akan kehilangan biar sedikit pun, bahkan jangan-jangan cintanya terusik. Apabila ia pulang dari tempat Rodolphe, matanya memandang ke mana-mana dengan cemas. Diawasinya setiap bentuk yang lewat di cakrawala dan setiap jendela loteng di kotanya yang dapat menjadi tempat orang melihatnya. Ia menyimak suara langkah, jeritan, bunyi bajak. Lalu ia berhenti, lebih pucat dan lebih gemetar daripada daun-daun pohon peuplier yang bergoyang-goyang di atas kepalanya. Pada suatu pagi ia pulang lagi seperti itu. Tiba-tiba rasa- rasanya ia m elihat laras panjang karabin yang seperti dibidikkan kepadanya. Laras itu m iring m encuat dari bibir tong kecil yang setengah terbenam di dalam rumput di tepi parit. Tetapi meskipun

228 Gustave Flaubert kagetnya setengah m ati, Em m a m aju terus. Lalu seorang lelaki keluar dari tong itu, tak ubahnya sebagai boneka pegas yang m em ental keluar dari dalam kardus. Ia m em akai binkap yang berkancing sam pai ke lutut, petnya m em benam sam pai ke m ata, bibirnya m enggigil kedinginan dan hidungnya m erah. Orang itu ternyata Kapten Binet yang sedang m engintai bebek liar. “Kenapa tidak bilang apa-apa dari tadi!” serunya. “Kalau m elihat laras bedil, Anda selalu harus m em beri peringatan.” Si pem ungut pajak itu dengan cara ini m au m enyem bunyikan rasa kagetnya. Sebab ada peraturan prefek yang m elarang berburu bebek, kecuali kalau naik perahu. Dan meskipun Tuan Binet m enjunjung tinggi sem ua undang-undang, dalam hal ini ia telah melakukan pelanggaran. Maka setiap saat ia mengira mendengar polisi desa datang. Tetapi kecemasan itu merangsang kesenangannya, dan seorang diri di dalam tongnya, ia m em uji nasib baiknya dan kepintarannya. Ketika yang dilihatnya Em m a, rasanya seperti ia dibebaskan dari beban berat, dan segera ia m engajaknya bercakap-cakap. “Hari ini tidak panas. Dinginnya m enusuk!” Em m a tidak m enjawab. Binet m elanjutkan, “Sudah pagi benar Anda keluar, ya?” “Ya,” kata Em m a dengan gagap. “Saya baru saja dari rum ah inang anak saya.” “Ah! Bagus! Bagus! Kalau saya, seperti Anda lihat, sejak fajar m enyingsing, saya sudah di sini. Tetapi cuaca betul-betul buruk sehingga kalau tidak....” “Sam pai jum pa, Tuan Binet,” sela Em m a sam bil m em balikkan badan. “Silakan, silakan,” katanya dengan nada kering. Lalu ia kem bali m asuk ke dalam tongnya. Em m a m enyesal ia begitu m endadak m eninggalkan pem ungut pajak itu. Pasti orangnya akan m em punyai pikiran yang kurang

Nyonya Bovary 229 baik m engenai dirinya. Cerita tentang inang itu dalih yang paling buruk karena sem ua orang di Yonville tahu benar bahwa si kecil putri Bovary sudah satu tahun lam anya pulang ke rum ah orangtuanya. Lagi pula tak seorang pun yang tinggal di sekitar itu. J alan ini hanya m enuju ke La Huchette. J adi Binet sudah m enebak dari m ana datangnya. Dan ia tidak akan tutup m ulut, ia akan bercerita, itu sudah pasti. Sam pai m alam ia m enyiksa diri karena memikirkan segala macam kemungkinan bagaimana ia dapat berbohong. Dan selalu si tolol pem akan daging itu yang terbayang di ruang m atanya. Oleh karena sesudah m akan m alam Charles m elihat Em m a begitu rusuh hatinya, ia hendak m engajaknya ke tem pat apoteker untuk m enghiburnya. Dan orang pertam a yang dilihat Em m a di dalam apotek itu lagi-lagi si pemungut pajak, ia sedang berdiri di depan m eja kasa, diterangi cahaya dari stoples m erah. Ia berkata, “Tolong beri saya setengah ons vitirol.” “J ustin,” teriak apoteker, “am bilkan asam belerang.” Lalu, kepada Em m a yang sudah m au naik ke apartem en Nyonya Hom ais, “Tidak usah naik, tak perlu. Dia akan turun sebentar lagi. Berdianglah dekat perapian sam bil m enunggu.... Maafkan... Selam at m alam , Dokter.” (karena apoteker itu senang sekali m en gucapkan kata “dokter” itu, seakan -akan den gan m engalam atkannya kepada orang lain, ia dapat kecipratan sedikit dari kebesaran yang dirasakannya terkandung dalam kata itu). “Hati-hati! J angan sam pai tum pah lum pang itu! Lebih baik kau am bil saja kursi-kursi dari ruang kecil. Kau kan tahu, kursi-kursi dari salon tidak boleh dipindah-pindah.” Dan untuk m engem balikan kursi ke tem patnya, Hom ais bergegas keluar dari belakang kasa. Tapi Binet m inta asam gula setengah ons.

230 Gustave Flaubert “Asam gula?” kata apoteker dengan cem ooh. “Apa itu, tak kenal saya! Barangkali yang Anda m aksudkan asam oksalat. Oksalat, bukan?” Binet m enjelaskan bahwa yang diperlukannya ialah suatu bahan tajam untuk membuat sendiri larutan garam asam guna membersihkan karat dari berbagai kelengkapan alat perburuan. Emma kaget. Apoteker m ulai berkata, “Mem ang, udara kurang baik karena lem b a p .” “Meskipun begitu,” sahut pem ungut pajak itu dengan m uka licik, “ada orang-orang yang bisa saja m enyesuaikan diri.” Emma sesak napas. “Dan beri saya juga....” Ia tak m au pergi-pergi juga! pikir Emma. “Setengah ons dam ar biola dan dam ar terpentin, em pat ons lilin dan tiga setengah ons arang tulang, untuk membersihkan kulit pada peralatan saya.” Apoteker m ulai m em oton g lilin waktu Nyon ya H om ais m uncul dengan Irm a dalam gendongannya, Napoléon di sisinya, dan Athalie di belakangnya. Ia m engam bil tem pat di bangku beledu dekat jendela, dan si buyung duduk bersila di atas bangku rendah, sedangkan kakaknya m ondar-m andir m engitari tem pat perm en obat batuk di dekat ayahnya tersayang. Ayahnya sedang m engisi corong dan m enyum bat botol, m enem pel etiket, m em buat bungkusan. Mereka berdiam diri di sekelilingnya. Dan yang kadang-kadang terdengar hanyalah denting m ata tim bangan pada alat penim bang, disertai beberapa kata dari apoteker yang dengan lirih m em beri petunjuk kepada m uridnya. “Bagaim ana si kecil?” tanya Nyonya Hom ais tiba-tiba. “Diam !” seru suam inya yang sedang m enulis angka-angka di dalam buku tulis catatannya.

Nyonya Bovary 231 “Mengapa tidak Anda ajak kem ari?” kata nyonya Hom ais lagi, setengah berbisik. “Ssst!” desis Em m a sam bil m enuding ke arah apoteker. Tetapi Binet yang sedang asyik m em baca bonnya, m ungkin tidak m endengar apa-apa. Akhirnya pergilah ia. Lalu Em m a dengan lega menghela napas panjang. “Mengapa sekeras itu bernapas?” kata Nyonya Hom ais. “Ah! Saya agak kepanasan,” jawab Em m a. Keesokan harin ya m ereka bersepakat un tuk m en gatur pertem uan-pertem uan m ereka. Em m a hendak m enyuap pem bantunya dengan hadiah. Tetapi m asih lebih baik m encari rum ah yang agak tersem bunyi letaknya di Yonville. Rodolphe berjanji akan m encarinya. Selama musim dingin itu, tiga atau empat kali seminggu, kalau malam sudah gelap benar, Rodolphe datang ke pekarangan. Em m a dengan sengaja sudah m engam bil kunci pagar, yang dikira Charles telah hilang. Untuk memanggil Emma, Rodolphe melempar segenggam pasir ke kerai jendelanya. Em m a berdiri kaget. Tetapi kadang- kadang Rodolphe harus m enunggu, sebab Charles m em punyai penyakit suka duduk bercakap-cakap dekat perapian, dan tidak m au berhenti. Em m a sudah bukan m ain tidak sabarnya. Andai kata m ungkin, m atanya sudah m em elantingkan suam inya ke luar jendela. Akhirnya, Em m a pun lalu m engganti pakaiannya. Lalu ia mengambil buku, dan terus membaca dengan tenang seakan- akan buku itu sangat m enarik hatinya. Tetapi Charles yang sudah m asuk ranjang, m em anggilnya supaya tidur juga. “Ayo Em m a,” katanya, “sudah waktu tidur.” “Ya, sebentar lagi!” jawabnya. Tetapi karena cahaya lilin m enyilaukan m atanya, Charles menghadap ke dinding. Dan tertidurlah ia. Emma kabur dengan

232 Gustave Flaubert napas ditahan, tersenyum , hati berdebar, dalam pakaian kam ar t id u r n ya . Rodolphe memakai mantel besar. Dengan mantel itu Emma diselubunginya sam a sekali, dan sam bil m erangkul pinggangnya, ditariknya Em m a tanpa bicara sam pai ke ujung pekarangan. Tempat mereka di bawah peranginan, di atas bangku dari kayu-kayu lapuk, tem pat duduk Léon dahulu waktu ia m enatap Emma penuh kasih berahi dalam senja-senja musim panas. Sekarang Em m a ham pir tidak m em ikirkannya lagi! Bintang-bintang gem erlapan dari sela-sela dahan pohon yasm in yang gundul. Mereka m endengar di belakang m ereka desau kali yang m engalir, dan sekali-sekali di tanggul gersak alang-alang kering. Di sana sini gum palan-gum palan bayangan m enyem bul dalam gelap, dan kadang-kadang sem ua bayangan itu bergetar serempak, lalu tegak dan rebah seakan-akan gelom bang-gelom bang hitam besar yang datang hendak m elanda m ereka. Lantaran udara dingin m alam hari, m ereka m akin erat berdekapan. Helaan napas dari bibir mereka, mereka rasakan lebih kuat. Mata m ereka yang ham pir tak kelihatan seakan-akan lebih besar. Dan dalam kesenyapan ada kata-kata yang dibisikkan lirih dan yang jatuh ke dalam jiwa m ereka dengan m erdu, bening sekali, dengan gem a yang bergetar berlipat ganda. Bilam ana m alam hari banyak hujan, m ereka berlindung di dalam ruang konsultasi, di antara gudang dan kandang kuda. Em m a m enyalakan salah sebuah lilin dari dapur yang telah disem bunyikannya di belakang buku-buku. Rodolphe m engam bil tem pat seakan-akan di rum ahnya sendiri. Melihat lem ari buku dan m eja tulis, m elihat seluruh tem pat itu pendeknya, ia m enjadi riang. Ia tidak dapat m enahan dirinya untuk berkelakar banyak- banyak m engenai Charles, yang m em buat Em m a m erasa kurang enak. Mau Emma, Rodolphe lebih bersungguh-sungguh, malahan

Nyonya Bovary 233 lebih dramatis sesuai dengan keadaan, seperti waktu ia mengira m endengar bunyi langkah m endekat di dalam gang. “Ada orang datang!” kata Em m a. Rodolphe memadamkan lilin. “Kau m em bawa pistol?” “Buat apa?” “Lho... untuk m em bela diri,” sahut Em m a. “Terhadap suam im u? Ah, kasihan!” Dan Rodolphe m engakhiri kalim atnya dengan isyarat yang berarti, Kusentil saja, sudah rem uk dia! Em m a kagum m elihat keberaniannya, m eskipun m enurut perasaannya ada sesuatu yang kurang sedap, yang kasar, naif, yang m enyinggung hatinya. Rodolphe banyak m em ikirkan perkara pistol tadi. Kalau Em m a tadi bersungguh-sungguh, konyol benar, pikirnya, bahkan keji, karena Rodolphe tidak ada alasan sama sekali untuk m em benci si Charles yang baik hati itu. Charles tak dapat dikatakan cemburu setengah mati. Dan mengenai hal ini Emma sudah bersum pah besar yang m enurut pendapat Rodolphe tidak menunjukkan selera tinggi. Lagi pula Em m a sekarang m enjadi sentim ental sekali. Mereka diharuskannya bertukar potret kecil. Mereka sudah m em otong rambut berjumput-jumput, dan sekarang Emma minta cincin, cincin kawin benar-benar, sebagai tanda ikatan abadi. Acap kali Emma bicara tentang lonceng senja atau tentang suara-suara alam . Lalu Em m a m enceritakan kepadanya tentang ibunya, ibunya! Dan ibu Rodolphe! Rodolphe sudah dua puluh tahun lam anya tidak beribu lagi. Akan tetapi Em m a m enghiburnya dengan kata-kata manis seperti kalau bicara kepada bocah cilik yang sebatang kara. Bahkan ada kalanya Em m a berkata sam bil m em andang rem bulan, “Aku yakin bahwa di atas sana keduanya m enyetujui cinta kita.”

234 Gustave Flaubert Tetapi Em m a begitu cantik! Sedikit benar dari yang pernah dim ilikinya m asih begitu polos! Percintaan yang tanpa kejangakan ini m erupakan sesuatu yang baru baginya. Olehnya ia tertarik dari kebiasaannya yang gam pangan dan sekaligus disenangkan rasa bangga dan hawa nafsunya. Sanjungan Em m a yang sebenarnya hina m enurut rasa borjuisnya, dalam hati kecilnya dianggapnya m em pesonakan karena dirinya yang m enjadi sasarannya. Lalu, karena sudah yakin ia dicintai, Rodolphe tidak lagi m enahan diri, dan secara tak terasa, tingkah lakunya berubah. Ia tidak lagi seperti dahulu mengucapkan kata-kata lembut sekali yang m em buat Em m a m enangis, tidak lagi m erayunya dengan penuh nafsu yang m em buat Em m a gila. Sehingga percintaan m ereka yang agung, yang m enggenangi seluruh hidupnya, seakan-akan m enyusut di bawah dirinya, seperti air sebuah sungai yang terserap di dalam palungnya. Dan terlihat oleh Em m a lum purnya. Ia tidak m au percaya. Ia sem akin lem but. Dan Rodolphe m akin lam a m akin kurang m enyem bunyikan rasa tak acuhnya. Em m a tidak tahu, apakah ia m enyesal telah m enyerahkan diri kepada Rodolphe, ataukah bukannya sebaliknya, ia ingin m engasihinya lebih banyak lagi. Rasa terhina yang ia tanggung karena m erasa dirinya lem ah m enjadi dendam yang agak redam lantaran berahinya. Bukan rasa sayang nam anya, tetapi sem acam pesona yang kekal. Ia ditundukkan oleh Rodolphe. Em m a sam pai ham pir takut kepadanya. Meskipun dem ikian yang kelihatan belum pernah setenang ini, karena Rodolphe telah berhasil m enangani si pezina sesuka hatinya. Dan sesudah enam bulan, waktu m usim sem i tiba, m ereka berhadapan seperti sepasang suam i istri yang dengan tenang memelihara api kekeluargaan. Menjelang waktu itu biasanya Tuan Rouault m engirim burung kalkunnya sebagai kenang-kenangan akan kaki patahnya


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook