Bab VI DALAM PERJ ALANAN-PERJ ALANANNYA untuk m enjum pai Emma, Léon sering makan malam di rumah apoteker. Maka sebagai balasan ia merasa berkewajiban untuk mengundangnya juga. “Dengan senang hati!” jawab Tuan Hom ais. “Mem ang sudah waktunya saya m enyelam i kem bali suasana kota, karena saya sudah m ulai berkarat di sini. Kita akan m enonton, ke restoran. Kita akan gila-gilaan!” “Aduh, kau!” gum am Nyonya Hom ais dengan nada sayang, ketakutan m em ikirkan segala bahaya yang sam ar-sam ar m engancam dan yang m au disongsong suam inya. “Lho, m engapa? Menurut kau, aku belum cukup banyak merusak kesehatanku hidup di tengah-tengah ruapan tempat obat terus menerus begini! Memang begitulah watak wanita, mereka iri pada ilmu pengetahuan, lalu menentang kalau orang mau m encari hiburan yang paling halal pun. Tak apalah, saya pasti
386 Gustave Flaubert datang. Besok-besok saya m uncul di Rouen, lalu kita bangkrutkan bandar-bandar judi ala Monako bersama-sama.” Dahulu apoteker tidak bakal memakai ungkapan semacam itu. Tetapi sekarang ia sedang m encoba gaya riang gem bira keparis-parisan yang dianggapnya tinggi seleranya. Dan seperti Nyonya Bovary, tetangganya, ia pun m enanyai si kerani karena ingin mengenal adat ibukota. Ia bahkan sampai berbicara dalam bahasa prokem, untuk membuat orang-orang borjuis terkesima. Katanya antara lain “aku cabut”, padahal m aksudnya “aku pergi”. Maka pada suatu hari Kam is, Em m a kaget waktu di dapur Singa Em as ia berjum pa dengan Tuan Hom ais yang m engenakan pakaian pelancong, artinya m em akai m antel tua yang tak pernah dilihat orang. Dengan tangan yang satu ia m enjinjing koper dan dengan tangan lain kantong penghangat kaki. Rencananya itu tak diceritakannya kepada siapa-siapa karena takut akan m enggelisahkan orang banyak dengan kepergiannya. Pikiran akan m elihat kem bali tem pat m asa m udanya pasti m enggairahkan hatinya, karena sepanjang perjalanan itu ia tak henti-hentinya bercerita. Dan begitu sam pai di tem pat, ia m eloncat dengan gesit dari kereta hendak m encari Léon. Dan bagaim anapun Léon m engelak, Tuan Hom ais m enyeretnya ke Café de Norm andie yang besar, m asuk dengan m egah tanpa m em buka topi, karena dianggapnya sangat kam pungan m em buka topi di tempat umum. Em m a m enantikan Léon selam a tiga perem pat jam . Akhir- nya ia bergegas m endatangi kantornya. Dan bingung karena m em ikirkan segala m acam kem ungkinan, sam bil m enuduh Léon tak acuh, dan m enyesali kelem ahan dirinya, Em m a m elalui siang hari itu dengan dahi melekat pada kaca jendela. Pukul dua siang mereka masih duduk berhadapan di meja. Ruang besar itu sudah m enjadi kosong. Cerobong-cerobong pem anas yang bentuknya seperti pohon palem itu m em bentangkan
Nyonya Bovary 387 daunnya yang keem asan seperti kipas di langit-langit putih. Dan di dekat mereka, di balik kaca-kaca jendela, di panas matahari, merecik air mancur kecil dalam sebuah kolam dari pualam. Di dalam nya, di antara tanam an jeram bak dan aspersi, tiga ekor udang karang yang lam ban m erentangkan kakinya ke arah beberapa burung puyuh yang tergeletak m engonggok pada sisin ya . Homais kesenangan. Meskipun ia lebih dimabuk kemewahan daripada oleh santapan enak, anggur dari Pommard itu agak m erangsangnya juga. Dan waktu telur dadar dengan rum dihidangkan, ia m em beberkan teori-teori yang kurang senonoh m engenai kaum hawa. Yang m em ikat hatinya di atas segala- galanya ialah yang “keren”. Ia sangat m enyukai gaun yang anggun dalam apartem en yang serasi perabotnya. Dan dalam hal sifat- sifat badaniah, ia tidak m em benci wanita bahenol. Dengan putus asa Léon m em andang jam . Apoteker itu terus juga minum, makan, bicara. Tiba-tiba Hom ais berkata, “Anda pasti m erasa kehilangan di Rouen. Apalagi tam batan hati Anda tidak jauh dari sini.” Lalu karena yang lain itu m em erah wajahnya, “Ayolah, berterus terang saja! Anda ingkari bahwa di Yonville...?” Anak m uda itu tergagap. “Di rum ah Nyonya Bovary, Anda m encoba m em ikat hati...?” “Hati siapa?” “Hati pelayan!” H om ais tidak berkelakar. Tetapi karena keangkuhannya lebih kuat dari kehati-hatiannya, Léon m au tak m au m enyangkal. Lagi pula ia hanya suka perem puan yang pirang cokelat warna ram butnya. “Setuju,” kata apoteker,”m ereka lebih bertem peram en.” Lalu ia m endekati telinga tem annya dan m enguraikan tanda- tanda perem puan yang bertem peram en. Ia bahkan m elantur
388 Gustave Flaubert ke bidang etnograi; wanita Jerman mudah tersentuh sarafnya, wanita Prancis jangak, wanita Italia penuh gairah. “Dan perem puan Negro?” tanya si kerani. “Itu selera senim an,” kata Hom ais. “Bung! Kopi dua cangkir.” Akhirnya Léon tidak sabar lagi. “Kita pergi, m ari!” “Yes.” Tetapi sebelum pergi, ia ingin bertemu dengan kepala tempat itu dan m enyam paikan beberapa kata pujian. Lalu, supaya bisa sendirian lagi, Léon berkata bahwa ia ada urusan. “Ah, saya tem ani!” kata Hom ais. Dan selam a m elintasi jalan-jalan bersam a Léon, ia bicara tentang istrinya, anak-anaknya, m asa depan m ereka, dan toko obatnya. Ia m enceritakan betapa bobroknya dahulu toko obat itu dan tingkat kesem purnaan yang telah dicapainya sekarang. Setiba m ereka di depan Hotel de Boulogne, Léon tiba-tiba m eninggalkannya, lari pontang-panting m enaiki tangga, dan m endapatkan kekasihnya dalam keadaan sangat rusuh. Mendengar ia m enyebut nam a apoteker, Em m a m arah- m arah. Akan tetapi Léon m engem ukakan setum puk alasan yang m asuk akal. Bukan salahnya, kan, Em m a kenal Tuan Hom ais? Bagaim ana m ungkin Em m a m engira ia lebih suka bersam a Hom ais? Tetapi Em m a m em balikkan badan. Léon m enahannya, jatuh berlutut dan dengan kedua tangan m elingkari pinggangnya dengan sikap penuh rindu, penuh nafsu, m inta-m inta, m erayu. Em m a tegak. Matanya yang besar berapi-api itu m enatapnya dengan sungguh-sungguh, ham pir dengan dahsyat. Lalu air m ata m enggelapkan pandangnya, kelopak m atanya yang m erah jam bu m em ejam , kedua tangannya m enyerah. Dan Léon hendak m encium inya waktu seorang pelayan m uncul dengan kabar bahwa ada yang m encari Tuan.
Nyonya Bovary 389 “Kau nanti kem bali?” tanya Em m a. “Ya.” “Tetapi kapan?” “Na n t i.” “Itu tadi saya akali saja,” kata apoteker waktu m elihat Léon, “saya m au m enyudahi kunjungan Anda ini, yang ada penglihatan saya tidak m enyenangkan Anda. Mari ke tem pat Bridoux m inum garus.” Léon bersum pah, bahwa ia harus kem bali ke kantornya. Apoteker pun lalu berkelalar tentang surat-surat dan prosedur. “Ah, tinggalkan saja sebentar Cujas dan Barthole itu. Persetan! Siapa yang m enghalangi Anda? Harus ada nyalinya! Mari kita ke Bridoux, Anda akan m elihat anjingnya nanti. Sangat aneh.” Lalu karena si kerani m asih juga keras kepala, “Saya ikut. Saya akan m em baca koran sam bil m enunggu Anda selesai, atau m em buka- buka sebuah buku undang-undang.” Bin gun g karen a kem arahan Em m a, kecerewetan Tuan Hom ais, dan m ungkin juga karena beratnya santapan, Léon bim bang, dan seakan-akan terpukau oleh apoteker yang berulang- ulang m engatakan, “Mari ke tem pat Bridoux! Hanya dua langkah dari sini, di J alan Malpalu.” Lalu, karena kurang berani, karena tololnya, karena perasaan yang tak dapat diterangkan tapi m em buat kita m elakukan tindakan-tindakan yang paling tidak m enyenangkan, Léon m em biarkan Hom ais m em bawanya ke Bridoux, yang m ereka dapatkan di pelataran dalam yang kecil sedang m engawasi tiga anak m uda yang dengan terengah-engah m enjalankan roda besar sebuah m esin untuk m em buat air Belanda. Hom ais m em beri nasihat. Ia m erangkul Bridoux. Mereka m inum garus. Berkali- kali Léon sudah m au pergi, tetapi yang lain m enahan lengannya sam bil berkata, “Sebentar lagi! Saya sudah m au pergi. Kita akan
390 Gustave Flaubert ke Fanal de Rouen, bertem u dengan orang-orang di sana. Saya akan m em perkenalkan Anda dengan Thom assin.” Akhirnya Léon dapat juga m elepaskan diri dan bergesa lari ke hotel, Emma sudah tidak ada lagi. Emma baru saja pergi, kejengkelan. Sekarang ia membenci Léon. Bahwa Léon tidak dapat m enepati janjinya ini dirasakan Em m a sebagai penghinaan. Dan dicarinya alasan-alasan lain lagi untuk m elepaskan diri dari Léon; Léon tak bakal m enjadi pahlawan, Léon lem ah, biasa, lebih lem bek dari perem puan, lagi pula pelit dan penakut. Lalu ia tenang kem bali. Dan akhirnya ia sadar bahwa sebenarnya ia telah memitnah Léon. Tetapi menjelekkan orang yang m asih kita cintai, selalu sedikit banyak m enjauhkan kita darinya. J angan m enyentuh yang kita puja, sepuhan em asnya akan lengket pada tangan. Akhirn ya m ereka sam pai lebih serin g m em percakapkan hal-hal yang tak ada sangkut-pautnya dengan cinta m ereka. Dan di dalam surat-surat yang dikirim Em m a kepada Léon, yang dibicarakan ialah kembang, sajak, bulan dan bintang, akal naif seorang yang sudah ham pir padam api cintanya tapi m encoba m enghidupkannya kem bali dengan segala m acam bantuan dari luar. Em m a tak henti-hentinya berjanji pada diri sendiri akan m endapatkan kebahagiaan yang m endalam pada perjalanannya yang berikut. Lalu m engakui pada dirinya sendiri bahwa tak terasa ada yang luar biasa. Tetapi kekecewaan ini segera hilang dengan m unculnya harapan baru. Dan Em m a kem bali pada Léon dengan hati yang lebih berapi-api, lebih bernafsu. Ia m em buka pakaiannya dengan kasar, m enyentak lepas tali tipis korsetnya yang m endesis selingkar pinggulnya bagaikan ular yang meluncur. Ia berjingkat-jingkat dengan kaki telanjang, untuk m elihat sekali lagi apakah pintunya tertutup. Lalu dengan satu gerak ia m enjatuhkan sem ua pakaiannya sekaligus. Dan dengan
Nyonya Bovary 391 muka pucat, tanpa kata, sungguh-sungguh, ia merobohkan diri ke dada Léon, dengan gigil m em anjang. Nam un, pada dahi yang penuh titik-titik dingin itu, pada bibir yang m enggagap itu, dengan biji m ata yang liar itu, dalam dekapan rangkulnya itu, ada sesuatu yang terlalu, yang sam ar-sam ar dan m enyeram kan, yang m enurut perasaan Léon m enyelinap di antara m ereka, dengan halus, seolah-olah hendak memisahkan mereka. Léon tidak berani m enanyainya. Tetapi m elihat Em m a begitu berpengalam an, Léon m em batin, pasti Em m a sudah m enjalani segala cobaan penderitaan dan kesenangan. Yang dahulu m em ikat hatinya, sekarang agak m enakutkan baginya. Lagi pula ia m em berontak terhadap penyerapan kepribadiannya yang m akin hari m akin kuat. Ia m erasa dendam terhadap Em m a yang m enang terus m enerus itu. Ia bahkan m encoba tidak lagi m enyayanginya. Lalu, m endengar derit sepatu botnya, ia m erasa lemah, seperti pemabuk ketika melihat minuman keras. Emma tidak kurang mencurahkan segala perhatian kepada Léon, m ulai dari m asakan m acam apa yang bakal dihidangkan di m eja sam pai ke kegenitan dalam berpakaian dan kesayuan lembut dalam pandangan. Ia membawa bunga-bunga mawar dari Yonville di dadanya, yang kem udian dilem parkannya ke wajah Léon. Ia m em perlihatkan kekhawatirannya m engenai kesehatan Léon, dan m em berinya nasihat m engenai kelakuannya. Dan supaya dapat m enahannya lebih kuat, m ungkin dengan harapan Tuhan akan ikut cam pur tangan, m aka digantungkannya pada leher Léon sebuah m edali Sang Perawan. Ia m enanyainya, seperti seorang ibu yang saleh, m engenai kawan-kawannya. Katanya, “J angan bergaul dengan m ereka, jangan keluar, pikirkan kita berdua saja. Cintailah aku!” Seandainya bisa, Em m a ingin dapat m engawasi hidupnya, dan pernah tim bul pikiran untuk m enyuruh orang m enguntit
392 Gustave Flaubert Léon di jalan. Di dekat hotel selalu ada sem acam gelandangan yang suka m enegur orang-orang yang dalam perjalanan dan yang pasti tidak akan m enolak. Tetapi rasa harga dirinya m em berontak. “Lah, apa boleh buat. Dia m engkhianati aku, tidak apa! Pentingkah itu bagiku?” Pada suatu hari, ketika mereka pagi-pagi sudah berpisah dan Em m a pulang seorang diri lewat bulevar, ia m elihat tem bok- tem bok biaranya. Lalu ia duduk di atas bangku di bawah pohon- pohon orm e yang rindang. Betapa tenangnya tem po dulu! Betapa irinya ia pada rasa cinta yang tak terperikan, yang dahulu ia coba bayangkan seperti dalam buku-buku! Bulan-bulan pertam a perkawinannya, pesiar naik kuda di dalam hutan, vicom te yang berdansa wals, dan Lagardy yang m enyanyi, sem ua itu terbayang kem bali di ruang m atanya.... Dan Léon tiba-tiba kelihatan sam a jauhnya seperti yang lain. Padahal aku m encintainy a! batinnya. Tak apalah! Ia tidak berbahagia, memang tak pernah. Dari m ana gerangan rasa tak puasnya dengan hidup, rusaknya segala sesuatu yang disandarinya, dengan seketika? Tetapi kalau betul ada orang yang kuat lagi rupawan, dengan watak gagah berani, penuh gairah bergembira dan berbudi halus, yang berjiwa pujangga dengan wujud m alaikat, lira berdawai perunggu yang m elontarkan ke langit lagu perkawinan yang m esra, m engapa ia tidak ditem ukannya secara kebetulan? Ah! Mustahil, m ustahil! Lagi pula tak ada satu hal pun yang begitu pentingnya hingga layak dicari. Sem uanya dusta belaka! Setiap senyum m enyem bunyikan kuap kebosanan, setiap kegem biraan kutukan, setiap kesenangan kebusukannya, dan cium an yang paling m anis pun hanya m eninggalkan di bibir suatu keinginan yang tak terkabulkan akan kenikm atan yang lebih besar. Bunyi geletar seperti dari benda logam m elintas di udara dan dentang lonceng dari biara kedengaran empat kali. Pukul empat!
Nyonya Bovary 393 Rasanya seolah-olah dia sudah berabad-abad lam anya di sana, di atas bangku itu. Nam un segala m acam nafsu yang tak terbilang banyaknya dapat m asuk dalam satu m enit, seperti sekerum unan orang di tem pat sem pit. Em m a hidupnya diasyikkan oleh nafsu- nafsunya sendiri, dan tak m em ikirkan soal uang, tak ubahnya dengan wanita bangsawan tinggi. Akan tetapi suatu kali seoran g laki-laki den gan badan kurus lemah, bermuka merah, dan berkepala botak, datang ke rum ahnya dengan pernyataan bahwa ia disuruh Tuan Vinçart dari Rouen. Dicabutnya jarum -jarum yang m enyem at saku sam ping jas panjangnya yang hijau, ditancapkannya pada lengan jasnya, dan dengan sopan diberikannya sehelai kertas. Surat utang tujuh ratus franc yang ditandatangani oleh Em m a dan yang oleh Lheureux telah diserahkan kepada Vinçart, bagaim anapun Em m a m elarangnya. Em m a m enyuruh pelayannya ke rum ah Lheureux. Lheureux tidak dapat datang. Lalu laki-laki yang tak dikenalnya itu yang selam a itu berdiri terus sam bil m elayangkan ke kanan kiri pandangan ingin tahu, yang tersem bunyi oleh alis-alis pirang lebat, dengan naif bertanya, “J awaban apa yang harus saya sam paikan kepada Tuan Vinçart?” “Begini,” jawab Em m a, “katakann... saya tidak punya uang.... Minggu depan saja.... Harap dia m enunggu... ya, m inggu depan saja.” Lalu laki-laki tadi pergi tanpa m engeluarkan sepatah kata pun. Tetapi esok harinya, pukul dua belas siang, Em m a m enerim a surat panggilan. Dan m elihat kertas berm aterai yang beberapa kali ditulisi dengan huruf besar: “Maitre Hareng, juru sita di kota Buchy” itu, Em m a begitu kaget hingga terburu-buru lari ke rum ah pedagang kain.
394 Gustave Flaubert Em m a m enem ukannya di tokonya sedang m engikat sebuah b u n gku sa n . “Ham ba Anda!” katanya. “Siap m elayani Anda.” Meskipun begitu, Lheureux m eneruskan pekerjaannya dibantu gadis tiga belasan tahun, agak bungkuk, dan yang sekaligus m enjadi pesuruh dan tukang m asaknya. Lalu, dengan sepatu kelom nya yang berketipak di atas lantai papan tokonya, Lheureux naik m endahului Nyonya ke tingkat pertam a, dan m em persilakannya m asuk kantor kecil. Di dalam nya ada m eja tulis besar dari kayu sape dengan beberapa buku catatan besar yang ditahan dengan palang besi yang digem bok. Merapat ke tembok, di bawah kupon-kupon kain cita, kelihatan sedikit sebuah lem ari besi, tetapi ukurannya sedem ikian besarnya hingga pasti tidak hanya m enyim pan surat dan uang. Mem ang, Tuan Lheureux m em injam kan uang dengan m inta jam inan, dan itulah tem patnya ia m enyim pan kalung em as Nyonya Bovary, beserta anting-anting Tuan Tellier yang patut dikasihani karena pada akhirnya terpaksa m enjual m iliknya dan m em beli sebuah toko rem pah yang m iskin di Quincam poix. Di sana ia m erana akibat radang selaput lendirnya, di tengah-tengah lilinnya yang belum sekuning wajah Tellier. Lheureux duduk di kursi jeram inya yang besar dan berkata, “Ada kabar apa?” “Lihat ini.” Dan diperlihatkannya kertas tadi. “Lalu, bisa saya apakan?” Maka Em m a m arah-m arah, m engingatkannya akan janjinya tidak akan m engedarkan surat-surat prom esnya. Lheureux m en ga ku i. “Tetapi saya sendiri terpaksa, karena saya sudah terdesak.” “Lalu sekarang bagaim ana?” kata Em m a lagi.
Nyonya Bovary 395 ‘“Oh, biasa saja, pengadilan, lalu penyitaan.... Apa boleh b u a t !” Em m a m enahan diri jangan sam pai m em ukul Lheureux. Dengan lem but ia bertanya apakah tidak ada jalan untuk m enenangkan Tuan Vinçart. “Aduh, m enenangkan Vinçart! Anda tidak m engenal dia. Dia lebih ganas dari orang Arab!” Tetapi Tuan Lheureux harus ikut cam pur. “Dengarkan! Saya rasa, sam pai sekarang saya cukup baik terhadap Anda.” Lalu dibukanya salah satu dari buku catatannya. “Lihat saja!” katanya. Lalu jarinya naik di atas kertas. “Coba, coba ... tanggal 3 Agustus, dua ratus franc... tanggal 17 J uni, seratus lim a puluh... 23 Maret, em pat puluh enam . Bulan Ap r il....” Ia berhenti seakan-akan takut berbuat sesuatu kebodohan. “Belum lagi surat-surat prom es yang ditandatangani Tuan, ada dari tujuh ratus franc, ada dari tiga ratus franc! Adapun cicilan Anda yang kecil-kecil, dengan bunga, tak ada habisnya, m em bingungkan saja. Saya tidak m au lagi m elibatkan diri!” Em m a m enangis, ia sam pai m em anggilnya “Tuan Lheureux yan g baik hati”. Tetapi Lheureux selalu m en gem balikan perkaranya pada “si Vinçart yang nakal” itu. Lagi pula, ia sendiri tidak punya sesen pun, tak ada seorang pun yang sekarang m em bayar dia, pakaian di punggungnya dim akan orang pula, pemilik toko semiskin dia tidak dapat memberi persekot. Em m a berdiam diri. Dan Tuan Lheureux yang m enggigit- gigit bulu-bulu kalam nya, sudah tentu m enjadi gelisah m elihat Em m a m em bungkam , karena ia berkata lagi, “Kecuali kalau besok-besok saya m enerim a sesuatu... saya bisa....” “Bagaim anapun,” kata Em m a, “begitu uang dari Barneville yang belum dibayar....”
396 Gustave Flaubert “Ap a ?” Dan waktu Lheureux m endengar bahwa Langlois belum juga m em bayar, ia kelihatan heran sekali. Lalu dengan suara sem anis m adu, “Dan berapa persetujuan kita kata Anda...?” “Oh, sem au Anda!” Lalu Lheureux m em ejam kan m ata untuk berpikir, m enulis beberapa angka, dan berkata bahwa ia bakal kesusahan sekali, bahwa hal itu terlalu berbahaya, dan bahwa ia bakal kehabisan darah. Lalu ia m endikte em pat surat utang dari dua ratus lim a puluh franc masing-masing, dengan jangka waktu sebulan antara tiap dua surat! “Asal Vinçart m au m endengarkan saya saja! Yang lain itu kita sudah sepakat, saya tidak suka berleleran, saya berterus terang.” Kem udian, dengan acuh tak acuh ia m em perlihatkan kepada Em m a beberapa barang baru, tapi yang m enurut pendapatnya tak ada satu pun yang pantas untuk Nyonya. “Kalau saya pikir ada gaun yan g hargan ya tujuh sou sem eternya, yang dijam in tidak luntur! Mereka percaya juga. Tentu saja tidak kita katakan bagaim ana barang itu sebenarnya, Anda pun m engerti.” Dan dengan pengakuan akal liciknya terhadap orang lain ini, Lheureux hendak m eyakinkan Em m a akan kejujurannya terhadap Emma benar-benar. Lalu ia m em anggilnya kem bali untuk m em perlihatkan renda kem bang sepanjang tiga ela yang baru-baru ini ditem ukannya dalam salah suatu pelelangan, “Bagus, bukan?” kata Lheureux. “Sekarang banyak dipakai orang sebagai tutup kursi. Sedang laku sekali.” Lalu lebih cepat dari tukang sulap, ia m em bungkus renda kem bangan itu dalam kertas biru dan m enaruhnya dalam tangan Emma. “Tapi bolehkah saya tahu...?”
Nyonya Bovary 397 “Ah, nanti saja,” kata Lheureux dan m em belakanginya. Malam itu juga, Em m a m endesak Bovary untuk m enulisi ibunya supaya m ereka dikirim uang sisa warisan dari ayahnya. Ibu m ertuanya m enulis, bahwa tidak ada sisa lagi, urusannya sudah selesai. Dan selain Barneville m ereka m asih m em punyai enam ratus pound uang bunga yang akan dikirim nya dengan tepat. Lalu Nyonya m engirim rekening kepada dua-tiga pasien, dan segera banyak m em akai cara ini dengan hasil baik. Ia tak pernah lupa m em bubuhkan sebagai tam bahan di bawah suratnya, “J angan m em bicarakan hal ini dengan suam i saya, Anda tahu rasa harga dirinya... Maafkan saya... Dengan horm at...” Ada beberapa yang m engeluh. Em m a m encegatnya. Untuk m em peroleh uang, Em m a m enjual sarung tangannya yang sudah tua, topi-topinya yang sudah tua, besi tua. Dan penawarannya dengan pelit, darah petaninya m endorongnya untuk m endapat untung. Lalu, pada lawatannya ke kota, ia m em beli barang rem eh-tem eh yang pasti bakal m au diam bil Tuan Lheureux karena tidak ada lainnya. Ia m em beli bulu-bulu burung unta, porselen Tiongkok, dan bufet-bufet rendah. Ia m em injam dari Félicité, dari Nyonya Lefrançois, dari pem ilik hotel Croix-Rouge, dari siapa saja, di m ana pun. Dengan uang yang diterim anya dari Barneville, ia m elunasi dua surat utang, sisanya seribu lim a ratus franc habis begitu saja. Ia m em buat utang baru, dan begitulah seterusnya! Kadan g-kadan g ia pun m em an g m en coba m em buat perhitungan, tetapi ia lalu m enem ukan hal-hal yang begitu m elam paui batas, hingga ia sendiri tak dapat m em percayainya. Lalu ia m ulai lagi, segera m enjadi bingung, m eninggalkan sem ua itu seadanya, dan tidak m em ikirkannya lagi. Rum ah m ereka sekarang m enyedihkan benar! Leveransir- leveransir tam pak keluar dari situ dengan wajah m erah.
398 Gustave Flaubert Saputangan-saputangan tergeletak di atas kom por. Dan Berthe si kecil m em akai kaus yang bolong-bolong, yang m enggegerkan Nyonya Hom ais. Apabila Charles dengan hati-hati sekali m encoba m enegurnya, Em m a m enjawab dengan lantang bahwa itu bukan kesa la h a n n ya ! Mengapa ia suka m arah-m arah begitu? Charles m encari sebabnya dalam penyakit sarafnya yang dahulu. Dan ia m enyesali dirinya karena telah m enganggap sakitnya itu cacat. Ia m enuduh dirinya egois. Ia ingin cepat m erangkulnya. Ah, tidak saja, batinnya, dia hany a akan m erasa terganggu. Karena itu ia tidak beranjak. Sesudah m akan m alam , Charles berjalan-jalan seorang diri di pekarangan. Berthe si kecil dipangkunya, lalu ia m em buka m ajalah kedokteran, dan m encoba m engajar Berthe m em baca. Anak yang tidak pernah belajar itu segera m em belalakkan m ata sedihnya dan m ulai m enangis. Charles m em bujuknya. Ia pergi m engam bil air dengan gem bor untuk m em buatkan Berthe kali- kali di atas pasir, atau mematahkan batang-batang dari pohon troene untuk menanam pohon di petak-petak kembang. Dan hal ini tidak banyak m erusak kebun yang sudah penuh dengan rum put tinggi. Sudah banyak upah Lestiboudois yang belum dibayar! Lalu si kecil kedinginan dan m enanyakan ibunya. “Panggil saja pem bantu,” kata Charles. “Kau kan tahu, Nak, ibumu tidak mau diganggu.” Musim gugur tiba, dan daun-daun sudah mulai berjatuhan, seperti dua tahun yang lalu waktu Em m a sakit! Kapankah sem ua ini akan berakhir? Lalu Charles m ondar-m andir lagi, dengan kedua tangan di punggung. Nyonya di kam ar tidurnya. Tak ada yang m asuk ke sana. Emma mendekam di situ sepanjang hari, kaku, hampir tak pernah berpakaian rapi. Sekali-sekali ia m em bakar kem enyan yang dulu dibelinya di Rouen di warung orang Aljazair. Supaya
Nyonya Bovary 399 m alam hari ia tidak ditem ani laki-laki yang tidur telentang itu di sam pingnya, ia pada akhirnya, setelah berm acam tingkah dan ulah, berhasil m enyingkirnya ke tingkat kedua. Lalu ia m em baca sam pai keesokan paginya buku-buku yang bukan alang kepalang penuh dengan gambar adegan-adegan mabuk-mabukan dan keadaan-keadaan berlumuran darah. Acap kali karena tercekam ketakutan, ia m enjerit, lalu Charles datang berlarian. “Ah! Pergi!” kata Em m a. Atau ada kalan ya lagi, apabila Em m a sedan g terbakar lebih sangat oleh api batinnya yang dikobarkan oleh perzinaan, maka terengah-engah, penuh haru, penuh berahi, ia membuka jendelanya, m enghirup udara dingin, m enggeraikan ram butnya yang terlalu berat di dalam angin, dan sam bil m enatap bintang, ia m engharapkan cinta seorang pangeran. Léon, ialah yang dipikirkannya. Rasanya ia m au m em berikan apa saja untuk m endapatkan kem bali satu saja dari pertem uan-pertem uan yang m em uaskannya dahulu. H ari-hari itu hari-hari besar baginya. H ari-hari itu dia inginkan berseri-seri! Dan apabila Léon seorang diri tidak m am pu m em bayar pengeluaran m ereka, Em m a m enom bok kekurangannya dengan royalnya, suatu hal yang ham pir setiap kali terjadi. Léon m encoba supaya Em m a m au m engerti bahwa di tem pat lain pun, di dalam hotel yang lebih sederhana m ereka akan sam a senangnya. Tetapi Em m a ada saja keberatannya. Pada suatu hari ia m engeluarkan dari tasnya enam sendok kecil yang disepuh perak (pem berian perkawinan dari Tuan Rouault), dan m inta kepada Léon supaya m au segera m enggadaikannya untuknya. Dan Léon m enurut, m eskipun tindakan itu tidak disukainya. Ia takut nam anya rusak.
400 Gustave Flaubert Lalu setelah ia renungkan, ia berpendapat kekasihnya ini m ulai aneh kelakuannya, dan boleh jadi tidak salahlah kalau orang m enginginkan hubungannya dengan Em m a putus. Memang, seseorang telah mengirim surat kaleng panjang kepada ibun ya un tuk m em beritahukan bahwa “Léon sesat bersam a seorang wanita yang sudah bersuam i”. Dan ibunya yang baik itu, yang sudah dapat m em bayangkan apa yang selam anya m enjadi m om ok bagi keluarga-keluarga baik, yaitu bayangan sam ar-sam ar perem puan yang m em bejatkan susila, peri yang m enjerum uskan lelaki, m ahkluk dahsyat yang tinggal secara menakjubkan di lubuk asmara, segera menulis surat kepada m aître Dubocage, m ajikan Léon. Dan m aître Dubocage itu sikapnya sem purna dalam perkara ini. Ia m enahan Léon selam a tiga perem pat jam dengan m aksud hendak m em buka m atanya, m em peringatkan dia akan jurang yang terbentang di depannya. Hubungan percintaan selintas semacam itu kelak akan merugikan usahanya. Ia m inta dengan sangat supaya Léon m em utuskan hubungan itu, dan jika ia tidak mau membuat pengorbanan itu dem i kepentingannya sendiri, setidak-tidaknya hendaknya dilakukannya untuk dia, Dubocage! Pada akhirnya Léon bersum pah tidak akan berjum pa lagi dengan Em m a. Dan ia m enyesali dirinya tidak m enepati janjinya, karena m em ikirkan segala kerepotan dan ceram ah yang m asih dapat dialam inya gara-gara perem puan itu. Belum lagi ejekan dari tem an-tem annya yang dilontarkan pada pagi hari di sekitar tungku. Lagi pula, ia sebentar lagi akan m enjadi kerani kepala. Sudah tiba saatnya untuk bersungguh-sungguh. Karena itu ia berhenti main seruling, meninggalkan perasaan gembira ria khayalan, sebab setiap borjuis, dalam kobaran kerem ajaannya, pernah m enganggap dirinya m eskipun sehari, sesaat saja, m am pu m em punyai nafsu besar dan rencana-rencana yang tinggi. Orang
Nyonya Bovary 401 jangak yang paling alim pun pernah m em im pikan m aharani. Setiap notaris m enyim pan sisa-sisa kepenyairan dalam dirinya. Léon sekarang bosan apabila Em m a tiba-tiba tersedu di dadanya. Dan hatinya, seperti orang yang hanya dapat tahan mendengar musik sampai titik tertentu, tertidur tak acuh m endengar keriuhan suatu cinta yang kelem butan-kelem butannya sudah tidak terasa lagi olehnya. Mereka sudah terlalu mengenal satu sama lain sehingga tak lagi tercengang oleh pem ilikan yang m em buat kegem biraan atas kemilikan itu menjadi seratus kali ganda. Emma sudah m uak dengan Léon seperti juga Léon sudah lelah dengan Em m a. Dalam zina Em m a m enem ukan kem bali sem ua kebinalan hidup bersuami istri. Tetapi bagaimana melepaskan diri? Dan biar bagaimanapun terhina perasaannya karena rendahnya kebahagiaan sem acam itu, Emma masih betah karena sudah menjadi kebiasaan atau karena jiwanya sudah rusak. Dan setiap hari ia m akin nekat sehingga kebahagiaan itu kering kerontang karena dikehendakinya terlalu banyak. Ia m enyalahkan Léon sebagai sebab harapan-harapannya dikecewakan, seakan-akan Léon telah m engkhianatinya. Em m a bahkan m engharapkan terjadinya suatu bencana yang mengakibatkan perpisahan mereka, sebab dia sendiri tidak cukup besar nyalinya untuk m engam bil keputusan dem ikian. Meskipun begitu, ia masih terus juga menulis surat-surat cinta kepada Léon karena adanya gagasan bahwa perem puan selalu harus m enulisi kekasihnya. Tetapi sewaktu ia m enulis, yang terbayang di m atanya adalah laki-laki lain, bayangan yang tim bul dari kenang-kenangannya yang paling bergairah, dari bacaannya yang paling elok, dari ketam akannya yang paling hebat. Dan pada akhirnya bayangan- bayangan itu m enjadi begitu wajar dan m ungkin diraih, hingga Em m a berdebar-debar kagum , m eskipun m enggam barkannya
402 Gustave Flaubert dengan jelas ia tidak dapat, lantaran bagaikan seorang dewa, lelaki itu hilang terbenam karena terlalu banyak lam bang- lam bangnya. Ia m enghuni tanah m em biru dengan tangga- tangga dari tali sutra bergelantungan dari balkon-balkon, dalam em busan wangi kem bang, di terang cahaya bulan. Em m a m erasa ia ada di dekatnya, sebentar lagi datang dan akan m elarikannya dengan sam butan peluk cium . Kem udian sem angat Em m a jatuh, patah, karena lonjakan-lonjakan cintanya yang sam ar itu lebih m elelahkannya daripada segala ulah yang tidak senonoh. Kini Em m a m erasa pegal yan g tak habis-habisn ya dan yang m enyeluruh. Acap kali ia m enerim a surat panggilan dari pengadilan, surat berm eterai yang ham pir tak diindahkannya. Ia sebenarnya ingin tidak hidup lagi, atau tidur terus. Pada pertengahan Masa Prapaskah, Emma tidak pulang ke Yonville. Malam itu ia ke pesta dansa berkedok. Ia m enggunakan celana panjang dari beledu dan kaus kaki panjang warna merah, ram but palsu yang diikat dengan pita di kuduk dan tanglung di atas telinga. Ia berjingrak-jingkrak semalam suntuk, diiringi suara trom bon-trom bon yang m enggila. Orang m em bentuk lingkaran di sekitar dia. Dan esok paginya ia berada di beranda gedung teater di antara lima-enam kedok, gadis-gadis buruh pengangkut dan kelasi-kelasi, kawan-kawan Léon yang sedang m em bicarakan mau mencari makan. Kafe-kafe di sekitar itu penuh sesak. Tiba-tiba m ereka m elihat di daerah pelabuhan sebuah restoran yang sangat tak m em adai, tetapi untuk m ereka pem iliknya m em buka sebuah kam ar yang kecil pada tingkat keempat. Kaum pria berbisik-bisik di pojok, pasti sedang berunding m engenai ongkosnya. Di situ ada orang kerani, dua serdadu kavaleri ringan, dan seorang pelayan toko. Sungguh tak keruan pergaulan ini bagi Em m a! Adapun kaum perem puannya, Em m a segera m engetahui dari suara m ereka bahwa ham pir sem uanya
Nyonya Bovary 403 pasti dari lapisan yang paling rendah. Lalu Em m a jadi takut. Kursinya didorongnya ke belakang, lalu m atanya m em andang ke bawah. Yang lain m ulai m akan sem ua. Em m a tidak m akan. Dahinya terasa panas, kelopak m atanya pedih dan kulitnya sedingin es. Di dalam kepalanya terasa lantai papan m asih terus m em bal- m em bal kena deburan beriram a dari beribu kaki yang berdansa. Lalu bau m inum an punch bersam a asap serutu m em buatnya pusing. Ia pingsan. Dan diangkut ke dekat jendela. Fajar m ulai m enyingsing, dan seusap besar warna m erah ungu m elebar di langit pucat ke arah. Bukit-bukit Sainte-Cathérine. Sungai yang pucat kelabu m engerut tertiup angin. Tak ada orang di jem batan-jem batan. Lam pu-lam pu jalanan telah padam . Em m a sium an kem bali, lalu tim bul pikirannya pada Berthe yang tidur jauh di sana, di dalam kam ar pengasuhnya. Ada pedati lewat penuh dengan lempengan besi panjang, melontarkan suara getaran baja yang m em ekakkan telinga ke tem bok rum ah-rum ah. Ia mendadak keluar dengan diam-diam, melepaskan kostum nya, berkata kepada Léon bahwa dia harus pulang, dan akhirnya tinggal seorang diri di Hotel de Boulogne. Segala sesuatu, pun dirinya sendiri, sudah tidak sanggup lagi ia terim a dengan sabar. Kalau bisa, ia ingin lepas seperti burung dan terbang mencari keremajaan baru di salah satu tempat, jauh sekali, di keluasan tanpa noda. Em m a keluar, m enyeberangi bulevar, lapangan besar kota Caux, dan daerah pinggiran kota, sam pai sebuah jalanan terbuka yang letaknya lebih tinggi dari tam an-tam an. J alannya cepat, udara luar m enenangkannya. Dan sedikit dem i sedikit bayangan- bayangan orang banyak tadi; kedok-kedok, tarian quadrille, lampu-lampu rom by ong, makan malam tadi, perempuan- perem puan itu, sem uanya hilang seperti kabut yang tersapu bersih. Lalu sekem balin ya di pen gin apan Croix-Rouge, ia
404 Gustave Flaubert m enghem paskan diri ke atas tem pat tidur, di dalam kam ar yang kecil di tingkat kedua, yang ada gam bar-gam bar Menara Nesle. Pukul em pat sore Hivert m em bangunkannya. Waktu ia sam pai di rum ah, Félicité m enunjukkan kepadanya sehelai kertas kelabu di belakang jam. Emma membaca, “Berdasarkan salinan, sebagai pelaksanaan dari keputusan....” Keputusan apa? Hari kem arin lusa m em ang disam paikan kepadanya surat lain yang tak diketahui isinya. Maka tertegunlah ia m em baca kata-kata berikut: “Perintah atas nam a raja, undang- undang dan peradilan, bagi Nyonya Bovary....” Lalu dilewatkannya beberapa baris, dan dilihatnya, “Dalam jangka waktu dua puluh em pat jam , tidak lebih.” Apa artinya? “Mem bayar jum lah total sebanyak delapan ribu franc.” Malahan ada lagi lebih ke bawah, “Ia akan diharuskan m elakukannya m enurut hukum , dan terutam a dengan jalan penyitaan atas perabot rum ah tangga dan harta bendanya.” Apa harus diperbuatnya? Dalam waktu dua puluh jam , besok pagi! Lheureux, pikirnya, pasti hendak m enakutinya sekali lagi. Sebab seketika ia terka segala ulahnya, m aksud segala kesediaannya. Yang m enenangkannya ialah jum lah yang berlebihan itu. Akan tetapi, karena ia terus m em beli, tidak m em bayar, selalu meminjam, menandatangani surat-surat promes, lalu m em perbarui surat-surat itu yang jum lah uangnya m engem bang pada setiap tahap baru, pada akhirnya ia telah m enyediakan bagi Tuan Lheureux sejum lah m odal yang dengan tidak sabar ditunggu laki-laki itu untuk keperluan spekulasi-spekulasinya. Em m a m uncul di tem pat Lheureux dengan sikap santai. “Anda tahu apa yang saya alam i? Pasti ada yang m au b e r ke la ka r !” “Oh, bukan.” “Bagaim ana bukan?”
Nyonya Bovary 405 Lheureux m em balik dengan lam ban, lalu berkata sam bil bersedekap. “Nyonya m anis, apakah Anda kira saya sam pai dunia akhirat m au m en jadi leveran sir dan ban kir An da den gan prodeo? Saya, kan, harus juga m endapat kem bali uang yang sudah saya keluarkan, kita harus adil!” Em m a m em bantah m engenai utangnya. “Ah, apa boleh buat! Toh, sudah diakui oleh pengadilan! Ada keputusannya! Anda sudah diberi tahu! Lagi pula bukan saya biangnya, tapi Vinçart.” “Tidakkah Anda dapat...?” “Oh, sam a sekali tidak.” “Tetapi... bagaim anapun... m ari kita bicarakan.” Lalu Em m a bicara asal bicara. Ia tidak tahu apa-apa... dia kaget benar.... “Salah siapa?” kata Lheureux sam bil m em bungkuk horm at dengan m aksud m engejek. “Ketika saya, saya bekerja setengah m ati, Anda bersenang-senang.” “Ah, jangan m enceram ahi!” “Tapi, kan, tak pernah m erugikan,” tukas Lheureux. Em m a m enjadi takut, dan Em m a m em ohon kepadanya dengan sangat. Ia bahkan sam pai m enekankan tangannya yang putih indah dan panjang pada lutut si pedagang. “J angan m engganggu saya! Bisa-bisa Anda disangka m au m erayu saya!” “Anda jahat!” seru Em m a. “Aduh, jangan begitu!” kata Lheureux lagi sam bil tertawa. “Akan saya beritakan siapa Tuan. Akan saya katakan kepada suam i saya....” “Kalau begitu, kepada suam i Anda akan saya perlihatkan juga s e s u a t u !”
406 Gustave Flaubert Lalu dari lem ari besinya Lheureux m engeluarkan tanda terim a seribu delapan ratus franc yang dahulu diberikan Em m a kepadanya ketika Vinçart m em bayar dulu diskontonya. “Anda kira,” tam bahnya, “ia tidak akan m engerti bahwa Anda telah m encuri dari dia? Kasihan orang yang baik itu!” Em m a terhenyak, ia m erasa lebih terpukul daripada kalau dipukul dengan gada. Lheureux m ondar-m andir antara jendela dan m eja tulis sam bil berkata berulang-ulang, “Ah, akan saya perlihatkan kepadanya... akan saya perlihatkan juga...!” Lalu ia m endekati Em m a, dan katanya dengan suara lem but: “Saya tahu, ini tidak enak. Tetapi bagaim anapun, belum pernah ada yang m ati karena itu, dan karena m em ang itulah satu-satunya cara bagi Anda untuk m engem balikan uang saya....” “Tetapi dari m ana bisa saya dapatkan uang itu?” kata Em m a sam bil m erem as-rem as lengannya sendiri. “Alah! Kan tem an-tem an Anda banyak!” Dan Lheureux m enatapnya dengan begitu tajam dan m enyeram kan hingga Em m a m enggigil sam pai ke lubuk hatinya. “Saya berjanji,” kata Em m a, “akan m enandatangani....” “Saya sudah bosan dengan tanda tangan Anda!” “Saya akan m enjual lagi....” “Bagaim an a m un gkin !” jawabn ya sam bil m en gan gkat bahunya. “Anda sudah tidak m em punyai apa-apa.” Lalu ia berteriak dari jendela kecil di atas tokonya, “Annette! J angan lupa ketiga surat untuk nomor empat belas.” Muncul si pelayan, Em m a m engerti, dan bertanya berapa yang diperlukan untuk m enghentikan sem ua penuntutan. “Sudah terlam bat!” “Tetapi, bagaim ana kalau saya dapat m em berikan beberapa ribu franc, seperem pat dari jum lahnya, sepertiga, ham pir selu r u h n ya ?” “Ah, tidak usah, tak ada gunanya!”
Nyonya Bovary 407 Lalu dengan pelan Lheureux m endorong Em m a ke arah t a n gga . “Saya m ohon dengan sangat, Tuan Lheureux, beberapa hari saja lagi!” Ia tersedu. “Nah, sekarang m enangis!” “Anda m em buat saya putus asa!” “Peduli apa!” kata Lheureux sam bil m enutup pintu.
Bab VII ESOK HARINYA Em m a m enam pilkan sikap yang tabah tak peduli, ketika Maître Hareng, juru sita, bersama dua saksi datang ke rumahnya untuk menyusun berita acara penyitaan. Mereka m ulai dengan kam ar kerja Bovary. Dan kepala tengkoraknya tidak m ereka daftarkan karena dianggap suatu “alat peraga profesinya”. Tetapi di dapur, m ereka m enghitung piring-piring, panci, kursi, pelita, dan di kamar tidur Emma semua benda pajangan di atas rak. Mereka memeriksa gaun- gaunnya, kain-kain keperluan rum ah tangga, kam ar pakaiannya. Dan kehidupannya sam pai ke relung-relungnya yang paling tersem bunyi, bagaikan m ayat yang diautopsi, terbujur di depan mata ketiga orang lelaki itu. Maître Hareng dengan jas hitam sem pit yang dikancing rapat, berdasi putih, dan dengan pantalon yang tali penahannya dikencangkan di kaki, sekali-sekali m engulangi kata-katanya, “Perm isi, Nyonya, perm isi....”
Nyonya Bovary 409 Kadang-kadang ia terpekik, “Aduh, m anisnya! Elok benar....” Lalu ia m enulis lagi, dan kalam nya dicelupkannya ke dalam tem pat tinta dari tanduk yang dipegangnya dengan tangan kiri. Setelah selesai dengan kamar-kamar, mereka naik ke loteng. Di sana ada m eja tulis tinggi yang berisi surat-surat Rodolphe. Meja itu harus dibuka juga. “Ah, surat-surat!” kata Maître Hareng dengan senyum sopan tak m au m engganggu. “Tapi perm isi, Nyonya, saya harus m elihat apa kotak itu tidak ada apa-apanya lagi.” Lalu kertas-kertas itu dim iringkannya, dengan hati-hati, seakan-akan hendak mengeluarkan mata uang napoléon dari sela-selanya. Lalu Em m a m enjadi m arah waktu ia m elihat tangan gem uk dengan jari-jarinya yang m erah lem bek seperti keong itu m em egangi halam an-halam an yang dahulu dibacanya dengan hati berdebar-debar. Akhirnya m ereka pergi juga! Félicité m asuk rum ah lagi. Em m a tadi m enyuruh dia m enjaga jangan sam pai Bovary pulang. Dan dengan cepat m ereka m enyem bunyikan penjaga penyitaan di bawah loteng, yang bersum pah tidak akan beranjak dari sana. Charles sore itu m enurut perasaan Em m a kelihatan bersusah hati. Diam -diam Em m a m engawasinya dengan pandangan cem as, seolah-olah dalam kerinyut-kerinyut wajah Charles ia m elihat ada tuduhan. Lalu, waktu m atanya beralih ke perapian yang dipagari aling-aling penahan panas gaya Tionghoa, ke tirai-tirai yang lebar, ke kursi-kursi bertangan, ke segala benda pendeknya yang telah m engurangi kegetiran hidupnya, m aka tim bul sesal dalam hatinya, atau lebih tepat rasa kecewa yang am at sangat dan yang m erangsang nafsunya, bukannya m enghilangkannya. Charles m engorek-ngorek api dengan tenang, kedua kakinya ditopangkannya ke atas besi tem pat kayu bakar. Ada suatu ketika si penjaga, boleh jadi karena sudah bosan di dalam persem bunyiannya, bergerak m em buat bunyi sedikit.
410 Gustave Flaubert “Ada yang berjalan di atas?” kata Charles. “Ah, tidak!” jawab Em m a. “J endela loteng yang tidak ditutup kena angin.” Em m a berangkat ke Rouen esok harinya, hari Minggu, hendak m endatangi sem ua bankir yang ia kenal nam anya. Mereka sedang di luar kota atau dalam perjalanan jauh. Ia tidak putus asa. Dan kepada m ereka yang dapat ditem uinya, ia m inta uang, ia nyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa ia m em butuhkannya, bahwa ia akan m em bayarnya kem bali. Ada beberapa yang terus- terang m enertawakannya. Sem uanya m enolak. Pukul dua siang, ia bergegas m endatangi Léon, m engetuk pintunya. Tak ada yang m em bukanya. Akhirnya Léon m uncul juga. “Ada apa?” “Aku m engganggu?” “Tidak... tapi....” Lalu Léon m engaku, si pem ilik rum ah tidak suka ada tam u “wa n it a ”. “Aku perlu bicara,” kata Em m a lagi. Lalu Léon m eraih kuncinya. Em m a m enahannya. “Tidak! Di sana saja, di tem pat kita.” Lalu m ereka pergi ke kam ar m ereka di Hotel de Boulogne. Waktu tiba, Emma minum air segelas besar. Ia pucat sekali. Katanya kepada Léon, “Léon, kau harus m em bantu aku.” Lalu sam bil m enggoncang-goncangkan kedua tangan Léon yang dipegangnya kuat-kuat, tam bahnya, “Dengarkan, aku perlu delapan ribu franc!” “Kau gila!” “Belum !” Dan segera diceritakannya peristiwa penyitaan,dibeberkannya kesusahannya. Sebab Charles tidak tahu apa-apa, ibu m ertuanya
Nyonya Bovary 411 benci kepadanya, Tuan Rouault tidak bisa apa-apa. Tetapi Léon, Léon m esti bergerak untuk m encari uang yang harus, harus ada.... “Bagaim ana m aum u...?” “Kau tak punya nyali!” seru Em m a. Lalu Léon berkata dengan bodohnya, “Kesusahan itu kau lebih-lebihkan . Bisa saja den gan seribu écu oran gn ya m au bersabar.” Makin besar alasannya untuk m encoba m elakukan sesuatu. Tidak m ungkin tidak bisa ditem ukan tiga ribu franc. Lagi pula Léon dapat m em beri jam inan sebagai ganti Em m a. “Pergi sana! Coba saja! Harus! Ayo cepat! Usahakan, ya, usahakan! Aku akan senang padam u!” Léon keluar, kem bali sesudah satu jam , dan berkata de- ngan m uka yang sungguh-sungguh, “Sudah tiga orang yang kudatangi... sia-sia.” Lalu m ereka tinggal duduk berhadapan, m asing-m asing di ujung perapian, tanpa gerak tanpa bicara Emma mengangkat bahu, kakinya m enghentak-hentak. Léon m endengar ia bergum am , “Kalau aku, aku m enjadi kau, aku pasti bisa m enem ukannya!” “Di m ana, coba?” “Di kantorm u!” Dan Em m a m enatapnya. Kenekatan yang dahsyat m engerikan terpancar dari biji m atanya yang berapi-api. Dan kelopak m atanya saling m endekat dengan cara yang penuh berahi dan penuh desakan. Sedem ikian rupa hingga anak m uda itu m erasa dirinya m enjadi lem ah dihadapi dengan kem auan bisu perem puan yang m enyuruh ia berbuat jahat itu. Lalu ia m enjadi takut dan untuk m enghindari setiap penjelasan, ia m em ukul dahinya dan berseru, “Morel pasti pulang malam ini. Dan tidak akan menolak, kuharap.” (Morel seorang tem annya, anak pedagang yang kaya sekali). “Dan besok akan kuantar ke tem patm u,” tam bahnya.
412 Gustave Flaubert Sam butan Em m a akan harapan itu kelihatannya tidak sebesar yang dibayangkan Léon. Apakah ia curiga Léon bohong? Léon berkata lagi dengan m uka m em erah, “Tapi kalau pukul tiga kau belum m elihat aku, jangan kau tunggu lagi, sayang. Sekarang aku harus pergi, m aaf. Sudah, ya!” Ia menjabat tangan Emma, tapi tangan itu terasa mati. Em m a sudah tidak m em punyai kekuatan apa-apa lagi untuk merasakan sesuatu. Pukul empat berdentang. Emma pun lalu bangkit hendak kem bali ke Yonville, seperti m esin m engikuti dorongan kebiasaan la m a . Hari cerah. Udaranya seperti pada hari-hari bulan Maret tertentu, terang dan tajam , dengan m atahari yang bersinar di langit yang serba putih. Beberapa penduduk Rouen, berpakaian hari Minggu, mondar-mandir dengan muka berbahagia. Emma tiba di pelataran lapangan gereja. Orang pada keluar setelah kebaktian senja. Orang banyak itu m engalir dari ketiga pintu besar, seperti arus sungai dari ketiga lengkung jembatan. Dan di tengah-tengah, lebih teguh dari batu karang, tegaklah penjaga gereja. Maka Emma ingat dulu itu, waktu ia dengan tak sabar dan penuh harapan masuk ke bawah lengkungan besar lorong tengah ini, yang m em bentang m asuk ke dalam di depannya, tapi tak sedalam cintanya. Lalu ia terus berjalan, tersedu di bawah cadarnya, dengan pikiran tak keruan, terhuyung-huyung, ham pir p in gsa n . “Awas!” teriak seorang dari salah satu pintu pagar yang dibuka. Emma berhenti, memberi jalan kepada seekor kuda hitam. yang m engais-ngais jalan di antara palang kereta tilbury yang dikemudikan oleh seorang pria berpakaian kulit bulu musang
Nyonya Bovary 413 kecil. Siapa gerangan? Dia kenal orang itu.... Kereta itu m eluncur m en gh ila n g. Tetapi pria itu, kan, Vicom te dulu itu! Emma membalik. J alan itu sudah lengang. Ia begitu murung, begitu sendu hingga ia bersandar pada tem bok supaya tidak jatuh. Lalu pikirnya dia tadi salah lihat. Bagaim anapun, ia tidak tahu benar. Segala sesuatu di dalam dirinya sendiri dan di luarnya meninggalkan dia. Ia merasa kehilangan pegangan, terombang- ambing dalam tubir-tubir tak terperikan. Dan ia bisa dikatakan agak gem bira waktu setibanya di Croix-Rouge, ia m elihat Hom ais yang baik itu m engawasi orang-orang yang m enaikkan peti besar penuh persediaan untuk toko obatnya ke atas kereta Hirondelle. Dalam tangannya ia m em egang enam buah roti chem inot yang dibungkus dengan syal, untuk istrinya. Nyonya Hom ais suka sekali roti-roti kecil berat dan berbentuk ubel-ubel itu, yang dim akan pada m asa Prapaskah dengan m entega asin; contoh terakhir dari m akanan Gotik yang m ungkin berm ula dari m asa Perang Salib, dan yang dahulu m engisi perut bangsa Norm an, ia bertubuh kekar yang m em bayangkan seolah-olah di atas m eja itu, dalam cahaya obor-obor kuning, di antara kan-kan berisi m inum an anggur m anis yang dibum bui dengan rem pah- rem pah dan sosis-sosis yang besar-besar, ada kepala-kepala bangsa Sarasena yang siap ditelan. Istri apoteker m engerkah roti itu seperti mereka dahulu, dengan berani, meskipun sangat buruk keadaan giginya. Setiap kali Tuan Hom ais pergi ke kota, ia tidak lupa m em bawa oleh-oleh itu yang selalu dibelinya di tem pat tukang jahit J alan Massacre. “Senang sekali berjum pa dengan Anda!” katanya sam bil menjulurkan tangan untuk membantu Emma naik ke dalam H ir on d elle.
414 Gustave Flaubert Lalu roti-roti chem inot itu digantungkannya pada tali-tali jaringan bagasi, dan ia tinggal tak bertopi sambil bersidekap dengan sikap perenung gaya Napoléon. Tetapi ketika si buta seperti lazim nya m uncul di bawah tan jakan , H om ais berseru, “Saya tidak m en gerti m en gapa pemerintah masih membiarkan ulah semacam itu! Orang-orang m alang seperti itu sebenarnya harus dikurung dan dipaksa melakukan salah suatu pekerjaan. Sumpah mati, kemajuan beringsut seperti kura-kura. Kita m asih m erencah di tengah- tengah kebiadaban!” Si buta m engulurkan topinya, yang bergoyang-goyang di m uka pintu, bagaikan sebagian perm adani tem bok yang berkelepak-kelepak lepas dari pakunya. “Lihat itu,” kata apoteker, “penyakit kelenjar!” Dan m eskipun ia kenal orang yang m engibakan itu, ia pura- pura baru m elihatnya untuk kali pertam a, dan m enggum am kan kata-kata seperti kornea, kornea keruh, sklerosis, facies, lalu bertanya kepadanya dengan nada kebapak-bapakan. “Sudah lam a kau m engindap penyakit yang m engerikan itu, Bung? Daripada m abuk-m abuk di tem pat m inum , lebih baik kau menjalankan diet.” Ia m enyuruhnya m inum anggur yang baik, bir yang baik, panggang daging yang baik. Si buta m enyanyi terus. Kelihatannya m em ang seperti kurang waras. Akhirnya H om ais m em buka dom petnya. “Ini satu sou, kem bali dua liard. Dan jangan lupa anjuran saya, kau pasti akan m erasa lebih enak.” H ivert terang-terangan m enyatakan keraguannya atas kem anjuran anjuran itu. Tetapi apoteker m enyatakan dengan tegas bahwa dia sendiri dapat m enyem buhkannya dengan salep pencegah radang buatannya sendiri, lalu ia m em beri alam atnya. “Tuan Hom ais, di dekat pasar besar, cukup dikenal orang.”
Nyonya Bovary 415 “Nah, sebagai im balan ,” kata H ivert, “kau kasih lihat t on t on an m u .” Si buta duduk berjongkok, dan dengan kepala menengadah, dengan m atanya yang kehijau-hijauan dipelototkan dan lidahnya dijulurkan, ia m engusap-usap perutnya dengan kedua tangannya sambil melontarkan semacam lolongan redup seperti anjing kelaparan. Emma muak, lalu melemparkan mata uang lima franc kepadanya dari atas bahunya. Seluruh m iliknya yang penghabisan. Rasa-rasanya indah m em buangnya dengan cara ini. Kereta m ereka sudah jalan lagi waktu tiba-tiba Tuan Hom ais m elongokkan badan dari jendela dan berteriak, “J angan m akan makanan dari tepung atau dari susu! Tutup badan dengan pakaian wol dan asapi bagian-bagian yang sakit dengan asap genièvre! Melihat benda-benda yang dikenalnya lewat di depan m atanya, sedikit dem i sedikit m engalihkan perhatian Em m a dari penderitaannya sekarang. Rasa lelah yang tak tertahankan m elandanya, dan ia sam pai di rum ah dengan badan yang tak m erasa apa-apa lagi, sudah habis ketabahannya, ham pir terlena. Biar terjadilah apa y ang harus terjadi! batinnya. Lalu, siapa tahu? Barangkali dengan seketika akan tim bul suatu peristiw a y ang luar biasa, m engapa tidak? Lheureux sendiri dapat saja m ati. Pukul sembilan pagi ia terbangun oleh suara-suara di lapangan besar. Di dekat pasar orang berkerumun untuk membaca surat pengum um an besar yang ditem pelkan pada salah satu pilarnya. Dan ia m elihat J ustin yang naik ke atas patok jalan dan m erobek- robek surat itu. Tetapi pada saat itu polisi pedesaan mencengkam kuduknya. Tuan Hom ais keluar dari toko obat, dan Nyonya Lefrançois, di tengah-tengah kerum unan orang, kelihatannya seperti sedang berpidato. “Nyon ya! Nyon ya!” seru Félicité waktu m asuk rum ah. “Ket er la lu a n !”
416 Gustave Flaubert Dan gadis malang itu dengan terharu mengulurkan sehelai kertas kuning yang baru saja disobeknya dari pintu. Em m a m em baca dalam sekejap m ata bahwa seluruh isi rum ahnya akan dijual. Lalu m ereka saling m em andang tanpa bicara. Mereka, si pelayan dan m ajikannya, tidak m em punyai rahasia di antara m ereka. Akhirnya Félicité m engeluh, “Kalau saya m enjadi Nyonya, saya ke Tuan Guillaum in.” “Apakah begitu m enurutm u...?” Dan pertanyaan itu artinya, “Kau yang m engenal rum ah itu m elalui pelayannya, apakah m ajikannya pernah berbicara tentang saya?” “Ya, Nyonya, ke sanalah. Itu tindakan yang tepat.” Em m a berpakaian. Ia m engenakan gaunnya yang hitam dengan kerudungnya yang berbutir-butir batu agat hitam . Dan supaya ia tidak ketahuan orang (di lapangan besar selalu banyak orang), ia mengambil jalan setapak di pinggir sungai, di luar kota. Ia kehabisan napas ketika tiba di depan pintu gerbang notaris. Langit m endung, dan salju turun sedikit. Mendengar bunyi bel, Théodore dengan rom pi m erah muncul di beranda depan. Ia datang membukakan pintu dengan keram ahan yang ham pir akrab, seakan-akan m enyam but seorang kenalan, lalu m em persilakannya m asuk ruang m akan. Pendiangan besar dari porselen mendengung di bawah sebuah kaktus yang m em enuhi ceruk, dan di dalam bangkai- bangkai kayu hitam di depan pelapis tem bok dari kertas kayu chêne, tergantung “Esm eralda” lukisan Steuben dan “Putiphar” karya Schopin. Meja yang sudah ditaruhi hidangan, dua kom por pemanas dari perak, tombol pintu-pintu dari kristal, lantai papan dan perabotnya, sem uanya m engkilap karena dibersihkan dengan cermat, ala orang Inggris. Ubin-ubin lantai di tiap-tiap sudut dihiasi dengan kaca-kaca berwarna.
Nyonya Bovary 417 Ini baru ruang m akan, pikir Emma, seperti y ang ingin k u p u n y a i. Notaris m asuk. Dengan lengan kiri ia m enekan jas kam arnya yang berpola palem pada tubuhnya, sedangkan dengan tangan lainnya ia cepat-cepat m engangkat dan m em akai kem bali baretnya dari beledu cokelat yang ditelengkannya dengan genit di sisi kanan kepalanya, tem pat jatuhnya ujung dari tiga ikal ram but pirang yang diam bil dari bagian belakang dan yang m elingkari kepalanya yang botak. Setelah Emma ia persilakan duduk, ia duduk pula untuk m akan, sam bil m inta m aaf berkali-kali karena kelakuannya yang kurang sopan itu. “Tuan,” kata Em m a, “saya ingin sekali m em ohon....” “Mem ohon apa, Nyonya? Saya dengarkan.” Em m a m ulai m enerangkan kedudukannya. Maître Guillaumin sudah kenal dia, karena diam-diam ia berhubungan dengan pedagang kain-kainan, tempat ia selalu m endapatkan m odal untuk pinjam an-pinjam an berhipotek yang dim inta orang supaya diurusnya. J adi ia mengetahui (bahkan lebih baik daripada Emma sendiri) tentang riwayat panjang surat-surat prom esnya, yang pada m ulanya hanya sedikit sekali jum lahnya, dengan nam a-nam a yang berbeda-beda untuk endosem ennya, berjangka panjang dan senantiasa diperbarui, sampai saat si pedagang mengumpulkan sem ua prom es yang telah diajukan dan m enugaskan tem annya Vinçart untuk m enjalankan atas nam anya sendiri penuntutan yang harus dilakukan di m uka hakim , karena ia tidak m au dianggap harim au oleh warga sekotanya. Em m a m encam puri ceritanya dengan penyesalan-penyesalan ke alam at Lheureux, penyesalan yang sekali-sekali dijawab oleh notaris dengan kata yang tak berarti. Ia m akan daging iganya dan m inum tehnya dengan m em benam kan dagunya ke dasinya yang
418 Gustave Flaubert berwarna biru langit, yang disem ati dengan dua peniti berlian yang dihubungkan oleh rantai em as. Lalu ia tersenyum ganjil, m anis dan tidak jelas m aksudnya.... Tetapi waktu ia m elihat kaki Em m a basah, ia berkata, “Mendekatlah ke pendiangan... lebih tinggi... tem pelkan saja kaki Anda kepada porselen itu. Emma takut akan mengotori porselen itu. Notaris dengan nada sopan m enjawab, “Tak ada yang m enjadi kotor oleh barang yang indah.” Lalu Em m a m encoba m enggerakkan hatinya, dan perasaan hatinya sendiri m ulai m eluap sam pai-sam pai ia m enceritakan kesem pitan rum ah tangganya, perasaannya yang tercabik-cabik, keperluan-keperluannya. Guillaum in m engerti sem ua itu. Seorang wanita yang perlente! Dan tanpa berhenti makan, ia membalik menghadap penuh ke Emma sampai-sampai lututnya m enyentuh sepatu bot Em m a yang solnya m elengkung menempel pada pendiangan dan mengasap. Tetapi ketika Em m a m inta seribu écu kepadanya, Guillaum in m erapatkan bibirnya, lalu m enyatakan bahwa ia sangat m enyesal tidak dahulu-dahulu m engelola kekayaan Em m a, sebab ada seratus cara yang sangat m udah, bagi seorang wanita sekalipun, untuk m em anfaatkan uangnya. Entah di tam bang gam but Grum esnil, entah di tanah-tanah Havre, dapat saja orang m encoba melakukan spekulasi-spekulasi hebat dengan kemungkinan besar. Lalu ia m em biarkan Em m a diam uk sesal karena m em ikirkan jum lah yang bukan alang kepalang besarnya yang sebenarnya pasti bisa diperolehnya. “Apa sebabnya,” kata Guillaum in, “Anda dulu tidak datang kepada saya?” “Entahlah,” kata Em m a. “Men gapa kiran ya?J adi An da begitu takut pada saya? Padahal seben arn ya sayalah yan g pan tas m en geluh! Kita ham pir tidak kenal satu sam a lain! Padahal saya sangat bersedia
Nyonya Bovary 419 m en gham bakan diri kepada An da. Mudah-m udahan An da sekarang tidak m eragukannya, lagi.” Ia m engulurkan tangannya, m em egang tangan Em m a, m encium tangan itu dengan kecupan rakus, lalu m enahannya di atas lututnya. Lalu ia m ain-m ainkan jari-jarinya dengan lem but, dibarengi dengan seribu satu kata bujuk rayu. Suaranya yang tak ada yang m enarik itu m em bisik-bisik seperti bunyi air di selokan. Sepercik api m elecat dari biji m atanya m elalui kacam atanya yang m engkilap, dan kedua tangannya m asuk ke dalam lengan baju Em m a hendak m erabai lengannya. Em m a m erasa em busan napas yang terengah-engah m enyentuh pipinya. Ia m erasa sangat terganggu oleh laki-laki itu. Em m a berdiri den gan cepat dan berkata, “Tuan , saya m enunggu!” “Menunggu apa?” kata notaris yang serta-m erta m enjadi pucat sekali. “Uang itu.” “Te t a p i....” Lalu ia m enyerah kepada nafsu berahinya yang terlalu kuat, “Yah baik!” Sambil berlutut ia merangkak ke tempat Emma, tanpa m engindahkan jas kam arnya. “Saya m inta dengan sangat, jangan pergi! Saya cinta pada An d a !” Dia meraih pinggang Emma. Warna m erah m em ancar cepat ke wajah Nyonya Bovary. Ia m undur, rupanya m enyeram kan waktu ia berseru, “Tuan tak tahu m alu, hendak m em akai kesem patan saya sedang susah ini! Saya layak dikasihani, tapi saya bukannya bisa dibeli!” Lalu keluarlah dia! Notaris tercengang-cengang, m atanya m enatap kedua sandal bordirannya yang bagus itu. Suatu pem berian tanda cinta.
420 Gustave Flaubert Pem andangan itu akhirnya m enghiburnya. Lagi pula, pikirnya, pertualangan cinta sem acam itu bakal terlalu jauh lanjutnya bagi dia. Sialan! Bajingan... m enghina! kata Emma dalam batin, waktu ia lari dengan langkah gugup di bawah pohon-pohon trem ble yang ada di sepanjang jalan. Kekecewaannya sebagai akibat kegagalannya m em buat ia lebih m arah karena rasa kesusilaannya dihina. Rupa-rupanya nasib dengan nekat m engejarnya terus, dan ia sem akin bangga jadinya. Belum pernah sebesar ini rasa kagum nya akan dirinya sendiri dan serendah ini penilaiannya tentang orang-orang lain. Ada rasa berontak yang m erangsangnya. Ingin ia memukul kaum lelaki, meludahi muka mereka, meremuk m ereka sem uanya. Ia m asih terus berjalan cepat, pucat, bergetar, marah sekali, mencari-cari dengan mata sebak ke segala pelosok cakrawala yang kosong itu dan seolah-olah dengan nikm at m engecap rasa benci yang m enyesakkan dadanya. Waktu ia m elihat rum ahnya, badannya m erasa berat tiba- tiba. Ia tidak dapat m elangkah. Tetapi ia harus. Lagi pula ke m ana ia bisa lari? Félicité m enantikannya di am bang pintu. “Bagaim ana?” “Tidak!” kata Em m a. Dan seperem pat jam lam anya m ereka berdua m em pertim bangkan berbagai penduduk Yonville yang m ungkin m au m enolongnya. Tetapi setiap kali Félicité m enyebut nam a salah seorang, Em m a m enjawab, “Mana m ungkin! Mereka tidak bakal m au!” “Dan sebentar lagi Tuan akan pulang!” “Saya juga tahu.... Tinggalkan saya sendiri dulu.” Apa saja sudah dicoban ya. Tak ada lagi yan g dapat dikerjakannya sekarang. Dan apabila Charles m uncul nanti, Em m a akan berkata, “Mundurlah. Perm adani yang kuinjak bukan lagi kita punya. Di rum ahm u, tak ada satu perabot, satu pucuk
Nyonya Bovary 421 jarum , satu helai jeram i pun kepunyaanm u. Dan akulah yang telah m enyebabkan keruntuhanm u ini. Kasihan sekali kau!” Lalu akan terdengar sedu keras, dan Charles akan m enangis banyak-banyak. Dan akhirnya setelah habis kagetnya, ia akan m em aafkannya. “Ya,” gum am Em m a sam bil m engeratkan giginya, “ia akan m em aafkan aku, dia yang bakal m enganggap sejuta belum m em adai bagiku kalau aku m au m em aafkan dia karena dia telah m engenalku! Tidak! Tidak!” Pikiran akan keun ggulan Bovary atas dirin ya m em buat Em m a geregetan. Lagi pula, ia boleh saja m engaku ataupun tidak m engaku, nam un nanti, segera, besok, Bovary akan m engetahui juga bencana itu. J adi dia harus m enantikan adegan yang seram itu dan m enanggung beratnya kebesaran hatinya. Tebersit keinginan untuk kem bali ke tem pat Lheureux, apa gunanya? Untuk m enulisi ayahnya, sudah terlam bat. Dan boleh jadi sekarang ia m enyesal bahwa tadi ia tidak m enyerah saja kepada orang yang satu itu, waktu terdengar olehnya ketepak kuda di jalan. Bovary! Bovary yang m em buka palang pintu pagar, lebih pucat dari tem bok plesteran. Emma melesat menuruni tangga, lalu cepat melarikan diri m elalui lapangan um um . Dan istri walikota yang sedang bercakap-cakap dengan Lestiboudois di depan gereja, m elihatnya masuk rumah pegawai pajak. Ia bergegas-gegas m enceritakannya kepada Nyonya Caron. Kedua wanita itu naik ke loteng. Dan tersem bunyi di belakang jem uran yang tergantung pada galah-galah. Mereka m engam bil tem pat yang enak untuk m engawasi seluruh kam ar Binet. Binet seorang diri di kam ar lotengnya, sedang m eniru dengan bahan kayu suatu hiasan gading yang tak terperikan yang terdiri dari bentuk-bentuk sabit, bulatan-bulatan kosong yang isi-m engisi m enjadi keseluruhan yang lurus tegak seperti obelisk dan yang sam a sekali tak ada m anfaatnya. Dan Binet sedang m ulai dengan
422 Gustave Flaubert bagian yang penghabisan, sudah ham pir tercapai tujuannya! Dalam cahaya rem ang-rem ang bengkelnya, debu putih kekuning- kuningan m uncrat dari alatnya seperti percikan api dari bawah tapak besi kuda yang sedang m encongklang. Kedua roda itu berputar, m endengung. Binet tersenyum , dagunya turun rendah, cuping hidungnya kem bang. Pendeknya kelihatannya sedang hanyut dalam salah satu dari saat-saat penuh bahagia yang pasti hanya tim bul dalam kesibukan-kesibukan yang tidak berarti sekali, yang m enyenangkan pikiran dengan kesulitan-kesulitan yang gam pang, dan m em uaskannya dengan suatu perwujudan yang sekali tercapai tidak m em beri peluang lagi untuk berm im pi. “Nah, itu dia!” kata Nyonya Tuvache. Tetapi karena bisingnya suara pelarikan itu, tak m ungkinlah m ereka m endengar apa yang dikatakan Em m a. Pada akhirnya kedua wanita itu rasa-rasanya telah m endengar kata “franc”, dan Nyonya Tuvache berbisik pelan sekali. “Dia m em oh on supaya pem bayaran pajakn ya bisa d it a n ggu h ka n .” “Rupa-rupanya!” kata yang lain. Mereka melihat Emma mondar-mandir sambil memeriksa pada tembok-tembok gelang-gelang serbet tempat-tempat lilin, bola-bola ujung sandaran tangga, sedangkan Binet m engelus-elus jenggotnya dengan puas. “Baran gkali dia datan g un tuk m em esan sesuatu?” kata Nyonya Tuvache. “Tetapi Bin et, kan , tidak m en jual apa-apa!” san ggah t et a n gga n ya . Si pem ungut pajak kelihatannya m endengarkan Em m a sam bil m em belalakkan m atanya seakan-akan tak m engerti. Em m a terus bicara dengan cara yang lem but, m em ohon-m ohon. Em m a m endekat, dadanya terengah-engah. Mereka tidak bicara lagi.
Nyonya Bovary 423 “Apakah dia m encoba m erayu laki-laki itu?” kata Nyonya Tu va ch e. Binet m erah sam pai ke telinganya. Em m a m em egang kedua t a n ga n n ya . “Aduh! Keterlaluan!” Dan sudah pasti Em m a m engem ukakan sesuatu yang m engerikan, karena si pem ungut pajak padahal orangnya pem berani, pernah bertem pur di Bautzen dan Lutzen, ikut operasi militer di Prancis, bahkan diusulkan untuk mendapat bintang jasa tiba-tiba surut jauh ke belakang seakan-akan melihat ular dan ia berteriak, “Nyonya! Masa, Anda m em ikirkan hal sem acam itu?” “Perem puan -perem puan seperti dia harus diajar!” kata Nyonya Tuvache. “Di m ana dia?” tanya Nyonya Caron. Sebab waktu terlontar kata-kata tadi, Emma telah menghilang. Lalu m ereka m elihatnya m enyusuri J alan Raya dan m em belok ke kanan seakan-akan hendak pergi ke kuburan. Maka mereka dengan asyiknya m elancarkan segala m acam kem ungkinan. “Ibu Rollet,” katanya setibanya di tem pat si inang, “aku sesak napas.... Kendorkan tali korsetku.” Em m a terhenyak di atas tem pat tidur, ia tersedu. Ibu Rollet m enutupi badannya dengan sehelai rok dan tinggal tegak di dekatnya. Lalu, karena Em m a tidak m enjawab juga, perem puan yang baik itu m enjauh, m engam bil jenteranya, dan m ulai memintal benang lenan. “Aduh! Berhentilah,” gum am Em m a yang rasa-rasanya m asih m endengar suara pelarikan Binet. Apa y ang m enggangguny a? tanya si inang dalam hati. Buat apa dia datang kem ari? Emma telah lari ke tempat itu, terdorong oleh semacam rasa seram yang m enghalaunya dari rum ah.
424 Gustave Flaubert Terlentang, tanpa gerak dan dengan m ata nyalang, Em m a samar-samar dapat melihat benda-benda, meskipun seluruh perhatiannya sudah dikerahkannya dengan kegigihan yang tolol. Ia m enatap tem bok yang m engelupas, dua batang kayu bakar yang m asih berasap dengan ujungnya sentuh-m enyentuh, dan seekor lebah panjang yang berjalan di atas, di tentang kepalanya, di dalam celah balok lintang. Akhirnya ia m engum pulkan pikirannya. Ia ingat... suatu hari, bersam a Léon.... Oh! Sudah am at lam a hari itu.... Matahari mencorong di atas sungai dan bunga-bunga klem atis m ewangi.... Lalu, dihanyutkan oleh kenangannya seperti terbawa arus deras yang m enggelegak, ia segera teringat kem bali pada kejadian hari kemarin itu. “Pukul berapa sekarang?” tanyanya. Ibu Rollet keluar, m engangkat jari-jari tangan kanannya tegak ke arah langit yang paling cerah, lalu m asuk lagi dengan pelan sam bil berkata, “Ham pir pukul tiga.” “Ah, terim a kasih! Terim a kasih!” Karena sebentar lagi laki-laki itu akan datang! Sudah pasti! Ia pasti sudah m endapat uangnya. Tetapi m ungkin ia ke sana, tidak m enyangka Em m a di sini. Lalu Em m a m em erintahkan si inang untuk bergegas ke rum ah dan m engajaknya kem ari. “Ce p a t !” “Ya, Nyonya m anis, saya sudah jalan ini, saya sudah jalan!” Emma heran sekarang mengapa ia tidak pertama-tama m em ikirkan Léon. Kem arin Léon telah m em beri janji, ia tidak akan ingkar. Dan Em m a sudah m em bayangkan dirinya di tem pat Lheureux dan m em bentangkan di atas m eja tulisnya tiga lem baran uang. Lalu dia harus m ereka sebuah cerita untuk m enerangkan segala hal ihwal itu kepada Bovary! Cerita yang bagaim ana? Sementara itu, lama sekali si inang tidak kembali-kembali. Tetapi oleh karena tidak ada jam di pondok itu, Emma takut ia m ungkin m elebih-lebihkan lam anya waktu itu. Ia pun lalu berjalan
Nyonya Bovary 425 mengelilingi pekarangan, langkah demi langkah. Ia memasuki jalan setapak dekat pagar hidup, lalu cepat-cepat pulang kembali, dengan harapan perempuan itu pulang mengambil jalan lain. Pada akhirnya, karena sudah lelah m enunggu, karena dilanda segala pikiran waswas yang kem udian ditolaknya, karena tidak tahu lagi apakah ia sudah seabad di sana atau baru semenit, ia duduk di pojok, memejamkan mata, menutup telinga. Palang pintu pagar berderit. Em m a m elesat. Belum juga ia berkata apa-apa, Ibu Rollet sudah bicara, “Tak ada siapa-siapa di rum ah An d a !” “Ap a ?” “Tidak ada siapa-siapa! Dan Tuan sedang m enangis. Ia m em anggil Anda. Anda dicari-cari.” Em m a tidak m enjawab apa-apa. Ia terengah-engah, m atanya m endelik sekelilingnya, sedangkan perem puan tani itu yang ketakutan melihat wajah Emma, mundur tanpa sadar karena dikiranya Em m a sudah gila. Tiba-tiba Em m a m engeplak dahinya, lalu m enjerit. Karena bayangan Rodolphe seperti halilintar terang yang m enyobek m alam kelam , telah m elintas di dalam jiwanya. Rodolphe begitu baik, begitu lem but, begitu m urah hati! Lagi pula, seandainya Rodolphe ragu-ragu m em beri bantuannya, Em m a tahu benar m em aksa ia dengan jalan m engingatkannya kem bali dengan satu kedipan m ata akan cinta m ereka yang sudah hilang. Maka pergilah ia ke La Huchette, tanpa m enyadari bahwa ia bergegas hendak m enawarkan diri pada apa yang tadi am at m enjengkelkannya, tak sedikit pun diduganya bahwa ia dengan dem ikian m enjual dirinya.
Bab VIII SAMBIL BERJ ALAN Emma bertanya di hatinya, Apa y ang akan kukatakan? Bagaim ana aku harus m ulai? Dan makin jauh ia melangkah, maka dikenalinya semak-semak, pohon-pohon, rumput gelagah di atas bukit, puri di sebelah sana. Ia kembali merasakan semua perasaan pada awal kasih sayangnya, dan hati malangnya yang tertindih mengembang dengan berahi mesra. Angin hangat meniup wajahnya. Salju yang sedang meleleh jatuh menetes dari kuncup-kuncup ke atas rumput, tetes demi tetes. Seperti dulu, ia m asuk dari pintu tam an yang kecil, lalu tiba di pelataran utam a yang pinggirannya dikelilingi oleh dua baris pohon tilleul yang tum buh dengan lebat. Cabangnya yang panjang-panjang berayun-ayun m endesau. Anjing-anjing di kandang m enggonggong sem ua, dan suara m ereka nyaring m enggem a, tapi tak seorang pun yang m uncul. Em m a m enaiki tangga yang lurus lebar dengan susuran kayunya, tangga itu m enuju gang yang ubinnya berdebu dan
Nyonya Bovary 427 m em punyai beberapa pintu m asuk ke kam ar-kam ar yang berderet, seperti dalam biara atau losm en. Kam ar dia di ujung sam a sekali, di sebelah kiri. Ketika jari-jarinya m enyentuh kunci, tiba-tiba hilanglah tenaganya. Em m a takut orangnya tidak ada, ham pir m engharapkannya begitu, padahal dialah harapan satu-satunya, kem ungkinan penghabisan yang dapat m enyelam atkannya. Ia m enenangkan pikirannya sejenak, m enabahkan hatinya dengan m enyadari keperluannya saat itu, lalu m asuk. Laki-laki itu duduk di depan api dengan kedua kakinya ditopangkan di pinggir perapian, sedang mengisap pipa. “Wah! Anda!” katanya sam bil berdiri cepat. “Ya, saya! Rodolphe, saya ingin m inta nasihat.” Tapi bagaimana pun ia mencoba, ia tidak dapat mengeluarkan suara. “Anda tidak berubah, m asih juga m em pesonakan!” “Ah,” jawab Em m a dengan getir, “m em pesonakan m acam apa! Buktinya Anda telah m enyepelekannya.” Lalu Rodolphe m ulai m enjelaskan kelakuannya, m encari alasan dengan kata-kata yang sam ar-sam ar karena m em ang tidak dapat m ereka yang lebih baik. Em m a tertangkap oleh kata-katanya, lebih-lebih lagi oleh suaranya dan karena m elihat orangnya. Sam pai-sam pai ia pura- pura percaya, atau boleh jadi ia betul-betul percaya akan dalih perpisahan m ereka; suatu rahasia yang m enentukan nam a baik, bahkan nyawa orang ketiga. “Tak m engapa!” kata Em m a dengan pandangan sedih, “pedih juga penderitaan saya!” Rodolphe menjawab dengan nada orang yang berilsafat, “Begitulah hidup!” “Tetapi,” kata Em m a lagi, “apakah hidup itu baik dalam hal Anda sejak perpisahan kita?” “Oh, baik tidak... buruk juga tidak.”
428 Gustave Flaubert “Barangkali sebaiknya kita dulu tidak berpisah.” “Ya... barangkali!” “Kau kira begitu?” kata Em m a sam bil m endekat. Lalu keluhnya, “Oh, Rodolphe! Kalau kau tahu! Aku dulu sayang benar kepadam u!”’ Saat itulah ia memegang tangan Rodolphe, dan beberapa lam a m ereka tinggal dengan jari terjalin—seperti hari pertam a pada Pam eran Pertanian itu! Karena tergerak oleh rasa harga diri, Rodolphe m elawan perasaan yang m elem ahkan hatinya. Tetapi Emma dengan lemah terkulai ke dada Rodolphe. Katanya, “Bagaim ana kiram u aku dapat hidup tanpa engkau! Orang tak dapat m elupakan kebiasaan berbahagia! Aku dulu sam pai putus asa! Rasa-rasanya aku akan m ati! Nanti akan kuceritakan sem ua itu! Dan kau... kau lari dariku!” Karena selam a tiga tahun itu Rodolphe betul-betul m enjaga jangan sampai bertemu dengan Emma lantaran rasa takut alamiah yang sudah m enjadi sifat kaum jenis kuat. Dan Em m a yang dengan gerak-gerak m anis dari kepalanya lebih m erayu daripada seekor kucing yang sedang berahi, m eneruskan bicaranya, “Ada perem puan-perem puan lain yang kau cintai, akuilah. Oh, aku m engerti m ereka, betul! Kum aafkan m ereka. Kau pasti telah m erayu m ereka, seperti dulu aku kau rayu. Kau, kau betul-betul laki-laki. Kau m em punyai segala yang perlu untuk disayangi orang. Tapi kita akan m ulai lagi, bukan? Kita akan bercinta lagi? Lihat, aku tertawa, aku bahagia! Tapi bicaralah!” Dan Emma memang mempesonakan untuk dipandang, dengan tatapan m atanya yang tergetar setitik air m ata bagaikan air badai di dalam piala biru. Rodolphe m enariknya ke atas pangkuannya, dan dengan punggung tangannya dibelainya libatan ram but Em m a yang licin, yang dalam cahaya senja dihinggapi oleh sisa sinar m atahari seperti oleh panah em as. Em m a m enundukkan kepala. Akhirnya
Nyonya Bovary 429 Rodolphe mengecup kelopak mata Emma, lembut sekali, dengan ujung bibirnya. “Tapi, kau tadi m enangis!” katanya. “Mengapa?” Meledaklah tangis Emma. Rodolphe mengira ledakan cintanya. Karena Em m a berdiam diri saja, Rodolphe m enganggap kebisuannya sebagai sisa-sisa rasa m alunya, lalu ia berseru, “Ah, am pun i aku! Kau satu-satun ya yan g m en yen an gkan hatiku. Aku dulu bodoh dan jahat! Aku cinta padam u, selalu akan cinta padam u! Ada apa kau? Katakan!” Rodolphe berlutut. “Dengarkan! Uangku sudah ludes, Rodolphe! Kau harus m em injam i aku tiga ribu franc!” “Tapi... tapi...” kata Rodolphe dan sedikit dem i sedikit ia bangkit berdiri, sedangkan raut m ukanya berubah m enjadi b er su n ggu h -su n ggu h . “Kau sudah tahu,” sam bun g Em m a cepat, “suam iku m enitipkan seluruh kekayaannya kepada seorang notaris. Notaris itu lari. Lalu kam i m em injam uang. Pasien-pasien tidak m em bayar. Lagi pula urusan tanah m ilik belum selesai, m asih ada uang yang akan kam i terim a kelak. Tetapi hari ini, karena tidak ada tiga ribu franc, barang kami akan disita. Sekarang ini, pada saat ini. Karena pasti akan rasa persahabatanm u, m aka aku datang kemari.” Ah! pikir Rodolphe yang tiba-tiba m enjadi pucat lesi, untuk itulah ia datang! Akhirnya ia berkata dengan sikap tenang, “Saya tak punya, Nyonya m anis.” Rodolphe tidak berdusta. Seandainya uangnya ada, ia pasti m em berikannya, m eskipun pada um um nya tidak enak untuk m elakukan perbuatan seindah itu. Dari segala badai yang datang m elanda percintaan, m inta uang m erupakan yang paling dingin dan yang paling m erusak.
430 Gustave Flaubert Em m a m ula-m ula hanya m enatapnya beberapa m enit. “Kau tak punya!” Ia m engulanginya beberapa kali, “Kau tak punya! Seharusnya kuhindari penghinaan terakhir ini. Kau tak pernah m encintai aku! Kau tidak lebih baik dari yang lain!” Em m a terbuka rahasianya, Em m a kehilangan akal. Rodolphe m enyela, m enyatakan dengan tegas bahwa ia sendiri sedang “kekurangan uang”. “Ah, kasihan!” kata Em m a. “Kasihan betul kau...!” Lalu m atanya terhenti pada sebuah karabin berpam or yang berkilau-kilau di rak senjata, “Tetapi orang m iskin, tidak bakal m enaruh perak pada popor bedilnya! Tidak bakal m em beli jam yang bertatahkan kulit kerang!” lanjutnya sam bil m enuding ke jam m erek Boulle. “Pun ujung kucir dari perak yang disepuh em as untuk cam buk-cam buknya.” Lalu disentuhnya, “Pun hiasan- hiasan untuk arlojinya! Oh, tak ada yang kurang di tem patnya! Sam pai ada tem pat botol sopi m anis di kam arnya. Karena kau sayang pada dirim u, kau hidup enak, kau punya kastel, usaha- usaha tani, hutan-hutan. Kau berburu dengan anjng-anjingm u, kau m elawat ke Paris... Eh, seandainya baru ini pun saja,” serunya sambil memungut kancing manset Rodolphe di atas bendul perapian, “yang paling tak berarti dari pernik-perniknya! Dapat dijadikan uang! Oh, emoh aku! Simpan saja sana.” Lalu dilem parkannya jauh-jauh kedua kancing m anset itu, yang rantai em asnya putus ketika m em bentur tem bok. “Tetapi aku! Apa saja akan kuberikan padam u, akan kujual segala-galanya, m au aku bekerja dengan kedua tangan ini, m au aku m inta-m inta sepanjang jalanan, dem i sebuah senyum , dem i sebuah pandangan, dem i m endengar kau berkata, ‘Terim a kasih!’ Tapi kau tinggal terpuruk di kursimu dengan tenang, seperti kau belum cukup banyak m em buat aku m enderita! Kalau tidak ada engkau dahulu, tahu, aku bisa hidup bahagia! Siapa yang
Nyonya Bovary 431 m em aksa kau? Apa ada taruhan? Padahal kau cinta padaku, itu yang kau katakan.... Tadi katam u juga m asih begitu.... Ah, sebenarnya baiknya aku diusir tadi! Tanganku m asih hangat kena ciumanmu, dan di situlah, di atas permadani itu, tempat kau berlutut dan bersumpah menjanjikan kekekalan cintamu. Aku sam pai percaya, selam a dua tahun kau seret aku ke dalam im pian yang paling hebat dan yang paling m anis... bukan begitu? Rencana-rencana kita untuk pergi jauh, kau ingat? Oh! Suratmu! Suratm u! yang m enyobek-nyobek hatiku! Lalu, sekarang aku kem bali kepadanya, kepada dia yang kaya, yang bahagia, yang bebas! Untuk m em ohon dengan sangat bantuan yang sem barang orang m au m em berikannya, aku datang m em inta, dan kubawa lagi seluruh rasa sayangku. Tapi dia m enolak aku karena bagi dia, itu berarti tiga ribu franc!” “Aku tidak m em punyai uang itu,” jawab Rodolphe dengan ketenangan sem purna yang dipasang orang bagaikan perisai untuk m enutupi kem arahannya dalam hati yang m enyerah. Emma keluar. Tembok-tembok bergetar, langit-langit m engim pitnya. Lalu ia kem bali m elintasi jalan panjang berpohon itu tersandung-sandung pada onggokan-onggokan daun kering yang ditebarkan angin. Akhirnya ia sam pai pada parit di depan pagar besi. Kukunya patah-patah karena ia terburu-buru hendak m em buka kuncinya. Lalu seratus langkah kem udian ia berhenti kehabisan napas, karena ham pir m au jatuh. Ketika itu ia m em balik dan sekali lagi tam pak padanya puri yang kelihatan tanpa perasaan itu, dengan tam annya, pekarangan-pekarangannya, ketiga halam an dalam nya, dan sem ua jendela m ukanya. Ia tenggelam dalam ketermangu-manguan, dan tidak lagi m enyadari adanya dirinya, selain dari denyut nadi-nadinya yang serasa didengarnya m eledak-ledak seperti m usik yang m em enuhi tanah ladang dengan memekakkan telinga. Tanah di bawah kakinya lebih lem bek daripada gelom bang, dan alur-alur kelihatan
432 Gustave Flaubert di m atanya seperti gelom bang-gelom bang besar cokelat yang pecah m enjadi busa. Segala sesuatu yang ada di dalam benaknya, kenang-kenangan, gagasan-gagasan, meledak lepas seketika itu juga, seperti seribu petasan kem bang api. Ia m elihat ayahnya, kantor Lheureux, kam ar m ereka di sana, tam asya lain. Ia dicekam rasa gila, ia menjadi takut dan berhasil menjadi sadar kembali, meskipun masih kabur. Sebab ia sama sekali tidak ingat lagi apa yang m enyebabkannya ada dalam keadaan yang dahsyat ini, yaitu soal keuangannya. Ia hanya m enderita lantaran cintanya, dan m erasa jiwanya m eninggalkan badannya waktu m engingat cinta itu, seperti m ereka yang luka, sebelum ajalnya, m erasa kehidupan m engalir dari luka m ereka yang berdarah. Hari pun malamlah, gagak-gagak beterbangan. Tiba-tiba rasanya seakan-akan gelom bang-gelom bang m erah api m eledak di udara seperti peluru-peluru yang berdenyar waktu meletup, menggepeng dan berputar, berputar terus, lalu meleleh di atas salju, di antara cabang-cabang pepohonan. Di tengah-tengah setiap gelembung itu muncul wajah Rodolphe. J um lahnya bertam bah banyak dan m endekatinya, m em asukinya. Lalu segalanya hilang. Ia m engenali lam pu-lam pu rum ah-rum ah yang bersinar jauh di dalam kabut. Sekarang keadaan dirinya m uncul di depan m atanya bagaikan jurang. Dadanya terengah-engah serasa m au m eledak. Lalu, terangkat oleh gelom bang keberanian yang m em buatnya ham pir bergembira, Emma menuruni lereng sambil lari, meniti papan sapi, m elintasi jalan setapak, jalan yang dirindangi pohon, pasar besar, dan tiba di depan toko apoteker. Tidak ada siapa-siapa. Emma sudah mau masuk, tetapi kalau bel terdengar berdenting, m ungkin ada yang datang. Maka ia pun lalu m enyelip lewat pagar, sam bil m enahan napas, m eraba-raba dinding, dan m aju sam pai di am bang dapur. Di dalam m enyala
Nyonya Bovary 433 sebatang lilin yang ditaruh di atas kom por. J ustin yang hanya berkemeja membawa pinggan masakan. “Ah, m ereka sedang m akan. Lebih baik m enunggu dulu.” J ustin kembali. Emma mengetuk kaca jendela. J ustin keluar. “Kuncinya! Kunci untuk di atas, tem pat dia m enyim pan....” “Ap a ?” Dan J ustin m enatapnya, terheran-heran m elihat warna wajahnya yang pucat pasi, yang tam pak putih pada latar hitam m alam . Em m a di m ata J ustin kelihatan bukan m ain cantiknya, dan anggun seperti peri. Ia tidak m engerti apa yang dikehendaki Em m a, tetapi ia m erasa ada sesuatu yang m engerikan. Tetapi Emma berkata lagi cepat, dengan suara rendah suara lem but yang m encairkan kem auannya. “Saya m inta kunci itu! Berikan!” Karena dindingnya tipis, dentang-denting garpu-garpu yang m enyentuh piring di kam ar m akan terdengar oleh m ereka. Em m a berpura-pura harus m em bunuh tikus-tikus yang m em buatnya tidak bisa tidur. “Saya harus m em beri tahu Tuan dulu.” “J angan! Diam saja di sini!” Lalu dengan sikap tak acuh, “Ah! Tidak perlu, nanti saya beri tahukan. Mari, terangi aku.” Ia m asuk gang yang m enuju ke pintu laboratorium . Pada dinding tergantung sebuah anak kunci dengan label “kam ar gu d a n g”. ‘“J ustin!” teriak si apoteker yang sudah tidak sabar lagi. “Mari kita naik.” Dan J ustin membuntuti Emma. An ak kun ci berputar dalam luban g kun ci, lalu Em m a langsung pergi ke papan rak yang ketiga, dibim bing dengan baik oleh ingatannya. Ia m enjangkau stoples biru, m encabut tutupnya, m em asukkan tangannya ke dalam dan m engeluarkannya penuh
434 Gustave Flaubert dengan serbuk putih. Maka m ulailah ia m enelannya langsung dari t a n ga n n ya . “Stop!” seru J ustin sam bil m enubruk Em m a. “Diam ! Nanti ada yang datang....” J ustin kehilangan akal, ia sudah mau memanggil orang. “J angan bilang apa-apa. Nanti m ajikanm u yang celaka!” Lalu Em m a keluar dengan perasaan yang sekonyong-konyong menjadi tenang, dan hampir dengan keheningan jiwa seorang yang sudah m enunaikan kewajibannya. Waktu Charles yang terguncang oleh berita penyitaan itu sam pai di rum ah, Em m a baru saja pergi. Charles m enjerit-jerit, menangis, jatuh pingsan, tetapi Emma tidak juga pulang. Di mana gerangan dia? Charles m enyuruh Félicité ke rum ah Hom ais, ke Tuan Tuvache, ke Lheureux, ke Singa Em as, ke m ana saja. Dan di sela-sela kecem asannya itu, ia m elihat nam a baiknya hilang, kekayaan m ereka habis, m asa depan Berthe rusak! Oleh apa? Tak sekata pun! Ia m enanti sam pai pukul enam sore. Pada akhirnya ia tidak tahan lagi, dan karena mengira bahwa Emma pergi ke Rouen, Charles keluar ke jalan besar, berjalan setengah m il, tidak berjumpa dengan siapa-siapa, menunggu lalu kembali. Emma sudah pulang. “Ada apa? Mengapa? Ceritakan.” Em m a duduk di m eja tulisnya, dan m enulis sepucuk surat yang disegelnya dengan lam bat sam bil m em bubuhkan tanggal dan jam nya. Lalu ia berkata dengan nada khidm at, “Ini harus kau baca besok. Selam a itu, aku m inta jangan m enanyakan apa pun kepadaku! Sedikit pun jangan!” “Ta p i....” “Ah, jangan ganggu aku!” Lalu Em m a m erebahkan diri terlentang di ranjangnya. Ia terbangun karena ada rasa getir di dalam m ulutnya. Ia sam ar-sam ar m elihat Charles dan m em ejam kan m atanya lagi.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 487
- 488
- 489
- 490
- 491
- 492
- 493
- 494
- 495
- 496
- 497
- 498
- 499
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 499
Pages: