Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BAGIAN 1 TINJAUAN PUSTAKA PENYAKIT JANTUNG JULI 2020

BAGIAN 1 TINJAUAN PUSTAKA PENYAKIT JANTUNG JULI 2020

Published by khalidsaleh0404, 2021-11-03 14:20:03

Description: BAGIAN 1 TINJAUAN PUSTAKA PENYAKIT JANTUNG JULI 2020

Search

Read the Text Version

BAGIAN 1 TINJAUAN PUSTAKA PENYAKIT JANTUNG Departemen Kardiologi Dan Kedokteran Vaskuler, Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS, 2020 EDITOR : Khalid Saleh Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 1



Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung Editor Dr.dr. Khalid Saleh, SpPD – KKV,FINASIM,Mkes Departemen Kardiologi & Kedokteran Vaskuler Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS, 2020 Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | i

Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | ii

Kata Pengantar Alhamdulillah, segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT karena Buku ini telah selesai disusun. Buku ini disusun agar dapat membantu para peminat pembaca masalah “PENYAKIT JANTUNG” , sehingga pengetahuan tentang Penyakit Jantung dapat tersosialisasi kepada para pembaca baik di dalam maupun diluar Rumah sakit . Perlu diketahui bahwa tulisan ini diambil/disadur dari berbagai penulis Supervisor dan peserta didik MPPDS Kardiologi serta MPPDS Penyakit Dalam yang stase di Departemen Kardiologi dan kedokteran Vaskuler, dimana dibuat dalam bentuk kumpulan tulisan dalam suatu Tinjauan Pustaka Penyakit jantung dengan bentuk buku berseri, dan ini masuk Buku Bagian 1 (Pertama) Penyusunpun menyadari jika didalam penyusunan Buku ini mempunyai kekurangan, maka kami meyakini sepenuhnya bahwa sekecil apapun buku ini tetap akan memberikan sebuah manfaat bagi pembaca. Dan terima kasih kepada penulis atas izinnya sehingga tulisannya kami muat. Akhir kata untuk penyempurnaan Buku ini, maka kritik dan saran dari pembaca sangatlah berguna untuk penyusunan kedepannya. Makassar, Juli 2020 Penyusun Dr.dr. Khalid Saleh, SpPD-KKV, FINASIM, Mkes Staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran vaskuler dan Ketua Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS, Makassar Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | iii

Kata Sambutan Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala taufiq dan hidayah yang telah dilimpahkan kepada kita sekalian, sehingga kita mampu menjalankan tugas sehari- hari, baik di Fakultas maupun di Rumah Sakit . Dalam rangka peningkatan pengetahuan kepada para peserta didik baik Pendidikan spesialis maupun Pendidikan dokter umum maka perlu adanya buku/referensi yang bisa dipakai acuan dalam pelayanan pasien di rumah sakit. Oleh sebab itu kami selaku Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUH menyambut baik adanya Buku ini tentang masalah Tinjauan Pustaka Penyakit jantung yang disusun dari hasil tulisan para supervisor dan peserta didik MPPDS Kardiologi dan MPPDS penyakit Dalam yang stase di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUH, mudah-mudahan dapat bermanfaat dalam proses pendidikan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun yang telah banyak meluangkan waktu, mencurahkan tenaga dan pikirannya, hingga tersusunnya Buku ini. Demikian sambutan saya untuk menjadi maklum dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Makassar, Juli 2020 Dr. dr. Muzakkir Amir, SpJP (K) Kepala Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUH Makassar Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | iv

Daftar Isi Kata Pengantar ......................................................................................... iii Kata Sambutan ......................................................................................................iv Daftar Isi .......................................................................................................... v Kontributor ……………………………………………………………………………….vii 1 Abnormalitas Elektrokardiografi Pada Perdarahan Intracerebral Bambang Gunawan, Abdul Hakim Alkatiri......................................... 1 2 Chronic Coronary Syndrome Ahmad Thotuching, Pendrik Tandean ............................................... 36 3 Defek Septum Ventrikel Dan Natural History Fathlina. Khalid Saleh, Yulius Patimang.......................................... 49 4 Heart Rate Variability Agustinus Fatola, Peter Kabo, Muzakkir Amir................................. 77 5 Hipoglikemia & Risiko Kardiovaskular A.Idfa Muidah Idham, Pendrik Tandean, Makbul Aman ................ 114 6 Karbon Dioksida (Co2): Efek Terhadap Pembuluh Darah Perifer Dan Aplikasi Klinis Adelaide Adiwana, Muzakkir Amir................................................. 138 7 Mekanisme Kerja Obat-Obat Antiplatelet Mardhiyah Yamani, Zaenab Djafar ................................................. 162 8 Sistem Saraf Otonom Pada Jantung Andi Arny Megawaty, Idar Mappangara ........................................ 205 9 Sindroma Koroner Akut Pada Pasien Keganasan Nurminsyah Purnamawan , Pendrik Tandean ................................ 234 10 Tatalaksana Intervensi Pada Thromboangiitis Obliterans Rini Anastasia, Idar Mappangara ................................................... 250 11 Tatatalaksana Gagal Jantung Pendekatan Terapi pada Anak La Ode Muhammadin, Yulius Patimang......................................... 270 Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | vii

12 Perjalanan Udara Pada Penderita Penyakit Kardiovaskuler Jaka Eka Yulianto, Zaenab Djafar .....................................................312 13 Coronary Flow Reserve Adelaide Adiwana, Abdul Hakim Alkatiri………………………… 333 14. Kegawatdaruratan Pada Usia Lanjut Dalam Kardiologi Sitti Rahmah, Wasis Udaya, Pendrik Tandean…………………… 370 15. Mitral Valve Prolaps Pada Hipertiroidisme Niza Amalya, Pendrik Tandean, Husaini Umar………………… 398 16. Hipertensi Pulmonal Yang Disebabkan Oleh Penyakit Paru dan/ atau Hipoksemia (Hipertensi Pulmonal Tipe III) : Epidemiologi, Patognesis, Evaluasi Diagnostik, Tatalaksana dan Prognosis pada Pada Pasien Dewasa Andi Muhammad Reis R Saiby, Akhtar Fajar Muzakkir................. 412 17. Influenza Vaccination in Cardiovascular Event “What Guideline Tell Us” Agustinus Fatola, Muzakkir Amir .................................................. 450 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | viii

Kontributor Abdul Hakim Alkatiri Akhtar Fajar Muzakkir DIVISI INVASIF & INTERVENSI DIVISI PERAWATAN INVASIF & NON BEDAH KEGAWATAN KARDIOVASKULER Departemen Kardiologi dan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Kedokteran Vaskuler Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Hasanuddin Makassar Makassar Adelaide Adiwana Andi Muhammad Reis R Saiby MPPDS MPPDS Departemen Kardiologi dan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Kedokteran Vaskuler Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Hasanuddin Makassar Makassar Agustinus Fatola A.Idfa Muidah Idham MPPDS MPPDS Departemen Kardiologi dan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Hasanuddin Makassar Makassar Bambang Gunawan Ahmad Thotuching MPPDS MPPDS Departemen Kardiologi dan Kedokteran Departemen Kardiologi dan Vaskuler Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Hasanuddin Makassar Makassar Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | ix

Fathlina La Ode Muhammadin MPPDS MPPDS Departemen Kardiologi dan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Kedokteran Vaskuler Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Hasanuddin Makassar Makassar Husaini Umar Mardhiyah Yamani DIVISI ENDOKRIN METABOLIK MPPDS Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Hasanuddin Makassar Makassar Idar Mappangara Makbul Aman DIVISI KEDOKTERAN VASKULER DIVISI ENDOKRIN METABOLIK Departemen Kardiologi dan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Hasanuddin Penyakit Dalam Makassar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Muzakkir Amir Makassar DIVISI ARITMIA Departemen Kardiologi dan Kedokteran Yulius Pattimang Vaskuler DIVISI KARDIOLOGI PEDIATRIK & Fakultas Kedokteran Universitas PENYAKIT JANTUNG BAWAAN Hasanuddin Departemen Kardiologi dan Makassar Kedokteran Vaskuler Niza Amalya Fakultas Kedokteran Universitas MPPDS Hasanuddin Departemen Ilmu Penyakit Dalam Makassar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Khalid Saleh Makassar DIVISI DIAGNOSTIK NON INVASIF Departemen Kardiologi dan Nurminsyah Purnamawan Kedokteran Vaskuler, MPPDS Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Departemen Kardiologi dan Kedokteran Penyakit Dalam Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Hasanuddin Makassar Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | ix

Makassar Rini Anastasia Sitti Rahmah MPPDS MPPDS Departemen Kardiologi dan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Hasanuddin Makassar Makassar Wasis Udaya Jaka Eka Yulianto DIVISI GERIATRI MPPDS Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Kardiologi dan Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran Vaskuler Hasanuddin Fakultas Kedokteran Universitas Makassar Hasanuddin Makassar Zaenab Djafar DIVISI REHABILITASI Pendrik Tandean Departemen Kardiologi dan Kedokteran DIVISI DIAGNOSTIK NON INVASIF Vaskuler, Departemen Kardiologi dan Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Kedokteran Vaskuler, Penyakit Dalam Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Fakultas Kedokteran Universitas Penyakit Dalam Hasanuddin Fakultas Kedokteran Universitas Makassar Hasanuddin Makassar Niza Amalya MPPDS Peter Kabo Departemen Ilmu Penyakit Dalam DIVISI KARDIOLOGI KLINIK Fakultas Kedokteran Universitas Departemen Kardiologi dan Hasanuddin Kedokteran Vaskuler Makassar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | x



1 Abnormalitas Elektrokardiografi Pada Perdarahan Intracerebral Bambang Gunawan, Abdul Hakim Alkatiri PENDAHULUAN Lebih dari setengah juta orang di dunia mengalami kejadian cerebrovaskular akut setiap tahun termasuk stroke iskemia, perdarahan intracerebral (ICH), dan perdarahan subaraknoid (SAH) dengan angka kematian hampir 20% (Togha et al.,2013; Alter et al., 1986). Laporan lain mengatakan kelainan jantung terjadi pada 60- 70% pasien setelah stroke. Gangguan yang paling sering termasuk abnormalitas elektrokardiografi (EKG), aritmia jantung, cedera dan disfungsi miokard (Tandur S, 2016). Stroke akut terutama SAH sering disertai dengan kelainan EKG yang terkadang sulit dibedakan dengan episode iskemia dan / atau infark miokard berat. (Togha et al.,2013; Alter et al., 1986) Asehenbrenner dan Bodechtel (1938) menyatakan bahwa lesi intrakranial bertanggung jawab atas kelainan elektrokardiogram, tetapi Byer, Ashman, dan Toth (1947) yang melaporkan pertama kali perubahan EKG pada pasien dengan kejadian cerebrovaskular akut. Burch, Meyers, dan Abildskov (1954) menyatakan gambaran perpanjangan interval QT, gelombang T dan gelombang U abnormal berhubungan dengan stroke akut. Sejak itu beberapa laporan tentang prevalensi dan patofisiologi temuan EKG dalam berbagai kejadian cerebrovaskular dikumpulkan (Ruthirago et al., 2016; Arruda WO, 1992). Disfungsi sistem saraf otonom merupakan salah satu manifestasi penyakit sistem saraf pusat. Kejadian sudden cardiac death meningkat pada pasien stroke yang disertai ketidakseimbangan fungsi otonom. Repolarisasi jantung dipengaruhi Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 1

oleh efek disfungsi sistem saraf otonom pada penyakit cerebrovascular ( Huang et al., 2004). Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dari referat ini adalah: 1. Memahami perubahan abnormalitas EKG berkaitan dengan perdarahan intracerebral. 2. Membantu penegakan diagnosis terkait penyakit cerebrovaskular dalam hal ini perdarahan intracerebral yang disertai abnormalitas EKG. 3. Memahami dan mampu melakukan penanganan yang sesuai pada pasien stroke akut yang disertai abnormalitas EKG. TINJAUAN PUSTAKA 1. Anatomi dan Fisiologi Cerebrovaskular Pasokan darah arteri cerebral berasal dari arkus aorta melalui tiga pembuluh darah utama yaitu arteri brakhiocepalika, arteri karotis komunis kiri, dan arteri subklavia kiri (Gambar 1). Arteri brakhiocepalika merupakan trunkus terbesar dari arkus aorta dan bercabang arteri karotis komunis kanan dan arteri subklavia kanan. Arteri karotis komunis kanan pada tingkat kartilago tiroid terbagi menjadi arteri karotis interna dan eksterna kanan. Arteri karotis komunis kiri bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna kiri. Arteri subklavia kiri dan kanan masing-masing mempunyai salah satu cabang yaitu vertebralis kiri dan kanan. Arteri vertebralis masuk melewati foramen intervertebralis C6, melewati foramen transversal dan keluar di C1, kemudian arteri ini akan berputar 90 derajat ke posterior di belakang sendi atlantoaxial sebelum menembus dura dan memasuki tulang tengkorak melalui foramen magnum (Gambar 1) (Egan R, 2011). Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 2

Gambar 1. Gambar skematis tentang asal-usul pembuluh darah otak dari arkus aorta. Inset menunjukkan cabang-cabang utama dari arteri karotis eksternal (Egan R, 2011). Arteri karotis interna naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis kemudian berjalan dalam sinus kavernosus mempercabangkan arteri untuk nervus optikus dan retina dan akhirnya bercabang dua yaitu arteri cerebri anterior dan arteri cerebri media. Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi pada regio sentral dan lateral hemisfer. Arteri cerebri anterior memberikan vaskularisasi pada korteks frontalis, parietalis bagian tengah, korpus kalosum dan nukleus kaudatus. Arteri cerebri media memberikan vaskularisasi pada korteks lobus frontalis, parietalis dan temporalis (Gambar 2) (Egan R, 2011). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 3

Gambar 2. A. Gambar skematis ICA, menunjukkan intracavernous utama dan cabang intracranial. B. Gambar perjalanan dan cabang ACA dengan potongan sagital, menunjukkan beberapa cabang utamanya: 1, arteri striate anterior; 2, segmen A-2 proksimal; 3, arteri orbital (orbitofrontal); 4, arteri frontopolar; 5a, arteri callosomarginal cabang prefrontal; 5b, arteri callosomarginal cabang cingular; 6, arteri pericallosal; 7, arteri frontalis posterior (Egan R, 2011). Gambar 3. Anatomi Otak (Schuenke M et al., 2016) 2. Abnormalitas Elektrokardiografi EKG 12-lead standar (saat istirahat) dilakukan pada setiap pasien menggunakan mesin EKG dengan kecepatan 25 mm/s dan kalibrasi 1 mV/cm. Semua EKG 12-lead direkam dalam 24 jam setelah stroke. Hasil Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 4

rekaman EKG dianalisa secara independen oleh kardiologist tanpa mengetahui rincian status klinis pasien. Abnormalitas EKG yang ditemukan didefinisikan sesuai dengan kriteria standar yang ditunjukkan pada gambar 1. (Adeoye, AM, dkk, 2017). Gambar 4. Definisi dari variasi EKG (Adeoye, AM, dkk, 2017) 3. Definisi dan Epidemiologi Stroke Stroke menurut WHO merupakan penyakit neurologis umum yang menimbulkan tanda-tanda klinis yang berkembang sangat cepat Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 5

berupa defisit neurologi fokal dan global, berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian. Stroke terjadi apabila pembuluh darah otak mengalami penyumbatan atau pecah yang mengakibatkan otak tidak mendapatkan pasokan darah yang membawa oksigen sehingga terjadi kematian sel atau jaringan otak (Smith Et al, 2015). Stroke menempati urutan kedua penyebab kematian terbanyak di dunia dan menyebabkan sekitar 5,5 juta kematian. Satu dari setiap 19 kematian yang terjadi di Amerika Sserikat tahun 2016 disebabkan penyakit stroke. China merupakan salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia (19,9% dari semua kematian di China), bersama dengan Afrika dan Amerika Selatan. Survei global yang dilakukan world Health Organitation (WHO) melaporkan perbedaan angka kematian mencapai sepuluh kali lipat di negara-negara berpenghasilan rendah (Asia Utara, Eropa Timur, Afrika Tengah, dan Pasifik Selatan) dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan tinggi (Eropa Barat, Amerika Utara). insiden stroke meningkat seiring bertambahnya usia dan meningkat dua kali lipat setiap 10 tahun setelah usia 55 tahun. Prevalensi stroke di Indonesia pada tahun 2018 sebesar 10,9% dan mengalami kenaikan sebanyak 3,9% dalam lima tahun terakhir (RISKESDAS , 2018; Boehme, 2017). 4. Perdarahan Intracerebral Pembagian stroke berdasarkan patologi anatomi dan manifestasi klinisinya yaitu stroke non-hemoragik (iskemia) dan stroke hemoragik. Stroke iskemia merupakan oklusi akut dari pembuluh darah intrakranial yang disebabkan oleh trombosis atau emboli dari penyakit arteri kardioembolik atau aterosklerosis. Stroke hemoragik dibagi menjadi ICH (biasanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh yang menembus di otak) dan SAH (disebabkan oleh pecahnya aneurisma intrakranial yang terdapat di dalam ruang subarachnoid sekitar otak). (Paresh P, 2011) Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 6

Gambar 5. Subtipe Stroke Major. (A) Stroke iskemia akut, (B) stroke iskemia subakut, (C) Primary Intracerebral Hemorrhage, (D) intracerebral hemorrhage, (E) Subarachnoid Hemorrhage, (F) Intracranial aneurysm, (G) Aneurysm of the carotid artery (Silverman IE, Rymer MM, 2009) Gambar 6. Pembagian Stroke berdasarkan gambaran klinis dan radiologi (Sacco RL et al., 2013). Perdarahan intracerebral (5-15% dari semua stroke) menyebabkan perdarahan langsung dari arteri ke parenkim otak. Faktor risiko ICH adalah hipertensi, usia tua, ras, merokok, alcohol, dan kadar kolesterol serum yang tinggi. Beberapa kasus ICH yang bukan karena faktor hipertensi antara lain malformasi kecil vaskular, vaskulitis, tumor otak dan obat simpatomimetik Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 7

(misalnya kokain). ICH juga bisa disebabkan oleh angiopati amiloid cerebral dan kerusakan yang ditimbulkan oleh perubahan tekanan darah. Lokasi utama terjadinya ICH adalah di bagian dalam dari belahan otak dan yang paling sering terjadi di daerah putamen (35-50% kasus). Kedua tersering subkortikal putih (sekitar 30%). Perdarahan di tempat lain seperti di talamus ditemukan 10-15%, di bagian pons (bagian dari otak yang terletak di atas medulla oblongata dan di bawah otak tengah) 5-12% dan di otak kecil 7%. Kebanyakan ICH berasal dari pecahnya pembuluh arteri dengan diameter 50-200 mm, yang dipengaruhi oleh lipohialinosis akibat hipertensi kronis. Pecahnya pembuluh darah kecil ini menyebabkan melemahnya dinding pembuluh darah dan microaneurysm milier. Perdarahan lokal kecil pada hematoma akan terus-menerus membesar sehingga mengakibatkan kerusakan klinis pada otak (Hossman et al, 2010). 5. Berbagai Abnormaltias EKG pada ICH Abnormalitas yang ditemukan pada pemeriksaan EKG sering berhubungan dengan kejadian ICH. Dua penyebab utama perubahan EKG yaitu aritmia dan perubahan repolarisasi. Gambaran aritmia yang mengancam jiwa ditemukan meningkat pada pasien stroke akut. Kelainan EKG akibat perubahan repolarisasi yang meningkat selama periode ekstrasistol akan mengakibatkan ventrikel takikardia dan / atau ventrikel fibrilasi. Kelainan EKG yang disertai disfungsi jantung akibat penyakit cerebrovaskular sering disebut sindrom cerebral-kardiak (cerebral-cardiac syndrome / CCS). Kelainan EKG ini menyerupai gambaran iskemia miokard sehingga sering menjadikan dokter salah diagnosis pada awal kedatangan pasien (Liu Q et al., 2011, Ruthirago et al., 2016; Samuels, 2007). Sejak 1947 terdapat beberapa penelitian tentang abnormalitas EKG dan aritmia pasca stroke iskemia dan hemoragik. Byer et al. melaporkan pertama kali pasien ICH dengan EKG perpanjangan interval QT dan gelombang T dan U yang besar. Pola kelainan bervariasi dari gelombang T abnormal, perpanjangan interval QT, hingga aritmia mengancam jiwa seperti ventrikel fibrilasi yang menyebabkan kematian jantung mendadak. Aritmia jantung yang sering terjadi pada pasien stroke dapat disebabkan oleh peningkatan kadar katekolamin, ketidakseimbangan otonom jantung, dan masalah jantung yang tidak berhubungan langsung dengan stroke (Ruthirago et al., 2016, Liu Q et al., 2011).). Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 8

Dalam studi kohort pasien dengan ICH intra-parenkimal non- traumatik ditemukan perpanjangan interval QT, perubahan morfologi ST- T, sinus bradikardia, dan inversi gelombang T sebagai kelainan EKG yang paling sering diamati pada fase akut. Kelainan EKG sering terjadi seelah ICH (56% hingga 81%) dengan gambaran yang paling sering adalah perpanjangan interval QT (19% hinga 67%) dan perubahan ST-T (iskemia) (16% hingga 41%). Gambaran lain yang menyertai juga ditemukan seperti hipertrofi veperntrikel kiri, supra-ventricular takikardia, pembesaran atrium., dan blok nodus atrio-ventrikel (Lele et al., 2019). Gambar 7. Bentuk dan interval EKG (Agarwal, 2013) 5.1. QTc prolongation Penyebab perpanjangan interval QT antara lain hipokalsemia, bradikardia, miokarditis akut, infark miokard akut, hipotermia, obat-obatan (quinidine, procainamide, flecainide, amiodarone, antidepresan trisiklik, disopyramide, pentamidine), cedera cerebral (cedera kepala, ICH), kardiomiopati hipertrofi, cedera jantung saat tidur, dan sindrom herediter (Abdullah, 2010). Interval QT diukur menggunakan metode tangen. QT koreksi (QTc) diukur menggunakan formula Bazett dan dianggap memanjang jika > 450 ms pada wanita dan > 440 ms pada pria. Perpanjangan QTc berhubungan dengan keterlibatan korteks insular, aliran darah intraventrikular, dan hidrosefalus (Maurits D, 2009; Adeoye et al., 2017). Pasien dengan ICH dan SAH memiliki prevalensi perubahan EKG Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 9

yang tinggi dalam 48 jam pertama. Perpanjangan interval QTc adalah kelainan yang paling sering dan memiliki risiko lebih tinggi untuk kejadian aritmia jantung yang mengancam jiwa pada stroke hemoragik (Walter,1992). Perpanjangan interval QT dilaporkan pada 38% pasien stroke iskemia, 64% pasien ICH dan 71% pasien SAH (Ruthirago et al., 2016; Samuels, 2007). Khechinashvili dan Asplund menyimpulkan bahwa perpanjangan interval QTc pada stroke akut (iskemia dan hemoragik) berhubungan dengan penyakit arteri koroner yang sudah ada sebelumnya dibandingkan akibat langsung dari stroke itu sendiri. Di sisi lain Soliman et al menyimpulkan bahwa perpanjangan interval QTc berhubungan dengan peningkatan risiko stroke yang signifikan terlepas dari faktor risiko tradisional stroke. Selain itu, Maebuchi et al menyimpulkan bahwa perpanjangan interval QTc berhubungan dengan kejadian penyakit kardiovaskular di masa mendatang pada populasi umum (Amin O et al, 2017) Gambar 8. Gambaran EKG Perpanjangan interval Q-Tc pada pasien dengan ICH (Mattu A, 2008) 5.2. Perubahan Morfologi Segmen ST Depresi segmen ST: segmen ST horizontal atau downsloping dengan (> 0,05 mV) atau tanpa depresi ST-J diukur 80 ms setelah titik J. Elevasi segmen ST: cembung ke atas dari segmen ST (> 0,1 mV) dengan atau Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 10

tanpa elevasi ST-J, diukur 80 ms setelah titik J (Maurits D, 2009; Adeoye et al., 2017). Perubahan EKG yang biasa juga terlihat adalah segmen ST dan gelombang T yang mencerminkan kelainan pada repolarisasi. Kebanyakan perubahan EKG terlihat paling baik di anterolateral atau inferolateral (Ruthirago et al., 2016; Samuels, 2007). Perubahan segmen ST (termasuk elevasi segmen ST) terjadi pada 22-35% pasien stroke iskemia, yang diperumit dengan meningkatnya prevalensi penyakit jantung (Tandur S, 2016). Gambar 9. Gambaran EKG elevasi segmen ST II, III, aVF, dan V6 disertai depresi segmen ST dan inversi gelombang T V3-V5 pada pasien dengan perdarahan intracranial (Bailey WB, 2003). 5.3. Perubahan Morfologi Gelombang T Gelombang T-cerebral adalah inversi gelombang T dengan kedalaman ≥ 5 mm pada ≥ 4 sadapan prekordial yang berdekatan. Hubungan gelombang T-cerebral dengan disfungsi ventrikel kiri belum diketahui pasti. Patofisiologi gelombang T-cerebral belum dapat disimpulkan tetapi diduga sebagai hasil dari perubahan dalam sistem saraf otonom yang didorong oleh stimulasi otak dan patologi (Stone et al, 2008). Abnormalitas gelombang T yang paling khas adalah adanya inversi gelombang-T raksasa pada sadapan prekordial. Inversi gelombang-T yang paling khas adalah adanya inversi gelombang-T raksasa pada sadapan prekordial. Inversi gelombang-T raksasa pada pasien dengan tingkat kesadaran menurun sangat sugestif terhadap perdarahan intrakranial yang luas, dan pada kenyataannya sering disebut sebagai “gelombang T- Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 11

cerebral\". Abnormalitas gelombang T ini dapat juga terjadi pada stroke non-hemoragik (mis. edema cerebral, stroke iskemia), tetapi lebih jarang. Gambaran ini mungkin dapat terlihat pada sadapan ekstremitas, tetapi cenderung paling khas bila terjadi di sadapan prekordial dimana besarnya mungkin mencapai 20 mm atau lebih. Perpanjangan interval QT juga biasanya berhubungan dengan gelombang T-cerebral. Inversi gelombang-T seperti ini jarang terjadi pada iskemia jantung dan pasien tersebut cenderung memiliki status mental normal (Mattu A, 2008). Gambar 10. Gambaran EKG gelombang T-cerebral pada pasien ICH (Mattu A, 2008). besar pasien dengan gelombang T-cerebral yang mengalami stroke iskemia berkaitan dengan distribusi arteri cerebri media. Pasien stroke dengan gelombang T-cerebral kadang disertai kelainan gerakan dinding transien yang signifikan secara klinis berkaitan dengan kardiomiopati yang diinduksi stres seperti Takotsubo. Pasien stroke terutama stroke iskemia dengan gelombang T-cerebral harus diperiksa lebih lanjut untuk melihat adanya disfungsi jantung (Stone et al, 2008). Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 12

Gambar 11. Kasus seorang wanita 68 tahun dengan stroke iskemia akut. EKG awal menunjukkan gelombang T-cerebral (atas) dengan EKG kontrol 8 hari kemudian (bawah) (Stone, 2008). 5.4. Sinus Takikardia dan Bradikardia Perubahan denyut jantung dapat menjadi bagian dari sindrom respons inflamasi sistemik yang terbukti terjadi pada 20% dari semua ICH. Gangguan variabilitas vaskular termasuk gangguan denyut jantung dan hipertensi juga terbukti lebih sering pada pasien dengan ICH dibandingkan dengan stroke iskemia. Variabilitas denyut jantung (untuk menilai aktivitas saraf vagal) mencerminkan keseimbangan sistem saraf otonom yang mengatur keseimbangan antara sistem saraf simpatis dan parasimpatis dimana high-frequency power pada ICH berkaitan denganTNF-alpha yang lebih rendah. Transient bradikardia dilaporkan sebagai gambaran yang klasik pada pasien yang menunjukkan respons Cushing terhadap hipertensi intrakranial (Lele et al., 2019). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 13

Gambar 12. Gambaran EKG Sinus Takikardia Bradikardia (Abdullah, 2010). 5.5. Hipertrofi Ventrikel Kiri Hipertrofi ventrikel kiri (LVH) yang terlihat pada EKG sangat berkaitan dengan risiko stroke iskemia. LVH digunakan untuk memprediksi adanya disfungsi kognitif dan prediktor dalam beberapa profil risiko stroke termasuk Framingham dan studi ARIC. LVH merupakan gambaran EKG yang biasa ditemukan pada pasien stroke tetapi mungkin bukan pengaruh dari stroke itu sendiri karena tidak didukung oleh peningkatan temuan baru setelah stroke dibandingkan dengan penelusuran dasar (Agarwal, 2013). Gambaran LVH pada ICH lebih mencerminkan efek jangka panjang dari hipertensi kronis (Takeuchi S, et al., 2015). Gambar 13. Gambaran EKG Hipertrofi ventrikel kiri (Abdullah, 2010). 5.6. Aritmia Insiden berbagai jenis aritmia pada pasien stroke yang dirawat di rumah sakit lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa stroke. Jumlah insiden aritmia pada beberapa penelitian bervariasi tergantung jenis Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 14

stroke, yaitu stroke iskemia dan hemoragik. Aritmia yang mengancam jiwa dalam 72 jam pertama setelah stroke akut terdeteksi sebanyak 25,1% kasus pada studi kohort prospektif terhadap 501 pasien yang 92% diantaranya mengalami stroke iskemia. Atrial fibrilasi adalah aritmia yang paling sering ditemukan dalam penelitian ini (16%). Aritmia pada ventrikel terjadi sekitar 2,6%. Insiden aritmia paling banyak ditemukan dalam 24 jam pertama setelah stroke akut. Studi lain melaporkan 39% insiden aritmia pada stroke tanpa disertai riwayat penyakit jantung. Insidennya meningkat hingga 71% pada pasien yang disertai stroke hemoragik (Ruthirago et al., 2016). Gambar 14. Gambaran EKG Atrial fibrilasi (Abdullah, 2010) Insiden atrial fibrilasi meningkat seiring dengan peningkatan perburukan stroke dan menggambarkan prognosis stroke jangka pendek yang lebih buruk. Stroke yang disertai atrial fibrilasi meningkat seiring bertambahnya usia menjadi sekitar satu dari empat pasien stroke berusia 80 tahun ke atas (subkelompok dengan risiko stroke tertinggi) (Agarwal, 2013). Beberapa jenis takiritmia terdeteksi dalam kelompok ini antara lain atrial fibrilasi (11%), takikardia atrium fokal (3%), supraventrikular takikardi (2%), ektopi ventrikel, ventrikel takikardi dan atrial flutter (masing-masing 1%). Beberapa jenis bradiritmia juga terdeteksi antara lain atrial fibrillation with slow ventricular response (AFSVR) (5%), blok atrioventricular derajat kedua tipe II (2%), asistol atau blok sinoatrial (2%), dan complete Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 15

atrioventricular block (1%) (Ruthirago et al., 2016; Ebrahim et al., 2012). 5.7. Abnormalitas EKG lainnya Gelombang Q baru yang menyerupai morfologi infark miokard akut juga biasa ditemukan (sekitar 10%) pada pasien setelah stroke akut baik stroke iskemia maupun hemoragik. Gelombang U baru juga ditemukan sekitar 13-15% pada pasien stroke iskemia akut dan SAH dengan atau tanpa disertai abnormalitas gelombang T dan interval QT ( ). 2.6. Hubungan Sistem Cerebrovaskular dan Sistem Kardiovaskular Hubungan sistem cerebrovaskular dan kardiovaskular sudah dikenal sejak tahun 1900 oleh Cushing. Penyakit cerebrovaskular dan penyakit kardiovaskular masih berulang kali dihubungkan hingga saat ini. Hal ini terjadi karena keduanya memiliki faktor risiko yang sama seperti hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, dan merokok serta sering bersamaan. Dekompensasi pada satu sistem dapat mempengaruhi yang lain Penyakit jantung dapat menyebabkan manifestasi cerebral akut. Di sisi lain, pasien dengan kejadian cerebrovaskular akut memiliki insiden yang tinggi pada perubahan EKG dan aritmia. Fungsi jantung dapat dikontrol oleh otak melalui pelepasan neurotransmiter saraf simpatis dan parasimpatis. Oleh karena itu, kejadian cerebrovascular dapat menyebabkan fungsi jantung yang sebelumnya normal mengalami perubahan patofisologis (Liu Q et al., 2011). Mekanisme yang mendasari terjadinya penyakit cerebro- kardiovaskular antara lain (Samuels, 2007) : • Infus Katekolamin Josue pertama kali menunjukkan bahwa pemberian epinefrin dapat menyebabkan hipertrofi jantung. Pengamatan ini sudah banyak dilakukan dan ditemukan fakta bahwa katekolamin yang diberikan secara sistemik tidak hanya terkait dengan perubahan EKG pada iskemia luas tetapi juga menunjukkan gambaran patologis pada otot jantung yang berbeda dari infark miokard. • Stress Lesi jantung yang mirip dapat diproduksi dengan berbagai model Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 16

stress jika tidak identic. Banyak peneliti berpendapat tentang peranan stres dalam patogenesis penyakit kardiovaskular manusia terutama yang berhubungan dengan fenomena sudden unexpected death (SUD). Hasil otopsi dari beberapa pasien yang mengalami kematian mendadak menunjukkan adanya degenerasi miofibrillar. Aritmia jantung dipengaruhi oleh degenerasi miofibrillar pada sebagian besar subendocardial yang mungkin melibatkan sistem konduksi jantung. Apabila lesi ini dikombinasi dengan peningkatan katekolamin akan menyebabkan jantung yang normal mengalami aritmia serius. Hal ini menjadi penyebab utama kematian mendadak pada banyak kasus neurologis seperti SAH, stroke, epilepsi, trauma kapitis, stres psikologis, dan peningkatan tekanan intrakranial. • Stimulasi Sistem Saraf Stimulasi sistem saraf menyebabkan lesi jantung tidak dapat dibedakan secara histologis dari kerusakan jantung yang diinduksi katekolamin dan stres. Stimulasi hipotalamus dapat menyebabkan gangguan otonom kardiovaskular. Lesi jantung dan saluran pencernaan juga disebabkan oleh stimulasi hipotalamus. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa stimulasi hipotalamus menyebabkan hipertensi dan / atau perubahan elektrokardiografi pada pasien dengan berbagai jenis kerusakan sistem saraf pusat. • Reperfusi Mekanisme keempat dan terakhir terjadinya degenerasi myofibrillar adalah reperfusi. Mekanisme ini biasa terlihat pada pasien yang meninggal setelah pemberian left ventricular assist pump atau setelah menjalani sirkulasi ekstrakorporeal. Lesi serupa terlihat pada jantung yang mengalami reperfusi dengan terapi angioplasti atau fibrinolitik. Reperfusi iskemia miokard menghasilkan myocytolysis koagulatif (dikenal sebagai degenerasi miofibrillar dan contraction band necrosis) yang melibatkan masuknya kalsium setelah periode deprivation relatif. Jumlah enzim jantung yang dilepaskan dan perubahan elektrokardiografi mungkin berhubungan dengan tingkat keparahan dan luasnya proses patologis. Penjelasan semua observasi terkait pemberian katekolamin, stres, stimulasi sistem saraf, dan reperfusi dirangkum dalam Gambar 4. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 17

Gambar 15. Alur kejadian yang menyebabkan kerusakan neurokardiak (Samuels, 2007) 2.7. Patofisiologi Arrhythmogenesis Pasca Stroke Ketidakseimbangan fungsi otonom sentral pada stroke dapat menyebabkan saraf simpatis atau parasimpatis menjadi hiperaktif, cedera miokard, kelainan EKG, aritmia jantung, dan bahkan kematian mendadak. Penyakit jantung yang mendasari atau undetected tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya penyebab aritmia dan kerusakan jantung setelah stroke akut meskipun prevalensi faktor risiko CAD pada pasien dengan stroke akut tinggi. Perubahan segmen ST yang muncul dan hilang dengan cepat pada pasien stroke akut tidak khas karena jantung dan mungkin lebih mengarah ke penyebab neurologis (Gambar 12) (Ruthirago et al., 2016) Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 18

Gambar 16. Ringkasan skematis dari patofisiologi aritmia jantung setelah stroke akut (Ruthirago et al., 2016) 2.7.1. Gangguan keseimbangan otonom Disfungsi otonom sering terjadi setelah stroke akut. Hal ini dibuktikan dengan gangguan regulasi fisiologis detak jantung dan tekanan darah, yaitu penurunan variabilitas detak jantung (HRV), gangguan baroreceptor reflex sensitivity (BRS), meningkatnya kadar katekolamin dan kortisol. HRV menunjukkan kemampuan jantung untuk menyesuaikan diri dengan perubahan peredaran darah. Beberapa penelitian telah melaporkan penurunan HRV pada pasien stroke. Tanda tersebut tidak hanya muncul pada fase akut tetapi juga 1 dan 6 bulan setelah stroke. Refleks baroreseptor yang berperan dalam menstabilkan denyut jantung dan tekanan darah ketika perubahan posisi tubuh menurun pada pasien stroke akut. Selain itu, gangguan keseimbangan otonom juga berkaitan dengan kelebihan katekolamin yang dapat mengubah sifat kelistrikan kardiomiosit dan dapat meningkatkan kemungkinan aritmia. Usia lanjut dan tingkat keparahan defisit neurologis menyebabkan peningkatan ketidakstabilan otonom dan peningkatan tonus simpatik dan berhubungan dengan aritmia (Ruthirago et al., 2016). 2.7.2. Kerusakan persarafan jantung Aktivitas berlebih reseptor β-adrenergik setelah stroke akut akibat peningkatan katekolamin menyebabkan terbukanya kanal kalsium sehingga terjadi gangguan penyerapan ion kalsium intraseluler yang dibutuhkan untuk relaksasi otot jantung. Perpanjangan kontraksi otot jantung dapat menyebabkan kerusakan atau kematian sel (fenomena sudden death) (Ruthirago et al., 2016). Vasospasme koroner transien dari peningkatan tonus simpatis setelah stroke iskemia hemisferik kanan menyebabkan \"cardiac stunning\" atau penurunan fungsi jantung besifat sementara dengan hipokinetik segmental disertai kelainan segemn ST dan gelombang Q. Kondisi ini biasanya sembuh dalam beberapa hari setelah stroke. Peningkatan katekolamin setelah stroke dapat memicu terjadinya takotsubo cardiomyopathy (TC) yang menjadi substrat untuk aritmia ventrikel. (Ruthirago et al., 2016). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 19

2.7.3. Stroke insular dan perburukan keadaan jantung Korteks insular adalah bagian yang saling berhubungan dari korteks cerebral yang terletak di dalam sulkus lateral otak. Lesi di korteks insular dapat mengubah regulasi otonom pada jantung. Sebuah penelitian terhadap 62 pasien setelah stroke insular dijelaskan bahwa pasien memiliki insiden aritmia dan penurunan HRV yang lebih tinggi. Penelitian lain pada hewan menunjukkan bahwa stimulasi listrik dari korteks insular dapat menyebabkan aritmia yang signifikan, mirip dengan aritmia yang terjadi setelah stroke akut. Studi ini juga melaporkan hubungan antara korteks insular, perubahan otonom, dan aritmia. Beberapa penelitian pada pasien tanpa CAD menunjukkan bahwa aktivitas simpatis yang berlebih dapat memperpanjang periode repolarisasi, menurunkan BRS, pemulihan listrik dan meningkatkan kemungkinan aritmogenogenesis (Ruthirago et al., 2016). 2.7.4. Biomarker jantung yang tinggi setelah stroke akut Peningkatan beberapa enzim jantung setelah stroke akut mendukung teori ketidakseimbangan otonom terkait stroke yang mengarah pada disfungsi jantung meskipun hal ini tidak selalu menunjukkan terjadi cedera miokardium. Dalam sebuah penelitian pada pasien dengan episode pertama stroke iskemia akut creatine kinase (CK), creatine kinase-MB (CK-MB), dan mioglobin meningkat selama lebih dari 3 hari dan kemudian kembali normal pada hari keempat. Troponin T yang lebih sensitif dan spesifik untuk cedera miokardium masih dalam batas normal. Namun penelitian pada 730 pasien stroke akut tanpa disertai penyakit jantung atau ginjal dan tanpa klinis, EKG, dan echokardiografi yang mengarah ke CAD ditemukan 7% pasien dengan peningkatan kadar troponin T 0.1 ng/ml atau lebih yang berkaitan dengan prediksi morbiditas dan mortalitas setelah stroke akut pada 30 hari dan 6 bulan kemudian (Ruthirago et al., 2016). 2.8. Abnormalitas EKG pada Kejadian Cerebrovaskular Akut Tanpa Penyakit Kardiovasular Kelainan jantung yang disebabkan langsung oleh stroke sulit dibedakan karena prevalensi penyakit jantung yang sudah ada sebelum kejadian cerebrovaskular akut. Gangguan jantung adalah penyebab paling Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 20

sering dari kematian setelah stroke dimana angka kematian yang tidak terduga mencapaI 6% selama bulan pertama. Studi observasi klinis pada pasien stroke menunjukkan kehilangan tonus parasimpatis jantung, kehilangan dominasi vagal nokturnal, dan peningkatan tonus simpatis (Tandur S, 2016). Mekanisme perubahan EKG pada kejadian cerebrovaskular akut belum diketahui pasti tetapi diduga karena perubahan aktivitas sistem saraf otonom yang kemudian menyebabkan perubahan iskemia, aritmia, dan repolarisasi jantung. Stimulasi simpatis terus menerus mengakibatkan kerusakan struktur miokardium yang dimediasi oleh peningkatan mendadak tekanan intrakranial, hipotalamus, dan stimulasi saraf jantung atau melalui pusat aritmogenik pada korteks insular. Selain itu, kerusakan langsung pada persarafan jantung atau ketidakseimbangan aliran simpatis kiri dan kanan menuju jantung, penyakit aterosklerotik atau hipertensi yang mendasari, atau penyakit jantung primer tanpa gejala / tidak terdeteksi juga diduga sebagai beberapa penyebab perubahan EKG (Togha et al, 2013). Sudden cardiac death perlu diwaspadai tetapi seringkali tidak terduga pada pasien stroke akut. Hal ini bisa disebabkan oleh infark miokard yang berat, gagal jantung kongestif atau kardiomiopati, aritmia jantung serius (ventrikel takikardi, ventrikel fibrilasi, dan henti jantung), kelainan aritmogenik bawaan seperti sindrom long-QT atau short-QT, dan sindrom Brugada (Ruthirago et al., 2016). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 21

Gambar 17 A. Interaksi antara faktor risiko, karakteristik hemoragik, dan abnormalitas kardiovaskular setelah ICH (Lele et al., 2019). Gambar 17 B. Temuan EKG pada pasien stroke dengan dan tanpa penyakit kardiovaskular atau hipertensi (Togha et al, 2013). Di antara pasien tanpa penyakit kardiovaskular (n = 228), 30,7% pasien mengalami perpanjangan interval, 14,5% mengalami gelombang Q patologis, dan 16,2% mengalami berbagai jenis aritmia. Di antara perubahan EKG iskemia, depresi segmen ST terjadi pada 7%, elevasi Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 22

segmen ST pada 9,6%, abnormalitas gelombang T pada 28,9%, dan abnormalitas gelombang U pada 11,8%. Pasien dengan perubahan EKG pada setiap kelompok dibandingkan antara mereka dengan / tanpa penyakit kardiovaskular untuk menganalisa adanya pengaruh gangguan non-cerebral pada EKG (Togha et al, 2013). Menurut hasil penelitian Togha et al, kelainan EKG seperti iskemia dan perpanjangan interval QT dapat terjadi pada lebih dari 90% pasien dengan stroke iskemia atau hemoragik, dan angka ini akan turun 8-40% jika mengeksklusi pasien dengan riwayat penyakit jantung dan mendapatakn obat-obatan jantung. Pada penelitian Dogan et al terhadap pasien stroke iskemia tanpa riwayat penyakit jantung didapatkan perubahan EKG menyerupai iskemia miokard 65% pasien, perpanjangan interval QTc 26%, dan aritmia 44% (Togha et al, 2013). Beberapa peneliti telah menghubungkan kelainan EKG dengan lokasi lesi otak tetapi hasil yang dilaporkan berbeda. Stimulasi langsung pada area SSP diketahui menyebabkan abnormalitas EKG. Cropp dan Manning, Shuster dan Hunt et al.menyatakan tidak ada hubungan perubahan EKG dengan lokasi perdarahan aneurisma. Wilkins et al. menyatakan tidak ada hubungan spasme vaskular intrakranial setelah SAH dengan kelainan EKG, tetapi Stober dan Kunze menemukan hubungan antara kejang arteri cerebral dari cabang kiri dengan gambaran inversi gelombang T dan perpanjangan interval QT. Hubungan aritmia dan kelainan gelombang-T dengan perdarahan dalam sirkulasi otak anterior juga telah dilaporkan pada pasien strok hemoragik. Dogan dkk. menyataan bahwa lesi korteks insular yang terletak di bawah opercula temporal superior dan frontoparietal dapat menyebabkan beberapa kelainan jantung seperti perubahan EKG gambaran iskemia, aritmia, dan miositolisis (Togha et al, 2013). 2.9. Penatalaksanaan Abnormalitas EKG pada Stroke Akut Pemantauan jantung melalui rekaman EKG tetap dilakukan meskipun sebagian besar pasien stroke akut dirawat di unit perawatan intensif. Strategi penatalaksanaan berguna untuk menentukan alat yang sesuai untuk mendeteksi aritmia dan kapan penanganan mulai diberikan pada pasien dengan kelainan EKG atau aritmia. Berikut beberapa rekomendasi tentang penanganan aritmia setelah stroke akut berdasarkan bukti dari tinjauan literatur dari Ruthirago et al.: Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 23

• Stratifikasi risiko dan pemantauan jantung Beberapa bukti menyatakan bahwa semakin lama durasi pemantauan jantung semakin tinggi sensitivitas untuk mendeteksi abnormalitas EKG dan aritmia jantung setelah stroke akut. Pemantauan jantung non-invasif (Holter) digunakan untuk mendeteksi aritmia terutama atrial fibrilasi setelah stroke akut. Aritmia setelah stroke akut secara independen terkait dengan peningkatan usia dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dinilai menggunakan NIHSS. Peningkatan kadar T troponin ditemukan sebagai faktor prognostik yang buruk setelah stroke akut. Identifikasi pasien risiko tinggi stroke perlu dilakukan seperti pasien usia lanjut, memiliki beberapa komorbid, peningkatan biomarker jantung, dan NIHSS tinggi. Pemantauan EKG minimal 24 jam atau diperpanjang hingga 72 jam pertama pada pasien risiko tinggi stroke berguna untuk mendeteksi aritmia jantung yang berat dan mencegah sudden cardiac death. • Perawatan suportif dan koreksi kelainan elektrolit Pasien stroke sering memiliki komorbid dan menggunakan obat yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit seperti diuretik, insulin, dan ACE-inhibitor. Koreksi dan pemantauan elektrolit selama fase akut perlu dilakukan. Terapi suportif seperti pemantauan tekanan darah dan tanda-tanda vital juga perlu untuk mencegah aritmia serius dan sudden cardiac death. • Penanganan khusus pada aritmia jantung Sebuah penelitian melaporkan pengaruh terapi aritmia pada 501 pasien dengan kejadian cerebrovaskular akut. Terdapat 25% pasien mengalami aritmia serius selama masa observasi 73 jam,. Terapi anti aritmia diberikan kepada 77,7% pasien dimana 1 pasien mengalami asistol dan resusitasi kardiopulmoner, 11 pasien menjalani pemasangan permanent pacemaker, 2 pasien menerima implantasi cardioverter- defibrillator, dan 2 pasien menjalani angiografi koroner. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa beta blocker dapat mengurangi tonus simpatis, mencegah aritmia jantung, dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada jantung setelah stroke. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 24

Gambar 18. Ringkasan alur penanganan aritmia jantung setelah stroke akut (Ruthirago et al., 2016) • Pencegahan stroke rekuren Holter monitoring dan implantable event recorder dapat membantu meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi aritmia. Pada saat terdeteksi, inisiasi anti koagulan perlu diberikan untuk mencegah serangan stroke berulang. Penanganan komorbid dengan mengendalikan tekanan darah, mempertahankan tingkat normoglikemik, obat penurun lipid dan mengobati penyakit jantung yang mendasari penting untuk mencegah kekambuhan stroke, aritmia jantung dan kematian mendadak setelah stroke. 2.10. Aplikasi Klinis/ Contoh Kasus • Seorang wanita 39 tahun dibawa ke unit gawat darurat dengan penurunan kesadaran tiba-tiba. Ia merupakan pengguna narkoba jenis kokain. Riwayat medis termasuk penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis, hipertensi berat yang telah berlangsung lama, dan riwayat emboli paru. Gambaran EKG seperti pada gambar 19 dan 20. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 25

Gambar 19. EKG dari seorang wanita berusia 39 tahun dibawa ke ruang gawat darurat dengan penurunan kesadaran tiba-tiba. ( Stouffer GA, 2009) Gambar 20. EKG 1 bulan sebelum penurunan kesadaran tiba-tiba ( Stouffer GA, 2009) Pada EKG gambar 19 menunjukkan irama sinus dengan perpanjangan interval QT, gelombang T bifasik di V1 dan V2 dan gelombang T flattening difus di sadapan lain. EKG satu bulan sebelumnya (gambar 20) menunjukkan irama sinus normal HR 84 kali per menit. Gelombang P, durasi RS dan axis dalam batas normal. Terdapat inversi gelombang T di I dan aVL dan LVH berdasarkan kriteria Cornell (S di V3 + R di aVL > 20 mm). Perbandingan kedua EKG menunjukkan bahwa Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 26

perubahan mayor termasuk perpanjangan interval QT dan perubahan gelombang T difus. Perubahan-perubahan ini tidak spesifik namun perpanjangan interval QT dan perubahan gelombang ST / T yang difus pada pasien dengan perubahan status mental harus segera mempertimbangkan diagnosis kejadian ICH. Pada pasien ini, CT scan kepala menunjukkan perdarahan ganglia basal dengan hidrosefalus. ( Stouffer GA, 2009) • Seorang wanita 48 tahun tiba di unit gawat darurat sekitar 30 menit setelah kolaps tiba-tiba tanpa ada riwayat kolpas dan kehilangan kesadaran. Setelah 4 menit resusitasi dengan total epinefrin 2 mg, pasien ROSC. Dari gambaran EKG terlihat seperti gambar 21. Gambar 21. (A) EKG awal (B) EKG Dua puluh jam kemudian (Park et al., 2015) EKG 12-lead awal menunjukkan sinus takikardia, elevasi segmen- ST di I, aVL, V5, dan V6 dengan depresi segmen ST resiprocal di III, aVF, dan V1-V3. Kemudian dilakukan ekokardiografi bedside dan diputuskan untuk angiografi koroner karena kelainan dinding regional yang menunjukkan dugaan iskemia pada arteri sirkumfleks kiri. Hasil angiografi adalah arteri koroner normal tanpa bukti stenosis. CT scan otak kemudian dilakukan dengan kesan SAH difus disertai pembengkakan otak (gambar 22). Intervensi bedah tidak dilakukan karena kondisi pasien tidak stabil. Dua puluh jam kemudian, EKG menunjukkan kelainan segmen-ST menghilang dan inversi gelombang T. Enzim jantung meningkat dalam 24 jam pertama, creatine kinase MB 4.5 U/L menjadi 28.3 U/L, dan troponin I 0.63 μg/L menjadi 7.25 μg/L. Pada hari ke 13 rawat inap, dia dinyatakan meninggal. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 27

Gambar 22. CT scan otak dengan kesan SAH difus disertai pembengkakan otak (Park et al., 2015) Park et al meyakini bahwa laporan observasi ini berpotensi berimplikasi signifikan bagi dokter yang membuat keputusan perawatan pasca arrest untuk pasien yang berhasil diresusitasi. Dokter harus mempertimbangkan CT scan otak untuk meng-exclude SAH sebagai penyebab henti jantung bahkan dengan gambaran elevasi segmen ST (Park et al., 2015). • Seorang wanita berusia 45 tahun dibawa ke IGD dengan penurunan kesadaran dan delirium tiba-tiba. Latar belakang klinis obesitas dan hipertensi. Dia mengalami gagal pernapasan akut, hipertensi dan koma tanpa defisit fokal. EKG serial menunjukkan perubahan segmen ST dinamis dan gelombang T cerebral. CT kranial menunjukkan perdarahan intraparenchymal luas di belahan otak kiri (Gambar 23). Perubahan segmen ST, perpanjangan interval QT dan gelombang T cerebral pada kejadian cerebrovaskular terkait dengan SAH dan ICH berasal dari disautonomi sentral. Perubahan EKG dapat membantu membedakan penyebab penurunan tingkat kesadaran tanpa defisit fokal jika gangguan cerebrovaskular dipertimbangkan (Pinto et al.,2014). Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 28

Gambar 23. EKG 12-lead pertama (A) dan CT kranial (B dan C) pada pasien dengan perdarahan intraparenchymal luas (Pinto et al.,2014) • Seorang pria 36 tahun tanpa penyakit sistemik yang diketahui mengeluh pusing dan delirium pada malam hari kemudian kesesokan paginya dia ditemukan tak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Setelah intubasi dan stabilisasi, ia dirujuk ke rumah sakit pusat. Tanda vitalnya denyut jantung 58 kali per menit, tekanan darah 82/44 mmHg, dan pernapasan tidak teratur (pernapasan Cheyne-Stokes). Pemeriksaan neurologis didapatkan GCS 3, kaku kuduk, dan refleks Babinski yang tidak responsif. Pemeriksaan sistemik lainnya dalam batas normal. Pada EKG awal terdapat sinus aritmia, bradikardia, dan inversi gelombang T inferior, serta elevasi segmen ST cekung di V1 (1 mm) dan di V2-V4 (2 mm) (gambar 24.A). EKG 3 jam kemudian menunjukkan peningkatan elevasi segmen ST dengan denyut jantung normal (gambar 24B). CT scan otak menunjukkan SAH dengan tanda falx (gambar 25A) dan hematoma serebelum garis tengah (ukuran 3x4 cm) di daerah oksipital (gambar 25B) (Saritemur M et al.,2013). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 29

Gambar 24. EKG 12-lead pertama pasien dengan SAH (Saritemur M et al.,2013). Gambar 25. CT scan otak menunjukkan SAH dengan tanda falx (A) dan hematoma serebelum garis tengah (ukuran 3x4 cm) di daerah oksipital (B) (Saritemur M et al.,2013). Kelainan EKG pada pasien dengan tanda-tanda neurologis atau tanpa nyeri dada harus dipertimbangkan mengarah ke kejadian intrakranial selain iskemia jantung (Saritemur M et al.,2013). • Seorang pria 47 tahun dengan sakit kepala akut, sinkop, dan kelemahan badan sisi kiri yang tiba-tiba. Pada EKG awal menunjukkan irama sinus normal dengan inversi gelombang T yang dalam pada sadapan V3-V6 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 30

dan perpanjangan interval QT (610 msec). CT Scan non-kontrast pada otak menunjukkan perdarahan intraparenchymal yang luas pada materi putih periventrikular kanan dengan efek massa dan pergeseran garis tengah 6 mm dari kanan ke kiri (Levis JT, 2017). Gambar 26. EKG dan CT scan otak pasien dengan perdarahan intracranial (Levis JT, 2017). 2.11. Prognosis Selain pemeriksaan neurologis, follow-up enzim dan monitoring jantung sangat penting dalam menangani dan mencegah komplikasi kardiovaskular pada pasien stroke akut. Strategi ini akan efektif dalam menurunkan mortalitas dan prognosis yang jelek karena kelainan jantung merupakan komplikasi yang paling banyak menyebabkan kematian pada stroke (Kaya A et al., 2018). Berbagai kelainan EKG diamati pada subjek yang menderita stroke. Pemeriksaan EKG awal direkomendasikan tidak hanya sebagai alat untuk mendeteksi kelainan jantung pada pasien stroke akut tetapi juga untuk prognosis hasil 1 bulan (Adeoye et al., 2017). Gambaran EKG sinus takikardia, depresi segmen ST, dan inversi gelombang T memiliki prognosis jelek karena dapat meningkatkan mortalitas dalam 3 bulan setelah stroke (Christensen H et al., 2005). Penelitian lain menyatakan bahwa dari semua abnormalitas EKG pasien ICH hanya perpanjangan interval QT yang berhubungan dengan peningkatan all cause mortality dan QTc > 440 ms dapat menyebabkan kelangsungan hidup terganggu (Hjalmarsson C, et al. 2013). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 31

RINGKASAN Lebih dari setengah juta orang di dunia mengalami kejadian cerebrovaskular akut setiap tahun termasuk stroke iskemia, ICH, dan SAH dengan angka kematian hampir 20%. Stroke menurut WHO merupakan penyakit neurologis umum yang menimbulkan tanda-tanda klinis yang berkembang sangat cepat berupa defisit neurologi fokal dan global, berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian. Kejadian cerebrovaskular dapat menyebabkan fungsi jantung yang sebelumnya normal mengalami perubahan patofisologis. Abnormalitas yang ditemukan pada pemeriksaan EKG sering berhubungan dengan kejadian ICH. Dua penyebab utama perubahan EKG yaitu aritmia dan perubahan repolarisasi. Kelainan EKG ini menyerupai gambaran iskemia miokard sering menjadikan dokter salah diagnosis pada awal kedatangan pasien. Dalam studi kohort pasien dengan ICH intra- parenkimal non-traumatik ditemukan perpanjangan interval QT, perubahan morfologi ST-T, sinus bradikardia, dan inversi gelombang T sebagai kelainan EKG yang paling sering diamati pada fase akut. Abnormalitas gelombang T yang paling khas adalah adanya inversi gelombang-T raksasa pada sadapan prekordial. Inversi gelombang-T raksasa pada pasien dengan tingkat kesadaran menurun sangat sugestif terhadap perdarahan intrakranial yang luas, dan pada kenyataannya sering disebut sebagai “gelombang T-cerebral\". Strategi penatalaksanaan berguna untuk menentukan alat yang sesuai untuk mendeteksi aritmia dan kapan penanganan mulai diberikan pada pasien dengan kelainan EKG atau aritmia. Selain pemeriksaan neurologis, follow-up fungsi dan enzim jantung sangat penting dalam menangani dan mencegah komplikasi kardiovaskular pada pasien dengan stroke akut Pemeriksaan EKG awal direkomendasikan tidak hanya sebagai alat untuk mendeteksi kelainan jantung pada pasien stroke akut tetapi juga untuk prognosis hasil 1 bulan sehingga dengan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat mampu memberikan hasil prognosis yang lebih baik. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 32

DAFTAR PUSTAKA 1. Togha M, et al. Electrocardiographic abnormalities in acute cerebrovascular events in patients with/without cardiovascular disease. Ann Indian Acad Neurol. 2012;15:66-71. 2. Alter M, et al. Standardized incidence ratios of stroke: A worldwide review. Neuroepidemiology. 1986;5:148-58. 3. Tandur S., Sundaragiri S. A study of electrocardiographic changes in acute cerebrovascular accidents. International Journal of Medical Science and Public Health. 2016;5:2650-5. 4. Ruthirago D., et al. Cardiac Arrhythmias and Abnormal Electrocardiograms after Acute Stroke. American Journal of the Medical Sciences. 2016. 5. Arruda WO., Lacerda FS. Electrocardiographic findings in acute cerebrovascular hemorrhage. 1992. Arq Neuro-Psiquiat (Sao Paulo). 1992. 6. Huang CH., et al. QTc dispersion as a prognostic factor in intracerebral hemorrhage. American Journal of Emergency Medicine. 2004. 7. Egan R. Chapter 39 : Anatomy and Physiology of the Cerebrovascular System. Walsh and Hoyt's Clinical Neuro- Ophthalmology. 2013. 8. Schuenke M., Schulte E., Schumacher U., et al. Head, Neck, and Neuroanatomy Volume 3. Thieme Atlas of Antomy 2nd Edition. 2016; 84: 260–6. 9. Adeoye AM., et al. Prevalence and Prognostic Features of ECG Abnormalities in Acute Stroke: Findings From the SIREN Study Among Africans. Global Heart. 2017. 10. Smith WS., Johnston SC., dan Hemphill JC. Cerebrovascular Disease, dalam Braunwald, E., Kasper, D. L., Hauser, S. L., Longo, D. L., Jameson, J. L., dan Loscalzo, J. (Eds.), Harrison’s Principles of Internal Medicine 19 th Ed. United States of America: The McGraw- Hill Companies, Inc. 2015. 11. Balitbang Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. 2018. 12. Boehme AK., Esenwa C., dan Elkind MSV. Stroke Risk Factors, Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 33

Genetics, and Prevention. AHA Journals. 2017. 120: 472-495. 13. Paresh P. Stroke: Classification and diagnosis. The Pharmaceutical Journal. 2018. 14. Silverman IE., Rymer MM. Chapter I : Stroke Basic. Caplan Atlas of Investigation and Treatment Ischemic Stroke. 2009. 1-2. 15. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, et al. An updated definition of stroke for the 21st century: a statement for healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2013;44(7):2064–2089. 16. Hossman KA., Heiss WD., Michael B. Textbook of Stroke Medicine. Cambrigde University Press. 2010. Section 1: 13. 17. Liu Q., et al. Electrocardiographic abnormalities in patients with intracerebral hemorrhage. In: Acta Neurochirurgica, Supplementum; 2011. 18. Samuels, MA. Contemporary Reviews in Cardiovascular Medicine: The Brain– Heart Connection. American Heart Association. 2007. 19. Lele A., et al. A Narrative Review of Cardiovascular Abnormalities after Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Journal of Neurosurgical Anesthesiology. 2019. 20. Abdullah A. ECG Changes in Different Diseases. ECG in Medical Practice Third Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. 21. Maurits DR., et al. Prevalence and characterization of ecg abnormalities after intracerebral hemorrhage. Neurocrit Care. 2010;12:50–55. 22. Amin O., et al. QTc Interval Prolongation and Hemorrhagic Stroke: Any Difference Between Acute Spontaneous Intracerebral Hemorrhage and Acute Non-traumatic Subarachnoid Hemorrhage?. Original Paper Med Arch. 2017;71:193-197. 23. Mattu A., Brady W. Part 2: Ecg interpretations and comments. ECGs for the Emergency Physician 2. 2008. 24. Bailey WB. Electrocardiographic Changes in Intracranial Hemorrhage Mimicking Myocardial Infarction. The New England Journal of Medicine. 2003. 25. Stone J., et al. Frequency of Inverted Electrocardiographic T-Waves (Cerebral T- Waves) in Patients with Acute Strokes and Their Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 34

Relation to Left Ventricular Wall Motion Abnormalities. The American Journal of Cardiology. 2017. 26. Agarwal SK., Soliman EZ. ECG abnormalities and stroke Incidence. Expert Review. Cardiovascular. 2013. 27. Takeuchi S., et al. Electrocardiograph abnormalities in intracerebral hemorrhage. Journal of Clinical Neuroscience. 2015. 28. Ebrahim, et al. Electrocardiograph changes in acute ischemic cerebral stroke. The journal of applied research. 2012. 12(1):53-58. 29. Stouffer GA. Intracerebral bleed. Practical ECG Interpretation: Clues to Heart Disease in Young Adults. 2009. 30. Park I., et al. Subarachnoid hemorrhage mimicking ST-segment elevation myocardial infarction after return of spontaneous circulation. Clinical and Experimental Emergency Medicine. 2015. 31. Pinto WB., et al. Neurogenic T waves as clues for diagnosing hemorrhagic stroke. Images In Neurology. 2014. 32. Saritemur M., et al. Intracranial hemorrhage with electrocardiographic abnormalities and troponin elevation. American Journal of Emergency Medicine. 2013. 33. Levis, JT. ECG Diagnosis: Deep T Wave Inversions Associated with Intracranial Hemorrhage. The Permanente Journal. 2017. 34. Kaya A., et al. Electrocardiographic changes and their prognostic effect in patients with acute ischemic stroke without cardiac etiology. Turkish Journal of Neurology. 2018;24:137-142. 35. Christensen H., et al. Abnormalities on ECG and telemetry predict stroke outcome at 3 months. Journal of the Neurological Sciences. 2005;99-103. 36. Hjalmarsson C, et al. Electrocardiographic Abnormalities and Elevated cTNT at Admission for Intracerebral Hemorrhage: Predictors for Survival?. Ann Noninvasive Electrocardiol 2013;18(5):441–449. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 35

2 Chronic Coronary Syndrome Ahmad Thotuching, Pendrik Tandean PENDAHULUAN Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di negara-negara berkembang. Penyakit jantung koroner menjadi penyebab kira-kira sepertiga atau lebih dari kematian individu di atas 35 tahun, dan diestimasikan sekitar setengah dari populasi pria usia pertengahan dan sepertiga populasi wanita usia pertengahan menderita Penyakit Jantung Koroner Secara Klinis. 1 Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan Diantara 17,5 juta orang di dunia yang meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31% dari 56,5 juta kematian di seluruh dunia. 7,4 juta (42,3%) di antaranya disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK) . 2 PJK adalah proses patologis yang ditandai dengan akumulasi plak aterosklerotik di arteri epikardial, baik obstruktif maupun non- obstruktif. Proses ini dapat dimodifikasi dengan penyesuaian gaya hidup, terapi farmakologis, dan intervensi invasif yang dirancang untuk mencapai stabilisasi atau regresi penyakit. Penyakit ini dapat memiliki periode yang lama dan stabil tetapi juga dapat menjadi tidak stabil kapan saja, biasanya karena kejadian aterotrombotik akut yang disebabkan oleh pecahnya atau erosi plak. Namun, penyakit ini kronis, progresif, bahkan dalam periode yang secara klinis tampak tidak bergejala. Sifat dinamis dari proses PJK menampilkam presentasi klinis, yang dapat dengan mudah dikategorikan sebagai sindrom koroner akut (SKA) atau sindrom koroner kronis (SKK).3 Diperkenalkannya terminologi \"Chronic Coronary Syndrome\" (CCS) di kongres European Society of Cardiology (ESC) , Paris 31 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 36

Agustus-4 September 2019 pada Panduan diagnosis dan pengelolaan penyakit Sindrom Koroner Kronis (SKK), memperbarui Panduan penyakit arteri koroner stabil di tahun 2013, dengan kata lain untuk menekankan bahwa penyakit ini sama sekali tidak bisa dianggap stabil.4 Perubahan terminologis ini untuk mengingatkan kita bahwa penyakit ini memerlukan pendekatan yang berbeda tergantung pada fase klinis. Ada fase yang lebih stabil dan fase yang kurang stabil, tetapi, dalam kebanyakan kasus, penyakit ini berkembang lebih lanjut. Intinya adalah untuk mengintervensi penyakit dan mencegah perkembangan lebih lanjut dan, akibatnya, yaitu Major Cardiovascular Events (MACE).5 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini ialah agar pembaca dapat memahami terminologi “Chronic Coronary Syndrome”(CCS) dalam praktik klinis sehari-hari, dalam hal pengenalan subset klinis, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang komprehensif. TINJAUAN PUSTAKA 1. Patomekanisme Aterosklerosis Presentasi klinis SKK tidak terlepas dari adanya proses Aterosklerosis. Aterosklerosis adalah proses inflamasi kronis yang dipicu oleh akumulasi partikel low-density lipo-protein (LDL) yang mengandung kolesterol di dinding arteri. Faktor etiologi utama termasuk hiperlipidemia, hipertensi, diabetes, dan merokok, yang semuanya dianggap dapat memicu terjadinya proses peradangan di pembuluh darah. Pandangan bahwa aterosklerosis sebagai penyakit inflamasi didasarkan pengamatan aktivasi sistem imun dan proses inflamasi pada lesi aterosklerotik, biomarker inflamasi sebagai faktor risiko independen untuk kejadian kardiovaskular, dan LDL yang diinduksi aktivasi kekebalan tubuh.4 Aterosklerosis diawali oleh infiltrasi yang mengandung LDL- protein B (apoB) yang mengandung LDL di dinding arteri (Gbr. 2.1). Lesi Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 37

aterosklerotik biasanya terjadi pada percabangan pembuluh darah arteri dan daerah pembuluh darah arteri yang mengalami perubahan diameter. Perubahan aliran laminar longitudinal ke aliran turbulen di daerah tersebut akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi LDL plasma yang berdekatan dengan permukaan luminal. Akibatnya, peningkatan transpor LDL radial akan terjadi ke dinding arteri. Sel-sel endotel rentan terhadap “Shear stress” dan gaya gesek yang ditimbulkan oleh aliran darah, aliran yang terganggu mengaktifkan program transkripsi pro-inflamasi dalam sel endotel, yang berpartisipasi dalam inisiasi reaksi inflamasi di lokasi yang rentan terjadinya lesi aterosklerotik. Selain itu, disfungsi endotel menghambat fungsi barier dari lapisan sel ini, yang menyebabkan peningkatan masuknya lipoprotein yang mengandung kolestrol ke lapisan intima arteri.1 Gambar 2.1 Mekanisme seluler aterosklerosis. (1) Low density lipoprotein (LDL) tertahan di dinding pembuluh darah, yang selanjutnya akan teroksidasi. (2) LDL teroksidasi (oxLDL) merangsang sel-sel endotel untuk mengekspresikan molekul adhesi, yang (3) menginduksi adhesi dan rekrutmen leukosit. (4) Infiltrasi Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag yang (5) mengambil oxLDL dan menjadi sel busa. (6) Sel dendritik dan Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 38


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook