Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Gence Membedah Anatomi Peradaban Digital

Gence Membedah Anatomi Peradaban Digital

Published by seputarfib, 2022-01-23 17:02:57

Description: Gence Membedah Anatomi Peradaban Digital

Search

Read the Text Version

nyaman untuk bersosialisasi secara online dari pada bersosialisasi langsung dengan orang lain. Hal tersebut merupakan kompensasi dari kekurangan mereka dalam menjalin relasi di kehidupan nyatanya, sehingga mereka menjadi sangat bergantung pada internet. Dalam konsep psikologi belajar, manusia memiliki kemampuan untuk mengubah suatu pola perilaku atau mempertahankannya, apabila disertai dengan reward atau punishment yang mengikuti. Apabila tindakan yang dia munculkan di lingkungan nyata dapat diterima lingkungan, maka dia akan terus mempertahankan. Misalnya, seseorang yang memiliki postur tubuh yang tidak ideal, wajah yang dia nilai tidak cukup menarik, serta prstasi yang cenderung biasa saja. Ketika dia berinteraksi dengan orang lain, tidak banyak yang tertarik berbincang atau berinteraksi lama dengan dirinya. Hal tersebut selalu terjadi di berbagai situasi. Alhasil, dia belajar untuk menilai dirinya bahwa lingkungan tidak menyukainya, tidak bisa menerimanya, dan Ia tidak cukup bernilai di mata orang lain. Dalam pembentukan self, hal ini akan menjadi schema believe yang dibentuk oleh individu ketika selalu mendapatkan umpan balik yang negatif dari orang lain. Skema ini kemudian cenderung menetap apabila dia terus menggunakannya ketika berhadapan dengan orang lain. Dia akan muncul dalam bentuk negative automatic thoughts yang terkadang tidak disadari munculnya ketika dia berada dalam situasi sosial. negative automatic thoughts ini kemudian akan mendominasi dan membajak kemampuan berpikir seseorang sehingga mempengaruhi perilakunya yang cenderung bernunansa negatif, pesimis, cemas, dan sebagainya. Dia akan cenderung menghindari situasi yang tidak menyenangkan tersebut agar tubuh tetap dalam kondisi homeostasis. Berdasarkan konsep kerja otak, individu yang mengalami kecemasan dan nuansa perasaan negatif lain yang begitu dominan, umunya disebabkan oleh berkurangnya sekresi hormon dopamine dalam dirinya. Hormon ini bertugas memberikan sensasi reward atau rasa senang pada seseorang, sehingga hal yang menstimulasi munculnya dopamine tersebut akan diulang terus-menerus agar Ia bisa tetap bahagia. Maka otak manusia kemudian ‘dibiasakan’ untuk Membedah Anatomi Peradaban Digital — 151

mengulang pola perilaku yang sama untuk mendapatkan sensasi yang sama, dalam upaya untuk bisa ‘menstabilkan’ dirinya agar tetap bisa menjalai hari-harinya. Pada mereka yang mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan dari lingkungan dan terus-menerus merasa tidak berharga, sistem limbik kemudian merekam memori bahwa hal tersebut tidak membuat nyaman dan harus dihindari atau dilawan. Karena manusia selalu berusaha untuk menyenangkan dirinya, seperti konsep yang dipaparkan oleh Sigmund Freud bahwa manusia selalu berusaha mencari kesenangan, maka mereka yang mendapatkan pengalaman negatif itu, berusaha untuk mengubah keadaan. Ini kemudian menjadi salah satu cikal bakal terbentuknya virtual self atau persona. Agar seseorang dapat diterima oleh lingkungan, sebagai upaya untuk selaras dengan kehidupan sosial dan juga dalam rangka membentuk reward dalam dirinya, dia kemudian membentuk sebuah karakter yang umumnya dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya. Ia akan membuat image seolah Ia memiliki karakter yang berlawanan dari apa yang dia alami dan rasakan. Sebab, individu yang pesimis, cemas, fisik yang tidak menarik, adalah sesuatu yang dia nilai tidak dapat diterima oleh lingkungan. Maka , dia tidak akan menunjukan dirinya yang seperti itu di muka public. Justru, dia akan membentuk image yang dapat diterima oleh orang lain, seperti, dia yang percaya diri, berprestasi, optimis, dan sebagainya. Melalui apa? Bisa saja dalam bentuk foto-foto yang diunggah dalam akun media sosialnya, bentuk komentar atau ide yang dia tuangkan dalam tulisan di dalam blog, dan sebagainya. Hingga akhirnya, terciptalah persepi peselancar internet lainnya, bahwa dia memang memiliki karakter yang menarik. Dalam kajian psikologi sosial, hakikatnya manusia memiliki kebutuhan untuk dapat diterima di dalam kelompoknya. Dia memerlukan aktualisasi diri sebagai tujuan tertinggi di dalam kehidupan sosialnya. Sebab, ketika seseorang merasa diterima dan dapat menampilkan ‘dirinya’ di lingkungan, akan tercipta persepsi diri bahwa dia dicintai, disayangi, dan dihargai oleh lingkungan. 152 — G.E.N.C.E.

Fenomena yang mungkin mudah kita dapatkan adalah mengenai banyaknya remaja yang berdandan ala artis ternama karena melihat tayangan di youtube, banyaknya anak usia sekolah yang sudah berpacaran bahkan berhubungan seksual dengan lawan jenis karena meniru apa yang dia lihat di media sosial, gaya bahasa anak-anak usia sekolah yang seperti orang dewasa, dan fenomena lainnya. Mereka begitu menikmati dan terhanyut dalam sebuah image yang tercipta di dunia virtual karena begitu banyak respon positif dan penilaian yang danggap ‘baik’, keren, bagus, dan sebagainya, oleh masyarakat. Banyaknya subscribe, viewers, likes, komentar, dan jenis reaksi lainnya, memunculkan persepsi bahwa apa yang ditampilkan di sana adalah hal yang bisa ‘diterima’ masyarakat. Mengapa bisa seorang anak atau remaja begitu mudahnya terjebak dalam image dunia virtual, padahal berdasarkan perspektif ‘true dan actual self’, sebuah kemungkinan yang besar jika apa yang ditampilkan di dalam dunia maya adalah bukan ‘wujud’ kita yang sesungguhnya. Hal ini erat kaitannya dengan penjelasan sebelumnya mengenai penyebab adiksi pada internet, dimana adanya ketidakpuasan dan ketidakberdayaan dalam diri untuk menghadapi kenyataan dalam kesehariannya. Mengikuti trend atau meniru perilaku tertentu yang berasal dari internet, BISA JADI salah satu bentuk ketidakmampuan atau ketidakpuasan seseorang untuk bisa menampilkan dirinya di lingkungan agar bisa diterima. Dia ‘memasukan’ suatu pola perilaku atau karakter tertentu yang banyak mendapatkan reward dari lingkungan dan ‘diterima’ oleh lingkungan. Namun, apakah perilaku yang dia ‘masukkan’ atau tiru itu adalah dirinya ? apakah itu sesuai dengan apa yang dia inginkan dan perlukan ? Sesungguhnya, apa yang kita tiru dan ikuti, adalah bentuk dari penciptaan persona dalam SELF kita. Persona adalah bahasa latin yang berarti topeng, dimana dia akan kenakan sewaktu kita tampil ke dunia luar yang menggambarkan kesan yang ingin kita buat di lingkungan sosial. Tetapi, persona ini tidak selalu mencerminkan diri kita yang sesungguhnya. Dia hanyalah wujud PENCITRAAN. Bagi seseorang yang kesulitan untuk menemukan karakter yang kuat dalam dirinya dan tidak dapat mengakses potensi dirinya di Membedah Anatomi Peradaban Digital — 153

kedalaman SELF, dia cenderung berusaha membentuk ‘alter’ dalam dirinya atau menciptakan persona sendiri berdasarkan ‘referensi’ dari lingkungan. Mana karakter, sifat, perilaku, wajah, tampilan, yang dapat diterima oleh lingkungan. Tapi, apakah ‘dia’ yang image-nya kita ciptakan atau bentuk itu adalah sesuatu yang selaras dengan apa yang sebetulnya inner self- nya miliki? apakah Ia cukup reprsentatif menggambarkan diri ‘saya’ di dalam lingkungan ? Bagi mereka yang sulit mengakses di ‘kedalaman’ diri, maka dia tengah terjebak dalam ruang imaji mengenai self-nya dan kemudian melakukan pembenaran bahwa persona atau alter itu adalah dirinya. Di sanalah, kita terjebak dalam sebuah karakter ‘kosong’ yang justru kita ciptakan sendiri. Bisa terjadi demikian karena manusia cenderung mempertahankan sesuatu yang menyenangkan untuknya. Di dalam otak, terdapat satu bagian yang disebut hipotalamus di dalam sistem limbik manusia. Dia bertugas mengatur sekresi dopamine yang berfungsi sebagai pencipta sensasi reward terhadap hal-hal yang kita lakukan, jika sensasinya positif, maka akan terus diulang. Sementara, sistem limbik sendiri berperan dalam mengatur perilaku yang berhubungan dengan pemuasan kebutuhan dasar emosi. Kembali lagi pada dasar seseorang bisa menjadi adiksi yang disebabkan oleh ketidpuasan dalam diri dan berbagai bentuk emosi serta persepsi bernuansa negative. Mereka yang teradiksi internet, akan mencoba untuk mendapat sensasi emosi yang menyenangkan sebagai kompensasi dari ketidakmampuan di dunia nyatanya. Oleh sebab itu, dia akan mempertahankan perilaku yang membuatnya merasa nyaman dan seolah lebih tenang. Mengapa seolah? Karena bagaimanapun, apa yang Iakukan hanya berada dalam dunia maya. Karena sensasi ‘senang’ ketika mendapatkan pujian dan penerimaan dari lingkungan berdasarkan iamge yang dia ciptakan tersebut, maka hal itu terus Ia ulang. Ada reward yang diterima seseorang ketika dia menciptakan persona tersebut karena itulah yang 154 — G.E.N.C.E.

dapat diterima oleh masyarakat. Pujian, banyaknya ‘likes’ di akun media sosial kita, reaksi positif orang, membuat kita merasa apa yang kita pilih tersebut ‘dibenarkan’. Oleh sebab itu, maka kita pertahankan. Pengulangan itu akan menjadi kebiasaan hingga akhirnya menjadi sesuatu yang seolah tidak disadari oleh kita. Seolah bersifat otomatis muncul. Padahal, karena persona bersifat surface, kita cukup dapat menyadari kehadirannya. Terutama saat kita berusaha menggantinya. Limbik mengarahkan pada prefrontal korteks untuk menunjukan perilaku yang sama untuk mendapatkan sensasi yang sama pula. Prefrontal korteks berperan dalam menentukan perilaku yang akan ditunjukan oleh seseorang. Kita akan sangat sering mengubah perilaku disesuaikan dengan situasi lingkungan. Oleh karena itu, dia berperan sangat bijaksana dalam menentukan perilaku apa yang tepat harus ditunjukan. Artinya, stimulus dari lingkungan mempengaruhi apa dan bagaimana kita akan bersikap dan berperilaku, dalam hal ini adalah mempertahankan eksistensi persona dalam dunia maya. Seperti halnya ketika kita menciptakan sebuah ‘image’ atau persona tertentu di dalam dunia maya, seperti memasang gambar kita berdandan rapi, menunjukan hasil prestasi, menunjukan hasil jepretan foto kita saat travelling, kemudian kita mendapatkan banyak komentar atau penilaian dari banyak orang di dalam media sosial kita, area prefrontal akan berkomunikasi dengan limbik dan hipotalamus bahwa itu adalah bentuk ‘penerimaan’ dan ‘penghargaan’ dari lingkungan. Lalu, otak merespon dengan mengeluarkan dopamine dan reaksi fisik seperti jantung berdebar, pori-pori membesar, dan menarik otot-otot di sekitar wajah yang mebentuk senyuman. Akhirnya terciptalah sebuah emosi bahagia. Di satu sisi, peciptaan ‘virtual self’ atau persona yang berulang- ulang ini hakikatnya tidak akan bisa bertahan lama. Sebab, ketika seseorang terpapar aktivitas atau pola yang sama secara terus- menerus dan sangat intens, sebetulnya otak juga dapat mencapai titik ‘kebosanan’. Meski secara konseptual, plastisitas otak mengatakan bahwa mungkin terjadi sebuah perubahan melampaui genom dari individu ketika dia memperoleh stimulus untuk ‘mengembangkan’ otaknya. Tetapi, dia juga memiliki ‘daya tampung’ yang dipengaruhi Membedah Anatomi Peradaban Digital — 155

oleh intensnya stimulus, sehingga ‘membanjiri’ ruang-ruang di dalam otak. Namun, dalam segi spiritual dan transpersonal, kita perlu melihat lebih dalam lagi, apakah betul ‘image’ yang kita ciptakan itu adalah sesuatu yang berasal dari dalam diri dan merupakan manifestasi dari potensi alam bawah sadar kita, atau itu hanyalah sebuah bentuk energy yang sengaja kita ubah agar dapat menyesuaikan dengan lingkungan. Sebab, dalam konsep SELF yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung, persona tidak selalu berada dalam konsep surface di level conscious diri kita. Sebab, persona yang dijelaskan oleh Jung adalah wajah kepribadian yang ditunjukan kepada dunia luar dengan maksud agar dapat diterima dan dihargai secara sosial. Namun, dia juga harus terintegrasi dengan energi inner life di dalam SELF kita. Meski itu adalah topeng, kita tetap perlu menyadari bahwa topeng tersebut bukanlah sesuatu yang membuat kita tersakiti, tersiksa, tidak nyaman, dan bentuk perasaan lain yang bertentangan dengan apa yang ada di ‘dalam’. Apa yang ada di dalam adalah alam tak sadar kita dan ketidaksadaran yang bersifat kolektif. Di mana, di sana kita mengakses berbagai macam ingatan masa lalu, pengalaman, trauma, maupun pesan turunan dari nenek moyang kita. Kesemuanya dapat terepresi atau tersublimasi, sehingga memerlukan upaya untuk dapat mengaksesnya dan melakukan integrase dengannya. Misalnya, ketika kita tidak memiliki kemampuan atau kompetensi yang cukup sebagai seorang politikus. Tetapi kita menyalonkan diri sebagai kader partai. Kita menciptakan ‘image’ bahwa kita memiliki visi dan misi yang bagus untuk sebuah perubahan dan kehidupan masyarakat. Karena, menjadi politikus, harus membawa pesan layaknya orator, meyakinkan masyarakat, dan membuat orang lain percaya bahwa dia memang layak untuk mewakili kebutuhan dan aspirasi rakyat. Tetapi, di satu sisi, di dalam SELF-nya, dia adalah individu yang insecure, tidak percaya diri, kurang memiliki wawasan, dan memiliki ketermapilan komunikasi yang kurang baik. Ketika dia melakukan kampanye dengan memasang wajahnya di spanduk, mengunggah foto atau videonya ketika berorasi di depan masyarakat di akun media sosial, atau menampilkan dirinya di televisi, energi dari 156 — G.E.N.C.E.

SELF yang bernuansa insecure, tidak percaya diri dan sebagainya, akan tetap ‘muncul’. PENCITRAAN yang dibentuk itu pada dasarnya bertolak belakang dengan alam bawah sadarnya yang mengatakan bahwa dia tidak mampu. Hal ini kemudian terrepresentasi dalam bentuk CITRA DIRI yang setengah-setengah. Dia berusaha terlihat ‘mampu’, tapi bahasa tubuh, ekspresi wajah, cara bicara, dan beberapa microskills lainnya, tidak menceriminkan hal yang sama. Hakikatnya, energi tidak dapat diciptakan atau dihilangkan. Dia hanya dapat berubah wujud. Maka, ketika seseorang memiliki potensi dalam SELF-nya yang bernuansa negatif, maka dia akan meminta ruang untuk menunjukan eksistensinya. Jika kita tidak pandai mengubah energi itu selaras dengan ruang gerak atau wadahnya, maka energy itu akan bocor, terbuang, atau bahkan tidak akan pernah bisa masuk dalam wadah yang kita ciptakan. Wadah yang kita ciptakan itu adalah persona itu sendiri. Oleh sebab itu, ketika kita menciptakan persona atau image yang baru bagi diri kita, lihatlah ke ke dalam, apakah sebetulnya kita betul- betul dapat memberikan ruang energi dalam diri kita untuk muncul dalam bentuk yang diharapkan masyarakat atau tidak. Jika tidak, maka sebetulnya kita telah terjebak dalam ruang pesakitan yang kita ciptakan sendiri. Kita bisa menjadi resah, terus merasa berkonflik dengan diri, merasa lingkungan tidak nyaman baginya, cemas jika persona yang ditampilkan tidak cocok atau diterima, dan sebagainya. Semakin kita terlalu sering mengidentifikasi diri dengan persona kitam maka kita semakin sulit mencapai realisasi diri. Hanya saja, sebagai manusia, kita juga diciptakan dengan sisi nafsu yang sangat manusiawi. Menurut LeDoux (Kusuma, 2017), Sistem limbik merupakan singgasana dari berbagai jenis nafsu manusia, muara dari cinta, rasa dihargai dan dicintai, serta suber dari kejujuran. Ketika kita selalu dibanjiri dengan ‘reward’ yang bersifat surface dan berasal dari ekspresi persona yang tidak selaras dengan hakikat jiwa kita, maka limbik kita telah dibanjiri oleh nafsu yang begitu besar dan menggeliat untuk meminta dipenuhi keinginannya. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 157

Lalu kita menjadi kecanduan. Candu dengan nafsu kita sendiri. Candu dengan obsesi untuk dicintai, diterima, dan dihargai. Adiksi yang sesungguhnya adalah ketika kita sudah tidak bisa lagi memfungsikan cortex atau otak modern kita dengan lebih bijaksana. Karena neocortexlah yang menjadi pembeda antara manusia dan makhluk lainnya, dimana kita mendapat amanah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Seseorang bisa menjadi candu, bukan semata-mata karena otak merespon stimulus atau membiasakan otak untuk menerima stimulus tertentu. Tetapi ada kebutuhan dalam diri yang tidak terpenuhi. Sensasi yang diberikan dan dikeluarkan oleh hipolatalamus dan limbik saat kita selallu mendapatkan respon positif dari lingkungan terhadap persoan yang kita ciptakan di dunia virtual, merupakan sensasi yang kurang lebih sama ketika kita mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang yang penting dalam hidup kita. Ada kebutuhan yang tidak terpenuhi dengan baik pada waktu-waktu awal kehidupan atau di usia dini, sehingga tubuh mengalami ketidakseimbangan. Sebagai manusia, kita bisa membentuk diri kita menjadi baik atau buruk dan kita memiliki kapasitas untuk itu. Jelas telah dipaparkan dalam konsep neuroplastistas dan bagaimana Tuhan menciptakan kita. Segala bentuk keputusan yang ingin kita ambil tersebut, didasarkan atas bagaimana kita memperoleh paparan energi dan stimulasi dari lingkungan sosial kita. Apakah kita selalu mendapatkan input yang bersifat positif atau justru terlalu sering terpapar dengan informasi dan kekuatan energy yang bernuanasa negatif. Otak, sebagai sit of the soul, begitu baik kepada kita. Dia ‘membolehkan’ mengeksplorasi dirinya sedemikian rupa agar kita dapat menyesuaikan diri di dalam lingkungan dan memperoleh kesadaran dalam hidup dengan lebih dalam. Dia juga ‘mengizinkan’ kita untuk terus memasukan input negative, jika itu telah menjadi pilihan kita. Meski sebetulnya, selalu ada saja reaksi yang ditunjukan-‘nya’ untuk menolak atau ‘tidak sepakat’ dengan input yang kita berikan. Sebab, percayalah, bahwa pada dasarnya manusia telah tercipta dengan kapasitas kebaikan yang sangat luar biasa besar, sehingga, sebetulnya 158 — G.E.N.C.E.

dia selalu ‘berusaha’ mengingatkan kita untuk tetap kembali kepada sumber kebaikan yang SATU, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketika kita terlalu tenggelam dalam dunia virtual self yang kita ciptakan, maka sesungguhnya kita semakin membuat jarak dengan diri kita. Sementara, untuk dapat kembali pada Yang Satu, untuk dapat berkomunikasi dengan Yang Satu, kita perlu melepaskan berbagai macam persona, menurunkan ego, dan menyeleraskan diri kita di ‘luar’ dan ‘dalam’ agar kita bisa masuk ke dalam samudera yang sesungguhnya, yaitu bertemu dengan Tuhan Yang Mahakuasa. *** Sumber Referensi: Begley, S. (2007). Train Yor Mind Change Your Brain. New York, USA: Random House Publishing Group. Bianchi, A., & Philips, J. G. (2005). Psychological Predictors of Problem Mobile Phone Use. cyberpsychology & Behavior, 8, 39-51. Kolb, B., & Fantie, B. D. (2009). Development of the Child’s Brain and Behavior. In Handbook of Clinical Child Neuropsychology (p. 19). springer science. doi:10.1007/978-0-387-78867-8_2, Kolb, B., & Gibb, R. (2008). Principles of Neuroplasticity and Behavior. Cognitive Neurorehabilitation. doi:10.1017/CBO9781316529898.003 Kolb, B., Gibb, R., & Robinson, T. (n.d.). psychologicalscience.org. Retrieved 08 4, 2017, from http://www.psychologicalscience. org/journals/cd/12_1/kolb.cfm Kusuma, A. H. (2017). SHAKTI MESMERISM; Jilid 1. Bandung: Pustaka Aura Semesta. Mardiawan, O., Mubarak, A., & Utami, A. T. (2017). Kontribusi Interpersonal competence Terhadap Internet addiction Pada Remaja Dan Dewasa Awal Di Kota Bandung. SNAPP. Bandung: LPPM UNISBA. Spenrath, M. A., Clarke, M. E., & Kutcher, S. (2011, November 20). The Science of Brain and Biological Development: Implication for Mental Health research, Practice, amd Policy. Journal of The Canadian Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 298-304. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 159

[9] Kecerdasan Kolektif, Kecerdasan Kolegial, Kecerdasan Sistematik Fungsional, Antara Logika dan Pengetahuan Tumbuh Oleh Tauhid Nur Azhar Bagi para penikmat keindahan bawah laut barangkali sudah tidak heran lagi melihat berbagai manuver ribuan bahkan puluhan ribu ikan yang bergerombol dan melakukan berbagai variasi gerakan. Di antaranya adalah dengan memiringkan tubuh ke suatu sudut tertentu untuk memberikan efek pantul cahaya matahari dari sisik perak mereka. Tujuannya jelas, menghindari serangan predator. Manuver kolektif kolegial itu bagian dari mekanisme pertahanan komunal. Pertanyaan yang kerap menggema di benak kita adalah bagaimana strategi bernas itu bisa direncanakan dan juga kemudian dilaksanakan dengan sangat kompak, presisi, dan berakurasi tinggi. Bagaimana komunikasi dapat terbangun dari ribuan individu yang tentu dapat saja berbeda persepsi terhadap suatu kondisi? Aktivitas kolektif kolegial keluarga teri atau Stelophorus sp ini jamak dijumpai pada kawanan (schooling) ikan sampai keluarga Aves seperti bebek Demoissele yang bermigrasi dari Siberia ke daratan Asia melalui rangkaian pegunungan Himalaya. Formasi renang dan terbang serta kemampuan “membaca” peta navigasi berbasis geomagnetik bumi sangat mengagumkan. Hal yang menarik, pada manusia pun strategi dan aktivitas seperti ini juga kerap muncul, meski kadang dalam konteks yang berbeda. Amook massa atau demo besar juga bagian dari “gerakan” sadar yang berangkat dari kesamaan pengetahuan dan pemaknaan terhadap suatu kondisi. Secara individual keberadaan mirror neuron atau kerap disebut F5 di otak manusia juga merupakan mekanisme untuk membangun kesadaran kolektif. Uniknya dalam konteks knowledge growing system, berbagai jenis memori dan pengalaman bersama dapat dikembangkan menjadi pola- pola mengikat yang menjadi panduan sikap dan perilaku. 160 — G.E.N.C.E.

Tampaknya, memori primordial yang seolah diwariskan melalui mekanisme yang mengintegrasikan aspek biologi dan fisika kuantum punya peran signifikan di sini. Kondisi ini menghantarkan kita pada fakta dan hipotesa bahwa memori dan berbagai basis data kognitif (mengingat struktur memori berbeda-beda seperti penggolongan deklaratif dan non deklaratif) dapat diwariskan dan berkelindan dengan mekanisme defensif, pemenuhan kebutuhan, serta adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Di era kekinian di mana pengalaman inderawi banyak digantikan dengan pengalaman lintas dimensi di dunia maya, di mana aktivitas banyak dilakukan secara proksi (perantara berupa akun) akan lahir homunculus baru berupa makhluk virtual yang nirmateri tapi punya eksistensi. Kecerdasan yang terbangun dari basis informasi akan semakin tidak bertepi. Samudera data melebur semua batas yurisdiksi dan ketidakmungkinan. Penambangan data (data mining) akan menjadi petualangan seru saat menemukan harta karun berupa pola yang jika ditelusuri dan dilabeli dapat menjadi sosok-sosok nyata bernama psikografis dan preferensi subjektif serta pola fraktal yang “terbaca”. Algoritma Big O dalam proses pemrograman di mana tergambar proses koding yang dapat menjabarkan fungsi yang bertumbuh. Big-O digunakan untuk mengkategorikan algoritma ke dalam fungsi yang menggambarkan batas atas (upper limit) dari pertumbuhan sebuah fungsi ketika masukan dari fungsi tersebut bertambah banyak. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 161

Di era ini kepastian ala geometri Euclidian akan bertemu dengan pendekatan kalkulus dengan limit dan diferensial yang menjadi krusial untuk mencegah terjadinya fenomena “kelelep” dalam lautan data. Di era ini pula hipotesa Lorentz tentang efek kupu-kupu mulai jelas terpindai oleh sistem yang semakin peka. Di era ini persoalan keberadaan ion kalsium dan perannya dalam melepas neurotransmiter di vesikel sinaptik akan dapat diprediksi dengan sangat rinci. Sehingga hampir setiap langkah dalam lini masa yang bersifat prospektif akan dapat terpetakan dengan begitu jelasnya. Kesadaran dan ketidaksadaran kolektif yang bersifat autonomous atau yang letupannya kerap dikategorikan sebagai bersifat intuitif mungkin adalah bentuk penafsiran tak disadari dari sebuah situasi yang mungkin sudah pernah dialami dalam pengalaman hidup terdahulu, atau bahkan dari pengalaman hidup para pendahulu, atau dapat juga dari “pengalaman hidup” para zarah alias partikel sub atomik yang menyusun materi. Saat ini konsep deep learning, Artificial Intelligence (AI), dan Natural Language Processing telah menempatkan sistem komputasi sebagai miniatur semesta (universe model) yang mampu membangun konsep dan regulasinya sendiri. Sistem komputasi akan mampu mengembangkan kapasitas kognitifnya sampai dapat melahirkan preferensi, bukan sekadar prediksi. Jika kita kembali menyelami hasil riset Donald Hebb yang dikenal sebagai pemrakarsa konsep longterm potentiation/LTP di sinaps sel syaraf, maka memori, sikap, dan perilaku memang tidak terlepas dari proses training yang membiasakan satu sirkuit untuk bekerja secara otomatis. Mekanisme seperti algoritma semut dapat diadopsi di sini. Jaringan syaraf yang terus terpajan impuls akan menjadi lebih reaktif dan lebih sensitif. Jika impuls syaraf yang menjadi bagian dari mekanisme “training” ini dapat dianalogikan sebagai “tekanan” dan pajanan (exposure) dalam proses interaksi sosial maka akan tercipta respon terstruktur yang sistematik, bahkan memiliki skenario prediktif yang dapat digunakan untuk forecasting. Untuk memprakirakan sirkuit apa yang akan terbentuk dalam proses pengambilan keputusan atau kemungkinan pilihan apa yang akan dilakukan seseorang. 162 — G.E.N.C.E.

Modeling fungsi neuron, di mana arus impuls dan informasi dapat dipetakan dan dipelajari untuk direplikasi. Secara teoritis dalam ilmu neurosains diketahui bahwa sirkuit pengambilan keputusan sudah terpetakan. Dia melibatkan sistem limbik, struktur sub kortikal yang mengatur penghargaan dan harapan, serta tentu saja area korteks prefrontal yang bertindak selaku pendeteksi kesalahan dan prosesor fungsi luhur yang membuat seorang manusia mampu bersikap bijaksana. Dalam konteks falsifikasi dan pengambilan simpulan tergesa, besar sekali peran preferensi dalam mempengaruhi proses deduksi, di mana hubungan dua premis bukan sebab akibat dimaknai saling mempengaruhi. Contoh, gelar sarjana atau pendidikan formal itu tidak penting karena tokoh sukses seperti Bill Gates, pendiri Microsoft, dan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, tidak menyelesaikan studinya. Tapi mari kita berpikir dan berhitung dengan basis data yang objektif, berapa banyak tokoh sukses di bidangnya masing-masing yang bergelar sarjana ataupun pascasarjana? Mari kita renungkan kembali kondisi yang terjadi di sekitar kita dan apa yang “menggerakkan” elemen semesta untuk menjalankan berbagai fungsinya secara paripurna? Dalam bidang komputasi yang saat ini melahirkan konsep deep learning dalam jejaring neural pendekatan matematika diskrit adalah hal mutlak yang harus dipahami. Suatu konsep matematika yang tak berhubungan meski kontinyu. Tepatnya seperti tak berhubungan tapi berkesinambungan. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 163

Modeling fungsi neuron yang digunakan untuk mengembangkan fungsi belajar dalam konsep deep learning di artificial intelligence (AI). Maka, teorema Graf, kompleks algoritma, dan teori himpunan, Boolean, dan lainnya adalah upaya kita manusia untuk memetakan model fungsi di alam semesta untuk kita coba replikasi dalam bentuk operasi fungsi yang menghasilkan suatu manfaat. Jika kita mengacu dan mengintegrasikan Teori Dissipation Adapted Model dari Jeremy England dan Self Organizing Theory serta Teori Chaos Lorentz maka akan terlihat bahwa pola perilaku semesta dan elemen di dalamnya adalah upaya adaptasi secara berkesinambungan. Maka pendekatan diskrit tepat untuk memberikan gambaran kuantitatif dari sebuah proses yang tengah dirancang. Maka memetakan fungsi dan batas- batasnya, yang dalam konteks ini nyaris tak berbatas, memerlukan pendekatan diferensial. Self organizing dari partikel yang mencari bentuk keseimbangan paling adaptif terhadap kondisi lingkungan. 164 — G.E.N.C.E.

Apabila f(x) adalah fungsi riil, maka limit f saat x mendekati tak hingga  adalah  L. Jika dan hanya jika untuk semua  ε  >  0  terdapat S  > 0 sedemikian rupa sehingga |f  (x) -  L| <  εbilamana  x > S. Limitasi pada ketakberhinggan adalah upaya kita mendapatkan secuplik gambaran fungsi terukur sebagaimana pola dan perilaku makhluk hidup yang disebut swarm behavior. Perilaku kawanan ini bisa jadi merupakan representasi kesadaran kolektif atau bahkan menurut WD Hamilton (1971) adalah “keegoisan kolektif”. Pengamatan pada koloni hewan yang menjadi mangsa (prey) pada rantai makanan menunjukkan bahwa keberadaan kawanan adalah bagian dari proses perlindungan yang antara lain didapatkan dari “mengorbankan” kawan sesama kawanan dan mengubah probabilitas termangsa antara lain dengan mengubah kuantitas populasi. Maka lahirlah teori domain of danger dan aturan-aturan yang menjadi syarat perilaku kawanan seperti nearest neighbor rule dan lainnya. Pada tingkatan interaksi sosial konsep perekat dalam hal ini mungkin adalah sikap simpati dan empati yang sesungguhnya berangkat dari “selfish” yang bersifat inward looking dalam pengertian saat seorang manusia bersifat altruistik, dia sesungguhnya tengah menegasikan suatu tekanan pada sistem sosial cerdas tertutup bahwa nilai inilah yang semestinya diberlakukan secara proaktif pada semua anggota kelompok. Dalam konsep DoD (domain of danger) posisi di tengah kerumunan adalah posisi paling “aman”. Maka, dalam komunitas sosial yang mengembangkan azas tata kelola bersifat autopoietik menjadi “rata- rata” adalah cara paling aman untuk mempertahankan eksistensi. Untuk itu dikembangkan lagi azas resiprositi dalam ranah psikologi persuatif, yaitu bagaimana membuat orang merasa tidak nyaman jika merasa tidak berkontribusi atau tidak selaras dengan nilai-nilai acuan kelompok. Maka lahirlah peer pressure dan pranata sosial yang kelak akan menjadi embrio budaya. Ternyata, konsep dissipation driven adaptation dari Jeremy England, Chaos dari Lorentz, Self Organizing Theory Per Bak, serta Selfish Herd Theory nya Hamilton menunjukkan hal yang sama, eksistensi. Rupanya takdir setiap elemen yang hadir di semesta ini adalah untuk “mempertahankan” kehadirannya lewat berbagai cara adaptasi, khususnya yang terkait dengan preservasi energi (entropi dan termodinamika). Keterangan Gambar: Membedah Anatomi Peradaban Digital — 165

Entropi dalam konsep adaptasi adalah upaya untuk mengoptimasi energi. Mungkin ini yang disebut dalam kitab suci bahwa baik jin maupun manusia (representasi makhluk lintas dimensi --> jin dan manusia) diciptakan semata untuk beribadah. mensyukuri eksistensi dengan bernas dan cerdas. Berusaha, bekerja (memanfaatkan energi), dan berpikir untuk beradaptasi dengan ujian serta mencari solusi bagi setiap kesulitan. Maka di penghujung sebuah kesulitan terdapat kemudahan dan secara siklikal kita akan terus mendapatkan tantangan untuk memecahkan masalah dan kesulitan sebagai konsekuensi dikaruniainya pikiran. Implikasi dari pemahaman soal eksistensi, adaptasi, dan efisiensi/optimasi ini dapat menjadi acuan untuk “mengendalikan” dan mengelola perilaku kerumunan yang saat ini banyak dipengaruhi arus informasi melalui media sosial. Pengertian yang komprehensif tentang domain of danger dan nearest neighbor rule serta adopsi konsep dissipation driven adaptation dan self organizing theory yang menisbatkan setiap proses cerdas sebagai bentuk kongkret menjaga eksistensi (baca: mensyukuri keberadaan), bahkan integrasi konsep tersebut dapat mendorong evolusi dan mutasi adaptif baik dalam ranah sosiologis maupun 166 — G.E.N.C.E.

biologis, menjadi modal dasar dalam proses mengelola persoalan “kawanan” yang dalam hal ini bisa saja dalam bentuk kelompok masyarakat, bahkan sebuah negara. Domain of danger, di mana perilaku berkerumun (swarm), adalah upaya untuk meminimalisasi bahaya yang bisa datang dari faktor ancaman seperti predator. Sederhananya begini, jika saat ini ada perilaku khusus dari sebuah kelompok, maka dapat diidentifikasi apakah sesungguhnya yang “ditakuti” dan diyakini sebagai faktor yang mengancam eksistensi? Siapakah “predator”nya? Seperti apakah model “domain of danger”- nya? Pola atau “rule” apakah yang menjadi acuan dalam mekanisme “keegoisan” bersama yang dijalankan. Jika semua variabel dan faktor ini dapat terpetakan, akan banyak masalah sosial seperti kecemasan massal akibat hoax dan informasi asimetrik akan dapat ditangkal dan dicarikan solusinya. *** Membedah Anatomi Peradaban Digital — 167

168 — G.E.N.C.E.

BAGIAN 3 Gaya Hidup Digital dan Masa Depan Manusia (1) DUNIA YANG DIBANGUN DENGAN PESAN oleh Tauhid Nur Azhar Entah sudah berapa tahun berlalu saat saya getol banget belajar, meneliti, dan menulis soal DNA. Seingat saya telah lahir sekurangnya 3 karya berupa 1 buku ajar dan 2 buku sains populer yang saya tulis saking demennya sama DNA dan gen. Perjalanan ke Malang belum lama ini membuka “luka lama”. Bersama Kaka Ojan di suatu maghrib gerimis saya terdampar di Toga Mas. Sholat dan cuci mata (jelalatan tepatnya) melihat keindahan dan kecantikan buku-buku yang tergolek seksi di rak pajang dengan pose-pose yang gak nahanin banget deh. Walhasil sesuai prinsip poligami, 4 buku bersarang dalam kantong belanja. Dan, tiba-tiba suatu petunjuk area buku menghantam kesadaran saya dengan keras dan mengalirlah cerita cinta (Kahitna) tentang mantan terindah yang kini Membedah Anatomi Peradaban Digital — 169

menjadi janda. Sebuah buku di bagian biologi melontarkan ingatan saya, dan saya terjebak ruang nostalgia dalam hitam gelap malam kenangan saya menjadi alien, I’m an alien, a legal alien, jadi English man in New York. Saya backward time lapse, saya dengan rambut belah pinggir klimis, kacamata pantat botol, kemeja tangan panjang yang dikancing sampai leher dan celana katun dengan ikat pinggang ketat setinggi udel, lengkap bersepatu pantofel warna cokelat tua. Kedua telapak tangan basah oleh keringat dingin, dan wajah kemringet karena tanpa sadar saking gugupnya saya berdiri tepat di depan pancaran OHP yang menyorot panas, dan ganas. Yah, gugup dan grogi. Itulah hari pertama seumur hidup, saya mengajar di depan kelas. Biologi Medik semester I FK Undip angkatan 98, tahun reformasi. Dan, topik saya adalah DNA. Hal baru tapi tentu tidak tabu, yang pertama kali diajarkan dalam sejarah biologi FK. Seingat saya di kuliah tahun 98 itu saya membuka dengan sebuah pertanyaan retoris, apa itu DNA? Yang saya jawab sendiri dan berharap mendapat efek dramatis. Sebuah Pesan! Dan reaksi kelas biasa saja. Efek dramatis gagal. Bahkan sebagian mahasiswa bercanda, pesan apa Dok? Mie ayam atau tahu Pong? *** Namun, hari ini saya ingin menyampaikan kembali bahwa DNA adalah kode kehidupan yang dikoding dengan maksud dan tujuan. Jumlah hurufnya panjaaang sekali: 3 milyar basa, 30 ribu cerita. Dan, sebagian besar huruf itu intron. Pesan dalam sunyi yang tidak berbunyi. Untuk apa? Lalu bagaimana pesan itu disampaikan? Channel atau salurannya apa? Bagaimana diterjemahkan dan bisa dimengerti? Penerimanya siapa? Kira-kira demikian. 170 — G.E.N.C.E.

Dalam kuliah umum di FMIPA ITB dosen keceh matematika dari KK Aljabar mengatakan bahwa semua pesan itu diharapkan error. Ini teori Richard Hamming. Sehingga, kita perlu membuat model dan cara untuk mengidentifikasi potensi kesalahan, lalu mendeteksinya, serta mengoreksinya. Maka, algoritma dengan prinsip ini mampu membuat sistem melakukan validasi, koreksi, dan verifikasi. Misal QR (quick response) code, punya toleransi salah sampai 30%. Artinya terpotong, tertutup, atau tidak tercetak. Selama masih di bawah 30%, reader masih bisa baca dan informasi masih bisa diterima dengan benar. CD gores gores, noise oleh karena EM dan lainnya dapat dikoreksi. Selain itu pola khusus dapat menjadi cara validasi otentisitas data, misal barcode ISBN buku dan nomer kartu kredit atau ATM. Aleams Barra, ini nama dosennya yang memberi kuliah umum mengajarkan bahwa pola dikali 2 dengan pengali akhir (x) selalu akan menghasilkan kelipatan 10. Demikian juga pada konsep tebal tipis di barcode ISBN. Konsep ini bahkan telah memasukkan kemungkinan adanya human error karena err is part of humanity. Kemungkinan kesalahan yang terprediksi adalah transposisi saat memasukkan angka. Dari sinilah Membedah Anatomi Peradaban Digital — 171

mulai berkembang upaya mengembangkan error reduction. Salah satu caranya adalah dengan mengonstruksi anatomi data sehingga ada pola (pattern) yang menjadi identitas, terlepas dari atribut dan aksesori yang melekat atau dilekatkan. Kesalahan itu diasumsikan minimal, sehingga azas pengulangan akan membantu deteksi kesalahan. Jika kita ingin pesan yang terdiri dari 3 huruf dapat dikenali dan kesalahan di dalamnya dapat diketahui serta diperbaiki, maka setiap huruf bisa kita ulang, misal 3x. Contoh kita ingin mengirim pesan 1 kata INA maka pesan yang kita kirim adalah III NNN AAA, jika ada satu transposisi karena entry dan hal lainnya, misal satu A tertukar XX III NNN SAA, sistem rekognisi mahfum bahwa kesalahan adalah minimal (to err is human, but human can learn), dan pola 2A adalah pola dominan, maka sistem tetap akan mengeluarkan pesan INA di penerima. Ini persis, serupa, dan analog dengan gen dan DNA dalam konsep kodon serta pemilihan asam aminonya. *** Adapun untuk yang DNA dan konsep pengulangan sebagai identitas bisa baca di sini. 172 — G.E.N.C.E.

Mari sejenak kita renungkan implikasi filosofisnya. Pengenalan pola atau pattern of recognition ini adalah dasar kita membangun definisi dan persepsi. Kita melihat pola, bukan hanya variabel detail yang kadang bisa berbeda. Geometri fraktal mengajarkan kita bahwa selalu ada keteraturan dalam ketidakteraturan. Dan, filosofi kopi mengajarkan kita bahwa di dalam setiap yang punya rasa selalu ada nyawa. Nyawa itu adalah pola. AI lahir dari sini, deep learning tumbuh dari sini. Block chain di fintech perlu ini. Image processing apalagi. Namun, struktur data kompleks akan semakin rumit, terlebih apabila kita mulai mempertimbangkan interaksi dan konjungsi pola jamak (multiple pattern conjunction). Maka muncul ide brilian nan hebat yang kembali pada aspek spiritual selaras senafas dengan keyakinan orang Jawa di masanya. Kapitayan. tan keno kinoyo ngopo. Soal ada dan tidak ada, alias biner 1 dan 0. Ahad adalah ada dan saya adalah tiada, bukankah demikian sesungguhnya makna Ana Al-Haq dari Al-Arabi? Dari kesederhanaan ada dan tiada kita punya pola untuk semua fenomena. Angka 1 dan O, ada dan tiada yang bersifat superposisi dan simetri sekaligus refleksi adalah cara brilian untuk mengodifikasi pesan, hingga sesuai dengan prinsip dasar pesan yang harus dapat diterima dan dimengerti. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 173

Dan, mengaji matematika ternyata adalah salah satu cara untuk bisa mendaras ayat-ayat qauniyah agar bisa kita serap maknanya. Konsep matrix dan linearitas yang tidak sederhana bisa menjadi cara untuk belajar mengenal pola. Sumber Gambar: Persentasi Kuliah Umum Dr. Alleams Barra (ITB, 2018) *** Maka, pesan kebenaran dan pelajaran itu pasti sudah ada pola dan pengulangan yang menjadi penanda (marker) yang bisa menjadi inovasi dalam teknologi pedagogi. Sekarang anak sekolah itu disuruh menghafal. Tapi kemudian, setelah dia lulus terlihat tidak tahu apa- apa. Mengapa? Sebab, dia tidak bisa melihat pola. Pendidikan kita menghasilkan lulusan “buta pola”. Yang tidak peka dan bijaksana dalam mengenali keteraturan yang selalu selaras dan serasi dalam harmoni. Pola pulalah yang bisa membuat kita segera mengenali hoax, 174 — G.E.N.C.E.

karena pasti tidak ada sinkronisitas dengan pola-pola jamak yang membangun konstruksi informasi. Hal ini sejatinya dapat dengan mudah dapat dipelajari dari permainan berikut: Pilihlah satu angka. Anda pun boleh bohong maksimal 1x. Dengan 7 pertanyaan ini yang cukup dijawab dengan ada dan tidak ada, akan segera diketahui anda bohong di mana dan angka pilihan anda apa. Silahkan mencoba! Itulah cara DNA mendeteksi error dalam strukturnya. Itulah cara alam mengembalikan fungsi-fungsi ekologis yang menjadi error di sana-sini. Itulah sunatullah yang menggambarkan suatu keteraturan terencana yang selalu memiliki jawaban untuk dicari dan ditelusuri. Artinya, dari struktur pertanyaan itu kita bisa mendapat pola dan mengetahui atau mengidentifikasi kesalahan atau perbedaan ada di mana. Ini dasar dari konsep anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang di kedokteran untuk mendapatkan diagnosis. Konsep pengulangan dan jumlah pengulangan yang ada akan mereduksi kesalahan secara presisi. Konsistensi jawaban, dalam hal ini angka yang ya dan tidak akan terlihat. Dan, yang tidak sesuai pola adalah bohong. Maka, yang namanya setan itu jalannya tidak lurus karena jalan lurus itu terbaca dan jelas. *** Membedah Anatomi Peradaban Digital — 175

(2) EDUCERE, DIGITAL SOCIETY, DAN KORUPSI: Membangun Peradaban di Era Digital Oleh Tauhid Nur Azhar Tergelitik dengan konsep educere—yang didefinisikan sebagai suatu proses untuk mengeluarkan segenap potensi yang terdapat di dalam setiap individu yang bersifat unik dan multiranah: ruhiyah, qalbiyah, aqliyah, serta jasadiyah, yang tentu saja bersifat kohesif (terpadu) dan terintegrasi dalam cara pikir (mindset) dan terimplementasikan dalam sikap dan perilaku—maka pengertian terhadap suatu makna dan kesadaran semestinya juga dapat dibangun terpadu (koheren) baik di tingkatan individu/personal maupun komunal. Terkait dengan korupsi sebagai bentuk penyimpangan perilaku yang memiliki efek contagious dan bermetastasis (menganak sebar) secara sistemik, tampaknya perlu dikaji secara mendalam tentang “potensi” destruktif yang terungkap dalam sebuah proses yang dapat dikategorikan sebagai contra educere. Mengingat otak manusia dibekali kemampuan belajar, mengingat, dan membangun preferensi berdasar “kebutuhan” atau “keinginan”, maka jika kecemasan akan tidak terpenuhinya daya dukung untuk meraih standar kepuasan yang sebenarnya terdistorsi oleh pengetahuan akan gaya hidup yang menggerus keyakinan dan pada gilirannya kesadaran, yang terjadi adalah teroptimasinya kecerdasan manipulatif dan keberanian mengambil resiko (risk taker) dengan menggadaikan segenap nilai luhur seperti integritas dan kejujuran. Konsep vivere pericoloso atau hidup menentang marabahaya ini justru mendatangkan gairah untuk terus secara berulang-ulang melakukan hal ekstrem, tabu, dosa, atau maksiat sebagai pemicu dikeluarkannya zat kimia motivasi. Dan, saat berhasil mendapatkan apa yang diinginkan tanpa diketahui, tercapailah kondisi ekstase atau orgasmik mental yang ditandai dengan banjir dopamin di reward 176 — G.E.N.C.E.

pathway otak. Jika kondisi yang sebenarnya terjadi di level individual ini secara sistemik terdistribusi di masyarakat, domainnya akan merambah ke kondisi patologi sosial di mana perilaku ini bisa jadi merupakan simptom (gejala) terjadinya compulsive society. Melakukan suatu perbuatan negatif secara berulang (repetitif), bahkan menjadikannya “ritual” untuk meredam kecemasan bawah sadar yang dirasakan. Jika kondisi ini terjadi secara berjamaah, tentu kita harus menelaahnya dari pendekatan ilmu Antropologi atau lebih tepatnya dengan paradigma etnosains. Ada etnis koruptor telah lahir sebagai suatu generasi bergenre khusus di negara kita. Asumsi dasar, etos, dan model etnosains sebagai upaya untuk mendapatkan, mendeskripsikan, dan menggambarkan perilaku suatu kelompok didefinisikan oleh Bronislaw Malinowski (1961) sebagai to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world. Lalu apa pandangan dan faktor yang mempengaruhi pandangan hidup seorang koruptor atau etnis koruptor? Kang Taufiq Pasiak berhipotesis bahwa kecemasan yang melahirkan compulsive society (juga corruptive society) bermuasal dari tak terlatihnya cara berpikir yang membuka ruang bagi insting untuk mengambil alih kendali pengambilan keputusan. Ciri pengambilan keputusan yang bersifat instingtual adalah tindakan dan keputusan bersifat cepat, pragmatis, pemuasan segera (instan), dan berdurasi jangka pendek (tidak berpikir panjang). Insting adalah bagian dari mekanisme survival di mana faktor waktu (t) adalah variabel yang paling krusial. Di otak manusia, mekanisme insting dan survival behaviour antara lain diperankan oleh girus singulata. *** Fakta lain yang tidak kalah menggelitiknya adalah terbentuknya etnis/ethnos/bangsa atau kelompok masyarakat baru nirfisik yang hadir dalam bentuk digital society dan mengembangkan pola-pola komunikasi baru yang mampu menjadi wadah kolektif kolegial dalam berbagi gagasan hidup. Bukan hanya itu saja, melainkan berbagi keyakinan dan nilai dasar yang pada gilirannya membentuk pola interaksi unik seperti pengelompokan dan polarisasi ideologi. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 177

Secara global dunia maya sudah dihuni oleh 2,3 milyar manusia. Khusus Indonesia (data per 2016) terdapat 326,3 juta nomor hape (padahal penduduknya hanya sekitar 252 juta) atau 126% dari jumlah penduduk terdata. Yang memiliki ponsel sekitar 85% penduduk, dengan 43% nya ponsel pintar (gawai cerdas/smartphone). Pengguna internet 88,1 juta dan pemilik akun media sosial (pengguna aktif) ada 79 juta orang, 66 juta orang di antaranya mengakses medsos lewat hape. BBM masih dominan (19%), FB juara 2 (15%), dan WA mulai menyodok ke posisi 3 (14%). Dengan adanya berbagai fitur tambahan yang mengakomodir kelebihan kompetitor medsos lain seperti FB dan Line, ada kemungkinan WA akan merajai medsos di tahun-tahun mendatang. Semua sejalan dengan prediksi Gordon Moore (Moore Law’s) soal kecepatan pertumbuhan teknologi berbasis elektronika (khususnya di bidang ICT) seiring dengan berkembang pesatnya ilmu material (IC, prosesor berbahan semikonduktor, PCB, microcontrol, dan lainnya). Bersama teori kuantifikasi informasi yang digagas Claude Shannon, teknologi data memang tumbuh secara eksponensial di abad ke 21 ini. 178 — G.E.N.C.E.

Mudahnya akses untuk berceloteh dan berbagi informasi (tanpa memandang validitas dan akurasi materi) mendorong lahirnya etnis baru (Homo sosmedicus) yang memenuhi kebutuhan dasar untuk terhubung dengan sesama dan mengelola serta menampilkan citra diri sebagai bentuk aktualisasi dari konsep piramida Maslow, melalui media sosial (Dae Meshi et.al., The Emerging Neuroscience of Social Media, Trends in Cognitive Science, Dec 2015). Salah satu ciri psikologi komunikasi di sosmed adalah CDE (Cyber Disinhibition Effect) alias perilaku “congor” yang tidak terkendali. Mengutip paparan Dr. Neila Ramdhani dari FPsi UGM, norma-norma sosial di tatanan masyarakat dunia nyata hampir tak berlaku di dunia maya. Pembentukan perilaku melalui “banjir” informasi inadekuat yang diperkuat faktor influencer dan trend setter digital seperti selebgram, youtuber, ataupun buzzer berlangsung amat efektif dan bisa saja menjadi sangat destruktif. Adanya fenomena theater of mind yang menyajikan the battle of minds di mana semuanya maya dan kadang by proxy bisa menjurus pada lahirnya sebuah madness society yang impulsif, reaktif, serta radikal dalam meyakini nilai yang belum terbukti keabsahan kebenarannya. Dengan demikian, kita sekarang memiliki dua karakter etnis baru, yang pertama bersifat manipulatif-koruptif, dan yang kedua disinhibition behaviour! So what? Tentu kita harus urai satu persatu dengan tenang dan mencoba untuk menemukan simpul-simpul permasalahannya. Dalam tulisan ini yang tentu tidak bisa panjang-panjang, saya mengusulkan untuk berfokus pada konsep cara berpikir dan level of thinking, di mana semua persoalan yang terjadi di dunia nyata dan maya di atas adalah buah dari akumulasi tingkat berpikir yang terepresentasikan dalam sikap dan perilaku. *** Membedah Anatomi Peradaban Digital — 179

(3) CYBER PSYCHOLOGY Pendekatan Fenomenologi Kata Kunci dan Status di Mesin Pencari dan Jejaring Sosial (Fenomena Google dan Facebook) Oleh Tauhid Nur Azhar Fenomenologi adalah suatu pendekatan metodologis dalam filsafat sains yang dalam Stanford Encyclopedia of Phylosophy didefinisikan sebagai the study of structures of consciousness as experienced from the first person point of view, atau studi tentang struktur kesadaran yang dibangun berdasarkan pengalaman dari sudut pandang orang pertama (subyek). Pendekatan ini dikembangkan oleh Edmun Husserl sejak awal abad ke-20 bersama para akademisi di Gottingen dan Muenchen Jerman. Salah satu pengikut mahzab fenomenologi yang terkemuka adalah Martin Heideger. Kelompok fenomenologi dari Jerman ini mengembangkan pengetahuan tentang struktur kesadaran sampai kepada penelusuran proses yang terjadi hingga terbentuknya kesadaran. Struktur kesadaran sendiri memiliki proses yang didapat melalui serangkaian pengalaman yang harus dinilai secara obyektif untuk mendapatkan pengetahuan tentang penilaian (judgement), persepsi, dan emosi yang muncul pada pengamat atau orang yang mengalaminya secara langsung. Menurut Franz Brentano dan Carl Stumpf, pengalaman obyektif yang dicermati dalam pendekatan fenomenologi memiliki varian intensitas (intentionality) yang dipengaruhi oleh persepsi, memori, penolakan, penguatan intensitas, dan kebermaknaan sebuah peristiwa atau pengalaman. *** 180 — G.E.N.C.E.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang teramat pesat yang ditandai dengan pencapaian teknologi processing dan digitalisasi yang ditunjang oleh perkembangan rekayasa material. Revolusi industri berbasis ICT sesuai dengan prediksi Claude Shannon dan kaidah hukum Moore yang memprediksikan pertumbuhan teknologi yang lompatannya bersifat eksponensial. Pertumbuhan teknologi informasi yang menjadi tulang punggung revolusi industri tahap lanjut mendorong munculnya gelombang transformasi masyarakat di berbagai sektor kehidupan. Perubahan antropokultural yang terjadi antara lain meliputi munculnya ketergantungan kepada jejaring internet sebagai sumber informasi. Pada gilirannya kondisi ini menjadikan internet sebagai salah satu faktor stimulus dalam perubahan gaya hidup (life style). Hasil pengamatan trafik yang dilakukan oleh Media Metrix memperlihatkan terjadi peningkatan durasi kunjungan seseorang di situs jejaring sosialnya secara signifikan dibandingkan ke situs informasi dan edukasi (misal Wikipedia). Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa terjadi perubahan tren budaya komunikasi menuju budaya komunikasi virtual yang sebenarnya merupakan sumber informasi asimetrik, atau sulit divalidasi kebenaran dan kredibilitas sumbernya. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 181

Hasil polling yang dilakukan oleh Andi Rahmat, Tegar Paramartha, dan Agus Sudrajat dari Institut Manajemen Telkom di jaringan sosial Facebook (2009) dengan sampel mahasiswa dengan rentang usia 18- 25 tahun menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan terhadap layanan internet sudah mendominasi kehidupan sosial dari mayoritas sampel/peserta polling. Dari serangkaian pertanyaan yang disiapkan didapatkan pengelompokan hasil sebagai berikut: responden yang telah mejadikan layanan internet sebagai bagian dari kebutuhan dan gaya hidup, responden yang menjadikan layanan internet sebagai alat bantu untuk mengakses informasi dan edukasi, responden yang menjadikan layanan internet sebagai alat mengakses hiburan dan membangun jaringan sosial semata, dan kelompok responden yang terkategori masih agak asing dengan kegunaan dan manfaat dari layanan internet. Pengelompokan fenomena pengguna layanan internet ini didapatkan dari jenis-jenis pertanyaan quesioner yang antara lain meliputi frekuensi dan intensitas penggunaan jaringan internet, alat bantu yang dipergunakan (gadget), situs yang dikunjungi, gambaran- gambaran contoh kebutuhan dan upaya pemenuhannya dengan memanfaatkan layanan internet, dan pendapat subyek tentang peran internet alam kehidupannya (first person view). No Klasifikasi Pengguna Perbandingan Gender Internet Prosentase Wanita Pria Kelompok dengan 1 internet sebagai 32% 13% 19% kebutuhan dan gaya hidup Kelompok pengguna aktif 7% 18% 2 dalam konteks informasi 25% dan edukasi Kelompok pengguna aktif 20% 11% 3 dalam konteks hiburan 31% dan jejaring sosial Kelompok pengguna 12% 5% 7% 4 pasif dan dalam tahap pengenalan 182 — G.E.N.C.E.

Tingginya tingkat penetrasi informasi dan efektifnya pola komunikasi sosial pada jaringan internet secara hipotetikal akan menghasilkan suatu kondisi terciptanya nilai-nilai kebenaran semu. Mengacu kepada konsep falsifikasi yang digagas Karl Popper, metoda pembuktian kebenaran adalah dengan menguji (eksaminasi) suatu informasi atau teori sampai terbukti salah, jika tidak terbukti maka akan terjadi penguatan bahwa informasi tersebut benar! Keadaan ini disebut koroborasi. Sebagai contoh, informasi yang bersumber dari internet kemudian akan mendapat pembenaran secara berkesinambungan dari jaringan pengguna serta diamplifikasi serta ditingkatkan intensitas transmisinya melalui intensifikasi jalur informasi (tag, mailing list, dan link). Maka hasil akhir dari serangkaian proses ”pembenaran” yang terjadi akan bermuara pada sebuah informasi yang dianggap sahih (valid) dan terjamin serta diyakini kebenarannya. Pola komunikasi sosial akan mengalami transformasi radikal dari yang semula berdasar pada kredibilitas ”key person” atau komunikator yang ditentukan berdasarkan perspektif budaya, maka kini validitas lebih dipengaruhi oleh penetrasi dan transmisi data. Semakin cepat sebuah informasi dikirim serta diterima, serta semakin banyak orang menerima dan membaca maka informasi itu mengalami penguatan dan dengan sendirinya meningkat kesahihannya. Kondisi ini dapat dicermati pada layanan microblogging Twitter yang mampu secara cepat dan singkat mentransmisikan berita-berita pendek yang dibatasi jumlah karakternya. Sebagai contoh nyata informasi kematian Mbah Surip dan Michael Jakcson dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan mendapat konfirmasi berulang dari pengguna lain. Fenomena penguatan validitas juga didukung oleh konfirmasi berulang (berlapis) yang berlangsung selama informasi terus ditransmisikan dan terdistribusikan melalui jaringan. *** Dalam konteks web 2.0 dan web semantik, fenomena kontribusi informasi dan arah arus yang bersifat konvergen adalah struktur dasar dari konstruksi komunitas dan tatanan masyarakat baru berbasis web (new order community). Maka kata kunci (key word) dalam proses Membedah Anatomi Peradaban Digital — 183

pencarian dengan bantuan mesin pencari (search engine) adalah variabel penting fenomenologis yang merepresentasikan tingkat kebutuhan infomasi terhadap suatu topik. Semakin tinggi frekuensi suatu kata kunci dipergunakan, akan semakin kuat pula intensitas kebutuhan terhadap informasi tersebut. Dari konsep inilah profil psikososial masyarakat pengguna layanan internet dapat dipetakan. Dari data awal inilah dapat ditelusuri proses pembentukan kemampuan penilaian, persepsi, emosi, dan sikap mental yang diyakini oleh masyarakat pengguna jasa layanan internet. Kata kunci menjadi ikon penting dalam proses evaluasi kondisi psikologis sebuah kelompok (cluster) masyarakat. Dalam psikologi bisnis, kata kunci bahkan dapat dijadikan variabel penting dalam proses prakiraan bisnis (business forecasting). Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: jika kata kunci merupakan representasi kebutuhan kelompok yang bersifat dinamis (group dynamic) maka faktor apa saja yang mempengaruhi proses pembentukannya? Kemungkinan terbesar adalah perputaran dan umbalan informasi yang juga tercipta dari interkonektifitas dan interaksi antarjaringan sosial di struktur virtual masyarkat pengguna internet. Berbagai data dalam bentuk text, gambar, bahkan multimedia akan diolah oleh indera sensoris dan ditransmisikan ke pusat belajar di otak serta menjadi data mentah bagi pusat-pusat penglihatan, pendengaran, dan penginderaan lainnya (primer dan sekunder). Ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya, maka segenap indera sensorisnya akan menerima dan mentransmisikan data. Selanjutnya data tersebut akan ditapis di talamus dan dikirimkan ke kulit otak, sesuai dengan jenis dan proses yang dibutuhkannya. Sekumpulan proses yang meliputi penerimaan data, transmisi (penyaluran), analisa, dan pembentukan respon, serta proses belajar dan pengelolaan ingatan termaktub ke dalam sebuah supra sistem manajemen operasi yang menghasilkan produk-produk mental. Fungsi mental inilah yang kemudian (dalam perjalanannya) berkembang menjadi sebuah proses yang dinamis, penuh dengan ragam, dan menjadikan seorang manusia memiliki kemampuan mempersespsikan hidup. Perkembangan dari proses pembentukan persepsi adalah timbulnya beragam piranti sosial 184 — G.E.N.C.E.

dan tumbuhnya nilai-nilai acuan. Manusia mengklasifikasikan diri dan kepentingannya dalam bentuk ekspektasi, prestasi, dan kemudian bahkan mengembangkan konsep frustasi atau kekecewaan di saat fakta tidak sesuai dengan harapan. Sistem mental ini kemudian terus bergulir dan tidak hanya mengubah pola pandang pribadi, melainkan juga menjadi dasar atau fondasi dari proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya dan juga dengan berbagai elemen yang terdapat di dalamnya. Dalam perkembangan selanjutnya manusia mengembangkan berbagai sub sistem mental yang dijiwai semangat untuk mengoptimalkan benefit yang bersifat ego atau setidaknya antroposentrik, berfokus pada manusia sebagai subjek sekaligus objek hidup. Sumber daya alam dan sumber daya sosial didorong secara hegemonik untuk dipahami sebagai sebuah infrastruktur hidup yang harus dikapitalisasi. Semua potensi sumber daya itu akan dimaknai sebagai modal yang harus mampu menghasilkan jauh lebih banyak lagi keuntungan bagi manusia. Akan tetapi, kemampuan mental yang semula destruktif dan bersifat eksploitatif itu lambat-laun—seiring dengan tumbuhnya kesadaran tentang perlunya sebuah proses yang berkesinambungan, mulai mengurangi momentum kelembaman. Bisnis dan proses produksi serta jasa di dalamnya kini berpaling pada kepedulian terhadap daya dukung dalam bingkai waktu jangka panjang. Pengembangan produk- produk baru tidak lagi sekadar mengacu kepada keuntungan sesaat dan kepedulian yang hanya terbatas pada ruang lingkup yang sangat sempit. Pada hakikatnya seorang manusia memiliki internal consciusness yang tercermin dalam pola-pola psikososial sebagaimana digambarkan dengan sangat baik melalui riset yang dilakukan oleh Solomon Asch pada tahun 1951. Riset psikologi sosial ini didesain sangat sederhana, sekumpulan orang diminta untuk mengidentifikasi dan membandingkan panjang beberapa garis dengan sebuah garis yang menjadi acuan. Sejumlah orang yang terlibat sudah ”kongkalikong” dan akan menyatakan bahwa garis tertentulah yang sama panjangnya dengan garis acuan, meski sebenarnya tidak begitu. Hasil riset Membedah Anatomi Peradaban Digital — 185

menunjukkan bahwa ternyata orang percobaan (probandus) cenderung untuk menyetujui ”kesalahan” yang dilakukan oleh kelompok mayoritas, meski sesungguhnya yang bersangkutan tahu bahwa itu salah. Interaksi sosial rupanya juga berperan sebagai suatu upaya peneguhan keyakinan dan pendistribusian tanggungjawab. Orang akan merasa lebih aman apabila pendapatnya sejalan dengan kecenderungan lingkungan! Penelitian terdahulu yang dilansir pada tahun 1936 oleh Muzafer Sherif justru menunjukkan hasil yang berbeda. Dalam penelitian itu seseorang diminta memasuki sebuah kamar dengan sebuah bola lampu pijar yang redup sebagai satu-satunya sumber penerangan. Lalu pada orang percobaan tersebut ditanyakan, apakah bol lampu tersebut bergeser atau bergerak? Rerata mereka menjawab bahwa bola lampu tersebut bergeser atau bergerak. Akan tetapi, ketika sekelompok orang percobaan yang telah mengikuti tes tahap pertama (masuk sendiri- sendiri) dimasukkan bersama-sama ke dalam ruangan tersebut, mereka bersepakat bahwa lampu itu tidak bergerak. Dalam hal ini interaksi sosial dalam kelompok rupanya mendorong munculnya upaya pencarian kebenaran komunal, yang bisa diterima oleh banyak kalangan. Dengan demikian apabila mengacu kepada kedua hasil penelitian tersebut, kita akan mendapatkan sebuah fenomena bahwa sesungguhnya manusia akan terlepas dari paradigma dan tata nilai ”benar-salah” atau yang kemudian disebut sebagai moralitas, dengan syarat adanya kesepakatan komunal. Dengan kata lain, ”yang penting beramai-ramai. Tampaknya dari fenomena inilah kemudian muncul konsep konsensus atau keputusan yang berangkat dari sebuah kesepakatan bersama. Dan, pendulum kesepakatan itu pun bergeser, dari yang semula sekadar berorientasi pada profit kini bergeser untuk mulai meraih benefit! GOOGLE TRENDS Mengacu kepada konsep psikologi sosial di atas, maka trend yang tercermati melalui Google Trends sesungguhnya memetakan upaya pencarian kebenaran dan kebutuhan komunal. 186 — G.E.N.C.E.

Pada grafik tentang seberapa banyak orang dan seberapa sering orang sub region Indonesia mencari informasi tentang penyakit flu, dapat dikaji beberapa faktor terkait berikut: awareness, tren pencarian info secara tidak langsung menunjukkan adanya kepedulian terhadap topik yang ingin dicari keterangannya. Kepedulian ini secara psikologis dapat didasari dan dmotivasi oleh adanya “kebutuhan” (needs). Kebutuhan dalam skala tertentu, dan dalam keadaan tidak terkelola dengan baik serta “terasa” berada di luar rentang kendali adalah bagian dari spektrum “ancaman”. Dan ancaman adalah stimulator terkuat dari respon defensif. Maka pencarian informasi tentang penyakit dapat diasumsikan terkait erat dengan “dimensi ancaman” yang tengah dihadapi. Dalam hal ini issue global, laporan jurnalistik lokal (dapat diperkuat apabila data twitter yang berisi laporan sewaktu dari warga dapat diintegrasikan dalam Google trends, melengkapi data “news” yang sudah ada), maupun adanya peringatan resmi dari otoritas. Hal ini mirip dengan maraknya pencarian berkata kunci “demam berdarah” di bulan-bulan dan di kota-kota tertentu. Grafik trend Google global di atas menunjukkan adanya peningkatan trend pencarian berkata kunci flu di saat ada peristiwa-peristiwa terkait yang bertidak selaku trigger atau teaser. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 187

Dimensi waktu juga menjadi faktor menarik lain untuk dicermati. Kemunculan momentum-momentum khusus yang ditandai dengan tingginya pencarian terhadap suatu topik atau tema berkata kunci tertentu dapat berlangsung siklikal (berulang), periodik, ataupun hanya terjadi pada saat yang tak terduga (unpredictable). Berulangnya sebuah fenomena adalah potensi besar untuk proses prakiraan (forecasting) dan sangat bermanfaat bagi proses marketing. Keberulangan sebuah topik amat bergantung kepada siklus klimatologi, trend global, ataupun pada timelines politik (menjelang pemilu, pilkada, atau penerapan peraturan tertentu). Adanya momentum yang bersifat eksklusif dan sarat dengan lokalitas juga mempengaruhi maraknya kata kunci tertentu di sebuah sub region. Misal ketika Yogyakarta gempa, maka angka pencarian berkata kunci Yogyakarta tinggi sekali. Demikian juga, saat Garuda mengalami kecelakaan di Bandara Adi Sucipto dan melibatkan beberapa orang penting dan delegasi asing (Australia). Menariknya apabila data tentang Yogyakarta ini dibandingkan dengan pencarian untuk Bandung, secara head to head Bandung unggul. Siapa yang mencari data tentang Bandung? Ajaib! Orang Bandung 188 — G.E.N.C.E.

sendiri! Ini adalah data awal untuk pemetaan tipologi psikologi atau psikografi tentang penduduk suatu kota. Karakter “narsis” seperti yang ditunjukkan warga Bandung ini kelak dapat dikembangkan untuk memetakan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi psikologis seperti kultur, geomorfologi, iklim, potensi ekonomi, pendapatan perkapita, dan banyak faktor lainnya. Yang jelas “narsis” adalah salah satu atribut pada produk yang bernama manusia Bandung! Homo Bandungicus pengen tampil teruuuus! Demikian pula tim sepakbola kebanggaannya: PERSIB. Google menunjukkan Persib adalah juara yang sebenarnya, setidaknya di pikiran penggemarnya. Mungkin jika diadakan market research yang agak serius di Bandung dan sekitarnya produk yang paling melekat di otak dan menjadi top of mind (TOM) adalah Persib. Dari penelusuran trend Persib berbanding denga Persija didapati bahwa penggemar Persib (bobotoh) mungkin sama saja banyaknya dengan fans Persija (The Jak), tetapi bobotoh jelas lebih melek internet. Data Google menunjukkan bahwa Persib unggul dan laris manis dicari di dunia maya. Tentu harus pula dipertimbangkan kemungkinan ada sekian persen The Jak dan fans klub peserta Liga Indonesia lainnya yang “mengintip” kekuatan Persib melalui teknologi informasi. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 189

Berbicara soal bola yang diganderungi di seluruh dunia, kita pun harus mengulas tentang trend pada topik berkata kunci sex. Mengingat inilah issue terbesar yang dikaitkan dengan stigmatisasi buruk jasa internet. Meski sesungguhnya kata kunci sex terkait dengan teori, pengetahuan, dan juga jender, tetapi tak dapat dipungkiri asosiasi dan konotasi terkuat adalah dengan pornografi. Tahukah Anda kota mana di Indonesia yang paling banyak mengetikkan kata kunci sex di Google? Jawabannya adalah Semarang! Kota pesisir pantai utara jawa yang adem ayem dan tempat saya sekolah ternyata “ganas” juga kalau di dunia maya! Semarang, Malang dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah juara akses data yang dicari dengan kata kunci sex. Budaya, tabu, dan pola komunikasi yang tertutup menjadikan internet berkembang menjadi salah satu pintu katarsis untuk memuaskan pengetahuan tentang hal-hal yang selama ini disembunyikan. Tentu harus dipertimbangkan pula alasan-alasan lain yang juga memiliki kemungkinan untuk berkontribusi pada sistem pengambilan keputusan. 190 — G.E.N.C.E.

Hal lain yang tak kalah menariknya dalam genre budaya populer adalah kengetopan dan keartisan seseorang. Seorang Luna Maya dapat memetakan sebaran penggemar fanatiknya dan posisinya terhadap kompetitor. Wajar jika Google saat ini sudah bertransformasi dari yang semula brand atau nama yang melekat pada suatu badan usaha, menjadi kata kerja yang tercantum di dalam Webster Dictionary, dengan kata kerja aktif googling berarti mencari informasi di dunia maya melalui mesin pencari. Kembali ke Luna Maya, ternyata penggemar fanatik terbanyaknya yang aktif menggogling terdapat secara berturut-turut di beberapa kota berikut: Jakarta, Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung. Maka Luna dapat berstrategi untuk memaintain relationship dengan fansnya. Jakarta dan Medan haruslah mendapatkan atensi yang lebih intensif, terbukti masyarakat kedua kota itulah basis massa Luna Maya di dunia maya. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 191

Terkait dengan kompetitor dan trend “masa edar” selebritis, ternyata perlahan tapi pasti Luna Maya berhasil “mengalahkan” Dian Sastro, kecuali di Yogyakarta. Mungkin wajah njawani Jeng Dian mampu merebut hati para netter kota Gudeg yang kesengsem lan kepincut senyum manisnya. Masih dari dunia selebritis, bintang “Empat Mata” atau kini “Bukan Empat Mata” Trans7, Tukul Arwana, ternyata “kebanting” oleh sosok Ayu Azhari, apalagi di saat-saat momentum tersebarnya foto-foto syur Azhari sister. Dalam soal cari mencari Ayu Azhari, Bandunglah juaranya. Jadi meski mojang-mojang Priangan terkenal akan kemolekannya, daya tarik Ayu Azhari rupanya memiliki sensasi tersendiri. Berbicara soal ikon atau tokoh Bandung asli, tidak afdhol kiranya jika tidak mengulas dan mengupas Aa Gym, dai kondang yang tenar hingga mancanegara. Setelah kasus poligaminya meledak dan menjadi buah bibir banyak orang serta memberikan banyak profit bagi industri media, sosoknya semakin surut dan tak lagi menjadi ikon yang “wajib” cari. Google trends bahkan memberikan gambaran yang agak ironis, 192 — G.E.N.C.E.

kata kunci Aa Gym ternyata kalah banyak dipakai dibandingkan kata kunci untuk Dewi Persik! Silahkan Anda interpretasikan sendiri dalam konteks pengamatan terhadap posisi agama di kancah budaya populer. Dai yang paling ngepop dan ngetop saja masih tidak mampu bersaing dengan seorang selebriti seksi yang berasal dari Kediri. Lain hal jika kita berbicara peta geopolitik misal membandingkan antara Jokowi, Prabowo, Pak SBY dengan Ibu Mega, atau partai Demokrat, Golkar, dan PDIP di sub region tertentu, pasti menarik dan bisa dikaji secara lebih mendalam faktor-faktor yang turut mempengaruhi dorongan orang untuk “mencari” partai atau tokoh tersebut di dunia maya. Tetapi ketika kita harus membandingkan sesuatu yang bernuansa absurditas dan fakta menunjukkan bahwa rasionalitas tidak mendapat tempat, kita meskipun sebenarnya sudah tahu hasilnya, akan “terpukul” dan kecewa. Padahal absurd itu hanyalah sebuah fenomena keteraturan yang sedikit “lebih kusut” daripada biasanya, dapat dijelaskan dan dicari simpul-simpul pemahamannya. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 193

Maka mungkin pembaca dapat memaklumi “keengganan” penulis untuk mencoba memasukkan variasi kata-kata kunci berikut: Dr. Siti Fadillah Supari versus Ponari, ataupun Islam versus ikon-ikon populer lainnya, khawatir “gak kuat” melihat hasilnya! Tetapi berbicara serius, trend kata kunci di Google ini juga memberikan informasi yang teramat berharga perihal kualitas edukasi publik. Lihatlah, masyarakat justru lebih sering mencari informasi tentang kanker dibandingkan dengan tentang jantung. Padahal fakta mengatakan bahwa pembunuh nomor satu saat ini adalah penyakit jantung dengan berbagai komplikasinya. Dalam ranah marketing di media baru (new media marketing) dapat ditelusuri secara obyektif jenis informasi apa yang menjadi kebutuhan dan merupakan komoditas publik bernilai tinggi. Simak tabel kunjungan harian pada situs-situs penyedia berita di Indonesia berikut: Hasil analisa Alexa terhadap 5 situs/portal berita Indonesia terpopuler Data obyektif yang didapatkan dari penelusuran kunjungan, bahkan sampai berapa lama waktu singgah ke laman sebuah situs merupakan “tools” dengan utilitas tinggi yang menggambarkan dinamisitas komunitas. Penelusuran daerah/geografis dari 194 — G.E.N.C.E.

pengunjung laman dapat menjadi gambaran penetrasi informasi dan cakupan dispersinya. Sistem transparansi ini menjadikan penguasaan informasi bukan sekadar profit bagi seseorang atau sekelompok tertentu, melainkan menjadi benefit publik. Kondisi ini menghantarkan kita pada era keterbukaan yang berkorelasi erat dengan kejujuran dan keadilan. Ruang publik yang sarat dengan banalisme dan vandalisme formal lambat laun akan tergusur oleh terbangunnya “peer group” yang konstruktif dan mengakomodir tata nilai baru tentang interaksi yang justru lebih bersifat humaniter dan egaliter. Kemerdekaan dan kebebasan psikologis yang bertanggungjawab akan menggusur kejahatan dan pemenuhan aktualisasi rendah. Pornografi internet dan penipuan (fraud, carding, dan criminal hacking) serta kejahatan saiber lainnya akan tereliminasi dan akan semakin sempit ruang geraknya. Dunia alternatif akan terbangun dan bersikap lebih edukatif, informatif, dan transformatif terhadap perilaku sosial. Komunitas baru akan terbangun melalui “second world” yang lebih ideal dan terbangun di atas platform saling percaya dan saling berbagi (trust and sharing). Kepercayaan yang dibangun ini menyandarkan diri pada “kebersamaan” dan konsep saling mengingatkan (baca: saling mengoreksi) dan mewartakan kebenaran. Pemenuhan kebutuhan informasi akan mendorong peringkat (rating) informasi yang menjadi kebutuhan bersama, dapat dicermati pada hasil analisa Google Analytic yang mampu memetakan asal pengunjung (dari search engine, bouncing dari situs yang dikunjungi sebelumnya, atau spontan mengetahui alamat situs yang dituju dari sumber informasi konvensional). Membedah Anatomi Peradaban Digital — 195

Contoh hasil penelusuran sebaran geografis, jalur masuk, dan profil pengunjung (bisa melihat loyalitas dan kebutuhan terhadap situs/need analysis serta atraktibilitas situs) Contoh peringkat popularitas dan tingkat kunjungan pada situs telekomunikasi nasional dan regional berdasar kata kunci 196 — G.E.N.C.E.

Data kunjungan pada sebuah situs lokal (lihat geolokasi pengunjung yang eksklusif terpusat di Indonesia) Sebaran prosentase kebutuhan informasi berdasar kata kunci Membedah Anatomi Peradaban Digital — 197

Apresiasi Sosial Melalui Pemutakhiran Status (Status Update) dan Komentar (Comment) Mengapa jejaring sosial menjadi media yang begitu diminati oleh masyarakat dunia? Bapak Suryatin Setiawan dalam Majalah Inspire edisi Juli 2009 mengemukakan hipotesa yang sangat menarik: kesempatan mengekspresikan diri apa adanya melalui budaya “grafiti” , dengan menulisi “tembok” di laman jejaring sosial adalah sebuah proses pelepasan emosi yang mampu meringankan beban. Dari perspektif psikososial Wimar Witoelar mengorelasikan budaya atau fenomena mengekspresikan diri melalui jejaring sosial yang seolah ”alter ego” dari pemilik akun itu dengan sebuah peribahasa yang pas sekali: Give a man a mask and he’ll show you his true face. Kalimat ini terasa ringan dan seolah sangat sepele tetapi sesungguhnya menggambarkan fenomena psikososial yang dapat digali secara lebih komprehensif. Ketersembunyian identitas pemilik akun adalah pelindung atau perisai (shield) yang dapat dianalogikan dengan dinding-dinding kamar yang aman dan tidak memungkinkan pihak lain melihat hal-hal yang bersifat pribadi. Kondisi ini secara tidak langsung menggambarkan adanya keterbatasan ruang publik yang mampu mengakomodir katarsis yang merupakan pelepasan dari berbagai tekanan dalam sistem sosial. Manusia dalam kungkungan sistem sosial yang represif dan mengacu kepada tata nilai berbasis capaian dan materi menjadi sangat bergantung kepada konsep pencitraan diri. ”Keagungan” citra diri ini menjadi tekanan psikis yang teramat berat karena mengharuskan manusia yang ebrsangkutan untuk terus menerus membangun dan mempertahankan citra yang melakat sebagai atribut sosial. Kemungkinan secara hipotetikal motivasi untuk membangun alterego yang bebas nilai inilah yang kemudian menjadikan jejaring sosial tumbuh teramat pesat. Hambatan alamiah yang dapat mengurangi pesatnya laju pertumbuhan akun jejaring sosial di negara- negara berkembang seperti Indonesia adalah infrastruktur. Jika kita mengacu kepada ketersediaan dan ”kemewahan” infrastruktur teknologi informasi seperti di Belanda, lonjakan penggunaan jejaring sosial secara prediktif akan bersifat eksponensial. Simak tabel pengguna Facebook di bawah ini; 198 — G.E.N.C.E.

Dari sudut pandang yang agak berbeda Heyman dan Ariely (Psychology Sciences, 2004) mengaji konsep psikologi uang (psychology of money). Ada tiga kelompok yang diuji mendapatkan tugas membuat lingkaran di kertas. Kelompok pertama dijanjikan imbalan 5 dolar, kelompok kedua dijanjikan imbalan 50 sen, dan kelompok ketiga diberikan ucapan terima kasih yang tulus. Ternyata dari hasil penlilaian kinerja berdasar banyaknya jumlah lingkaran yang dibuat dalam kurun waktu yang telah ditetapkan, didapati bahwa orang yang mendapat ucapan terimakasih dengan tulus membuat jauh lebih banyak lingkaran dibandingkan dengan orang-orang yang dibayar. Sementara di antara dua orang yang dibayar, yang mendapatkan bayaran 5 dolar terbukti membuat lingkaran lebih banyak dibanding dengan yang hanya mendapat 50 sen. Dalam kasus yang sedikit berbeda hadiah atau ucapan terimakasih diganti dengan coklat. Ternyata, perbedaan harga coklat tidak mempengaruhi kinerja dalam membuat lingkaran, semua jauh lebih banyak dari jumlah yang digambar orang dengan imbalan 50 sen. Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa apresiasi dinilai jauh lebih berharga dibandingkan dengan nilai nominal yang diterima. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 199

Kira-kira semacam inilah kondisi psikologis yang tercipta di saat status di jejaring sosial ataupun postingan di dinding (wall post) dikomentari dan mendapatkan tanggapan dari teman. Apresiasi! Penjelasan dalam ranah psikologi tentang apresiasi sosial ini dapat dicermati setelah kita memahami konsep-konsep belajar sosial dan berbagai mekanisme yang terlibat di dalamnya. Secara khusus aspek belajar dan adaptasi sosial terhimpun dalam ranah psikososial. Tokoh dan pemikirannya yang cukup berpengaruh dalam ranah psikososial adalah Albert Bandura. Semula Bandura amat terpengaruh oleh konsep Robert Sears tentang perilaku sosial atau Social Behavior dan proses belajar identifikatif. Kemudian Bandura mengembangkan sendiri konsep- konsep tentang model-model sosial dalam pembentukan motivasi, pemikiran, dan aksi seorang manusia. Artinya, dalam memproduksi atau menghasilkan suatu produk mental seorang manusia haruslah mengakuisisi, mengaksepsi, memilah, menganalisa, dan membuat strategi kognisi-afeksi dengan mengacu atau berdasar atau dipengaruhi oleh variabel-variabel yang terdapat di lingkungan sosialnya. Dapat disederhanakan bahwa seorang manusia amat bergantung dan terpengaruh oleh model-model interaksi sosial yang dijalaninya. Bandura menamakan ini sebagai sebuah proses belajar mengobservasi atau Observational Learning. Pada penelitian pada orang-orang yang mengalami fobia, Bandura menemukan bahwa proses ”self efficacy” memainkan peran penting dalam menyokong fungsi psikologis dan sosiologis seorang manusia. Dari pengertian inilah kemudian Bandura mengembangkan teori kognisi sosial atau Social Cognitive Theory. Teori ini membahas tentang kemampuan manusia untuk beradaptasi dan berubah dengan mengembangkan fungsi mentalnya berdasarkan peran sentral dari kemampuan kognitif, pengendalian diri, dan kemapuan reflektif. Kalimat kunci yang menjadikan teori kognisi sosial Bandura ini menjadi msangat penting bagi kita dalam mempelajari masalah psikososial dapat disimak dalam kutipan berikut : This social cognitive theory has its roots in an agentic perspective that views people as self-organizing, proactive, self-reflecting and self-regulating, not just as reactive organisms shaped by environmental forces or driven by inner impulses. 200 — G.E.N.C.E.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook