Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Nyonya Bovary

Nyonya Bovary

Published by Digital Library, 2021-01-28 01:36:19

Description: Nyonya Bovary oleh Gustave Flaubert

Keywords: Gustave Flaubert,Sastra,Sastra Dunia

Search

Read the Text Version

Nyonya Bovary 235 yang sudah disem buhkan. Hadiah itu selalu diiringi dengan surat. Em m a m em otong tali yang m engikat surat itu pada beseknya. Lalu dibacanya kalim at-kalim at berikut: Anak-anakku sayang, Mudah-m udahan surat ini akan m endapatkan kalian dalam keadaan sehat walaiat dan kirimanku kali ini tak akan kalah dengan dulu-dulu. Sebab m enurut pengam atanku ia agak lebih m ontok—kalau boleh kubilang—dan lebih kem pal. Tetapi lain kali, untuk m engubah kebiasaan, akan kuberikan seekor ay am jago, kecuali kalau kalian lebih suka ikan picot. Dan jangan lupa m engirim kem bali besekny a, bersam a y ang dua sebelum ny a. Kandang keretaku ditim pa bencana, tutupny a pada suatu m alam telah diterbangkan angin keras ke dalam pohon-pohon. Panen pun tidak begitu hebat. Pendekny a, aku tidak tahu kapan dapat datang m enengok. Sulit sekali sekarang m eninggalkan rum ah karena aku seorang diri, Em m aku m alang! Di sini tempat antara baris-baris kosong seolah-olah Tuan Rouault telah m eletakkan penanya untuk m elam un sebentar. Aku sendiri sehat-sehat saja, kecuali sekali aku kena selesm a w aktu pergi ke pasar Yvetot. Aku ke sana m au m encari gem bala, karena y ang lam a kuusir lantaran terlalu lancang m ulutny a. Kita m em ang pantas dikasihani dengan adanya bandit-bandit sem acam itu! Dan m em ang orangny a kurang jujur. Kudengar dari seorang penjual keliling y ang m usim dingin ini m elaw at ke daerahm u dan y ang telah m inta dicabut giginy a, bahw a Bovary m asih juga bekerja keras. Aku tidak heran. Gigi itu diperlihatkan kepadaku. Kam i lalu m inum kopi bersam a. Kutany akan apakah ia bertem u denganm u, tetapi ia bilang tidak. Yang dilihatny a, di dalam kandang kuda ada dua ekor

236 Gustave Flaubert kuda. Jadi aku m enarik kesim pulan bahw a praktikny a jalan terus. Sy ukurlah, anak-anakku, sem oga Tuhan y ang Pengasih m em beri kalian segala kebahagiaan y ang dapat dibay angkan. Aku m erasa sedih karena belum juga berkenalan dengan cucuku say ang, Berthe Bovary . Untuk dia telah kutanam kan di pekarangan di baw ah kam arm u sebuah pohon prem . Dan aku tidak m au orang m eny entuhny a kecuali nanti kalau m au m em buat selai, y ang akan kusim pan untuk dia kapan-kapan ia datang. Sekian saja dulu, anak-anakku say ang. Peluk cium , gadisku. Dan kau juga m enantuku, dan untuk si kecil cium an di kedua p ip in y a . W asalam , Ayahm u sayang, Théodore Rouault. Emma beberapa menit diam dengan kertas kasar itu di antara jarinya. Kesalahan ejaan dalam surat itu berjalin satu sam a lain, dan Em m a m engikuti pikiran lem but yang berkotek sepanjang surat seperti ayam betina yang setengah tersem bunyi di dalam pagar tanam an berduri. Tulisannya pasti dikeringkan dengan abu dari perapian karena ada abu yang m elincir dari surat itu ke atas gaunnya. Dan Em m a seakan-akan m elihat ayahnya m em bungkuk ke perapian untuk m eraih jepitan. Betapa lam anya sudah ia tidak lagi di sisi ayahnya, di atas tangga lipat di dalam cerobong perapian, apabila Em m a m enyalakan ujung sebatang kayu pada api ganggang laut yang sedang berdetas-detas! Ia teringat pada senja-senja m usim panas yang penuh cahaya m atahari. Anak-anak kuda m eringkik apabila ada orang lewat, dan menderap, menderap.... Di bawah jendela ada sarang lebah m adu, dan kadang-kadang tawon-tawon yang terbang berputaran

Nyonya Bovary 237 di dalam cahaya m enerpa kaca jendela seolah-olah peluru em as yang dipantulkan kem bali. Betapa bahagianya waktu itu! Betapa bebasnya! Betapa besar harapannya! Betapa m elim pahnya cita- citanya! Sekarang tak ada sisanya lagi! Sudah dihabiskannya di dalam segala petualangan jiwanya, dalam m elintasi keadaan dem i keadaan, waktu ia m asih perawan, selam a perkawinannya, dan sewaktu ia bercintaan. Tercecer-cecer selalu sepanjang hidupnya, tak ubahnya dengan musair yang meninggalkan sedikit kekayaannya di tiap penginapan yang dihinggapinya sepanjang jalan. Tetapi kalau begitu siapakah yang m em buatnya tidak bahagia begini? Bencana besar m ana yang telah m engacaukan hatinya? Lalu kepalanya ditegakkan untuk m elihat sekelilingnya, seakan- akan m au m encari sebab penderitaannya. Seleret sinar bulan April m engilaukan barang porselen di atas rak. Api m enyala. Em m a m erasakan keem pukan perm adani di bawah sandalnya. Cahaya di luar putih, udara hangat, dan ia m endengar anaknya bersorak-sorak dan tertawa bergelak-gelak. Gadis kecil itu memang sedang berguling-guling di atas rerum putan, di tengah-tengah rum put yang dibalik-balik supaya menjadi kering. Ia berbaring menelungkup di atas sebuah onggokan. Si pem bantu m enahannya dengan m em egang bajunya, Lestiboudois m enggaruk-garuk rum put di sam pingnya, dan setiap kali ia mendekat, si kecil membungkuk dan menggapai-gapaikan kedua tangannya. “Bawa dia kem ari!” kata ibun ya yan g bergegas hen dak m erangkulnya. “Sayang benar aku padam u, ah, kasihan! Begitu sa ya n g!” Lalu ketika dilihatnya ujung telinga anaknya agak kotor, ia lekas m enarik bel m inta air hangat, lalu m em bersihkannya, m engganti pakaian dalam nya, kaus kakinya, sepatunya, m enanyakan seribu satu hal tentang kesehatannya, seakan-

238 Gustave Flaubert akan ia baru kem bali dari perjalanan jauh. Dan akhirnya ia m encium nya lagi sam bil m enangis sedikit, dan m enyerahkannya kem bali ke tangan si pem bantu yang terheran-heran m elihat luapan kemesraan sehebat itu. Rodolphe m alam itu m endapatinya lebih serius dari biasanya. Nanti hilang juga, pendapatnya. Hany a tingkah saja. Lalu tiga hari berturut-turut ia tidak datang m enem uinya. Waktu ia muncul lagi, Emma bersikap dingin dan hampir som b on g. “Ah! Kau m em buang-buang waktum u, m anisku....” Dan Rodolphe pura-pura tidak m endengar helaan napasnya yang penuh sendu, atau m elihat saputangan yang dikeluarkannya. Pada saat itulah Emma bertobat. Ia m alahan sam pai bertanya dalam hatinya m engapa ia benci kepada Charles. Dan bukankah lebih baik jika ia dapat m encintainya. Tetapi Charles tidak banyak m em beri kesem patan untuk perubahan perasaan semacam itu, sehingga Emma kebingungan harus diapakan keinginannya yang m em bersit untuk berkorban itu. Tepat pada waktu itu datanglah apoteker m em berinya kesem patan itu.

Bab XI BELAKANGAN INI Homais membaca pujian mengenai suatu m etode baru untuk m enyem buhkan orang yang m em punyai kaki pekuk. Dan karena ia m enyokong kem ajuan, tim bul di dalam benaknya gagasan patriotik bahwa di Yonville harus ada pembedahan strefopodia agar tidak ketinggalan jaman. “Sebab,” katanya kepada Em m a, “apa risikonya? Periksa saja,” (lalu dengan jarinya ia m enghitung keuntungan-keuntungan percobaan sedem ikian), “suksesnya ham pir dapat dipastikan, si sakit akan merasa lega dan menjadi lebih bagus, si pembedah akan cepat m enjadi tenar. Mengapa suam i Anda um pam anya tidak m au m enolong si Hippolyte dari Singa Em as itu? Kasihan dia! Ingat, dia pasti akan m enceritakan penyem buhannya kepada sem ua orang yang singgah. Lagipula...” (dan Hom ais m elirihkan suaranya serta m elihat ke kanan kiri) “siapa akan m enghalangi saya m engirim catatan sedikit m engenai hal itu ke surat kabar?

240 Gustave Flaubert Nah! Coba! Artikel dalam koran beredar... dipercakapkan ... akhirnya dapat berakibat panjang. Siapa tahu? Siapa tahu?” Bovary m em ang dapat saja berhasil. Tak ada yang m em beri Em m a pikiran bahwa Bovary tidak cakap. Dan ia pun akan m erasa puas sekali telah m endorong suam inya supaya berbuat sesuatu yang akan m engharum kan nam anya dan m enam bah pendapatannya! Yang dicarinya hanyalah tem pat bertopang yang lebih mantap daripada cinta. Charles yan g didoron g-doron g oleh apoteker dan oleh Em m a, akhirnya m au dibujuk. Dari Rouen ia m endatangkan buku karangan Dokter Duval, dan setiap m alam dengan kepala dalam sungkupan tangannya, ia terbenam dalam bacaannya. Sem entara Charles m em pelajari kaki pekuk, pengkar dalam , pengkar luar, artinya strefokatopodia, strefendopodia, dan strefeksopodia (atau lebih jelasnya berbagai kelainan pada kaki, yaitu yang terputar ke bawah, ke dalam , dan ke luar), bersam a streipopodia dan strefanopodia (dengan kata lain, pilinan ke bawah dan ke atas), Tuan Homais dengan berbagai macam alasan m endesak kacung penginapan supaya m au dibedah. “Ham pir tak terasa, barangkali sakit sedikit saja! Hanya tusukan biasa seperti kalau dipantik sedikit, tidak sesakit kalau katimumul dicabut.” Hippolyte berpikir, m atanya m em belalak dungu. “Ah!”kata apoteker lagi. “Itu tidak ada kepentingan saya!Untuk dirim u sendiri! Sem ata-m ata karena rasa perikem anusiaan! Saya ingin m elihatm u bebas dari ketim panganm u yang m engerikan itu, tem anku, tanpa goyangan di bagian pinggang begitu, yang pasti sangat menganggu pekerjaanmu, bagaimanapun kau mau m enyem bunyikannya.” Lalu Hom ais m enggam barkan bagaim ana Hippolyte nanti akan m erasa badannya lebih gagah, kakinya lebih ringan, m em bayangkan m alahan kepadanya bahwa sebagai akibatnya

Nyonya Bovary 241 keadaannya akan lebih m enguntungkan untuk m enyenangkan kaum wanita. Dan pem bantu kandang kuda itu m ulai tersenyum lebar. Lalu Hom ais m encoba m em bakar harga dirinya. “Bukankah kau laki-laki? Lalu bagaim ana kalau kau harus m asuk tentara, harus berperang m em bela panji? Ah, Hippolyte!” Lalu Hom ais m enjauh sam bil berkata, ia tidak m engerti orang bisa keras kepala begitu, orang begitu buta hingga tidak mau menerima kebaikan ilmu pengetahuan. An ak m alan g itu m en yerah, karen a oran g seakan -akan berkom plot saja. Binet, yang tidak pernah m encam puri perkara orang, Nyonya Lefrançois, Artém ise, tetangga-tetangga, sam pai kepada walikota, Tuan Tuvache, sem ua orang m endorongnya, m em idatoinya, m em buatnya m alu. Tetapi yang pada akhirnya m em buatnya bersedia, ialah karena ia tidak usah m em bayar apa-apa. Bovary m alahan m au m engadakan alat yang diperlukan untuk pem bedahan itu. Em m a-lah yang m endapat pikiran untuk berm urah hati dem ikian. Dan Charles pun setuju, dan dalam lubuk hatinya ia berkata bahwa istrinya m em ang m alaikat. Dengan nasihat-nasihat dari apoteker, dan setelah sampai tiga kali m ulai kem bali, Charles m enyuruh tukang kayu dengan bantuan tukang kunci m em buat sem acam peti yang kira-kira delapan pon beratnya tanpa m engirit besi, kayu, pelat logam , kulit, sekrup, dan mur. Akan tetapi supaya tahu urat yang m ana yang harus dipotong, Bovary perlu m engetahui dulu tergolong m acam apa kaki pengkar H ip p olyt e. Ia m em punyai kaki yang dengan tungkainya m em bentuk satu garis yang ham pir lurus. Hal itu tidak m encegah kakinya bisa terputar ke dalam , sehingga yang dihadapi Bovary itu kaki pekuk yang sedikit pengkar ke dalam , ataupun pengkar ke dalam yang ringan yang m em bentuk kaki pekuk dengan sangat jelas. Tetapi dengan kaki pekuk ini, yang telapaknya m em ang selebar telapak

242 Gustave Flaubert kaki kuda, dengan kulit kasar, urat-urat kering, jari-jari besar, dan kuku-kuku hitam yang seperti paku-paku tapal kuda rupanya, anak yang berstrefopodia itu dari pagi sam pai jauh m alam mondar-mandir selincah rusa. Selalu ia kelihatan di lapangan umum incang-incut sekitar pedati-pedati, sambil melemparkan penunjangnya yang pincang itu ke m uka. Ia bahkan kelihatannya lebih gesit dengan kaki yang itu daripada dengan kaki lainya. Karena sudah selam a itu m elakukan dinasnya, kaki itu seakan- akan sudah m em peroleh sifat-sifat m oral seperti kesabaran dan ketabahan. Dan kalau diberikan kerja berat, Hippolyte suka lebih banyak bertum pu pada kaki itu. J adi karena kaki itu kaki pekuk, yang harus dipotong ialah urat keting, dengan risiko kemudian harus mengurus lagi urat depan tulang kering untuk m enghilangkan pengkar dalam nya, sebab Dokter Bovary tidak berani m elakukan dua pem bedahan sekaligus. Bahkan sekarang saja ia sudah gem etar karena takut harus m enangani suatu daerah penting yang tak dikenalnya. Baik Am broise Paré ketika untuk pertam a kalinya sejak Celse, sesudah berselang lim a belas abad, m engikat langsung sebuah pem buluh darah, m aupun Dupuytren ketika m au membedah sebuah bengkak bernanah melalui lapisan tebal di dalam otak, ataupun Gensoul waktu untuk pertam a kalinya m elepaskan rahang atas dengan pem bedahan, tak ada yang begitu berdebar-debar jantungnya, begitu gem etar tangannya, begitu tegang pikirannya seperti Tuan Bovary waktu jari-jarinya yang m em egang alat pem otong urat m endekati Hippolyte.... Dan seperti di rum ah sakit, di dekatnya di atas m eja tam pak seonggok kain tiras, benang-benang yang dililin, dan banyak pem balut, setum puk besar berbentuk lim as, sem ua pem balut yang terdapat di tem pat apoteker. Tuan Hom ais-lah yang sejak paginya telah m em buat sem ua persiapan itu, baik untuk m enyilaukan m ata khalayak ram ai m aupun untuk m engenakkan diri sendiri. Charles

Nyonya Bovary 243 menusuk kulit. Terdengar kertak pendek. Urat telah terpotong. Pem bedahan selesai. Hippolyte tak habis-habis herannya. Ia m em bungkuk m encium i tangan Bovary. “Sudah, sudah, tenang saja,” kata apoteker. “Nanti-nanti saja kau nyatakan rasa terim a kasihm u kepada penolongm u.” Lalu ia turun untuk m enceritakan hasilnya kepada lim a- enam orang yang karena penasaran, dari tadi m enunggu di pekarangan, dan yang sudah m em bayangkan Hippolyte sebentar lagi m uncul dengan lenggang tegak. Lalu setelah m em asang alat buatannya pada pasiennya itu, Charles pulang ke rum ah. Em m a dengan hati cem as telah m enantikannya di am bang pintu. Ia m eloncat m erangkul Charles. Mereka duduk di m eja m akan. Charles banyak m akannya, bahkan sebagai penutup ia m au m inum kopi, suatu ulah buruk yang hanya direlakannya pada hari Minggu apabila ada tamu. Malam itu m enyenangkan sekali, penuh cakap, penuh im pian bersam a, m ereka bicara tentang nasib m ereka di hari yang akan datang, tentang perbaikan-perbaikan yang bakal m ereka adakan di dalam rum ah tangga. Terbayang oleh Charles pam ornya naik, kesejahteraannya m eningkat, istrinya selam anya m encintainya. Dan hati Emma berbahagia karena ia dapat mengalami kesegaran suatu perasaan baru, lebih sehat, lebih baik, pendeknya karena ia m erasakan suatu kelem butan terhadap si m alang ini yang benar- benar m enyayanginya. Pikiran pada Rodolphe sejenak m em bersit di kepalanya. Tetapi m atanya kem bali m em andangi Charles, dengan heran ia m elihat bahwa tidaklah jelek gigi suam inya itu. Mereka sudah masuk ranjang waktu Tuan Homais, meskipun dihalangi oleh pembantu dapur, tiba-tiba masuk kamar mereka dengan sehelai kertas di tangan yang baru ditulisnya. Itulah karangannya yang akan dikirim kannya ke suratkabar Fanal de Rouen. Ia datang supaya m ereka m em bacanya. “Anda saja yang m em bacakannya,” kata Bovary.

244 Gustave Flaubert Ia m em baca, “Kendatipun m asih ada prasangka-prasangka yang m eliputi sebagian wajah Eropa bagaikan jaringan, cahaya mulai menembus juga dalam kota kecil kita ini. Demikianlah, pada hari Selasa yang lalu, kota kecil kita yang bernam a Yonville telah m enjadi tem pat berlangsungnya suatu percobaan pem bedahan yang sekaligus m erupakan suatu kederm awanan yang m ulia. Tuan Bovary, salah seorang yang tergolong terkem uka di antara dokter-dokter kita yang berpraktik um um ....” “Aduh! Itu berlebih-lebihan! Berlebih-lebihan!” kata Charles. Dadanya sesak dicekam haru. “Ah, tidak, sam a sekali tidak berlebih-lebihan! Sam a sekali tidak! ‘Telah m em bedah kaki pekuk....’ Saya tidak m em akai istilah ilm iahnya karena m aklum lah di dalam surat kabar, tidak sem ua orang barangkali m engerti. Orang banyak harus....” “Mem ang,” kata Bovary. “Teruskan saja.” “Saya ulangi,” kata Apoteker. “Tuan Bovary salah seorang yang tergolong terkem uka di antara dokter-dokter kita yang berpraktik umum, telah membedah kaki pekuk seseorang bernama Hippolyte Tautain, yang sudah dua puluh lim a tahun lam anya jadi tukang kuda di hotel Singa Em as yang dikelola oleh Nyonya J anda Lefrançois di lapangan um um Arm es. Karena percobaan itu suatu usaha yang m asih baru dan peristiwa itu sangat menarik perhatian orang, maka penduduk telah berdatangan begitu banyaknya, hingga berdesakan m em enuhi pintu gedung itu. Adapun pem bedahan itu telah berjalan seakan-akan suatu keajaiban, dan hanya beberapa butir darah keluar m enetesi kulit, seakan-akan hendak m enyatakan bahwa urat yang nakal itu pada akhirnya m enyerah kalah terhadap usaha kepandaian itu. Si sakit, anehnya, kam i m enegaskannya de visu6, tidak m engeluh. Keadaannya sam pai sekarang tidak kurang apa-apa. Sem ua itu 6 Sebagai saksi m ata.

Nyonya Bovary 245 m em beri harapan bahwa m asa penyem buhan tidak akan lam a. Bahkan siapa tahu, pada pesta kota yang akan datang, kita akan m elihat Hippolyte kita yang gagah berani itu ikut serta dalam tari-tarian di tengah-tengah paduan suara bujang-bujang; tegap, riang gembira, dan dengan demikian, melihat semangat dan jingkraknya, m em buktikan pada sem ua orang yang m em andang bahwa ia sudah sembuh seratus persen. Maka salut pada sarjana- sarjana derm awan! Salut pada benak-benak yang tak kenal lelah, yang m enghabiskan m alam tanpa tidur untuk m em perbaiki um at m anusia atau m engurangi penderitaannya! Salut! Tiga kali kita ucapkan salut! Bukankah saat ini suatu kesem patan baik untuk berseru bahwa orang buta akan melihat dan orang pincang akan berjalan! Tetapi apa yang dahulu dijanjikan oleh fanatism e kepada orang-orang terpilih, sekarang dilaksanakan oleh ilmu pengetahuan untuk sem ua orang! Kam i akan m elaporkan lagi kepada sidang pem baca tahap-tahap penyem buhan berikutnya yang layak m endapat perhatian orang.” Meskipun begitu, lim a hari kem udian, Nyonya Lefrançois datang ketakutan dan gugup sam bil m enjerit, “Tolong! Ia m au m ati! Aduh, saya bingung!” Charles lari ke Singa Em as. Dan apoteker yang m elihatnya m elintasi lapangan um um tanpa topi, m eninggalkan apoteknya begitu saja. Ia sendiri muncul terengah-engah, dengan muka m erah, penuh cem as, dan bertanya kepada sem ua orang yang naik tangga, “Ada apa dengan pasien strefopodia kita yang m enarik?” Pasien strefopodia itu sedang m enggeliat-geliat berkejat-kejat m engerikan, sehingga alat yang m enutup kakinya itu m em bentur- bentur tem bok seolah-olah hendak m erobohkannya. Dengan hati-hati sekali untuk mencegah jangan sampai posisi anggota badannya terganggu, peti itu dibuka. Lalu tam paklah pem an dan gan yan g m en yeram kan . Ben tuk kaki hilan g oleh bengkak yang begitu hebat, hingga seluruh kulit kelihatannya

246 Gustave Flaubert seperti mau pecah dan penuh bercak-bercak merah tengguli karena perdarahan di bawah dalam kulit gara-gara alat yang dahsyat itu. Hippolyte m em ang sudah m engeluh, bahwa peti itu m enyakitkan. Tapi orang tidak m enghiraukannya. Sekarang m ereka terpaksa m engaku bahwa Hippolyte tidak sam a sekali keliru. Maka ia dibiarkan bebas beberapa jam. Tetapi begitu busung agak berkurang, maka kedua sarjana itu menganggap sudah waktunya anggota badan itu dipasang kem bali ke dalam alatnya, dan dengan lebih ketat supaya lebih cepat selesai. Akhirnya, tiga hari kem udian, waktu Hippolyte tidak tahan lagi, mereka sekali lagi membuka alat itu, dan terheran-heran melihat hasilnya. Bengkak pucat kelabu m enjalar di atas tungkainya dengan di sana sini gelem bung-gelem bung yang m engeluarkan rem besan hitam . Perubahan itu parah. Hippolyte m ulai m erasa bosan. Maka Nyonya Lefrançois m enem patkannya di ruangan kecil, dekat dapur, supaya ia sekurang-kurangnya m endapat hiburan sedikit. Tapi si pem ungut pajak yang setiap m alam m akan di ruangan itu, mengeluh dengan sengit harus berdekatan dengan orang seperti itu. Maka Hippolyte dipindahkan ke ruang biliar. Di sana ia merintih-rintih di bawah selimut-selimut tebal, pucat, bulu-bulu jenggotnya panjang, m atanya cekung, dan sekali-sekali kepalanya yang berkeringat m em utar di atas bantalnya yang kotor yang dihinggapi lalat-lalat. Nyonya Bovary datang m enjenguknya. Ia m em bawakan kain-kain bersih untuk kom pres-kom presnya dari bubur hangat, lalu m enghiburnya dan m enabahkan hatinya. Selain dari itu, Hippolyte tidak kekurangan teman, apalagi pada hari-hari ada pasar, bilamana petani- petani di sekelilingnya m enyodok bola biliar, berm ain anggar dengan tongkat-tongkat biliar mereka, merokok, minum-minum, m enyanyi-nyanyi, berkoar-koar.

Nyonya Bovary 247 “Apa kabar?” kata m ereka sam bil m enepuk bahunya. “Ah, rupa-rupanya tidak begitu hebat! Tapi salahm u sendiri. Kenapa kau tidak begini, tidak begitu.” Lalu ia diceritai peristiwa orang-orang lain yang sem uanya sudah sem buh karena obat-obat yang lain dari obatnya. Lalu sebagai hiburan m ereka berkata lagi, “Kau terlalu sibuk dengan dirim u sendiri, sih! Bangun saja! Kau m anjakan dirim u seperti anak raja! Ah, sudahlah, Bung! Tak enak baum u!” Kelem ayuhnya m em ang m akin lam a m akin naik. Bovary sendiri m enjadi kecut hatinya. Ia datang setiap jam , setiap saat. Hippolyte m enatapnya dengan sorot m ata penuh rasa ngeri. Ia m enggagap sam bil tersedu, “Kapan saya sem buh? Aduh, tolonglah saya! Celaka! Celaka!” Lalu dokter pergi. Seperti tadi-tadi, Hippolyte disuruhnya mengikuti pantangan terus. “J angan dengarkan dia, Nak,” kata Nyonya Lefrançois. Kau sudah cukup menjadi korban mereka. Nanti kau makin lemah. Nih, m akan!” Lalu Hippolyte disodorinya entah kaldu yang gurih, entah seiris paha kambing, entah sepotong ham, dan kadang-kadang seloki arak yang tak berani ia telan. Waktu Abbé Bournisien m endengar bahwa Hippolyte m akin parah keadaannya, ia m inta supaya boleh m enengoknya. Ia m ulai dengan m engasihani Hippolyte yang sakit itu. Tapi ia berkata juga bahwa Hippolyte harus bergem bira, sebab keadaannya itu kehendak Tuhan, dan ia harus m em anfaatkan kesem patan itu untuk berdam ai kem bali dengan-Nya. “Sebab,” kata rohaniwan itu dengan nada kebapakan, “kau m em ang agak m elalaikan kewajibanm u. Kau jarang kelihatan mendatangi kebaktian! Sudah berapa tahun sekarang kau tidak m endekati m eja suci? Saya m engerti, kesibukan-kesibukanm u, keram aian dunia, telah m enyebabkan kau tidak m engindahkan

248 Gustave Flaubert keselam atanm u. Tetapi sekarang ini sudah saatnya untuk m em ikirkannya. Dan tak usah kau berputus asa, karena saya kenal orang-orang yang besar dosanya, tapi waktu sudah tiba saatnya tam pil ke hadirat Tuhan (dan kau belum sam pai pada tingkat itu, saya tahu benar), m ereka m em ohon dengan sangat kem urahan hati-Nya, dan m ereka pasti m eninggal dunia dengan hati yang serela-relanya. Mudah-m udahan seperti m ereka, kau pun akan m em beri contoh yang baik! Karena itu, untuk berjaga- jaga, mengapa kau tidak pagi dan sore mengucapkan satu kali ‘Salam Maria, penuh rahm at’, dan ‘Bapa kam i yang ada di surga’! Berbuat saja begitu, ayolah! Untuk saya, untuk m enyenangkan hati saya. Apa susahnya? Kau m au berjanji?” Laki-laki yang m alang itu berjanji. Pastor datang kem bali setiap hari. Ia bercakap-cakap dengan pemilik penginapan, bahkan sampai menceritakan anekdot-anekdot bercampur olok dan kelakar dengan perm ainan kata yang artinya tidak tertangkap oleh Hippolyte. Lalu, begitu ada kesem patan baik, pastor itu kembali lagi padahal hal keagamaan dengan memasang wajah yang sesuai dengan itu. Sem angatnya agaknya m em peroleh hasil. Sebab tak lam a kem udian si pekuk m enyatakan keinginannya untuk berziarah ke Bon-Secours nanti kalau sudah sem buh. Dan Tuan Bournisien m enjawab, tak dilihatnya ada keberatan. Berjaga-jaga dengan dua cara lebih baik dari dengan satu cara. Tak ada salahnya. Apoteker m arah-m arah m elihat apa yang dinam akannya siasat pastor yang m enurut dia m erugikan penyem buhan Hippolyte. Dan kepada Nyonya Lefrançois ia berkata berulang- ulang, “Biarkan dia! biarkan dia! Anda m engganggu m oralnya dengan m istik Anda.” Tetapi ibu yang baik itu tidak m au m endengarnya lagi. Apoteker itulah yang m enjadi sebab segala-galanya. Karena ingin m enentang, nyonya itu bahkan m em asang pasu yang diisi penuh

Nyonya Bovary 249 dengan air suci pada tempat tidur si sakit dengan dahan tumbuh- tumbuhan buis. Namun sama saja seperti ilmu pembedahan, agama pun agaknya tidak dapat m enolong Hippolyte, dan pem busukan yang tak teralahkan itu m asih juga terus naik dari kaki ke perut. Biar bagaimanapun mereka mengganti-ganti obat dan mengganti kom pres, urat-urat setiap hari m akin terurai. Dan pada akhirnya Charles m en jawab den gan an ggukan kepala ketika Nyon ya Lefrançois bertanya, karena sudah kehabisan akal, apakah ia tidak dapat m edatangkan Tuan Canivet dari Neufchâtel yang term asyhur nam anya. Sebagai dokter yang berum ur lim a puluh tahun, yang m em punyai kedudukan baik dan yakin akan kepandaiannya, tem an sejawat Charles itu tidak m enyem bunyikan tawanya penuh cem ooh waktu ia m elihat kaki yang kena kelem ayuh sam pai lutut itu. Lalu, setelah dinyatakannya dengan terus terang bahwa kaki itu harus dipotong, ia pergi ke tempat apoteker dan berteriak- teriak m encaci m aki kerbau-kerbau yang telah sam pai hati m enjerum uskan orang yang m alang ke dalam keadaan separah itu. Ia menggoncang-goncang Tuan Homais pada kancing jas panjangnya dan di apotek itu suaranya m arah dan keras. “Itu sem ua pen em uan -pen em uan dari Paris! Gagasan dari tuan-tuan di ibukota! Seperti m ata juling, kloreform , dan penghancuran batu dalam kandung kemih, keganjilan seabrek yang sebenarnya harus dilarang oleh pem erintah! Tetapi mereka berlagak pintar, dan orang dijejali obat-obatan tanpa m engkhawatirkan akibatnya. Kam i, yang lain-lain, tidak sehebat itu. Kam i bukan ilm uwan, bukan dendi genit, bukan bibir m anis. Kam i ini dokter-dokter praktik um um , penyem buh- penyem buh, dan tak bakal terpikir oleh kam i m em bedah orang yang segar bugar! Mem betulkan kaki pekuk! Mana kaki pekuk

250 Gustave Flaubert bisa dibetulkan? Sam a saja seperti um pam anya m au m eluruskan punggung bungkuk!” Hom ais sakit hati waktu m endengar uraian itu. Perasaannya yang kurang enak itu disem bunyikannya dengan senyum basa- basi, karena ia harus m enenggang perasaan Tuan Canivet yang resep-resepnya kadang-kadang sam pai ke Yonville. Karena itu ia tidak m encoba m em bela Bovary. Ia m alahan tidak m engeluarkan pendapat apa-apa. Ia m eninggalkan prinsip-prinsipnya dan m engorbankan rasa harga dirinya dem i kepentingan niaganya yang lebih penting. Di kota kecil itu, pem otongan paha yang dilakukan dokter Canivet m erupakan kejadian besar! Sem ua penduduk hari itu bangun sepagi mungkin. Dan meskipun penuh sesak dengan orang, J alan Besar bernapaskan suatu kem urungan seakan- akan yang terjadi itu pelaksanaan hukum an m ati. Di tem pat penjual rem pah, orang m em bicarakan penyakit H ippolyte. Warung-warung tidak m enjual apa-apa, dan Nyonya Tuvache, istri walikota, tidak beranjak dari jendela, begitu tidak sabarnya ia ingin melihat kedatangan si pembedah. Orangnya datang naik kereta kabrioletnya yang dikem udikannya sendiri. Tetapi karena pegas di bagian kanan lam a-kelam aan telah m engalah pada berat badannya yang tam bun, kereta itu sendeng sedikit jalannya. Dan di atas bantal lain di dekatnya kelihatan sebuah peti besar yang ditutup dengan kulit dom ba warna m erah. Ketiga kuncinya dari kuningan m engkilap m enyem burkan cahaya. Setelah m asuk seperti angin puyuh ke seram bi Singa Em as, dokter itu dengan teriakan keras sekali m em beri perintah supaya kudanya dilepaskan dari kereta. Lalu ia sendiri m asuk ke kandang untuk m elihat apakah kudanya benar-benar diberi m akan bulgur. Sebab kalau datang di tem pat pasiennya, ia selalu m engurus kuda betinanya dan keretanya dulu. Mengenai hal ini orang

Nyonya Bovary 251 bahkan berkata, “Ah! Tuan Canivet, orangnya aneh!” Makin tinggilah penghargaan orang karena kem antapan wataknya yang tak tergoyahkan itu. J agat raya sam pai ke m anusianya yang penghabisan boleh mati, tapi ia tidak akan meninggalkan satu pun dari kebiasaannya. Homais muncul. “Saya m engharapkan bantuan Anda,” kata dokter. “Siap? Ma r i!” Tetapi apoteker itu dengan muka merah mengaku bahwa ia terlalu perasa dan tidak dapat menghadiri operasi semacam itu. “Kalau orang m enjadi penonton biasa saja,” katanya, “Anda tahu bagaim ana daya khayal bisa m enjadi-jadi! Lagi pula susunan saraf saya begitu....” “Bah!” potong Canivet. “Pada penglihatan saya Anda m alahan cenderung kena penyakit ayan. Mem ang tidak m engherankan, sebab kalian, Tuan-tuan ahli obat-obatan, senantiasa mengeram di dalam dapur kalian sehingga tidak bisa tidak temperamen kalian akhirnya berubah. Lebih baik lihat saya ini; setiap hari saya bangun pukul em pat, saya m engurus jenggot saya dengan air dingin (tak pernah kedinginan), dan saya tidak pernah m em akai pakaian dari lanel, tidak pernah mendapat selesma. Badannya kuat! Kadang-kadang saya hidup begini, kadang-kadang dengan cara lain, seperti seorang ilsuf, makan seadanya. Oleh karena itu saya tidak rapuh seperti Anda. Dan bagi saya sam a saja, apakah m anusia Kristen yang harus saya potong atau unggas yang m ana pun. Makanya cam kan, soal kebiasaan! Kebiasaan!“ Lalu tanpa sekali pun m em perhatikan H ippolyte yang berkeringat ketakutan di bawah selim utnya, tuan-tuan tadi m ulai bercakap-cakap, dan apoteker itu membandingkan kepala dingin seorang ahli bedah dengan kepala dingin seorang jenderal. Dan perbandingan ini m enyenangkan hati Canivet. Lalu Canivet menghamburkan kata-kata untuk menceritakan bagaimana

252 Gustave Flaubert tun tutan -tun tutan keahlian n ya. Keahlian itu dian ggapn ya sebagaim ana pendeta m enganggap kependetaannya, sekalipun perwira-perwira kesehatan m em bawa aib atasnya. Pada akhirnya ia kembali mengurus si sakit. Ia memeriksa pembalut-pembalut yang diantarkan Hom ais, pem balut-pem balut yang sam a seperti yang dahulu m uncul pada pem bedahan kaki pekuk, lalu m inta orang untuk m em egang anggota badan itu. Lestiboudois dipanggil. Dan Tuan Canivet setelah m enyingsing lengan bajunya, pindah ke ruang biliar, sedangkan apoteker tinggal bersam a Artém ise dan pem ilik penginapan yang kedua-duanya lebih pucat m ukanya dari warna putih celem ek m ereka, tapi m enyim ak dengan telinga menempel di pintu. Selam a itu Bovary tidak berani beranjak dari rum ahnya. Ia tinggal di bawah, di ruang tam u. Duduknya di dekat perapian yang tidak ada apinya, dengan dagu terbenam di dada, kedua tangannya terkatup, m ata nyalang. Betapa sialny a, pikirnya, betapa kecew any a! Padahal segala macam tindak pencegah yang terpikir olehnya sudah diam bilnya. Nasib telah ikut bicara. Apa boleh buat! J ika H ippolyte n an ti sam pai m ati, dialah pem bunuhnya. Lalu alasan apa yang dapat dikem ukakannya apabila ia ditanyai kalau sedang m engunjungi pasien? Boleh jadi ia keliru mengenai salah suatu hal. Ia mencari-cari, tapi tak ada yang ditem ukannya. Ahli-ahli bedah yang paling terkenal pun ada kalanya keliru. Tapi orang tak pernah akan percaya! Malahan sebaliknya, orang akan tertawa, m enjelek-jelekkan! Ceritanya akan tersebar sam pai ke Forges, ke Neufchâtel, ke Rouen, ke m ana-m ana! Siapa tahu, m ungkin ada tem an-tem an sejawat yang akan m enulis kecam an? Lalu akan terjadi polem ik, dan ia terpaksa harus m em beri jawaban di dalam surat kabar. Hippolyte pun dapat m engadukannya ke pengadilan. Ia sudah m em bayangkan dirinya dicem arkan nam anya, bangkrut, habis riwayatnya! Dan khayalnya yang dilanda seribu satu kem ungkinan terom bang-

Nyonya Bovary 253 am bing seperti tong kosong yang hanyut ke laut dan bergulung- gulung dibawa ombak. Em m a yang duduk berhadapan, m enatapnya. Ia tidak m erasa terhina seperti suam inya. Perasaanya berbeda. Kalau ia m erasa terhina, sebabnya karena ia sam pai m em punyai pikiran bahwa orang sem acam suam inya m asih ada artinya, seakan-akan ia tidak sudah selusin kali m endapat kesem patan secukupnya untuk m engetahui nilainya yang sedang-sedang saja. Charles m ondar-m andir di dalam ruangan itu. Sepatu botnya berderik-derik di atas lantai papan. “Duduklah,” kata Em m a. “Kau m em buat aku jengkel!” Charles duduk kem bali. Bagaim ana sam pai ia (ia, Em m a yang begitu cerdas!) dapat kem bali keliru? Lagi pula, sialnya, karena ulah keranjingan yang bagaim anakah betapa m enyedihkan m aka hidupnya telah ia rusak menjadi pengorbanan melulu? Ia ingat kembali pada sem ua nalurinya akan kem ewahan, sem ua penderitaan jiwanya, kehidupan-kehidupan di dalam perkawinannya, di dalam kehidupan berum ah tangga, im pian-im piannya yang gugur ke dalam lum pur seperti burung layang-layang yang terbuka, segala sesuatu yang pernah diinginkannya, segala sesuatu yang pernah diharam kannya, segala sesuatu yang sebenarnya bisa saja didapatnya! Mengapa begitu? Mengapa? Dalam keheningan yang m eliputi desa itu, suatu jeritan yang m enyayat hati m em belah udara. Bovary m enjadi pucat seakan- akan m au pingsan. Em m a m engernyitkan dahi dengan gerak risau, lalu m eneruskan pikirannya. Padahal sem uanya itu untuk dialah, untuk m akhluk ini, untuk laki-laki ini yang tak m engerti apa-apa, yang tak m erasakan apa-apa! Karena orangnya duduk di situ, tenang-tenang saja, tanpa ada syak sedikit pun bahwa reputasinya yang konyol itu untuk selanjutnya akan m encem ari baik nam a Charles m aupun nam a Em m a. Em m a sudah berikhtiar

254 Gustave Flaubert berkali-kali untuk m encintainya, dan Em m a pernah bertobat tersedu-sedu karena telah m enyerah kepada lelaki lain. “Tetapi barangkali pengkarnya ke luar?” seru Bovary dengan tiba-tiba di tengah-tengah renungannya. Terkejut karena tak tersangka-sangka kalimat itu membentur pikirannya seperti peluru tanah yang jatuh m em bentur piring dari perak, Em m a m en ggigil. Kepalan ya teran gkat hen dak m enebak apa m aksud Bovary. Mereka saling m em andang sam bil m em bisu ham pir tercengang m elihat yang lain karena hati m ereka sedang berjauhan disibuki pikirannya m asing-m asing. Charles menatap Emma dengan pandangan keruh seorang pemabuk, sambil dengan sikap tak bergerak terus mendengarkan jeritan- jeritan terakhir dari orang yang dipotong kakinya itu. J eritnya beruntun-rutun mengalun panjang terputus-putus oleh sentakan yang tajam -tajam , seperti lolong yang datang dari jauh, dari seekor binatang yang sedang disem belih. Em m a m enggigit-gigit bibirnya yang pasi. J ari-jarinya m em elintir salah satu ranting dari bunga karang yang terpotes olehnya. Dan sorot m atanya yang m em bakar tajam tertuju kepada Charles bagaikan dua panah api yang siap m au lepas. Sekarang apa saja dalam diri Charles m en jen gkelkan n ya, m ukan ya, pakaian n ya, apa yan g tidak diucapkannya, seluruh pribadinya, pendeknya, adanya. Em m a m enyesali kealim annya yang sudah lam pau seakan-akan m enyesali perbuatan kejahatan. Dan yang m asih tersisa roboh terpukul-pukul oleh rasa angkuhnya. Hatinya m encari nikm at dalam segala ironi buruk perzinahan yang bersorak m enang itu. Kenangan akan kekasihnya m uncul kem bali dalam ingatannya dengan pesona yang m enggam angkan. J iwanya m enyelam inya, dihanyutkan ke bayangan itu dengan kegem biraan baru. Dan Charles seakan-akan terlepas dari kehidupannya, tak lagi ada untuk selam a-lam anya, m ustahil dan terhapus, seolah-olah ia

Nyonya Bovary 255 sebentar lagi akan mati dan sekarang sedang dalam keadaan sekarat di depan m atanya. Di kaki lim a terdengar bunyi langkah. Charles m enengok. Dan dari jendela yang kerainya diturunkan, terlihat olehnya di pinggir pasar di panas terik m atahari, Dokter Canivet sedang m enyeka-nyeka dahi dengan syalnya. Hom ais di belakangnya m enenteng sebuah peti m erah besar, dan kedua-duanya sedang menuju toko obat. Lalu, terdorong oleh rasa lem but yang tiba-tiba dan oleh putus asa, Charles berbalik m enghadapi istrinya dan berkata, “Mari, peluk aku, m anis!” “J an gan sen tuh aku!” kata Em m a den gan m uka yan g m em bara karena m arahnya. “Ada apa? Ada apa kau?” kata Charles berulan g-ulan g tercengang. “Tenanglah! Ingatlah! Kau tahu, kan, aku sayang padam u! Kem arilah!” “J angan!” teriak Em m a dengan m uka m enakutkan. Lalu Em m a lari ke luar, m enutup pintu begitu keras hingga barometer terpental dari dinding dan jatuh berkeping-keping di la n t a i. Charles terhenyak di kursinya, kebingungan. Ia m encoba m encari ada apa dengan Em m a, m em bayangkan penyakit saraf. Ia tersedu. Dan sam ar-sam ar dirasakannya ada sesuatu yang m engedarinya, m encelakakan dan tak terpaham i. Ketika m alam itu Rodolphe tiba di pekarangan, didapati Em m a kekasihnya sedang m enanti di kaki tangga rum ah, di atas anak tangga yang terendah. Mereka berdekapan erat, dan segala rasa dendam mencair seperti salju oleh kehangatan ciuman itu.

Bab XII MEREKA KEMBALI berkasihan. Bahkan sering kali di tengah hari bolong, Emma tiba-tiba menyuratinya. Lalu melalui kaca jendelanya, ia memberi isyarat kepada J ustin yang segera membuka celemeknya, dan cepat lari ke La Huchette. Maka Rodolphe pun datanglah. Soalnya Emma hendak bercerita bahwa ia bosan, suaminya jahat, dan kehidupannya memuakkan! “Tapi bisa apa aku?” seru Rodolphe pada suatu hari, waktu sabarnya m ulai habis. “Ah, coba kau m au...!” Emma waktu itu duduk di tanah di antara kaki Rodolphe. Ram butnya terurai, pandangannya m enerawang. “Mau apa?” kata Rodolphe. Emma menghela napas. “Kita bisa hidup di tem pat lain... entah di m ana....” “Kau m em ang sudah sinting,” kata Rodolphe sam bil tertawa. “Mana m ungkin?”

Nyonya Bovary 257 Tetapi Em m a kem bali m em bicarakannya. Rodolphe kelihatannya tidak m engerti. Ia m em belokkan percakapannya. Tak m asuk akal baginya, m engapa Em m a harus begitu rusuh m engenai suatu hal yang sesederhana percintaan. Ada suatu keinginan, suatu alasan, dan bagaikan suatu tumpuan bagi kemesraan Emma. Kelem butan hatin ya m em an g setiap hari m akin besar, terdorong oleh rasa jijiknya akan suam inya. Makin ia m enyerahkan diri kepada yang satu, m akin ia m em benci yang lain. Belum pernah Charles di m atanya begitu tidak m enyedapkan orangnya, begitu persegi jari-jarinya, begitu bebal pikirannya, begitu konyol tingkah lakunya seperti sehabis ia m enem ui Rodolphe dan m ereka bersama-sama lagi. Maka ia pun lalu pura-pura menjadi istri dan wanita yang alim , sedangkan hatinya terbakar bila teringat pada kepala si dia dengan ram but hitam nya yang m elingkar m em bentuk ikal ke arah dahinya yang terbakar m atahari, pada badannya yang begitu kekar lagi begitu tam pan, pada laki-laki itu pendeknya yang begitu banyak pengalam an jiwanya, begitu berkobar-kobar nafsunya! Untuk dialah Em m a m engikir kukunya dengan ketelitian seorang tukang kikir, dan tak pernah kulitnya cukup banyak diolesi cold cream , atau saputangannya diperciki dengan m inyak dilam . Ia m enggantungi dirinya dengan gelang, cincin, dan kalung. Bila Rodolphe akan datang, Em m a m engisi kedua jam bang besarnya dari kaca biru dengan bunga m awar, dan m em persiapkan rum ahnya dan dirinya seperti wanita perayu yang m enantikan kedatangan seorang pangeran. Tak habis- habisnya si pem bantu harus m em utih pakaian dalam nya. Dan sepanjang hari Félicité tidak beranjak dari dapurnya, ditonton oleh J ustin, anak rem aja yang sering m enem aninya. Dengan berteleku pada papan panjang tempat Félicité m enyetrika, J ustin dengan rakus m em perhatikan segala pakaian wanita yang terpapar di sekelilingnya. Segala onderok dari kain

258 Gustave Flaubert berlurik, segala kain kepala, kerah pelisir, dan celana panjang yang berkolor, yang longgar di tentang pinggul dan m enyem pit ke bawah. “Apa gunanya ini?” tanya anak m uda itu sam bil m engelus krinolin atau jepitan kait. “Masa, kau belum pernah m elihat apa-apa?” jawab Félicité sam bil tertawa. “Masa, n yon yam u, Nyon ya H om ais, tidak m em akai yang seperti ini!” “Oh, Nyonya Hom ais! Ya, m em ang!” Lalu tam bahnya dengan nada term enung, “Tapi dia, kan, bukan wanita seperti nyonyam u!” Tetapi Félicité hilang kesabarannya m elihat J ustin selalu m ondar-m andir di sekelilingnya. Félicité enam tahun lebih tua, dan Thédore, pelayan Tuan Gillaum in, m ulai m em acari dia. “J angan ganggu aku!” katanya sam bil m enyingkirkan tem pat kanjinya. “Lebih baik kau tum buk badam di apotek sana. Kau selalu datang melihat-lihat di dekat kaum wanita, kalau mau ikut campur, bocah nakal, tunggulah sampai tumbuh jenggot di dagu.” “Ah, jangan m arah-m arah. Sini, kubersihkan sepatu botnya u n t u km u .” Dan seketika itu juga J ustin meraih dari atas pinggiran perdian gan sepatu Em m a yan g pen uh lum pur—lum pur pertem uan -pertem uan n ya—yan g terlepas m en jadi debu oleh sentuhan jarinya, dan yang dilihatnya m engepul pelan dalam cahaya m atahari. “Takut am at kau sepatu itu rusak!” kata tukang m asak yang tidak sebanyak itu cingcongnya kalau ia yang m em bersihkannya, karena kalau kainnya kelihatan sudah tidak segar lagi, Nyonya suka m em berikan sepatunya kepada dia. Di dalam lem ari, Em m a m enyim pan sejum lah sepatu yang satu dem i satu dipakainya dengan ceroboh, tanpa pernah ada teguran sedikit pun dari Charles.

Nyonya Bovary 259 Dem ikian pula Charles m engeluarkan tiga ratus franc untuk kaki buatan dari kayu yang m enurut Em m a sudah selayaknya dihadiahkan kepada Hippolyte. Kaki kayu itu di atasnya diberi gabus, dan sendi-sendinya berper, suatu alat rum it, yang tertutup pantalon hitam yang berakhir pada sepatu bot yang dipernis ujungnya. Tetapi Hippolyte yang tidak berani m em akai kaki sebagus itu sehari-hari, m inta dengan sangat kepada Nyonya Bovary supaya ia diberi yang lain yang lebih enak dipakai. Tentu saja Pak Dokter lagi yang m enanggung biaya pem beliannya. Maka kacung kandang kuda itu sedikit demi sedikit kembali m elangsungkan pekerjaannya. Orang m elihatnya seperti sediakala m enjelajahi kota, dan apabila Charles dari jauh m endengar ketak- ketuk batang kayunya di atas jalanan, ia segera m engam bil jalan la in . Yang m engurus pesanan itu Tuan Lheureux, si pedagang. Dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk mengunjungi Emma. Ia bercakap-cakap dengan Emma tentang barang kirim an dari Paris yang baru dibukanya, tentang seribu satu barang istimewa, khas untuk wanita. Ia selalu bersedia menuruti perm intaan Em m a, dan tak pernah m enagih uangnya. Em m a memperturutkan kemudahan untuk memenuhi segala keinginan hatinya itu. Maka ia ingin m em punyai cem eti—untuk diberikan kepada Rodolphe—sangat bagus, yang terdapat di Rouen di dalam sebuah toko payung. Minggu berikutnya Tuan Lheureux m eletakkan cem eti itu di m ejanya. Akan tetapi keesokan harinya ia m engunjungi Em m a dengan membawa rekening sebesar dua ratus tujuh puluh franc, tak terhitung sennya. Em m a kebingungan. Sem ua laci m eja tulisnya kosong. Lestiboudois sudah lebih dari lim a belas hari belum dibayar, pem bantu m ereka sudah dua triwulan, dan m asih banyak lagi. Dan Bovary dengan tidak sabar m engharapkan kirim an Tuan

260 Gustave Flaubert Derozerays yang biasanya m em bayar setahun sekali m enjelang hari Saint Pierre. Mula-m ula Em m a berhasil m enolak Lheureux dengan sopan. Akhirnya Lheureux habis kesabarannya, ia pun dikejar-kejar, m odalnya sedang kosong, dan kalau m odal itu tidak m asuk kembali sedikit-sedikit, ia bakal terpaksa mengambil kembali sem ua barang yang ada pada Em m a. “Ah! Am bil saja!” kata Em m a. “Oh, saya han ya bercan da!” tukas Lheureux. “H an ya cem etilah yang saya sesalkan. Ah! Saya akan m em intanya kem bali kepada Tuan.” “J angan! J angan!” seru Em m a. “Nah, ketahuan kau!” pikir Lheureux. Dan yakin akan penem uannya, pergilah ia sam bil berulang- ulang berkata kepada dirinya sendiri dengan desis kecil yang m en jadi kebiasaan n ya, “Baiklah! Kita lihat saja n an ti! Kita lihat saja nanti!” Em m a sedang m em ikirkan bagaim ana bisa keluar dari kesulitan itu, waktu tukang m asaknya m asuk dan m eletakkan sebuah gulungan kertas biru yang kecil di atas bendul perapian, “Dari Tuan Derozerays.” Em m a m enyam barnya, lalu m em bukanya. Ada lim a belas m ata uang napoléon di dalam nya, pelunasan bayarannya. Em m a m endengar Charles naik tangga. Uang em as itu dilem parkannya ke dalam lacinya, dan kuncinya diam bilnya. Tiga hari kem udian Lheureux m uncul kem bali. “Saya m au m en gusulkan sesuatu,” katan ya. “Daripada m em bayar uang yang sudah kita sepakati, bagaim ana kalau Anda m en ga m b il....” “Ini uangnya,” kata Em m a sam bil m enyerahkan em pat belas napoléon ke tangan Lheureux. Si pedagang terbengong. Lalu, untuk m enyem bunyikan kekecewaannya, ia m engham burkan kata m inta m aaf dan tawaran

Nyonya Bovary 261 untuk m elayani segala keinginan Em m a, yang ditolak sem uanya. Lalu Em m a beberapa m enit lam anya m eraba-raba dua m ata uang seratus sou kem balian dari Lheureux di kantong celem eknya. Ia berjanji dalam hatinya akan m enghem at supaya nanti bisa dikem balikannya. Alaaah, pikirnya, nanti dia lupa juga. Selain cem eti yang pentolan di ujungnya dari perak disepuh emas, Rodolphe telah menerima pula sebuah cincin stempel dengan sem boyan ini: Am or nel cor, juga syal penutup hidung, dan akhirnya tem pat serutu yang serupa benar dengan kepunyaan Vicom te yang dulu dipungut Charles di jalan dan m asih juga disim pan oleh Em m a. Akan tetapi pem berian-pem berian itu m em buat Rodolphe m erasa terhina. Ada beberapa yang ditolaknya. Em m a m endesak terus, dan Rodolphe pada akhirnya tunduk, tetapi Em m a dianggapnya tiran yang terlalu m au m enguasai d ir in ya . Lagi pula aneh-aneh pikiran Em m a. “Nanti kalau jam berbunyi tengah m alam ,” kata Em m a, “kau harus ingat padaku.” Dan kalau Rodoplhe kemudian mengaku bahwa ia tidak ingat padanya, m aka celaan Em m a m elim pah dan selalu berakhir dengan pertanyaan abadi. “Cintakah kau padaku?” “Sudah tentu aku cinta!” jawab Rodolphe. “Cinta sekali?” “Tentu saja!” “Belum pernah kau m encintai yang lain, bukan?” “Kau kira, aku kau dapat m asih perjaka, ya!” serunya sam bil tertawa. Em m a m enangis, dan Rodolphe berusaha m enghiburnya. Dan ujarnya dibum bui dengan m em perm ainkan kata-katanya.

262 Gustave Flaubert “Soaln ya aku m en cin taim u!” kata Em m a lagi. “Aku mencintaimu sampai tidak dapat hidup tanpa kau, tahu? Kadangkala aku kangen sekali, sehingga jiwaku tercabik-cabik oleh am ukan cintaku. Hatiku bertanya, ‘Di m ana dia? Boleh jadi ia bicara dengan wanita-wanita lain. Mereka tersenyum kepadanya. Dia m endekat....’ Aduh! Tidak begitu, kan, tak ada yang kau senangi? Mem ang ada yang lebih cantik, tapi aku, aku lebih pandai bercinta! Aku ham bam u dan gundikm u! Kau rajaku, pujaanku! Kau baik! Kau tam pan. Kau cerdas! Kau kuat!” Sudah terlalu sering didengarnya kata-kata itu sehingga tidak ada yang baru lagi baginya. Em m a m irip sem ua pacar lainnya. Maka pesona dari yang baru, yang sedikit dem i sedikit luruh seperti pakaian, menelanjangi kemonotonan abadi keberahian yang selalu sam a bentuk-bentuknya dan sam a bahasanya. Laki-laki yang banyak pengalam an ini tidak dapat m elihat bedanya perasaan-perasaan di balik kesam aan ungkapannya. Oleh karena bibir yang cabul atau yang dapat dibeli pernah m em bisikkan kalim at-kalim at yang serupa kepadanya, Rodolphe tidak begitu percaya pada ketulusan ucapan Em m a. Tidak usah percay a sem uany a, pikirnya, karena ujaran y ang berlebihan m eny em buny ikan rasa say ang y ang dangkal saja. Seakan- akan tidak ada kalanya jiwa yang m elim pah tercurah dalam kiasan-kiasan yang paling ham pa, karena tak seorang pun, kapan pun, dapat m em beri takaran tepat akan kebutuhannya, ataupun akan pengertiannya, atau akan kepedihannya, dan karena tutur m anusia itu seperti kenceng yang retak, tem pat kita aduk lagu- lagu yang m enyebabkan beruang m enari-nari, padahal keinginan hati hendak mengharukan bintang. Tetapi dengan keunggulan daya kritiknya yang lazim terdapat pada seorang yang dalam hubungan apa pun selalu m engam bil jarak, Rodolphe melihat dalam percintaan itu kenikmatan- kenikm atan lain yang dapat dim anfaatkan. Segala sikap m alu-m alu

Nyonya Bovary 263 dianggapnya m engganggu. Em m a diperlakukannya seenaknya saja. Dibuatnya m enjadi sesuatu yang m enurut dan rusak. Maka terciptalah sem acam hubungan m esra yang konyol, penuh rasa kagum terhadap Rodolphe, penuh kenyam anan berahi bagi Em m a, kebahagiaan yang m em buat badannya terasa berat. Dan jiwa Emma membenam ke dalam kemabukan itu dan tenggelam di dalam nya, rem uk redam , tak ubahnya dengan Duc de Clarence di dalam tongnya yang berisi anggur Yunani. Dem ikian besar pengaruh kebiasaan-kebiasaannya dalam bercin ta, hin gga Nyon ya Bovary berubah tin gkah lakun ya. Tatapan m atanya lebih lancang, bicaranya lebih bebas. Bahkan ia m enjalankan yang tidak layak, berjalan-jalan bersam a Tuan Rodolphe, dengan rokok terselip di m ulutnya, seakan-akan m au m engejek dunia. Pada akhirnya, m ereka yang m asih ragu-ragu tidak ragu-ragu lagi waktu m elihatnya pada suatu hari turun dari kereta Hirondelle dengan pinggang ketat disalut rompi seperti laki-laki. Dan Ibu Bovary yang sesudah perkelahian dahsyat dengan suam inya datang m encari keam anan di rum ah anaknya, bukanlah term asuk wanita borjuis yang paling sedikit terguncang rasa susilanya. Banyak hal lain lagi yang tidak m enyenangkan hati ibunda. Pertam a, Charles ternyata sam a sekali tidak m engikuti nasihatnya untuk m elarang buku-buku rom an. Selanjutnya, ia tidak senang dengan cara berumah tangga Emma. Ia berani m elontarkan beberapa teguran dan satu kali khususnya tim bul kemarahan mereka gara-gara Félicité. Ibu Bovary kem arin m alam n ya waktu m elalui gan g, memergoki Félicité bersama seorang lelaki, laki-laki dengan cambang bauk pirang kecokelatan, umur kira-kira empat puluh tahun, dan yang segera m enghilang dari dapur serta m endengar bunyi langkahnya. Lalu Em m a tergelak. Tetapi ibu yang baik itu menjadi marah dan berkata bahwa jika tidak mau menistai adat kesusilaan, adat orang bawahan perlu diawasi.

264 Gustave Flaubert “Dari alam dunia m ana Anda?” kata si m enantu dengan pandangan yang begitu lancang hingga Nyonya Bovary bertanya apakah m ungkin Em m a m em bela dirinya sendiri. Perempuan muda itu bangkit semata-mata. “Keluar!” teriaknya. “Em m a! Ibu!” seru Charles hendak m endam aikan m ereka. Tetapi kedua-duanya telah m enghilang dengan perasaan jengkel yang m enyesakkan dada. Em m a berjingkrak-jingkrak. Katanya berulang-ulang, “Aduh! Tak tahu adat! Kam pungan b en a r !” Charles lari ke ibunya. Ibunda naik darah, bicaranya tergagap- gagap. “Kurang ajar! Lupa daratan! Entah apa lagi!” Dan Ibu Bovary akan pergi seketika itu juga kalau yang lain itu tidak m inta m aaf. Maka Charles kem bali ke istrinya dan m endesaknya supaya m engalah. Ia berlutut. Em m a akhirnya m enjawab, “Baiklah! Aku akan ke sana.” Dan m em ang, ia m engulurkan tangannya kepada ibu m ertuanya dengan sikap seorang wanita ningrat, dan berkata, “Maafkan saya, Nyonya.” Lalu setelah kem bali ke dalam kam arnya Em m a mengempaskan diri ke atas ranjang, tertelengkup, lalu menangis seperti anak kecil dengan wajah dibenamkan ke bantal. Mereka telah bersepakat, Emma dan Rodolphe, kalau ada kejadian luar biasa, Emma akan mengikat secarik kertas putih pada kerainya supaya jika Rodolphe kebetulan m am pir di Yonville, ia dapat segera pergi ke lorong kecil di belakang rum ah. Maka Emma memasang tanda itu. Sudah tiga perempat jam ia m enanti, waktu tiba-tiba dilihatnya Rodolphe di sudut pasar. Ia ingin sekali m em buka jendela, m em anggilnya. Tetapi Rodolphe sudah tak kelihatan lagi. Em m a terhenyak, patah hati.

Nyonya Bovary 265 Tetapi tak lama kemudian ia seperti mendengar langkah orang di kaki lima. Pasti dia. Emma turun tangga, melintasi halaman dalam. Memang dia di luar itu. Emma menghambur ke dalam pelukannya. “Hai, pelan-pelan sedikit,” kata Rodolphe. “Ah! Seandainya kau tahu!” jawab Em m a. Lalu diceritakannya sem uanya, dengan terburu-buru, tanpa ujung pangkal. Dibesar-besarkan kejadiannya. Direka-rekanya sedikit. Dan diselipinya tam bahan banyak-banyak sehingga Rodolphe tidak mengerti apa-apa lagi. “Ah, kasihan bidadariku, tabahkan hatim u, jangan bersedih, s a b a r la h !” “Tapi coba! Sudah em pat tahun aku bersabar dan aku m enderita! Percintaan seperti yang kita punya seharusnya diakui, dicanangkan ke hadapan Tuhan. Mereka m enyiksaku. Aku tak tahan lagi! Selam atkan aku!” Ia m erapat ke tubuh Rodolphe. Matanya yang sebak berbinar- binar seperti api di bawah alun. Tenggorokannya terengah cepat. Belum pernah Rodolphe m encintainya seperti sekaran g in i. Sam pai-sam pai ia lupa diri dan berkata, “ J adi, apa yang harus kulakukan? Kau m au apa?” “Bawa aku pergi!” seru Em m a. “Larikan aku! Oh, aku m em ohon!” Lalu Em m a m enyam bar bibir Rodolphe, seakan-akan hendak m enangkap persetujuannya yang tak tersangka, yang terem bus keluar dengan ciuman. “Tapi...” kata Rodolphe. “Apa lagi?” “Anakm u?” Em m a berpikir beberapa saat, Lalu m enjawab, “Kita bawa, apa boleh buat!”

266 Gustave Flaubert Bukan m ain perem puan ini! batin Rodolphe dan m atanya m engikuti Em m a yang m enjauh. Emma telah lolos lari ke dalam pekarangan. Ia telah dipanggil. Ibu Bovary hari-hari berikutnya terheran-heran m elihat perubahan m enantunya. Em m a m em ang kelihatan lebih m enurut. Ia malah bersikap penuh hormat sampai-sampai minta resep untuk membuat acar mentimun. Apakah supaya keduanya lebih gam pang dapat dikelabuinya? Ataukah karen a sem acam ketabahan m asa bodoh yan g m enggairahkan, ia m au supaya lebih m endalam lah kepahitan hatinya m em ikirkan segala sesuatu yang bakal ditinggalkannya? Tetapi tak ada perhatiannya untuk sem ua itu, bahkan sebaliknya. Hidupnya seakan-akan terlena dalam kenikm atan kebahagiaannya yang akan datang, yang dicicipinya sebelum waktunya. Itulah yang tak habis-habis dipercakapkannya dengan Rodolphe. Em m a bersandar pada bahu Rodolphe dan berbisik, “Tunggu saja! Kalau kita nanti sudah di dalam kereta pos! Coba kau pikirkan! Apa m ungkin? Kukira, begitu aku m erasa kereta m elesat m aju, rasanya akan seperti naik balon, seperti m em bubung ke awan gem awan. Tahukah kau bahwa aku m enghitung harinya? Dan kau?” Belum pern ah Nyon ya Bovary secan tik pada m asa itu. Kecantikannya tak terperikan, akibat dari kegem biraan, dari gairah besar, dari sukses, tidak lain dari keselarasan temperamen den gan keadaan . Kem elikan n ya, kesusahan n ya, pen galam an keberahian dan idam -idam annya yang selalu m uda, seperti halnya pupuk, hujan, angin, dan m atahari, bagi bunga, dengan bertahap telah m em buatnya berkem bang. Dan akhirnya ia m ekar berseri-seri m em enuhi kodrat alam nya. Kelopak m atanya seolah- olah sengaja dibentuk untuk memandang berlama-lama, penuh berahi, sam pai biji m atanya m enghilang, sedangkan em busan napas yang kuat m engem bangkan cuping hidungnya yang tipis

Nyonya Bovary 267 dan m engem bungkan sudut bibirnya yang subur, yang dalam terang cahaya dibayangi sedikit oleh bulu-bulu hitam halus. Bolehlah dikatakan seakan-akan seorang senim an yang pandai m engungkapkan kerusakan jiwa, telah m enaruh di tengkuknya kundai yang lebat; ram butnya tergulung m enjadi gulungan berat, secara sem brono, sebagaim ana kebetulan si pezina m engaturnya setelah diuraikan setiap hari. Suaranya sekarang lebih em puk lekuk likunya, dem ikian pula pinggangnya. Sesuatu yang halus, yang m em asuki jiwa, terum bar juga dari kain-kain gaunnya dan dari punggung kakinya. Seperti pada perm ulaan waktu perkawinannya, Charles m enganggap Em m a sedap dipandang dan menarik sekali tak dapat dilawan. Apabila Charles pulan g ten gah m alam , ia tidak beran i m em bangunkannya. Pelita m alam dari porselen m em bentuk bundaran terang yang bergetar di langit-langit. Dan kelam bu m enutup keranjang bayi seperti gubuk putih yang m engem bung di dalam tem aram , di dekat tem pat tidur. Charles m enatap m ereka. Rasa-rasanya ia m endengar napas lem but anaknya. Anak itu mulai besar sekarang, setiap musim akan membawa kemajuan pesat. Charles sudah m em bayangkannya pulang dari sekolah kalau m alam tiba, penuh gelak ria, dengan bajunya yang kena cipratan tinta, dan dengan m enjinjing keranjangnya. Kem udian ia harus dicarikan rum ah pondokan. Mahal harganya. Bagaim ana akalnya? Lalu ia berpikir. Maksudnya hendak m enyewa tanah pertanian kecil di sekitar itu, yang akan diawasinya sendiri setiap pagi kalau hendak m enengok pasien-pasiennya. Uang yang m asuk akan disim pannya, ditaruhnya di bank tabungan. Kem udian akan dibelikannya saham , entah di m ana, tak jadi soal. Lagi pula, langganannya akan bertam bah banyak. Itu m asuk hitungannya, karena ia ingin Berthe m endapat pendidikan yang baik, m em punyai bakat, belajar m ain piano. Ah! Betapa cantiknya dia nanti kalau um urnya sudah lim a belas tahun, apabila pada

268 Gustave Flaubert m usim panas gadis yang m irip ibunya itu m em akai topi pandan besar seperti ibunya pula. Dari jauh m ereka akan disangka kakak- beradik. Ia sudah m em bayangkan Berthe pada m alam hari bekerja bersam a m ereka, diterangi cahaya lam pu. Berthe akan m enyulam sandal untuk ayahnya. Ia akan m engurus rum ah tangga. Ia akan m engisi seluruh rum ah dengan keluwesan dan kegirangannya. Pada akhirnya, m ereka akan m em ikirkan tem patnya di dalam m asyarakat. Mereka akan m encarikan anak m uda yang baik untuknya, yang m em punyai kedudukan yang kukuh. Anak m uda itu akan m em bahagiakannya. Untuk selam a-lam anya. Emma tidak tidur, ia pura-pura saja sudah lelap. Dan sem en tara Charles terlen a di sam pin gn ya, Em m a terjaga menerawang impian-impian baru. Dengan diiringi derap empat ekor kuda, Emma delapan hari lam anya terbawa ke negeri baru yang tidak bakal m ereka tinggalkan lagi untuk selam a-lam anya. Mereka jalan, jalan terus, bergandengan, tanpa kata. Sering, dari atas gunung, tiba-tiba tam pak oleh m ereka salah suatu kota yang m egah, dengan kubah- kubah, jembatan-jembatan, kapal-kapal, hutan-hutan pohon lim au, dan katedral-katedral dari pualam putih; m enaranya yang lancip-lancip m enam pung sarang burung bangau. Mereka berjalan dengan langkah santai karena batu-batu ubinnya besar. Dan di tanah tersebar buket-buket kem bang yang ditawarkan oleh perem puan-perem puan berpakaian blus m erah. Terdengar bunyi lonceng, ringkik keledai diiringi gerisik suara gitar dan desir air m ancur yang kabutnya terbawa angin, m enyegarkan buah-buahan yang disusun bertum puk m em bentuk piram ida-piram ida pada kaki patung-patung pucat yang tersenyum dibasahi sem buran air. Lalu pada suatu m alam m ereka tiba di desa nelayan dengan jaring-jaring yang diangin-anginkan sepanjang dinding-dinding karang dan pondok-pondoknya, Di situlah m ereka berhenti hendak menetap; mereka akan mendiami sebuah rumah rendah

Nyonya Bovary 269 dengan atap datar, diteduhi sebatang pohon palem, jauh ke dalam teluk di tepi laut. Mereka akan pesiar naik gondala. Mereka akan berayun-ayun di dalam ranjang gantungan. Dan kehidupan mereka bakal gampang dan longgar seperti pakaian sutra mereka, enak hangat dan bertabur bintang seperti malam-malam lembut yang bakal m ereka renungi. Akan tetapi di keluasan m asa depan yang terbayang di ruang m atanya itu, tak ada m uncul sesuatu yang istim ewa. H ari-hari, cem erlang sem uanya, m irip satu dengan lainnya seperti om bak m irip gelom bang. Dan sem ua itu berayun-ayun di cakrawala, tak terhingga, serasi, kebiru-biruan, disaput m atahari. Tetapi anaknya batuk-batuk di ranjangnya, atau Bovary m endengkur lebih keras. Dan Em m a baru tertidur m enjelang subuh apabila kaca jendela m em ucat kena fajar, dan si bocah J ustin di lapangan besar sudah membuka sengkuap- sengkuap toko obat. Em m a telah m em anggil Tuan Lheureux dan kepadanya dia berkata, “Saya perlu sebuah m antel, m antel besar, dengan leher panjang yang dilapisi.” “Anda m au bepergian?” tanya Lheureux. “Oh, tidak! Tapi... tak apa. Saya bisa m engandalkan Anda, bukan? Mesti cepat.” Lheureux m em bungkuk. “Saya juga perlu peti,” sam bung Em m a, “jangan yang terlalu berat, yang gam pang dibawa.” “Ya, ya, saya tahu, kira-kira sem bilan puluh dua kali lim a puluh, seperti yang lazim dibuat sekarang.” “Dan sebuah tas sandang.” Tak salah lagi, pikir Lheureux, pasti ada apa-apany a. “Dan terim a ini,” kata Nyonya Bovary, sam bil m engeluarkan arloji dari ikat pinggangnya. “Am billah. Untuk pem bayarannya.”

270 Gustave Flaubert Tetapi si pedagang berkata tidak baik Nyonya Bovary begitu. Mereka, kan, sudah saling mengenal. Dia, kan, tidak meragukan Nyonya? Seperti anak kecil saja! Nam un Em m a m endesak terus supaya Lheureux paling tidak m engam bil rantainya. Dan Lheureux sudah m engantonginya dan sudah m au pergi, ketika Em m a m em anggilnya kem bali. “Sem ua itu Anda sim pan di tem pat Anda. Adapun m antel itu,” Em m a kelihatan berpikir, “juga tidak usah dibawa kem ari. Berikan saja alam at tukangnya dan beri tahukan padanya supaya m antel itu disiapkan untuk saya.” Mereka akan m elarikan diri pada bulan berikutnya. Em m a akan berangkat dari Yonville seakan-akan m au berbelanja di Rouen. Rodolphe pada waktu itu bakal sudah memesan tempat, m engurus paspor, bahkan sudah m enulis ke Paris supaya seluruh kereta pos itu disediakan untuk mereka sendiri sampai kota Marseille. Di kota itu mereka akan membeli kereta caleche dan dari situ mereka akan meneruskan perjalanan, tanpa berhenti, ke Genoa. Em m a akan m engurus supaya bagasinya sudah dikirim ke tem pat Lheureux, dan dari sana langsung diangkut ke kereta Hirondelle, sehingga tak seorang pun akan menaruh curiga. Dan dalam seluruh urusan itu anaknya tak pernah disebut-sebut. Rodolphe m enghindari percakapan m engenai dia. Boleh jadi Em m a sudah tidak lagi m em ikirkannya. Rodolphe m inta waktu dua m inggu lagi untuk m enyelesaikan beberapa urusan. Lalu, sesudah delapan hari, ia m inta tam bah lim a belas hari lagi. Lalu katanya ia sakit. Sesudah itu ia bepergian. Bulan Agustus berlalu. Dan sesudah segala kelam batan itu, m ereka m enentukan harinya, tanggal em pat Septem ber, hari Senin, tak bakal diubah-ubah lagi. Akhirnya, tibalah hari Sabtu, dua hari sebelum nya. Rodolphe pada malam hari itu datang lebih cepat dari b ia sa n ya .

Nyonya Bovary 271 “Sem uanya sudah siap?” tanya Em m a. “Be r e s .” Lalu m ereka berjalan m engelilingi sebuah petak kem bang, dan mencari tempat duduk di dekat teras, di atas pinggiran tembok. “Kau sedih,” kata Em m a. “Ah, tidak, m engapa?” Akan tetapi Rodoplhe m enatapnya dengan aneh, secara lem b u t . “Karen a kau harus pergi?” tan ya Em m a lagi. “H arus m eninggalkan apa yang kau sayangi, kehidupanm u? Ah! Aku m engerti.... Kalau aku, aku tak m em punyai apa-apa di dunia ini! Kau segala-galanya bagiku, karena itulah aku akan m enjadi segala-galanya untukm u pula, aku akan m enjadi keluargam u, kam pung halam anm u, aku akan m engurusm u, m enyayangim u.” “Man is ben ar kau,” kata Rodolphe, sam bil m en dekap m em eluknya. “Betul?” kata Em m a dengan tawa berahi. “Kau cinta padaku? Sum pahlah!” “Aku cinta padam u? Cinta? Aku m em ujam u, cintaku!” Sang rembulan, bundar dan bulat, merah keunguan, timbul dari tanah di ujung padang rum put. Cepat naiknya di antara cabang pohon-pohon peuplier yang di sana sini m enyem bunyikannya seperti tirai hitam yang berulang-ulang. Lalu m unculnya putih berseri-seri di langit ham pa yang diteranginya. Lalu lebih lam ban, bulan itu m enjatuhkan bercak besar yang m enebarkan bintang tak terhingga banyaknya ke atas sungai. Dan cahaya keperak-perakan itu seakan-akan m eliuk-liuk sam pai ke dasar, tak ubahnya dengan ular tiada berkepala yang seluruh badannya penuh dengan sisik yang bercahaya. Ada m iripnya juga dengan kandil raksasa yang sepanjang cabang-cabangnya bersiram lelehan tetesan intan. Malam lembut membentang mengelilingi mereka. Di sana sini

272 Gustave Flaubert bayang-bayang m em enuhi dedaunan. Em m a, m atanya setengah terpejam , m enghirup dengan tarikan napas yang dalam angin sejuk yang sedang m engem bus. Mereka tidak bercakap-cakap, terlalu asyik dengan lam unan yang datang m elanda. Kelem butan hari-hari silam pulih mengisi hari mereka, melimpah bisu laksana sungai yang m engalir, sayu sem ayup seperti lem butnya wangi kembang seringen, dan menimbulkan dalam kenangan m ereka bayang-bayang yang lebih besar dan lebih sayu daripada bayang-bayang pohon-pohon liangliu yang m em anjang di atas rerum putan , tegak tak bergerak. Acap kali seekor bin atan g m alam , landak atau m usang, yang keluar berburu, m engacaukan dedaunan, atau sekali-sekali terdengar sebuah persik yang m atang jatuh begitu saja dari anjang-anjangnya. “Ah! Bukan m ain indahnya m alam ini!” kata Rodolphe. “Besok-besok, kan, ada lagi!” sam bung Em m a. Dan seakan-akan kepada dirinya ia berbicara, “Ya, enak kalau sudah dalam perjalanan nanti.... Tetapi mengapa hatiku murung begini? Apakah karena takut akan hal-hal yang belum kukenal... akan m eninggalkan kebiasaan-kebiasaan... atau barangkali.... Ah, tidak! Karena terlalu besar kebahagiaan ini! Aku benar, bukan? Ma a fka n !” “Masih ada waktunya!” seru Rodolphe. “Pikirkan lagi, jangan- jangan kau m enyesal nanti.” “Tidak bakal!” jawab Em m a berapi-api. Ia m endekat, “Kecelakaan apa dapat m enim paku, coba? Tiada gurun, tiada tubir, tiada lautan yang tak m au kutem puh bersam am u. Makin lam a kita hidup bersam a, yang kita alam i akan seperti dekapan yang setiap hari sem akin m esra, sem akin sem purna. Tak bakal ada yang dapat m erisaukan kita, tak ada susah, tak ada rintangan! Kita bakal sendiri, hanya kita berdua untuk selam a-lam anya.... Tapi bicaralah! J awab aku!”

Nyonya Bovary 273 Rodolphe m enjawab dengan selang waktu yang tetap, “Ya... ya...” Em m a m enyusupkan tangannya ke dalam ram but Rodolphe, dan dengan suara kekanak-kanakan, m eskipun air m atanya bercucuran besar-besar, katanya berulang-ulang, “Rodolphe! Rodolphe, ah! Rodolphe, Rodolphe sayangku yang m anis!” J am tengah m alam berbunyi. “Sudah pukul dua belas!” kata Em m a. “Mari, sekarang sudah, besok pagi. Masih tinggal satu hari.” Rodolphe bangkit hendak pergi. Dan seolah-olah gerakan merupakan tanda pelarian mereka, Emma tiba-tiba menjadi r ia n g. “Paspornya sudah ada?” “Su d a h .” “Tak ada yang lupa?” “Tid a k.” “Pasti?” “Pasti sekali.” “Kau m enunggu aku di Hotel de Provence, bukan? Tengah hari?” Ia mengangguk. “Sam pai besok kalau begitu!” kata Em m a dengan belaian terakhir. Dan m atanya m engikuti Rodolphe yang m enjauh. Rodolphe tidak m enengok lagi. Em m a lari m enyusul dan di tepi kali, di antara semak-semak, ia mengulurkan badan. “Sam pai besok!” teriaknya. Rodolphe sudah di seberang kali dan berjalan cepat di padang rumput. Beberapa m enit kem udian Rodolphe berhenti. Waktu ia m elihat Em m a yang berbaju putih seperti hantu m akin m em udar di dalam gelap, jantungnya tiba-tiba berdebar-debar sam pai- sam pai ia tersandar ke pohon supaya tidak jatuh.

274 Gustave Flaubert “Bodoh benar aku!” m akinya dengan sengit. “Apa boleh buat. Pacar yang ini m em ang m anis sekali!” Dan serta-merta kecantikan Emma berikut segala nikmat percintaan itu tim bul kem bali di ruang m atanya. Mula-m ula ia m enjadi terharu, lalu ia berontak terhadapnya. “Bagaim anapun,” serunya sam bil m enggerakkan tangan, “aku, kan, tidak dapat m eninggalkan negeriku, dan m enanggung a n a k!” Sem ua itu dikatakannya untuk m enabahkan hatinya. “Belum susahnya, belum uangnya.... Ah! Tidak, tidak, seribu kali tidak! Konyol benar kalau sam pai terjadi!”

Bab XIII BEGITU SAMPAI di rumah, Rodolphe segera duduk menghadap meja tulis di bawah kepala kijang yang menjadi pajangan di dinding. Tetapi ketika pena sudah siap di jari, ia tak tahu apa yang harus ditulisnya. Maka bertelekulah ia pada kedua sikunya, lalu mulai berpikir. Emma rasanya seperti telah surut ke dalam masa silam yang sudah jauh lampau, seolah-olah keputusan yang telah diambilnya menimbulkan dengan sekonyong-konyong jarak yang jauh sekali di antara mereka berdua. Supaya sesuatu dari Em m a dapat ditangkapnya kem bali, Rodolphe pergi ke lem ari di ujung tem pat tidurnya m encari kaleng biskuit tua dari Reim s tem pat ia biasanya m enyim pan surat-surat dari perempuan-perempuan. Dan dari kaleng itu keluar bau debu basah dan bau m awar yang sudah layu. Mula-m ula dilihatnya sehelai saputangan dengan noda-noda kecil yang sudah pudar. Saputangan itu kepunyaan Em m a, pada waktu m ereka berjalan- jalan dan Em m a m im isan. Rodolphe tak ingat lagi. Bersam a itu

276 Gustave Flaubert ada sebuah gam bar kecil yang diberikan oleh Em m a kepadanya dan yang sudut-sudutnya sem uanya sum bing. Dandanan Em m a m enurut perasaan Rodolphe terlalu angkuh dan m atanya yang dilirikkan m em beri kesan yang m enyedihkan sekali. Lalu karena lam a-lam a direnunginya gam bar itu dan diingat-ingatkannya kem bali kenangan akan aslinya, raut m uka Em m a lam bat laun m enjadi kabur dalam ingatannya, seakan-akan sosok yang hidup dan sosok yang dilukis itu, karena saling bersentuhan, saling m enghapus. Akhirnya ia m em baca-baca suratnya. Surat-surat itu penuh keterangan mengenai perjalanan mereka, pendek-pendek, bersifat teknis dan m endesak seperti surat dagang. Ia ingin m em baca yang panjang-panjang, yang dari tem po dulu. Karena harus m encarinya di dasar kaleng, Rodolphe m engacaukan sem ua surat lainnya. Tanpa berpikir, ia lalu m em bongkar-bongkar tum pukan kertas dan barang itu. Dan ditem ukannya kem bali, kacau-balau, buket-buket, sebuah ban penahan kaus kaki, kain kedok hitam , beberapa peniti, dan ram but: ram but! Yang pirang kecokelat-cokelatan, yang pirang kekuning-kuningan. Malahan ada beberapa helai yang tersangkut pada rangka besi kaleng itu dan putus ketika kaleng dibuka. Maka dalam m enelusuri kenang-kenangannya dengan santai, Rodolphe m eneliti sem ua gaya tulisan dan gaya surat itu yang aneka ragam nya sebanyak cara ejaannya. Nadanya ada yang lem but ada yang ram ah, lucu, sayu. Ada yang m inta cinta, ada yang m inta uang. Melihat sebuah kata, teringatlah ia akan wajah, gerak-gerak tertentu, nada suara. Akan tetapi ada kalanya ia tidak ingat apa-apa. Mem ang, perem puan-perem puan yang serentak m enyerbu pikirannya itu, saling m erikuhkan dan saling m engecilkan arti m ereka, seakan-akan diliputi percintaan yang sam a, yang m enyam aratakan m ereka. Maka Rodolphe m engam bil surat-surat yang kacau-balau itu segenggam -segenggam , dan beberapa m enit

Nyonya Bovary 277 lam anya secara iseng m enum pah-num pahkannya dari tangan kanan ke tangan kirinya. Akhirnya ia bosan, puas, lalu pergi ke lemari untuk mengembalikan kaleng itu sambil bergumam, “Lelucon konyol sem uanya!” Dem ikianlah pendapatnya secara singkat. Sebab, seperti halnya m urid-m urid di pekarangan sekolah, segala kesenangan telah begitu m enginjak-injak hatinya, hingga tak ada sedikit pun hijau-hijauan lagi yang tum buh di situ, dan dari sem ua yang pernah m elintas di sana dengan cara yang lebih gegabah daripada anak-anak, tetapi berlainan dari anak-anak, tidak tertinggal coretan apa pun di tembok, coretan nama Rodolphe pun tidak. Ay o, batinnya, kita harus m ulai! Ia pun lalu menulis: “Tabahlah, Em m a! Tabah! Say a tidak ingin hidup Anda cela k a ....” Dan m em ang benar begitu, pikir Rodolphe. Aku berbuat dem i kepentinganny a. Aku jujur. “Apakah Anda sudah m atang-m atang m em pertim bangkan keputusan Anda? Apakah Anda sadar ke dalam jurang apa hendak say a seret Anda, bidadariku y ang m alang? Tidak Anda sadari, bukan? Anda m elangkah dengan percay a dan dengan gila, karena y akin akan kebahagiaan, akan m asa depan. Ah! Kasihan kita! Tanpa pikiran kita!” Rodolphe berhenti, m encari sesuatu yang bisa m enjadi dalih yang baik. Bagaim ana kalau kukatakan, seluruh kekay aanku hilang? Ah! Tidak! Lagi pula itu tidak akan m enghalangi apa-apa. Nanti sem uany a harus diulang lagi. Bagaim ana perem puan- perem puan sem acam itu dapat diajak bicara! Ia berpikir, lalu menambahkan: “Say a tidak akan m elupakan An da, percay alah, dan say a selalu akan tetap setia kepada Anda, tetapi cepat atau

278 Gustave Flaubert lam bat, pada suatu hari, gairah itu (itulah nasib segala sesuatu yang m engenai m anusia) sudah pasti akan surut! Kita akan dihinggapi rasa bosan, dan siapa tahu barangkali say a harus m em ikul penderitaan pahit m enyaksikan Anda m enyesal dan say a pun akan ikut m eny esal, sebab say alah peny ebabny a! Baru m em bay angkan saja kesedihan y ang bakal m enghinggapi Anda nanti, saya sudah m erasa tersiksa, Em m a! Lupakan diriku! Ah, m engapa say a harus berkenalan dengan Anda? Mengapa Anda secantik itu? Salahkukah itu? Ya, Tuhan! Jangan, jangan nasib sajalah y ang harus Anda persalahkan!” Nah, itu kata y ang selalu m ujarab, batinnya. “Ah! Seandainy a Anda seperti w anita-w anita iseng y ang kadang-kadang kita lihat itu, m aka sudah pasti, karena hany a m em ikirkan diri sendiri, saya dapat m engadakan suatu percobaan, y ang dalam hal itu tak akan m em bahay akan Anda. Tetapi kegem biraan Anda, penuh gairah dan ny am an, sekaligus pesona dan siksaan Anda, telah m em buat Anda w anita juw ita, tidak m engerti akan kepalsuan kedudukan kita nanti. Say a pun m ula-m ula tidak m em ikirkanny a, dan say a berteduh dalam bay angan kebahagiaan sem purna itu seperti dalam bay angan pohon apel y ang beracun, tanpa m elihat akibat-akibatny a.” Boleh jadi ia akan m engira, kulepaskan kebahagiaan itu karena pelit.... Ah! Biar! Apa boleh buat, harus ada akhirny a! “Dunia itu kejam , Em m a. Di m ana pun kita berada nanti, dunia itu akan m engejar-ngejar kita. Anda nanti terpaksa m enerim a pertanyaan-pertanyaan yang kurang sopan, itnah, cibiran, mungkin juga penghinaan. Anda dihina! Aduh! Sedangkan saya, ingin saya m enem patkan Anda di atas singgasana! Saya, saya sim pan kenangan Anda bagaikan jim at! Karena say a m enghukum diri dengan pem buangan untuk segala kesusahan y ang telah say a tim pakan kepada Anda. Say a pergi. Ke m ana? Entahlah say a sudah gila! Selam at tinggal!

Nyonya Bovary 279 Anda harus tetap baik hati! Sim panlah kenangan pada laki-laki m alang ini y ang telah m encelakakan Anda. Sebutkan nam a say a kepada putri Anda, supay a ia m engulanginy a dalam doany a.” Sumbu kedua lilin bergetar. Rodolphe bangkit hendak menutup jendela. Dan waktu ia duduk kembali, Rasany a sekian pun cukup.... Ah! Masih ada. Untuk m encegah ia datang m em buruku. “Say a sudah jauh apabila Anda m em baca baris-baris y ang m eny edihkan ini. Sebab say a ingin secepatny a m elarikan diri supay a tak tergoda hendak m elihat Anda kem bali. Tidak boleh lem ah! Say a akan kem bali. Dan barangkali pada suatu hari kita akan bercakap-cakap bersam a-sam a dengan dingin sekali m engenai cinta kita y ang sudah lam pau. Adieu! Selam at t in g g a l!” Lalu ada kata “adieu” yang terakhir kalinya, tetapi ditulis terpisah m en jadi dua kata: “A Dieu!” Kepada Tuhan yan g dianggapnya m enunjukkan selera yang tinggi sekali. Sekarang, bagaim ana aku m enandatanganiny a? batinnya. Dengan setia? Ah, tidak! Sahabat Anda? Ya, itu saja. “Sahabat Anda.” Surat itu dibacanya sekali lagi. Rasa-rasanya sudah baik. Kasihan si m anis! pikirnya terharu. Ia akan m enganggap aku lebih tak berperasaan daripada karang. Sebetulny a harus ada beberapa tetes air m ata. Tetapi aku, aku tidak bisa m enangis. Bukan salahku. Lalu Rodolphe m enuangkan air ke dalam gelas, m em basahi jarinya ke dalam air itu dan dari atas m enitikkan setetes besar yang m em buat bercak pucat di atas tinta. Lalu ia mencari cincin berstempel Am or nel cor itu. Tidak begitu cocok untuk keadaan ini.... Alah... biar!

280 Gustave Flaubert Sesudah itu, ia mengisap pipa tiga kali, lalu masuk tempat tidur. Esok harinya, sesudah bangun (kira-kira ham pir pukul dua, tidurnya kem arin sudah larut m alam ), Rodolphe m enyuruh orang m em etik buah abrikos sekeranjang. Suratnya ditaruhnya di bawah sekali, tertindih daun-daun anggur, dan Girard, tukang bajaknya, disuruhnya segera m engantarkan sem ua itu dengan hati-hati ke rum ah Nyonya Bovary. Inilah cara dia berkirim surat dengan Em m a. Sesuai dengan m usim nya, dikirim nya buah- buahan atau binatang buruan. “Kalau dia m en an yakan berita ten tan g saya,” kata Rodolphe, “jawab saja saya sedang bepergian. Keranjang ini harus disam paikan kepadanya pribadi, diterim akan ke dalam tangannya. Sudah, sana, dan hati-hati!” Girard m engenakan kem ejanya yang baru, m em bungkus abrikos itu dengan selam painya, lalu berjalan dengan langkah- langkah besar dan berat karena sepatu besarnya berlapis besi. Dan dengan tenang ditem puhnya jalan ke Yonville. Waktu ia sam pai, Nyonya Bovary, dibantu Félicité, sedang mengatur sebungkus kain linen di atas meja dapur. “Ini ada kirim an dari m ajikan saya,” kata si pelayan. Emma menjadi curiga, dan sambil mencari uang kecil di dalam sakunya, m atanya dengan liar m enatap si petani, sedangkan Girard sendiri m em andanginya dengan tercengang, tidak m engerti mengapa pemberian semacam itu dapat menggoncangkan hati orang. Akhirnya ia pergi. Félicité m asih ada. Em m a tidak tahan lagi. Ia lari ke ruang duduk seolah-olah hendak membawa buah abrikos itu ke sana, menumpahkan keranjang, mencabut daun- daunnya, m enem ukan surat itu, m em bukanya, dan seolah-olah di belakangnya ada kebakaran dahsyat, Em m a lari ke kam arnya, bingung sekali.

Nyonya Bovary 281 Di kam ar ada Charles. Em m a m elihatnya. Charles bicara kepadanya, Em m a tidak m endengar apa-apa. Cepat-cepat ia terus naik tangga, terengah-engah, setengah gila, mabuk, dan masih juga dengan kertas yang m enyeram kan itu di tangannya, yang m enam par-nam par jari-jarinya seakan-akan selem bar pelat besi. Di tingkat kedua, ia terhenti di depan pintu gudang loteng yang tertutup. Em m a hendak m enenangkan hatinya. Ia teringat pada surat itu, harus ia selesaikan pem bacaannya. Tapi ia tidak berani. Lagi pula di m ana? Bagaim ana? Orang pasti akan m elihatnya. Tidak, pikirnya, di sini saja, aku akan tenang. Pintu didorongnya. Lalu ia m asuk. Hawa panas berat yang ditim pahkan lurus dari atas dari genteng-genteng batu tulis, m enekan pada pelipisnya dan m enyesakkan dadanya. Dengan terseok-seok ia sam pai ke jendela loteng yang tertutup, lalu m enarik gerendelnya. Maka cahaya yang m enyilaukan m enyergap m asuk. Di depannya, di balik atap-atap, terbentang tanah ladang sejauh m ata m em andang. Di bawahnya lapangan besar, kota itu kosong. Kerikil kaki lim a gem erlapan. Penunjuk arah angin di atas rumah-rumah tak bergerak. Di pojok jalan, dari tempat yang setingkat lebih rendah, keluar bunyi sem acam dengkur yang kadang-kadang berubah m enjadi lengking. Itu Binet yang sedang m ela r ik. Em m a bersandar pada kosen jendela loteng. Lalu surat itu dibacanya sekali lagi dengan tawa cem ooh kem arahan. Tetapi m akin dipusatkan perhatiannya, m akin kabur pikirannya. Rodolphe, ia m elihatnya kem bali, m endengarnya, m endekapnya dalam pelukannya. Dan deburan jantungnya yang m em ukul- m ukul di bawah dadanya dengan benturan-benturan sekeras pukulan penggempur tembok, bertambah cepat buru-memburu dengan waktu yang tak teratur. Matanya jelalatan. Ingin Em m a

282 Gustave Flaubert bum i runtuh. Mengapa tidak diakhirinya saja sem ua itu? Siapa akan m encegahnya? Ia akan bebas. Lalu ia m elangkah m aju, memandangi lantai jalanan dan membatin, Ay o! Ay o! Sinar terang yang m enyorot langsung dari bawah m enarik bobot badannya ke jurang. Rasanya seperti tanah lapangan itu bergoyang-goyang naik m em anjati tem bok-tem bok, dan lantai papan m enungging di ujungnya bagaikan kapal yang tunggang- tunggit. Ia berdiri di pinggir sekali, hampir tergantung, dikelilingi keluasan yang besar. Biru langit m elandanya, udara berputar- putar di rongga kepalanya, ia tinggal m enyerah, m em biarkan dirinya tertangkap. Dan dengkur pelarikan itu tiada putus- putusnya, seperti suara yang m em anggil dengan sengit. “Istriku! Istriku!” teriak Charles. Emma terhenti. Karena m enyadari ia baru luput dari m aut, Em m a nyaris pingsan ketakutan. Ia m em ejam kan m atanya. Lalu terkejut m erasakan ada tangan m em egang lengan bajunya: Félicité. “Tuan m enunggu, Nyonya. Sup sudah dihidangkan.” Ia harus turun! Ia harus menghadapi makanan! Em m a m encoba m akan. Potongan m akanannya m enyesakkan napasnya. Lalu ia m em buka serbetnya seakan-akan m au m em eriksa tisikannya dan m em ang benar-benar ia ingin melakukan pekerjaan itu, dan menghitung benang-benang kain- nya. Tiba-tiba, ia teringat kem bali pada surat itu! Hilangkah? Di m ana m encarinya? Tetapi ia m erasa pikirannya begitu lesu hingga tak bakal ia dapat mencari dalih untuk meninggalkan meja makan. Ia pun sudah menjadi pengecut. Ia takut pada Charles. Charles tahu segala-galanya, pasti! Nyatanya, Charles m engucapkan kata-kata berikutnya dengan aneh, “Rupa-rupanya agak lama juga kita tidak akan melihat Tuan Rodolphe lagi.” “Siapa bilang?” seru Em m a, gem etar.

Nyonya Bovary 283 “Siapa yang bilang?” jawabnya agak heran karena nada Em m a yang ketus. “Girard. Aku berjum pa dengan dia tadi di pintu Café Français, ia sudah pergi jauh, atau akan berangkat.” Emma tersedu. “Apa yang m engherankan? Ia kan sekali-sekali pergi seperti itu untuk m encari hiburan. Dan aku m em ang setuju. Apabila ada kekayaan, dan m asih perjaka! Lagi pula ia m em ang suka sekali bersenang-senang, teman kita ini! Suka berkelakar. Tuan Langlois bercerita kepadaku....” Ia diam , karena tidak pantas didengar si pem bantu yang baru masuk. Pem bantu itu m engem balikan buah-buah abrikos yang tersebar di atas papan lem ari ke dalam keranjang, Charles yang tidak m elihat betapa m erah m uka istrinya, m enyuruh pem bantu m em bawa buah-buah itu ke tem patnya, m engam bil sebuah dan langsung m enggigitnya. “Ah, enak sekali!” katanya. “Coba, cicipilah.” Lalu keranjang itu dijulurkannya, tapi Em m a m enolaknya dengan halus. “Coba cium , harum nya bukan m ain!” kata Charles lagi sam bil melewatkan keranjang itu beberapa kali ke bawah hidung Emma. “Aku sesak napas!” seru Em m a sam bil berdiri cepat. Tetapi dengan kekuatan kem auannya, kejang itu hilang. Lalu ia berkata, “Tidak apa-apa! Tidak apa-apa! Senewen saja! Duduklah. Makan saja terus!” Em m a takut orang akan m enanyainya, m erawatnya, tidak m au m eninggalkannya seorang diri. Karen a hen dak m em atuhin ya, Charles duduk kem bali, dan biji-biji abrikos diludahkannya ke dalam tangannya, lalu ditaruhnya di piringnya. Tiba-tiba, kereta tilbury biru lewat berderap cepat di lapangan besar. Emma menjerit dan jatuh ke lantai, terlentang kaku.

284 Gustave Flaubert Sesungguhnya setelah berkali-kali ditim bang-tim bangnya, Rodolphe akhirnya m engam bil putusan untuk berangkat ke Rouen. Akan tetapi karena dari La Huchette ke Buchy tidak ada jalan lain selain dari yang m elintasi Yonville, ia terpaksa harus m elalui kota itu, dan Em m a m engenalinya dalam terang lentera kereta, yang seperti kilat m enyam bar kegelapan. Mendengar kegaduhan di dalam rumah itu, apoteker cepat datang. Meja m akan dan sem ua piring terjungkir. Kuah, daging, pisau-pisau, tem pat garam dan tem pat m inyak berserakan di dalam ruangan itu. Charles berteriak m inta tolong. Berthe yang ketakutan, m enjerit. Dan Félicité, dengan tangan gem etar, m engendurkan korset Nyonya yang sekujur badannya berkejat- kejat. “Sebentar,” kata apoteker, “saya akan m encari sedikit cuka harum di laboratorium.” Lalu, ketika Em m a m em buka m atanya sesudah m encium isi botol, apoteker berkata, “Sudah saya sangka, orang m ati pun bisa bangun kembali dengan itu.” “Bicaralah,” kata Charles, “bicara! Sadarlah! Ini Charles-m u yang m encintaim u. Kenal tidak? Ini, ini anak kecilm u, rangkul d ia !” Anak itu m engulurkan kedua tangannya kepada ibunya untuk m em eluk lehernya. Tetapi Em m a m em buang m uka dan berkata dengan suara putus-putus. “Tidak, tidak... siapa pun tidak!” Ia pingsan lagi. Dan diangkut ke ranjangnya. Di sana ia telentang, dengan mulut terbuka, kelopak mata terpejam, dengan kedua tangannya m enjulur lem pang, tanpa bergerak, dan sepucat patung dari lilin. Dari m atanya m eleleh air m ata m em bentuk dua aliran yang m engalir m em basahi bantalnya. Charles berdiri tegak di dalam relung tem bok tem pat ranjang. Dan apoteker di dekatnya berdiam diri sam bil m erenung, sesuatu


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook