Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Gence Membedah Anatomi Peradaban Digital

Gence Membedah Anatomi Peradaban Digital

Published by seputarfib, 2022-01-23 17:02:57

Description: Gence Membedah Anatomi Peradaban Digital

Search

Read the Text Version

dan kekurangan. Sebaiknya diberikan sesuai kebutuhannya. Seperti job enrichment diberikan bila yang bersangkutan tidak mempunyai masalah di aspek pleasure. Sedangkan job rotation dan job characteristics sebaiknya diberikan kepada karyawan, terutama yang sudah dapat “dilepas” atau memiliki rasa tanggung jawab yang bisa dipercaya dengan arahan dan pengawasan yang minim. Sebalikya bagi mereka yang lemah di bidang tersebut, perlu diberikan program “flow model”. Program pemberian tambahan tugas kerja atau job enlargement, diberikan hanya kepada mereka yang kurang harga diri atau memiliki percaya diri yang rendah. Berdasarkan penelitian neurosaintifik, instrumen yang paling cocok untuk program terkait kepemimpinan, dengan konsep terbaik yang diberikan adalah emotional leadership dan coaching. MBO (management by objective) bagus diberikan hanya kepada karyawan yang tidak ada masalah dengan attachment (kedekatan). Selanjutnya, pendekatan konsep situational theory paling cocok diterapkan kepada mereka yang periang. Konsep kepemimpinan yang paling cocok perlu diaplikasikan kepada karyawan yang mempunyai masalah dengan kedekatan (attachment) adalah konsep trait theory. Sedangkan konsep behavioural theory tepat sebagai alat intsrumen yang perlu diberikan kepada mereka yang kurang memiliki attachment dan belum dapat dilepas, atau masih perlu orientasi dan pengawasan. Lima langkah tools moel AKTIF yang dapat memperbaiki atau meningkatkan kinerja kepemimpinan karyawan yaitu; 1) melakukan analisis dari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, 2) membuat kecenderungan profil konsistensi dalam bentuk gambar grafik, 3) melakukan upaya-upaya transformasi yang dibutuhkan, 4) fokus perbaikan pada inkonsistensi, 5) terakhir melakukan verifikasi- verifikasi perbaikan. Ketidakmampuan untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan dasar dikenal sebagai ketidaksesuaian. Hal ini berarti bahwa individu tidak akan dapat mencapai tujuannya dalam konteks mereka. Konsistensi di sisi lain, adalah harmoni antara lingkungan dan konteksnya, serta pemenuhan kebutuhan dasar individu. Skema motivasi adalah interpretasi individu motif dan drive untuk mencapai tujuan mereka dalam konteks saat ini. Kita dapat membedakan antara skema pendekatan dan skema penolakan (approach schemata & avoidance schemata). Membedah Anatomi Peradaban Digital — 301

Kompetensi neuroleader yang terbaik (sesuai dengan kajian yang memenuhi 4 kebutuhan dasar neurosaintifik: attachment, orientation and control, self-esteem, dan pleasure) menggunakan skema PERFECT dengan rincian sebagai berikut: 1) Potensi - mengembangkan dan mendukung potensi setiap karyawan, 2) Encourage - mendorong karyawan untuk menghadapi tantangan baru dan mengembangkan diri mereka sendiri, 3) Respons - berikan umpan balik yang teratur dan konsisten, 4) Freedom - memungkinkan kebebasan sebanyak mungkin, 5) Emosional - menerapkan emotional intelligence, 6) Communication - komunikasi yang reguler di tingkat yang sama, dan 7) Transparan - bersikap transparan dalam perilaku dan komunikasi. Perjalanan konsep teori neuroleadership dirancang untuk meningkatkan kesadaran kita akan apa yang tampak jelas namun tidak banyak: “Bahwa otak adalah akar dari semua interaksi manusia dan pemahaman ini akan membantu pemahaman kita tentang sistem di mana manusia terlibat.” (Argang dkk.). Menjadi neuroleader tidak berarti harus menjadi neuroscientist, melainkan lebih mengembangkan pemahaman tentang fungsi dasar otak dan hubungannya dengan interaksi manusia di tempat kerja. Kita yakin bahwa jika kita dapat memahami kebutuhan dasar dan memikirkan proses perusahaan kita dari sini, dikombinasikan dengan kekayaan informasi tentang otak, kita benar-benar dapat menjadi neuroleader yang baik. Penutup Menyikapi perubahan lingkungan bisnis yang semakin cepat didominasi oleh dampak kemajuan teknologi informasi, menjadikan lingkungan yang VUCA (volatile, uncertain, complex dan ambigu). Diperlukan kepemimpinan yang terus dinamis, selalu open minded, dituntut terus beradaptasi dengan lingkungan yang senantiasa berubah. Kecepatan hubungan inter-neurons yang terus meningkat, jumlah inter koneksi antar neurons juga terus bertambah. Terutama di generasi millinneals, selain pesatnya kemajuan teknologi informasi, serta didukungnya gizi makan dan nutrisi yang semakin baik. Tak luput gaya hidup sehat. Angkatan-angkatan sebelumnya (digital immigrants) dituntut untuk dapat memahami neuron-neuron otak SDM yang sekarang (digital natives). 302 — G.E.N.C.E.

Terutama di negeri kita, “lead by example” – memimpin dengan memberikan contoh langsung bukan sekedar memberikan nasihat, terbukti sangat efektif. Hal ini terjadi interaksi mirror neuron manusia Indonesia masilah sangat kuat. Didukung oleh kondisi fisik jarak terpendek diameter kedua organ amigdala – bijih almon yang terdapat di sistem limbik, di dalam kepala otak orang kita, khususnya rumpun polynesia (perlu dibuktikan oleh penelitian-penelitian neurosains lebih lanjut). Sebagai akibatnya, karakter berpikir SDM- SDM kita yang cenderung lebih responsif dan reaktif. Kabar baiknya; dengan ditemukan teori neuroplastisitas, ada harapan bahwasannya neuron otak manusia yang terus plastis, terus berubah di setiap usia. Menggantikan fixed mindset menjadi growth mindset. Proses pembelajaran, pelatihan, pembinaan terus ditingkatkan. Sistem pendidikan dan pola asuh anak sedini mungkin. Agar sejalan dengan cita-cita bangsa kita, yaitu: mencerdasakan kehidupan bangsa. Kebiasaan-kebiasaan baru yang positif harus terus dibangun. Synaps- synaps hubungan baru antar neuron terus dibangun dengan percikan- percikan listriknya (spikes). Supaya tidak redup, dilatih terus berulang dengan keyakinan teguh, sehingga wiring cepat terangkai. Potensi listriknya terus menyala (firing) semakin kuat terang benderang. Agar connectomes pola-pola kebiasaan baru positif pun senantiasa terbentuk. Hal ini mungkin yang diartikan sebelumnya oleh Presiden kita dengan istilah “revolusi mental”. Harapannya untuk berubah, mengejar ketertinggalan bangsa, kesempatannya sangat terbuka lebar. Tidak usah membandingkan dengan negara-negara maju seperi AS, Eropa, Chinna dan Jepang. Paling tidak bisa mengejar kemajuan negara-negara tetangga seperti; Singapore, Malaysia, Filipina dan Australia. Negeri ini tidak “given” atau “by nature” sebagai negeri yang patut dijajah, atau ditakdirkan sebagai bangsa yang bodoh. Nurturing yang baik bukan hanya memberikan nutrisi dengan gizi yang sehat. Namun peranan orang tua, guru, dan para senior, para tokoh agama dan masyarakat, terutama pemimpin (formil dan informil) membentuk dan menyiapkan generasi penerusnya. Seorang neuroleader yang baik adalah yang bisa memaksimalkan upaya pemberian reward (baik kecil maupun besar), serta meminimalkan Membedah Anatomi Peradaban Digital — 303

hukuman (punishment), terutama dalam bentuk emosional marah yang jelas-jelas terbukti kontraproduktif bagi organisasi perusahaan bisnis dan masyarakat luas. Cara-cara menegur dengan amarah sudah harus ditinggalkan. Selain tidak bermanfaat bagi kedua belah pihak (yang memarahi dan yang dimarahi) – karena akan menumpuk stres- stres kecil yang menjadi stres kronis berdampak melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia (HTPA Axis). Pesan positif yang akan disampaikan pun menjadi tidak efektif (pesan tidak sampai). Mengelola harapan dan reward di setiap otak PFC tim yang dipimpin. Melatih daya resiliensi dengan belajar mengantisipasi kegagalan prediksi- prediksi neuron dopamin pada bagian ACC (anterior cingulate cortex). Melalui konsep “happy brain” (zero stress), semua tujuan perusahaan dan organisasi yang dipimpin menjadi jauh lebih mudah tercapai. Karena keberhasilan kepemimpinan pada prinsipnya meningkatkan kualitas hubungan antara neuron otak seorang pemimpin dengan yang dipimpin (social brain). Memahami dan mengoptimalkan keuntungan dari perbedaan sifat interaksi antar neuron otak kedua gender. Walaupun nature-nya otak itu netral, namun kecenderungan neuron otak pemimpin perempuan atau pria berbeda. Maupun kedua jenis gender yang dipimpinnya. Serta memimpin otak-otak manusia yang mempunyai belief system dengan nilai-nilai yang ditanamkan serta latar belakang yang berbeda-beda. Memanfaatkan keberlangsungan perubahan menjadi energi yang positif. Karena sifat dasar neuron-neuron otak manusia bekerja menyukai hal-hal yang baru (novelty). Namun perubahan perlu dikelola dalam artian; karyawan dan tim/kelompok, atau yang lebih luas lagi; masyarakat yang dipimpin akan stress bila perubahan itu sangat signifikan (terlalu baru semua) dan sangat cepat bergejolak seperti pada lingkungan VUCA belakang ini. Hal-hal tersebut di atas yang perlu diantisipasi oleh pemimpin. Menjaga keseimbangan antara kebaruan (novelty) dan hal-hal yang umum (familiarity). Sifat otak manusia yang cenderung malas (automatic thinking), mereka suka hal-hal yang telah dapat diprediksikan. Sementara lingkungan barunya penuh dengan ketidakpastian (uncertainty). Mereka selalu menuntut feedback – umpan balik (berupa reward dan punishment tadi). Dalam melakukan perubahan, bisa menjadi 304 — G.E.N.C.E.

faktor perihal yang sangat pelik. Relaktan terhadap perubahan, comfort zone (rasa nyaman). Mereka tertipu oleh pikiran-pikiran emosional yang berupa perasaan nyaman tadi. Di sini peran para pemimpin VUCA dengan kecakapan emosional (emotional leadership skills) yang terus menerus harus dilatih. Pemimpin bagaikan dirijen yang memainkan perasaan alunan musik tim okestra. Mengelola otak manusia, bagaimana memastikan pemenuhan kebutuhan dasar dorongan reptilian brain batang otak tua setiap anggota yang dipimpin. Mengelola mood mamalian brain sistem limbik otak emosional, memainkan dan menyalurkan gairah atau desire teman-teman yang dipimpin ke arah yang positif. Serta memimpin dan mengarahkan otak-otak pintar PFC (neo cortex, exceutive brain) modern yang bijak ke arah pencapaian tujuan bersama. Menjaga keseimbangan proses metobolisme otak (homeostasis), keseimbangan eksitatori dopamin dan kortisol serta neurotransmitter lainnya, serta upaya- upaya inhibitasinya. Berani menunda keputusan, dan memikirkan ulang atas dorongan keinginan sesaat (reframing dan clear mind). Baik buat dirinya sebagai pemimpin maupun bagi yang dipimpin. Pemimpin otak tepatnya. Memimpin otak-otak manusia dengan otak sehat, tidak sekedar otak normal. Meningkatkan kualitas hubungan dan komunikasi antar otak manusia. Selamat datang di abad otak! *** Membedah Anatomi Peradaban Digital — 305

Sumber Referensi: https://youtu.be/RH3Vh4xz4CI https://youtu.be/5HmYU1by9rk http://neuroscienceforcoaches.com/ https://youtu.be/X5-Hdl0Z3VA https://youtu.be/i4-AKwZYUHo https://youtu.be/EEUxKFmIUiI https://youtu.be/R6XtJOeuhNg https://youtu.be/JVvMSwsOXPw https://youtu.be/xU5QmZp9Cmo Carter, Rita (2014), The Brain Book, London, New York, Melbourne, Munich, and Delhi. Vertanian, Oshin, Mandel, Divid R. (2011), Neuroscience of Decision Making, Psychology Pers, Taylor & Francis Group, New York, and Hoke. Brann, Army (2015), Neuroscience for Coaches, How to use the latest insights for the benefit of your clients, Kogan Page, London, Philadelphia, New Delhi. Amthor, Frank (2012), Neuroscience for Dummies, Wiley, John Wiley & Sons Canada, Ltd. Genco, Stephen J., Pohlmann, Andrew P., Steidl, Peter (2013), Neuromarketing for Dummies, A Wiley Brand, John Wiley & Sons Canada, Ltd. Lehrer, Jonah (2010), How We Decide, Kenali Cara Kerja Otak Agar Bisa Lebih Cerdas dan Tangkas Memutuskan Apa Saja, PT Serambi Ilmu Semesta, Houghton Mifflin Harvourt Publishing Company, New York 10003. Azhar, Tauhid Nur (2008), Gelegar Otak, Ayo cari tahu apa yang tersembunyi di otak Anda!, PT Karya Kita, Bandung – Indonesia. 306 — G.E.N.C.E.

Schutt, Russell K., Seidman, Larry J., Keshavan, Matcheri S. (2015), Social Neuroscience, Brain, Mind, and Society, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, England. Lewis, David (2013), The Brain Sell, When Science Meets Shopping, How the new mind sciences and the persuasion industry are reading our thoughts, influencing our emotions and stimulating us to shop, Nicholas Brealey Publishing, London, Boston, Mildner, Vesna (2008), The Cognitive Neuroscience of Human Communication, Lawrence Erlbaum Associates, Taylor & Francis Group, New York, London. Ghadiri, Argang, Habermacher, Andreas, Peters, Theo (2012), Neuroleadership, A Journey Though the Brain for Business Leaders, Springer, Heidelberg, New York, Dordrecht, London. Bahaudin, Taufik (2007), Brain Leadership Mastery, Kepemimpinan Abad Otak dan Milenium Pikiran, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta. Bahaudin, Taufik (2003), Brainware Management, Generasi Kelima Manajemen Manusia, Memenangkan “Knowledge to Knowledge Competition” Menyonsong Era Millenium, Diterbitkan Oleh PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta. Ikrar, Taruna (2015), Ilmu Neurosains Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Palupi, Dyah Hasto (2016), Potret Kesehatan Inteligensia Indonesia, Dari Delapan Mata Angin, GERMAS – Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Connolly, William E. (2002), Neuropolitics, Thinking, Culture, Speed, Theory of Bounds, Minesota, University of Minesota Press, Minneapolis, London. Brown, Paul, Kingsley, Joan, Paterson, Sue (2015), The Fear-Free Organization, Vital Insights from Neuroscience to Transform Your Business Culture, Kogan Page, London, Philadelphia, New Delhi. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 307

Prehn, Anette (2016), Brainsmart Leadership, It’s all about connections, People’s Press, Denmark. Zurawicki, Leon (2010), Neuromarketing, Exploring the Brain of the Consumer, Springer, Heidelberg, New York, Dordrecht, London. Sprenger, Marilee (2010), The Leadership Brain for Dummies, Learn to your strengths and weaknesses as a leader, Understand your brain and harness its power to lead, Make meetings matter by using brain-compatible techniques, Utilize brain science to train employees effectively, Wiley, John Wiley & Sons Canada, Ltd. 308 — G.E.N.C.E.

(14) IDEOLOGI FEMINISME DI ERA DIGITAL MEDIA Oleh Alila Pramiyanti Istilah feminisme sering kali masih dianggap sebagai suatu ‘paham yang menyimpang’ bahkan sayangnya oleh kaum perempuan itu sendiri. Bahkan dalam penelitian Rachel Rinaldo tahun 2010, beberapa organisasi-organisasi yang bergerak untuk kepentingan perempuan di Indonesia menghindari penggunaan kata feminisme dan enggan disebut sebagai feminis karena takut dianggap terlalu Western dan dihubungkan dengan paham komunisme. Sehingga tidaklah heran jika orang awam tidak atau belum memahami manfaat dan tujuan ideologi feminisme dan cenderung bersikap antipasti jika mendengar istilah feminisme. Terlebih lagi feminisme juga kerap diartikan dengan gerakan melawan laki-laki atau lebih ekstrimnya dicap sebagai ajaran untuk membenci laki-laki yang dianggap tidak sesuai dengan norma budaya yang dianut oleh masayarakat Indonesia yang mayoritas mengagung- agungkan nilai-nilai patriakis. Menurut Walby (1989), patriarki merupakan suatu sistem struktur social yang mempraktekan dominasi, penindasan, dan eksploitasi perempuan oleh laki-laki. Berdasarkan definisi dari Walby, maka sangat jelas jika patriarki adalah suatu sistem yang dikonstruksi secara sosial, bukan sekedar budaya atau kebiasaan. Penerapan sistem patriarki erat kaitannya dengan sistem kapitalis yang berhasil membatasi kebebasan berekspresi, partisipasi serta pergerakan kaum perempuan (Diarsi, 1996). Sistem patriarki ini tentunya menyebabkan bias gender dan ketidaksetaran gender yang cukup tinggi. Tingkat kesenjangan gender di suatu negara dapat diukur melalui Indeks Ketidaksetaraan Gender atau Gender Inequality Index (GII). GII adalah indeks untuk pengukuran kesenjangan gender yang pertama kali diperkenalkan dalam edisi ulang tahun ke-20 Human Development Index Report 2010 (Laporan Pembangunan Manusia 2010). Laporan ini disusun oleh Membedah Anatomi Peradaban Digital — 309

United Nations Development Programme (UNDP). GII menyoroti posisi perempuan di 159 negara dan menilai dimensi-dimensi utama yang mempengaruhi pembangunan manusia, yaitu: kesehatan reproduksi, empowerment yang berkaitan dengan jumlah perempuan di tingkat parlemen/pemerintahan dan tingkat pencapaian pendidikan tinggi, serta tingkat partisipasi perempuan dalam ruang lingkup pasar kerja. Dimensi-dimensi tersebut menyoroti area-area dimana dibutuhkan intervensi kebijakan yang dapat menumbuhkan pemikiran progresif dan proaktif dalam menyusun kebijakan-kebijakan publik yang berpihak pada perempuan dengan harapan dapat mengatasi kerugian sistematis yang dialami oleh perempuan akibat supremasi laki-laki dalam sistem patriarki. Oleh karena itu, semakin kecil nilai GII berarti mengindikasikan program-program pembangunan suatu negara pada dimensi-dimensi diatas telah berhasil untuk menjembatani kesenjangan gender. Atau dengan kata lain, kebijakan- kebijakan publik yang diterapkan telah ramah perempuan. Semakin kecil tingkat kesenjangan gender suatu negara maka akan semakin baik tingkat Human Development Index (HDI), karena nilai GII akan menjadi faktor pengurang bagi nilai pada HDI. Berdasarkan Human Development Index Report 2016, pada tahun 2015, walaupun Indonesia berhasil masuk pada kategori negara dengan capaian medium human development namun masih memiliki GII yang cukup tinggi dengan berada di peringkat 105 dari keseluruhan 159 negara yang dinilai oleh UNDP. Indeks GII ini jauh tertinggal dibawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dengan peringkat 59 dan Singapura di peringkat 11. Melihat pada tingginya GII Indonesia diatas, dapat dikatakan bahwa masih banyak diperlukan upaya-upaya untuk mendorong penyusunan program pembangunan yang mendukung penyetaraan gender. Kembali ke feminisme, jadi apakah hubungan antara penyetaraan gender dengan feminisme? Bagaimana perkembangan feminisme di Indonesia? Lalu apa peranan digital media dalam menyampaikan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh feminis? Tulisan ini bermaksud untuk memberikan pemaparan singkat tentang gender, perempuan dan digital media. Secara khusus tulisan ini akan membahas tentang keterkaitan feminisme dengan teknologi, khususnya bagaimana peluang dan tantangan penyebaran ide-ide feminisme di 310 — G.E.N.C.E.

era perkembangan digital media saat ini, apakah digital media dapat menjadi sarana untuk mendukung pemberdayaan (empowerment) atau justru sebaliknya, akankah digital media malah dianggap sebagai medium yang dapat melemahkan (disempower) ideologi femininitas (ideology of femininity). Definisi Feminisme Feminisme pada awalnya telah muncul sejak abad 18 dengan tujuan utama untuk mencapai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan menyadarkan dunia jika hak perempuan adalah bagian dari hak azasi manusia. Sarah Gamble (2006) memaparkan definisi femnisme sebagai berikut: A general definition might state that it is the belief that women, purely and simply because they are women, are treated inequitably within a society which is organised to prioritise male viewpoints and concerns. Within this patriarchal paradigm, women become everything men are not (or do not want to be seen to be): where men are regarded as strong, women are weak; where men are rational, they are emotional; where men are active, they are passive; and so on. Under this rationale, which aligns them everywhere with negativity, women are denied equal access to the world of public concerns as well as of cultural representation. Put simply, feminism seeks to change this situation (p.vii). Dengan kata lain berdasarkaan definisi dari feminisme diatas, tujuan utama dari gerakan feminisme adalah untuk menghilangkan penindasan-peninasan terhadap perempuan. Feminisme di awal kemunculannya digerakkan oleh kaum sosialis. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terdapat beberapa kelompok dan perspektif feminisme seperti liberal feminism, radical feminism, socialist/Marxist feminism, Grll feminism, dan gerakan feminisme yang menggabugkan nila-nilai agama seperti Islamic feminism, Christian feminism, dan lain sebagainya. Banyaknya aliran feminisme disebabkan feminisme tumbuh berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi perempuan. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 311

Kroløkke & Sørensen (2006) dalam bukunya Gender Communication Theories and Analyses: From Silence to Performance, memaparkan tiga gelombang besar feminisme, yaitu gelombang pertama, kedua, ketiga. Feminisme gelombang pertama tumbuh di konteks masyarakat industri dan politik liberal serta berkaitan dengan gerakan aktivis pembela hak-hak perempuan dan socialist feminism pada akhir abad 19 sampai dengan awal abad ke 20 di Amerika Serikat dan Eropa. Gerakan feminisme pada gelombang ini memfokuskan kegiatannya agar perempuan mendapat akses dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Akses tersebut termasuk pada akses mendapat pendidikan, memperoleh pekerjaan, dan hak berpolitik salah satunya adalah memperjuangan agar perempuan memiliki hak pilih dalam pemilu di Amerika. Feminisme gelombang kedua dipelopori oleh kelompok feminis radikal pada tahan 60-70an yang menentang ajang kontes-kontes kecantikan. The Redstockings, kelompok feminis radikal dari New York dan beberapa kelompok feminis lainnya bergabung pada aksi protes di ajang Miss America 1969. Salah satu poster yang dibawa oleh demonstran ketika acara Miss America tahun 1969 bertuliskan: “The revlon lady tells her to put on a mask, “be a whole new person” and “get a whole new life.” Tulisan ini menyindir sebuah merek produk kecantikan ternama bahwa produk tersebut telah menanamkan pemikiran bahwa penampilan fisik perempuan menjadi hal yang terpenting. Demonstran juga memaparkan bahwa para kontestan diperlakukan layaknya seperti parade hewan peternakan yang diasumsikan bahwa penampilan perempuan lebih penting dibandingkan dengan apa yang mereka lakukan, pikirkan atau perempuan memang dianggap tidak dapat berpikir. Feminisme gelombang kedua menuntut hak- hak yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, hak aborsi dengan alasan medis atau sebagai korban perkosaan, dan pengakuan kaum homoseksual (gay dan lesbian). Pada tahun ini pula mulai berkembang pusat studi kajian wanita di universitas-universitas di Amerika dan Eropa. Feminisme gelombang ketiga yang bermula sekitar tahun 90an seringkali disebut juga sebagai bentuk protes terhadap gelombang sebelumnya yang hanya memperjuangkan perempuan kulit putih, 312 — G.E.N.C.E.

perempuan kelas menengah ke atas dan perempuan berpendidikan tinggi. Beberapa buku literature ada yang menyatakan bahwa gelombang ketiga ini sama dengan sebutan postfeminisme, namun ada juga literatur yang berpendapat bahwa keduanya merupakan gelombang yang berbeda. Di Amerika gelombang ketiga popular juga dengan nama ‘Grrl Feminism’ sementara di Eropa dikenal dengan nama ‘New Feminism’. Gelombang ketiga fokus terhadap perjuangan perempuan-perempuan di dunia negara ketiga seperti trafficking/ perdagangan manusia, kekerasan terhadap perempuan, dan pornofikasi oleh media. Feminisme di Indonesia Sesungguhnya gerakan feminisme sebenarnya bukanlah monopoli barat saja (baca: Amerika dan Eropa). Sejak jaman kolonialisasi abad ke-17 telah banyak pejuang-pejuang perempuan Indonesia yang berdampingan dengan laki-laki untuk melawan penjajah dan merebut kemerdakaan. Namun tanpa bermaksud untuk mengecilkan peran perempuan pejuang lainnya seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, atau Martha Christina Tiahahu atau pahlawan nasional perempuan lainnya; nama Raden Adjeng Kartini paling sering disebuut sebagai sosok pejuang emansipasi perempuan di Indonesia. Ini karena Kartini merupakan perempuan pertama yang menyuarakan aspirasi dan pemikirannnya dalam bentuk tertulis dan dipublikasikan di Eropa (Taylor, 1976). Oleh karena itu, kemudian Kartini dianggap sebagai tokoh pembela kaum perempuan dan dijadikan tonggak perjuangan kaum perempuan dari belenggu-belenggu patriarki seperti poligami dan budaya memingit anak perempuan di rumah setelah mereka mendapatkan menstruasi pertama. Walaupun ia pada akhirnya harus menuruti perintah orang tuanya untuk menjadi istri ketiga, namun Kartini telah membuka wawasan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan dan memberi wacana baru tentang kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki (Najmi & Ofianto, 2016). Namun sayangnya, pemerintah Orde Baru memanipulasi perayaan hari Kartini setiap tanggal 21 April menjadi kegiatan-kegiatan yang kurang relevan dengan misi Kartini, yaitu kehidupan yang lebih Membedah Anatomi Peradaban Digital — 313

bermartabat bagi perempuan-perempuan Indonesia. Bahlan gelar RA atau Raden Ajeng diganti dengan kata Ibu selain agar lebih menonjolkan sosok keibuan juga menjadi sebutan perempuan yang sudah menikah, padahal Kartini pada masanya memperjuangkan agar tidak ada kawin paksa dan menyerukan agar perempuan yang memutuskan apakah ia maumenikahatautidak(Taylor,1976). PerayaanhariKartinisampaisaat ini hanya sebatas penggunaan baju daerah mulai dari anak TK bahkan sampai pegawai kantoran, lomba fashion kebaya Kartini, atau lomba memasak bapak-bapak atau yang lebih konyol lomba menggunakan daster atau kebaya ddan kain oleh bapak-bapak. Dalam pandangan saya, lomba-lomba tersebut tidak mewakili apalagi menyuarakan jeritan hati Kartini yang ingin membebaskan kaum perempuan dari kungkungan sistem patriarki dengan harapan tercapainya kesetaraan gender di Indonesia. Yang terjadi di setiap perayaan hari Kartini adalah kesibukan mencari busana daerah dan hal-hal lain yang berhubungan dengan fashion yang merupakan ‘kemasan’ berupa tampilan luar dari diri seseorang. Sementara itu nilai-nilai perjuangan, pemikiran dan cita-cita Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya kepada teman- teman korepondensinya di Eropa seakan-akan hanya menjadi legenda yang cukup diketahui dan diceritakan dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa kemudian perlu dihayati, direnungkan, dibangkitkan kembali maksud dan tujuan dari perjuangan tersebut. Parahnya lagi lomba memakai kain jarik oleh bapak-bapak dirasakan sebagai hiburan oleh warga yang memang tidak menyadari bahwa lomba tersebut sebenarnya salah satu bentuk penindasan struktural terhadap perempuan dan pelecehan terhadap perjuangan Kartini yang sekali lagi sama sekali tidak ada hubungannya dengan semangat emansipasi yang dicetus oleh Kartini. Bukan laki-laki yang pintar memasak atau laki-laki yang cekatan memakai kain jarik yang diidam-idamkan oleh Kartini, yang ia cita-citakan adalah laki-laki yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan agar mendapat akses ke dunia pendidikan sehingga perempuan memiliki wawasan, dan ilmu pengetahuan yang luas agar dapat memahami struktur-struktur sosial yang dibangun oleh sistem patriarki. Melalui pemahaman yang memadai, maka perempuan diharapkan dapat terus berupaya untuk membebaskan dirinya dari sistem patriarki yang bias gender. 314 — G.E.N.C.E.

Pada masa pra kemerdekaan RI tahun 1920 mulai bermunculan organisasi-organisasi perempuan. Menurut Djoeffan (2001) organisasi perempuan pada tahun 1930an berkembang pesat. Seiring dengan semangat Sumpah Pemuda pada tahun 1928, organisasi- organisasi perempuan dari seluruh Indonesia berkumpul untuk menyelenggarakan Kongres Wanita Indonesia pertama tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini berhasil merumuskan misi untuk menjaga persatuan bangsa, memperbaiki derajat perempuan dan terus berjuang mencapai kemerdekaan Indonesia. Di masa kemerdekaan 1950an banyak organisasi perempuan yang tidak lagi beroperasi dan pada masa itu mulai terbentuk Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Misi visi Gerwani sebenarnya ingin menghilangkan penindasan terhadap perempuan seperti hentikan pemerkosaan, hukum berat pemerkosa, namun Gerwani kemudian dituduh sebagai antek PKI karena menyebarkan ajaran-ajaran komunisme dan pada akhirnya dibubarkan. Pada masa orde baru, terjadi pengekangan terhadap organisasi- organisasi perempuan karena dikhawatirkan akan seperti Gerwani. Saat inilah kemudian feminisme mulai dikaitkan dengan komunisme. Usaha-usaha untuk mendomestikan atau melarang perempuan berkiprah di ruang publik tampak jelas terlihat pada program- program yang gencar dipromosikan oleh pemerintahan Soeharto seperti PKK (Program Kesejahteraan Keluarga) dan Dharma Wanita yang berfungsi untuk mendukung program-program Golkar serta mendukung birokrasi militer (Djoeffan, 2001). Pada program-program tersebut dominasi laki-laki dalam sistem patriarki diterapkan dengan mengkonstruksi struktur sosial dan mendoktrin opini publik bahwa tugas perempuan adalah seputar pekerjaan domestik di dalam rumah sepeti mengurus keluarga, memasak, mengatur rumah tangga, dan lain-lain yang sering kali disingkat dengan anekdot dapur, sumur, kasur. Sehingga dengan kata lain sangat jelas bahwa persepsi dan citra perempuan ideal yang ingin ditonjolkan dari program-program tersebut adalah perempuan yang diam di rumah, mengurus keluarga dan menuruti perintah suami. Secara pribadi saya tidak berkeberatan jika perempuan mengurus rumah dan keluarga, selama memang itu pilihan pribadinya yang Membedah Anatomi Peradaban Digital — 315

diputuskan secara suka rela tanpa mendapat paksaan dari siapapun. Namun yang saya ingin cermati adalah bagaimana pada akhirnya seolah-olah beban rumah tangga seperti pengasuhan anak, pekerjaan- pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak, membersihkan rumah, menyuci, menyetrika dan lain-lain sepenuhnya dibebankan kepada perempuan dikarenakan alasan keliru. Alasan yang telah menjadi pandangan umum menyatakan ‘sudah kodrat perempuan untuk mengurus segala tetek bengek rumah tangga’. Dalam pernyataan tersebut, kata-kata kodrat kembali muncul, tanpa banyak orang memahami apa makna dari kodrat itu sendiri. Sekali lagi saya ingatkan, kodrat adalah fungsi-fungsi biologis dari seseorang, sehingga kodrat perempuan adalah bentuk fisik dan fungsi biologisnya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan beban pekerjaan rumah tangga! Di era reformasi, organisasi perempuan marak bermunculan seperti halnya pada tahun 1930an dengan semangat tidak hanya menghilangkan penindasan terhadap perempuan namun juga untuk memperbaiki kehidupan berbangsa, melawan KKN, mendukung reformasi, membela kaum yang termarjinalkan (lihat Djoeffan, 2001). Sedangkan di jaman globalisasi saat ini, walaupun istilah feminisme mulai digaungkan melalui beragam media namun kenyataannya kesenjangan gender dan penindasan perempuan masih terus terjadi. Hal ini bisa dilihat tidak hanya dari nilai GII yang telah dibahas di awal tulisan, namun dapat diamati dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang hampir setiap hari diberitakan oleh media baik lokal ataupun nasional, media konvensional ataupun online. Selain itu juga dengan mudahnya pesan-pesan yang bersifat seksis serta perilaku misoginis ditemui di kehidupan sehari-hari. Seksisme adalah perilaku berdasarkan gender stereotype yang bersifat diskriminatif. Sementara misoginis adalah perilaku yang membenci dan mendiskreditkan perempuan. Seksisme dan misoginis akan diuraikan lebih lanjut di bagian selanjutnya. Dilihat dari sejarah perjuangan perempuan di Indonesia yang sebenarnya sudah cukup panjang, namun sampai saat ini masih sulih untuk membentuk istilah Indonesian feminism. Menurut Saparinah Sadli, sangat sulit untuk mendefinisikan Indonesian feminism, karena ia tidak yakin jika Indonesia telah mengembangkan teori-teori 316 — G.E.N.C.E.

feminisme Indonesia walaupun telah banyak ditemukan data-data empiris tentang isu-isu perempuan namun data-data tersebut belum dapat dijadikan landasan body of knowlegde untuk mengembangkan istilah Indonesian feminism (Sadli, 2002). Sadli dalam tulisannya yang berjudul ‘Feminism in Indonesia in an International Context’ yang merupakan salah satu bab dalam buku Women in Indonesia: Gender, Equity, and Development (2002) menceritakan pengalamannya mengelola program pascasarjana Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, yang merupakan pusat kajian wanita pertama dalam sistem pendidikan formal di Indonesia pada awal tahun 1990an. Pada saat acara peresmian, program studi yang ia pimpin mendapat masukan dari salah satu tamu undangan perempuan (dosen senior dan pengacara) yang ingin memastikan bahwa kurikulum yang ditawarkan tidak cenderung dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para feminis barat. Sehingga pada wal-awal pendirian, pengelola pusat kajian tersebut sangat berhat-hati dalam menggunakan istilah ‘perspektif gender’ ataupun ‘perspektif feminis’. Walaupun pada kenyataannya kurikulum yg dijalankan mengadopsi perspektif-perspektif feminisme, namun penggunaan istilah feminsme, feminis, atau gender diganti menjadi istilah ‘perspektif perempuan’ demi menjaga keharmonisan di antara komunitas akademisi dalam universitas (lihat Sadli; 2002, hlm 82-83). Saat ini Indonesia tampaknya tengah digempur oleh nilai-nilai konservatif yang cenderung ekstrim disertai dengan trend Arabization (yang mengagung-agungkan budaya Arab yang belum tentu merupakan bagian dari ajaran agama Islam) masih terus berlangsung. Arabization dipandang sebagai suatu proses menerapan sistem patriarki di Arab kepada masyarakat Indonesia (Muttaqin, 2015). Hal ini menyebabkan kekhawatiran atas gerakan feminsme akan dianggap sebagai gerakan ‘kiri’ yang disamakan oleh komunisme yang pada akhirnya diberikan label ‘haram’ oleh kelompok-kelompok tertentu dan menjadi kian sulit untuk berkembang di Indonesia. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 317

Feminisme: Peluang dan Tantangannya di Era Digital Media Seperti halnya dua sisi mata uang, teknologi selalu membawa dua dampak yang saling bertentangan. Perkembangan teknologi digital media di satu sisi dapat menyebarluaskan nilai-nilai kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh kaum feminis. Para feminis memperoleh keuntungan dari digital media yang menjadikan public sphere sebagai ruang tanpa batas yang dapat diakses kapan pun dimanapun. Ruang- ruang tersebut dapat diisi oleh pehamanan-pemahaman tentang maksud dan tujuan feminisme dan pejelasan mengapa gerakan feminisme memerlukan dukungan tidak saja oleh perempuan, akan tapi juga oleh laki-laki. Secara lebih detail, perkembangan digital media membuka peluang terhadap penyebaran nilai-nilai feminisme dengan cara sebagai berikut: Menyebarluaskan nilai-nilai feminisme Terbukanya akses yang sangat luas bagi feminis untuk menyampaikan pesan dan ideologi of femininity dalam beragam format digital seperti video, vlog, online news, blog, online discussion, social networking dan lain-lain. Hal ini tentunya tidak hanya akan meningkatkan aksesabilitas namun juga memperluas jangkauan pesan yang disampaikan. Digital media menjadi medium yang cukup efektif untuk menyebarluaskan ideology of femininity karena digital media bersifat public, siapapun boleh berekspresi asalkan tidak melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing platform. Melalui digital media kelompok aktivitis perempuan dapat dengan bebas membuat kampanye mengenai program-program yang memperjuangkan perempuan tanpa perlu khawatir mendapat sensor berlebih dari pihak-pihak yang anti feminisme. Misalnya kelompok aktivis dapat menyampaikan aspirasinya tentang lebih rendahnya upah buruh pekerja perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam bentuk video yang kemudian dapat disebarkan melalui youtube dan facebook tanpa merasa khawatir video tersebut disensor oleh pihak pengusaha atau pemilik pabrik. 318 — G.E.N.C.E.

1. Meningkatkan kesetaraan hubungan kekuasaan berbasis gender (gender power relations) Power atau kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi, sementara power relations adalah bagaimana hubungan antar individu berdasarkan kekuasaan. Power juga senantiasa berkaitan dengan kontrol, seseorang yang memiliki power tentunya ia akan lebih mudah memegang kendali akan kontrol sehingga ketika berbicara mengenai power relations maka secara otomatis juga akan membahas siapa dikontrol atau dikendalikan oleh siapa. Kesenjangan power relations dapat terjadi mulai dari lingkup tingkat paling rendah yaitu keluarga sampai dengan tingkat tertinggi seperti dalam ruang lingkup politik dan pemerintahan. Contohnya, power relations antara orang tua dan anak, orang tua memiliki power relations yang lebih dominan terhadap anaknya karena seorang anak, terutama yang belum dewasa, masih bergantung baik secara material dan immaterial kepada orang tuanya. Oleh karena itu orang tua memiliki power yang lebih kuat untuk mengarahkan, menentukan, mengambil keputusan terbaik untuk anaknya ketika si anak belum dewasa dan belum dapat bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Pada akhirnya maka orang tua lah yang memiliki power untuk mengendalikan perilaku, kebahagiaan, kesejahteraan dan bahkan arah hidup anaknya. Tentu saja power dan kendali ini seharusnya dimanfaatkan secara berimbang untuk kemaslahatan bersama. Namun sayangnya dalam sistem patriarki, penyebab dari ketimpangan power relations antara perempuan dan laki-laki terjadi karena dominasi laki-laki atas perempuan. Power atau kekuasaan identik dengan maskulinitas yang notabene dimiliki oleh laki-laki. Ketimpangan ini tentu saja memperlebar kesenjangan dan ketidaksetaraan gender antara laki- laki dan perempuan. Namun power relations bukan suatu hal yang mutlak, power relations dapat dikonstruksi, dinegosiasikan, bahkan diperbaharui. Kembali ke power relations antara orang tua dan anak, seorang anak yang semakin lama semakin dewasa dan sudah dapat mengambil keputusan secara logis tentunya memiliki power yang lebih besar dibanding ketika ia remaja. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 319

Oleh karena power relations sifatnya tidak statis, maka digital media dapat dijadikan medium untuk mempengaruhi hubungan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Digital media dapat digunakan oleh para perempuan untuk menyuarakan aspirasi, opini, atau sekedar curahan hati agar dapat didengar, diperhatikan, disadari, dianggap keberadaannya dan mempengaruhi power relations. Misalnya dengan membuat blog tentang pelarangan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan, maka secara langsung blog tersebut tengah berupaya agar masyarakat patriarki memahami hak-hak perempuan untuk diperlakukan sebagaimana layaknya manusia, bukanlah keinginan perempuan untuk mendapatkan perlakuan kekerasan baik secara struktural maupun nonstruktural. Ketika pembaca blog terbuka wawasannya bahwa perempuan layak diperlakukan setara, maka diharapkan terjadi peningkatan power relations oleh perempuan. Semakin banyak konten-konten digital media yang membahas tentang pentingnya kesetaraan gender, maka semakin besar peluang perempuan untuk memperoleh posisi yang kuat dalam power relations. 2. Memperkuat women’s agency Salah satu definisi agency menurut Oxford Dictionaries adalah sesuatu atau seseorang yang bertindak untuk menghasilkan suatu dampak tertentu. Dalam kaitannya dengan kesetaraan gender, agency merupakan kemampuan untuk membuat pilihan dan melawan tekanan (Stewart, 1994). Dengan kata lain, women’s agency adalah bagaimana perempuan memiliki kemampuan untuk membuat pilihan-pilahan yang bebas dari tekanan atau paksaan. Pada sistem patriarki, seringkali perempuan tidak dapat memilih, apalagi memutuskan apa yang ia inginkan, apa yang ia cita-citakan, bahkan sulit untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dominasi laki-laki, dalam keluarga entah itu ayah, pakde (kakak laki-laki orang tua), om, kakak laki-laki, memegang kendali yang cukup besar dalam setiap langkah seorang perempuan sebelum menikah. Dan ketika sudah menikah, kembali perempuan kebanyakan berada dalam kuasa suami. Sebagai contoh, masih banyaknya perempuan- perempuan yang tidak dapat melanjutkan pendidikan dibandingkan 320 — G.E.N.C.E.

dengan saudara laki-lakinya karena kondisi ekonomi keluarga padahal anak perempuan itu ingin terus belajar. Sistem patriarki menganggap anak laki-laki lebih layak untuk mendapat pendidikan dibandingkan perempuan yang nantinya hanya akan menikah, melahirkan, mengurus anak dan rumah tangga sehingga tidak perlu pintar. Bahkan masih terdapat orang tua yang menasehati anak perempuannya agar jangan sekolah terlalu tinggi dan menjadi pintar karena kekhawatiran anaknya kelak akan sulit mendapatkan jodoh, dengan alasan ‘laki-laki takut punya istri yang pendidikannya lebih tinggi’. Berdasarkan contoh diatas tampak jelas bagaimana women’s agency seringkali dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting atau malah dianggap sebagai sesuatu yang tidak ada, tidak bermakna. Padahal agar tercapai kesetaraan gender, tentunya pengakuan akan women’s agency harus disadari baik perempuan itu sendiri dan juga oleh laki- laki. Adalah hak seorang perempuan untuk menetapkan apa yang terbaik untuk dirinya tanpa adanya paksaan dari siapapun. Kesadaran akan pentingnya perempuan memiliki agency ini dapat ditumbuhkan salah satunya dengan adanya dukungan digital media. Misalnya dengan membuat digital poster tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, diharapkan akan semakin banyak orang tua yang menyekolahkan anak perempuannya dan akan semakin banyak perempuan yang terpacu semangatnya untuk melanjutkan pendidikan formal atau nonformal sampai ke jenjang tertinggi yang ia inginkan. Feminisme menghadapi banyak tantangan dalam menghadapi globalisasi (Putri, 2106). Teknologi digital media sebagai contoh dari globalisasi dapat dijadikan sebagai medium untuk ekploitasi dan objektifikasi seksualitas perempuan yang dapat menghambat dan menjadi tantangan dalam penyebarluasan feminisme. Walaupun tantangan tersebut cukup banyak, namun tulisan ini hanya akan membahas tiga hal yang menurut saya cukup krusial, yaitu objektifikasi tubuh perempuan, pemujaan berlebih terhadap kecantikan, dan memperluas pesan-pesan seksisme dan misoginis. Berikut ini adalah pemaparan dari tiga hal yang menjadi tantangan tersebut: Membedah Anatomi Peradaban Digital — 321

1. Meningkatnya objektifikasi terhadap tubuh perempuan Kemudahan dalam mengakses, mengunggah, mengunduh, dan membagikan konten-konten digital disertai dengan kecepatan broadband yang semakin merata dari kota sampai pelosok desa dan semakin murahnya harga paket data komunikasi, membuat pengguna digital media dalam hitungan detik dapat menikmati beragam konten digital. Tubuh perempuan seringkali dijadikan objek visualisasi mulai dari tampilan yang biasa-biasa saja sebagai model iklan produk kebutuhan sehari-hari sampai dengan tampilan sensual yang mengarah pada pornografi. Visualisai ini tentunya membahayakan terutama bagi para generasi muda. Tidak saja bahaya kecanduan pornografi yang perlu dikhawatirkan, namun semakin sering seseorang menonton pornografi, maka akan semakin tertanam dalam alam bawah sadarnya mengenai pemahaman akan peran perempuan semata-mata adalah sebagai objek seksual pemuas nafsu laki-laki. Ketika seseorang melihat perempuan sebagai objek seksual, maka hal ini akan menyebabkan ia dengan mudah merendahkan posisi perempuan dan dengan menganggap perempuan sebagai makhluk rendah yang dapat ia eksploitasi secara seksual. Pada akhirnya ia senantiasa akan berpikirin bahwa perempuan adalah manusia yang tidak berharga jika tidak dapat memenuhi keinginannya termasuk juga memuaskan nafsu seksualnya sehingga keberadaannya dinilai dari seberapa besar sensualitas yang dimilikinya. Ketika perempuan dianggap semata-mata hanya sebagai objek maka inilah kemudian yang dapat mencetuskan tindakan-tindakan agresif, penindasan, kekerasan baik secara fisik, psikis, maupun verbal terhadap perempuan. Sehingga dampak dan bahaya pornografi tidak sebatas merusak mental seseorang, namun juga merugikan perempuan. Sayangnya, masih banyak juga perempuan yang tidak sadar bahwa dirinya telah dijadikan objek seksual. Contohnya seperti yang dipaparkan oleh Diarsi (1996) dalam papernya dimana ia menceritakan bahwa seorang model ternama di Indonesia menyatakan bahwa kalau suatu iklan ingin sukses maka harus menggunakan perempuan sebagai modelnya. Dengan kata lain, jika tidak ada penampilan model perempuan dalam suatu iklan, maka sudah pasti produk tersebut tidak 322 — G.E.N.C.E.

akan diminati atau dibeli. Ketidaksadaran bahwa dirinya telah menjadi objek seksual juga terjadi karena objektifikasi tubuh perempuan dianggap sebagai suatu fenomena wajar yang dengan mudah dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari apalagi dalam dunia maya. Menurut Hariyanto (2009) jika perempuan terus-menerus dicekoki oleh tayangan media yang merepresentasikan perempuan sebagai objek seksual maka bisa jadi perempuan menjadi tidak sadar jika mendapat perlakuan tidak senonoh dari laki-laki dan merasa perlakuan itu adalah perlakuan yang wajar. Misalnya jika ada laki-laki yang bersiul ketika seorang perempuan lewat, atau dikenal dengan istilah catcalling, bisa saja karena merasa wajar maka si perempuan malah menjadi bangga karena berhasil menjadi pusat perhatian dan tidak merasa terganggu dengan siulan tersebut. Padahal catcalling merupakan suatu bentuk pelecehan secara verbal. 2. Pemujaan berlebih terhadap kecantikan fisik Tantangan yang kedua ini masih berhubungan dengan tantangan pertama yang telah diuraikan di atas karena objektifikasi tubuh perempuan tidak dapat dilepaskan dari pemujaan terhadap kecantikan fisik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa berkat penyebaran budaya populer dari negara Barat, kontruksi makna cantik yang diagung- agungkan oleh perempuan adalah karakteristik fisik perempuan dari ras Kaukasoid. Oleh karena itu, perempuan ‘dituntut’ untuk tampil cantik yang selalu dikaitkan dengan kesempurnaan fisik ras Kaukasoid seperti rambut pirang lurus panjang, kulit putih, wajah simetris, hidung mancung, bibir sensual dan tubuh tinggi semampai nan seksi. Bahkan ajang-ajang kecantikan dunia sepeti Miss Universe, Miss World dan Miss-miss lainnya mewajibkan kontestannya memperagakan bikini untuk dinilai kecantikan dan kesempurnaan bentuk tubuhnya. Tampak jelas bahwa slogan 3B -- beauty, brain and behaviour yang diusung oleh penyelenggara kontes-kontes kecantikan hanyalah slogan semata, karena yang dinilai hanya B yang pertama, yaitu beauty. Walaupun tentunya tidak semua perempuan ras Kaukasoid memiliki penampilan sesuai dengan definisi cantik tersebut, namun media massa telah berhasil membentuk konsep ideal seorang Membedah Anatomi Peradaban Digital — 323

perempuan yang mana menjadi perempuan berarti haruslah menjadi cantik. Bahkan konsep cantik ini direpresentasikan ke dalam wujud boneka Barbie. Hal ini menyebabkan perempuan-perempuan non ras Kaukasoid, yang berambut hitam, berkulit sawo matang, atau yang bermata sipit; beusaha dengan beragam cara memiliki rambut pirang, berkulit putih, bermata besar berwarna biru, dan berbadan kurus. Diarsi (1996) menyatakan bahwa sebagai sebuah ideologi yang dominan, patriarki sangat erat kaitannya dengan kapitalisme. Pendapat Diarsi dapat dicermati dari fenomena yang saat ini berlangsung dimana konsep perempuan cantik ala ras Kaukasoid tersebut telah menumbuhkan munculnya beragam produk perwatan kecantikan mulai dari ujung rambut sampai dengan ujung kuku, mulai dari harga selangit sampai harga termurah, mulai dari kualitas tinggi sampai produk bermutu rendah semaunya telah menjadi komoditi yang tersedia di pasar. Tentu saja yang paling diuntungkan dari bisnis ‘cantik’ ini adalah kaum kapitalis yang terus menerus menawarkan tidak hanya produk kencantikan namun juga konsep cantik itu sendiri. Misalnya kita dapat mengamati betapa menjamurnya produk-produk krim pemutih wajah yang menggunakan model iklan perempuan- perempuan keturunan ras Kaukasoid yang kulit wajahnya memang sudah putih sejak lahir. Iklan-iklan ini semakin mempromosikan konsep cantik dengan menggunakan tag line yang memperkuat kontruksi makna cantik adalah kulit putih, seperti ‘jadikan kulit putih dan cantik’ atau ‘putih mu, cantik mu’ dan lain-lain. Persepsi publik yang meyakini bahwa perempuan itu harus cantik yang kemudian menjadikan fisik ras Kaukasoid sebagai acuannya ini sedikt banyak juga dipengaruhi oleh perkembangnya digital media. Cepatnya perputaran informasi melalu digital media turut andil dalam mengkontruksi persepsi publik tentang makna cantik. Contohnya adalah budaya selfie dengan menggunakan hashtag thigh gap yang menggambarkan perempuan kurus memakai bikini dan memperlihatkan jarak antara kedua pahanya saat sedang berdiri tegak atau sedang berbaring untuk berjemur di pantai. Semakin besar jarak antara kedua pahanya, maka semakin kecil paha tersebut dan semakin ideal tubuh mereka. Walaupun hashtag ini lebih popular di negara- negara yang tidak mempermasalahkan pemakaian bikini, namun ‘ide’ 324 — G.E.N.C.E.

bentuk tubuh ideal tersebut telah menyebar ke seluruh pelosok dunia melalui digital media. Contoh lainnya tentang body image yang juga popular di Indonesia adalah hashtag A4 body size yang memperagakan foto selfie dengan menempatkan kertas berukuran A4 dengan posisi portrait di depan badan anatara dada dan perut. Jika ukuran badan lebih kecil dari lebar kertas berarti proporsi tubuh ideal telah tercapai dengan kata lain tubuh telah berhasil menjadi kurang dari 21 cm. sebagaimana ukuran kertas A4 yaitu 21cm x 29,7 cm. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa konsep perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki bentuk tubuh ideal dan pengertian ‘ideal’ sendiri adalah tubuh yang cenderung kecil dan kurus. Sebenarnya tidak ada masalah jika seorang perempuan ingin menjadi cantik, namun yang perlu dikritisi adalah pengkontruksian konsep dan makna cantik itu sendiri yang seakan-akan membuat tujuan hidup seorang perempuan hanyalah untuk menjadi cantik secara fisik dan penampilan fisik adalah segalanya. Padahal setiap perempuan dari ras apapun merupakan individu-individu unik yang memiliki karakter, kepribadian, dan potensi diri yang menjadikannya cantik sesuai dengan definisinya masing-masing sehingga tidak perlu menjadikan kesempunaan fisik sebagai patokan dan alat ukurnya. Selain itu, bahaya dari propaganda ‘cantik’ lainnya adalah pembentukan konsep diri yang salah pada perempuan. Jika perempuan-perempuan hanya terobsesi untuk menjadi cantik secara fisik dan merasa sudah puas jika sudah merasa cantik niscaya mereka tidak lagi memiliki passion atau keinginan untuk mengoptimalkan potensi dirinya. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan kemunduran bagi perjuangan-perjuangan feminis dan juga perjuangan Kartini yang ingin meningkatkan derajat perempuan. 3. ‘Pembiasaan’ seksisme (sexism) dan misoginis (mysoginist) Seperti telah diuraikan sebelumnya seksisme dan misoginis merupakan salah satu bentuk perilaku yang merendahkan perempuan. Singkatya seksisme adalah diskriminasi gender yang dapat berlaku pada siapapun, namun lebih sering menimpa perempuan. Contoh dari seksisme misalnya sebutan janda yang sering diasosiasikan negatif Membedah Anatomi Peradaban Digital — 325

dengan perempuan centil yang hobi kawin cerai, sementara kata duda hanya merujuk pada laki-laki yang sudah tidak beristri. Kata- kata seksis juga sering digunakan sebagai bahan lelucon atau olok- olok dalam keseharian seperti misalnya ungkapan ‘kalau emak-emak itu pasti cerewet’ atau ‘laki-laki kok nangis kaya perempuan aja’ atau ‘pasti yang nyetir perempuan deh, lambat banget’. Seksisme juga sering terjadi dalam perekrutan pegawai, misalnya dalam suatu iklan BUMN ternama, menyebutkan bahwa suatu posisi hanya disediakan untuk pelamar laki-laki. Sebenarnya tanpa disadari sejak jaman kanak-kanak kita telah dibentuk oleh pemikiran-pemikiran seksis. Misalnya dalam materi pelajaran yang sering disebut adalah ‘Pak Polisi’ atau ‘Bapak Direktur’ atau ‘Bapak Dokter’ dibanding ‘Bu Polisi, ‘Ibu Direktur’, atau ‘Ibu Dokter’. Penyebutan profesi yang bias gender ini lama kelamaan dapat membentuk pola pikir anak-anak bahwa profesi tertentu hanya dapat dikerjakan oleh gender tertentu dengan kata lain yang pantas menjadi polisi, direktur, dokter adalah hanya laki-laki. Sementara misoginis adalah prasangka terhadap perempuan yang dapat menyulut kebencian terhadap perempuan. Contoh perilaku misoginis yang umum terjadi, ‘kasian dia jadi korban pemerkosaan tapi ya salah sendiri kenapa pakai rok mini’ atau ‘pasti istrinya tidak becus ngurus keluarga, pantas saja suaminya kawin lagi’. Dalam contoh pertama, jelas-jelas yang menjadi korban kekerasan seksual yang termasuk dalam tindakan pidana adalah si perempuan, namun yang dihujat malah rok yang dipakainya alih-alih perilaku kriminal si pemerkosa. Sementara di contoh kedua, kata mengurus keluarga selalu dibebankan kepada istri, padahal dalam rumah tangga seharusnya membina keluarga bahagia adalah tujuan bersama dan tanggung jawab dari kedua belah pihak suami dan istri. Belum lagi pemakluman bahwa laki-laki bisa dengan mudah ‘kawin lagi’ jika menghadapi masalah rumah tangga tentunya tambah menunjukkan superioritas laki-laki yang lagi-lagi merugikan perempuan. ‘Pembiasaan’ serta ‘pemakluman’ perilaku seksis dan misoginis semakin menjadi hal yang umum dengan beredarnya meme-meme di digital media yang menyudutkan perempuan. Contohnya tulisan 326 — G.E.N.C.E.

‘Tilang saya dong kak!’ di bawah foto polisi wanita yang terkenal karena wajahnya yang masuk dalam kategori ‘polisi wanita cantik’ yang dikontruksi oleh media. Mungkin saja tujuan meme tersebut hanya sebagai lelucon namun tentunya lelucon yang sama sekali tidak lucu bahkan boleh jadi menghina profesi polisi karena seakan-akan masyarakat hanya akan patuh jika polisinya perempuan, itu juga berarti profesi polisi perempuan dianggap tidak berwibawa karena dipanggil dengan sebutan ‘kak’ dan yang dinilai dari seorang polisi adalah penampilan fisiknya, bukan kemampuannya melindungi mengayomi masyarakat. Meme ini dapat dengan mudah dikirim dari satu gadget ke gadet lain, satu platform ke platform lain, sehingga ‘pembiasaan’ yang membahayakan ini akan semakin terlihat sebagai lelucon ‘biasa’. Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik mengenai peluang dan tantangn penggunaan teknologi digital media terhadap ideologi femininitas. 1. Digital media membantu penyebaran kampanye dan program- program yang berpihak pada kepentingan perempuan 2. Digital media dapat dijadikan sebagai medium untuk menegosiasikan posisi perempuan dalam gender power relations sehingga perempuan memiliki power yang setara dengan laki- laki 3. Digital media dapat menjadi sumber informasi yang dapat membantu perempuan untuk memperkuat women’s agency sehingga perempuan dapat memilih apa yang terbaik untuk dirinya tanpa adanya intervensi-intervensi dari sistem patriarki 4. Digital media dapat menjadi sarana semakin mudahnya eksploitasi tubuh perempuan yang kemudian membuat perempuan dianggap dan juga bahkan mengganggap dirinya hanyalah objek seksual. 5. Digital media mendukung kontruksi makna cantik yang menggiring persepsi publik tentang perlunya seorang perempuan menjadi cantik ala ras Kaukasoid yang jika terus menerus dapat membentuk konsep diri ‘cantik adalah segalanya’. 6. Digital media dapat memperluas perilaku seksis dan misoginis yang merendahkan perempuan yang seringkali tidak disadari baik oleh perempuan itu sendiri karena dianggap ‘biasa’. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 327

Walaupun digital media dapat menjadi tantangan dan melemahkan nilai-nilai dan ideologi feminisme, namun terdapat beberapa cara untuk meminimalisir efek negatif tersebut. Pertama, sebagaimana yang dicita-citakan oleh Kartini agar perempuan mendapatkan akses pendidikan, maka prinsip-prinsip kesetaraan gender sudah seharusnya menjadi bagian dari kurikulum sejak dini agar anak-anak perempuan paham dengan konsep-konpsep power relations, women’s agency, dan menghindari seksisme dan misoginis. Kedua, tentunya digital media tetap harus dimanfaatkan oleh para feminis dan aktivis perempuan secara maksimal agar masyarakat luas menjadi paham atau setidaknya menjadi terbuka wawasannya tentang apa tujuan dari fenimisme dan bagaimana feminisme dapat memperbaiki kualitas hidup tidak saja perempuan namun juga laki-laki. Ketiga, pemanfaatan teknologi digital media harus diiringi dengan peningkatan literasi digital sehingga pengguna internet dapat secara cerdas memilih dan memilah mana konten digital yang patut diakses dan mana yang tidak, mana yang merendahkan perempuan dan mana yang tidak. Oleh karena itu literasi digital pun sudah seharusnya menjadi bagian dari kurikulum nasional. 328 — G.E.N.C.E.

Oleh karena itu sangat diperlukan kerjasama dari setiap kalangan untuk membuka wawasan tentang pentingnya perjuangan dan gerakan feminisme dalam mendobrak sistem patriarki—yang sekali lagi saya tekankan bahwa terlepasnya masyarakat dari belenggu patriarki bukan saja hanya akan menguntungkan bagi perempuan namun juga bagi laki-laki. Bebasnya masyarakat dari kesenjangan gender akan meningkatkan potensi setiap individu baik perempuan dan laki- laki karena gerik-geriknya tidak akan lagi dikonstruksi berdasarkan gender, namun berdasarkan kapabilitas dan kemampuannya. Seperti yang diungkapkan oleh Wajcman (2009) pemikiran politis feminis tentang teknologi merupakan kunci untuk mencapai kesetaraan gender. Pada akhirnya jika teknologi digital media dapat digunakan secara maksimal untuk memberdayakan ideologi-ideologi feminisme, maka nilai GII akan menurun dan nilai HDI dapat meningkat yng mengindikasikan terdapatnya penumbuhan tingkat kemakmuran negara, yang sekali lagi menguntungkan bagi seluruh rakyat baik perempuan dan (tentunya) laki-laki. Referensi Diarsi, M. (1996). It’s Not Only to Say to Patriarchy: Feminism in Women’s Movement in Indonesia 1990s. Asian Journal of Women’s Studies, 2(1), 158–169. http://doi.org/10.1080/12259 276.1996.11665780 Djoeffan, S. H. (2001). Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang. Mimbar, XVII(3), 284–300. Hariyanto. (2009). Gender dalam Konstruksi Media. Komunika, 3(2), 167–183. Human Development Report 2016: Human Development for Everyone. (2016). United Nation Development Programme. New York. eISBN: 978-92-1-060036-1 Diunduh dari http://hdr.undp.org/sites/default/ files/2016_human_development_report.pdf pada 11 Januari 2018 Gamble, S. (2006). Introduction. In S. Gamble (eds), Postfeminism. The routledge companion to feminism and postfeminism. http://doi. org/10.5860/CHOICE.47-2994 Membedah Anatomi Peradaban Digital — 329

Kroløkke, C. & Sørensen, A. S. (2006). Gender Communication Theories and Analyses: From Silence to Performance. http://doi. org/10.4135/9781452233086 Muttaqin, F. (2015). Feminist Interpretation of the Quran As an Ideological Critique Against Patriarchy (An Indonesia Context). Masyarakat & Budaya, 17(1), 29–36. Najmi, & Ofianto. (2006). Perjuangan Pendidikan Kartini Vs Rahmah El Yunusiyyah Bagi Perempuan Indonesia: Sebuah Pendekatan Historis Dan Kultural. Sejarah Dan Budaya, 10(1), 72–79. Putri, P. (2016). In Searching of Feminist Technology: Challenge in 21st Century Feminism. Prosiding Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas, Agensi dan Politik (20 Tahun Jurnal Perempuan). Rinaldo, R. (2010). Mobilizing Piety: Islam and Feminism in Indonesia. Oxford University Press, USA. Sadli, S. (2002). Feminism in Indonesia in an International Context. In K. Robinson & S. Bessel (Eds.), Women in Indonesia: gender, Equity, and Development (pp. 80–91). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Stewart, A. J. (1994). Toward a Feminist Strategy for Studying Women’s Live. In John W. Creswell and Cheryl N. Poth, 2018, Qualitative Inquiry aand Research Design: Choosing Among Five Approaches, Sage Publications Inc. Taylor, J. S. (1976). Raden Ajeng Kartini. Signs, 1(3), 639–661. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/3173146%5Cnhttp://www. jstor.org/stable/pdf/3173146.pdf?acceptTC=true Wajcman, J. (2009). Feminist theories of technology. Cambridge Journal of Economics, 34(1), 143–152. http://doi.org/10.1093/cje/ben057 Walby, S. (1989). Theorising Patriarchy. Sociology, 23(2), 213–234. 330 — G.E.N.C.E.

[15] SMART TOURISM Pendekatan Digital dalam Mengelola Objek dan Perjalanan Wisata beserta Sektor Pendukungnya Oleh Tauhid Nur Azhar Mengutip pernyataan Prof. Yanuar Nugroho dalam artikel beliau di harian Kompas, ekosistem digital adalah suatu kondisi di mana hal-hal yang bersifat natural, manual, dan mekanis akan digantikan fungsinya oleh teknologi digital yang bersifat mampu mengontrol akurasi sebuah sistem dengan lebih baik dan praktis. Hemat energi dan proses yang berarti mampu menjamin terciptanya optimasi produksi baik manufaktur maupun jasa. Sementara industri wisata adalah sebuah bisnis bergenre jasa yang mengemas dan menjual “pengalaman”. Produk dengan jenis pengalaman (experiences) ini terkait erat dengan sensasi, edukasi, dan informasi yang diterima secara multisensori. Maka men-deliver produk yang satu ini gampang-gampang susah. Banyak negara memiliki keunggulan komparatif berupa objek wisata berbasis keindahan dan keunikan alam yang hanya bisa didapatkan di daerah tertentu (locus delicti). Potensi geologi atau bentang alam khusus serta keindahan pantai dan kehidupan bawah laut (terumbu karang) tentu sulit diciptakan secara artifisial. Demikian pula gunung api dan struktur pegunungan karst yang khas, tak dapat ditiru dengan sempurna, apalagi dapat memberikan pengalaman yang sama. Teknologi holografik maupun VR memang akan memberikan sensasi yang mendekati tapi tetap belum dapat menyamai kondisi di alam asli, terutama karena ada proses yang harus dilalui dan itu unik. Misal semua orang bisa ke pantai Baruna Singaraja sewa perahu di pagi hari dan pergi melihat lumba-lumba hidung botol (Tursiops sp), dan ada yang bertemu dgn segerombolan lumba-lumba, ada yang hanya jumpa satu dua, dan banyak pula yang tak melihat apa-apa. Tapi dalam proses “berburu” Membedah Anatomi Peradaban Digital — 331

lumba-lumba itu wisatawan merasakan alunan ombak dan hembusan angin pagi yang mengiringi terbitnya sang matahari yang indah sekali. Rerata wisatawan puas meski tak berjumpa lumba-lumba. Sama dengan kondisi wisata kepulauan yang tak selalu didukung cuaca, tapi berteduh di bawah rimbun perdu atau pohon kelapa saat hujan gerimis merinai sambil menyeruput secangkir kopi tubruk murahan yang panas mengepul akan menjadi kesan yang begitu membekas. *** Pengalaman traveling penulis ke berbagai destinasi, baik yang mainstream maupun ekstrem memberikan gambaran bahwa mengelola pengalaman ini sangat unik sekaligus sangat menarik. Siapa dulu yang menyangka bahwa sawah bersubak di Tegal Lalang yang merupakan kearifan lokal akan menjadi destinasi wisata yang mendunia? Siapa yang menyangka foto diri di puncak bukit pulau Padar yang berbatu kemerahan dan gersang akan menjadi bagian dari variabel penting eksistensi diri di media sosial. Siapa mengira sebuah pantai sepi di pulau Seram yang bernama Ora akan memiliki sebuah resort apung bernuansa natural yang diperebutkan orang sedunia hingga harus dibooking jauh-jauh hari. Banyak contoh lainnya, mulai dari Nihiwatu, Raja Ampat, Pantai Liang, gusung pasir Morotai, sampai sate gurita di Sabang bisa menarik orang berumah ribuan kilometer untuk datang menyambangi. Budaya melancong dan pelesir memang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan ke dalam diri yang jika digambarkan mirip judul film The Pursuit of Happiness yang dibintangi Will Smith. Pemuasan fungsi kognitif terhadap sensasi keindahan multisensori inilah yang harus dikelola oleh manajemen wisata di suatu area. Bukan hanya sekedar bentang alam dan budaya, tapi total rasa. Betapa Jogja-Solo, dan juga sebagian besar kota-kota di Eropa yang punya keunggulan komparatif berupa warisan budaya dalam berbagai bentuk tinggalan arsitektural bersejarah, meski sedemikian luar biasa bangunan dan warisan budayanya masih harus mengembangkan sektor penunjang agar soal pengalaman berbasis multi rasa ini dapat dialami secara paripurna. Maka, Bali bukan hanya Kecak, Pendhet, Pura, dan pantai-pantai putih berair jernih biru turquoise saja, tapi juga harus punya resort, 332 — G.E.N.C.E.

bandara, dan rumah sakit yang tidak hanya memudahkan dan memberi kenyamanan wisatawan, tetapi juga mampu memberikan rasa aman. Tetapi memang, soal rasa ini memang rumit sedemikian rupa. Ada kalanya wisatawan (contoh saya sendiri) menginginkan fasilitas luxury bak raja seperti resort kelas dunia di Maldives yang sampai menyediakan pesawat amfibi/sea plane untuk antar jemput tetamunya. Makanan berkelas seperti caviar Beluga dari Ukraina, salmon terbaik Norwegia, dan keju biru Perancis harus tersedia. Spa Sauna juga gym dan kolam renang berair asin harus ada. Meski di daerah tropis udara harus tetap silir semilir. Demikian juga saat di Hallstatt atau Aspen Colorado yang bersalju dengan suhu minus sepuluh di bawah nol, inginnya tetap hangat dan bisa tidur nyaman meringkuk seperti bayi dalam kandungan. Itulah manusia. Tetapi ada kalanya jalanan berlumpur, tebing yang sangat licin Membedah Anatomi Peradaban Digital — 333

dan berbahaya di tepi air terjun raksasa Victoria, auman hewan buas di Serengeti tanpa jaminan keamanan, atau melihat penguin di pulau Phillips yang berombak amat besar adalah sebuah kesenangan yang sensasinya tak tergantikan. Sulitnya mencapai danau Kakaban, Maratua, atau pulau kecil bernama pulau Cinta di Teluk Tomini adalah bagian dari keberhargaan sebuah perjalanan. Dan, keindahan di tujuan adalah hadiah yang tak terperikan. Sungguh sensasi adalah adrenalin dan endorfin yang berpadu dengan kortisol yang muncul secara bergantian saat ketakutan dan kekhawatiran berimbuh harapan dapat jumpa mimpi dan keindahan. Itulah yang saya alami saat harus bergulat dengan badai salju di lereng selatan Himalaya, seputaran Tangmarg, agar dapat merasakan sensasi berdiri di salah satu gunung yang menjadi penyangga langit bagi dunia. Hujan butiran salju dengan suhu minus yang membuat segenap tulang berderak pilu dan sendi-sendi mendadak ngilu, sungguh sensasi yang membuat super sensasi meledak saat bisa berdiri di puncak putih berselubung salju yang begitu indahnya. Proses yang sulit ini menjadikan keindahan dirasakan maksimal. Maka, memberi akses jalan nyaman, bandara kinyis-kinyis dengan kursi-kursi necis, mobil berpengemudi klimis, dan makanan resto dengan menu import dari dapur bertaraf sekurangnya berbintang Michelin 2, adalah hal sia-sia yang justru membuat perjalanan menjadi berkurang maknanya. Pengalaman penulis belum lama ini menjelajahi negara bagian Jammu Kashmir di punggung Himalaya menunjukkan bahwa kondisi semi ekstrem yang harus dihadapi membuat akhir perjalanan menjadi begitu nikmat dan indahnya. Di penghujung ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran terjadilah “banjir” endorfin, serotonin, dan prolaktin yang membuat lidah tak mampu berhenti mengucap syukur. Tapi di balik itu sesungguhnya orang bertualang dan menjelajah tetap saja mengikuti naluri fisiologis paling mendasar, yaitu respons defensif. Kebutuhan terhadap rasa aman yang memerlukan kepastian. *** 334 — G.E.N.C.E.

Pertanyaan terkait dengan judul artikel ini, apakah ekosistem digital dapat memfasilitasi pengalaman berwisata yang mampu memuaskan multi indera dan sekaligus menghadirkan kepastian serta rasa aman? Dengan konsep yang diusung oleh Prof. Yanuar di atas maka fungsi kontrol dan akurasi senyata (real time) semestinya dapat menjembatani pelaku usaha wisata dan wisatawan sebagai pelanggannya. Pengalaman indah saya tinggal selama dua hari di rumah apung di Dal Lake di ketinggian 1 mil di atas permukaan laut, dengan panorama dikelilingi pegunungan bersalju akan terasa lebih sempurna jika ada kepastian tentang berbagai hal terkait dengan keselamatan dan kenyamanan. Perkembangan teknologi digital saat ini sudah sampai pada kemudahan layanan akses transportasi dan akomodasi serta cara pembayaran. Sebagai contoh adalah aplikasi lokal, Traveloka, yang selalu saya gunakan untuk mencari tiket pesawat, kereta api, hotel, sampai membeli paket internet luar negeri, dan transportasi dari dan ke bandara, bahkan membayar asuransi BPJS. Semua menjadi sangat mudahnya. Bahkan saat ini tidak lagi bersifat domestik, tetapi sudah memasuki area global. Sebagai contoh, saya yang tinggal di Bandung ingin berwisata di destinasi baru di New Soho Jakarta Barat, Jakarta Aquarium. Maka, saya akan mencari tiket kereta api Argo Parahyangan ekonomi Premium yang nyaman dan berharga murah. Proses pesan dan beli dapat saya lakukan di aplikasi. Demikian pula pembayaran, karena ada fasilitas Sakuku , atau seperti saya, gunakan aplikasi mobile banking. Usai proses pesan dan beli tiket kereta, kita lanjutkan mencari penginapan, silahkan pilih, pesan ,dan bayar. Siapkan juga transportasi lokal dan belilah di aplikasi yang sama tiket masuk wahana. Semua mudah dan karena tidak memerlukan proses yang panjang maka utilisasi asset pelaku bisnis wisata juga menurun hingga terciptalah efisiensi. Diskon tiket pun dapat diberikan. Berbekal sebuah hape saya dapat liburan sekeluarga selama dua hari di ibukota dengan harga terjangkau dan rasional (objektif) serta mendapatkan semua fasilitas sesuai dengan apa yang saya bayar. Di sisi lain, ketidakpastian (uncertainty) seperti harga yang fluktuatif subjektif dan disinformasi produk yang kadang menimbulkan kekecewaan akan dapat diminimalisir. Sebaliknya, aplikasi dengan single solution termasuk fitur pembayaran (fintech) juga dapat mengefisienkan proses produksi pelaku bisnis wisata. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 335

Keterangan Gambar: Sistem cerdas akan membantu mengorganisir, mengelola, dan memberikan solusi bagi kebutuhan wisatawan serta pelaku usaha wisata. *** Maka, kini diperlukan inovasi yang dapat merangkum kebutuhan wisatawan dan pelaku bisnis wisata terhadap objektivitas informasi e.g lokasi, cara mencapainya, kemudahan mengatur perjalanan sampai di lokasi, akomodasi, edukasi terkait objek wisata, makanan, dan juga suvenir. Saya membayangkan gabungan fungsi dan fitur Traveloka dengan GoJek dan Tokopedia tapi dapat bersifat lokal dan khusus pada ranah wisata (tourism). Sederhananya begini, saya ingin pergi ke sebuah pulau 336 — G.E.N.C.E.

eksotik lalu saya memesan airlines, memilih kursi dan opsi khusus lainnya (misal makanan halal), mengatur penjemputan di bandara (bisa dengan kendaraan warga lokal, sepeda, atau mungkin becak dan delman), jika saya puas dengan layanannya saya dapat memberi tip digital (seperti GoJek), belajar tentang sejarah dari situs budaya di pulau tersebut, mengatur transportasi lokal saya lewat aplikasi dan dicarikan alternatif paling efisien untuk melakukan kunjungan ke beberapa destinasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan kita serta kemungkinan yang bisa dilakukan. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 337

Belanja suvenir bisa offline karena ada sensasi tersendiri tetapi pembayaran dan tip digital karena hal ini kerap menjadi keluhan wisatawan (over paid, dan lainnya). Barang atau suvenir dapat dikirimkan dan di-tracking, warung yang akan didatangi dapat dipesan dan dibayar terlebih dahulu. Terlebih jika kita keterlibatan total dengan budaya dan masyarakat setempat, maka jika masyarakat juga menggunakan aplikasi yang sama, mereka dapat menjadi pemandu wisata lokal (guide) yang tentunya punya pengalaman subjektif dengan daerahnya, kita bisa memesan dan membayar untuk makan di rumah penduduk dengan masakan yang disiapkan langsung di dapur rumah tersebut. Kita bisa berkeliling dengan sepeda atau kuda atau gerobak yang dimiliki penduduk. Bahkan kita dapat diajak ke pantai tak dikenal di Google yang diketahui dengan baik oleh AKAMSI alias anak kampung sini. Suvenir pun tak melulu toko cenderamata, bisa saja produk tenun rumahan, batik yang dibuat para ibu rumah tangga, buah dari pekarangan, atau masakan tahan lama yang disiapkan oleh para keluarga yang ahli dalam bidang kuliner lokal. Acara tradisi yang tak terpublikasi pun jadi dapat diketahui, demikian pula informasi tentang nilai dan maknanya yang tentu saja sarat dengan kearifan lokal. Penginapan pun demikian, kita dapat memilih rumah penduduk dengan ketersediaan fasilitas sesuai dengan apa yang mereka miliki. 338 — G.E.N.C.E.

Sederhananya aplikasi wisata cerdas berbasis masyarakat ini seperti jejaring sosial media per lokasi yang dapat dicari melalui map di menu dan setiap akun yang dipublish dapat menampilkan produk dan jasa yang mereka miliki. Karena aplikasi ini memiliki fitur fintech, proses pemesanan dan pembayaran pun dapat dilakukan online dan kita tidak merasa tertipu karena kemahalan. Ekonomi kerakyatan akan bangkit. Semua orang akan menciptakan keunggulan kompetitifnya masing-masing. Resep-resep tradisional nan tua akan kembali dan disajikan sebagai kekhasan. Ini mungkin mirip dengan konsep aplikasi Madhang milik Mas Kaesang Pangarep. Di mana kita bisa memilih dan membeli masakan rumahan dari ibu-ibu rumah tangga yang memiliki akun di aplikasi. Bayangkan jika kita datang ke sebuah pulau dan dijemput dengan bendi atau sado warga, makan siang di pantai dengan bekal dari masakan tradisional yang lezat dan menginap di rumah panggung yang nyaman tanpa khawatir dengan pungli dan tip yang kebanyakan. Keuangan liburan menjadi terkontrol dan terukur. Masyarakat destinasi wisata akan menggeliat roda ekonominya dan tentu akan terjadi “multiplier effect” pada sektor-sektor lain yang terimbas seperti nelayan, dan lainnya. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 339

Senangnya jika kita dapat ikut melaut dan makan siang di pulau gusung pasir dengan bekal nasi dan sambal ibu nelayan serta bakar ikan yang baru dipancing. Inilah momentum saat hal-hal natural manual bertemu dan bersahabat dengan produk-produk digital. Keterangan Gambar: Beberapa konsep pengembangan wisata cerdas berdasar penelitian yang mengacu pada aplikasi sistem cerdas (cognitive computing, deep learning, natural linguistic program, dan AI). Pendekatan yang dilakukan komprehensif dan mengakomodir aspek gender dan budaya. 340 — G.E.N.C.E.

BAGIAN 4 Peradaban Digital, Aneka Permasalahan dan Solusinya (1) Budaya Digital dan Perubahan Perilaku Oleh Supra Wimbarti Pendidikan kerap dimaknai sebagai sesuatu yang sangat esensial dalam kehidupan manusia sehingga sangat dibutuhkan manusia, bahkan sejak dahulu kala. Tentu saja pada jaman purba tatacara mendidik tidak seperti sekarang dimana peserta didik duduk berderet-deret di bangku di dalam kelas, dengan aturan-aturan yang sudah ditentukan, yang hasil didik pun diukur dengan kaku. Pendidikan di dahulu kala dilakukan dengan lebih santai, tidak terkungkung dalam ruang, dapat terjadi di ruang terbuka namun tujuannya tetap sama yakni manusia terbebas dari kekufuran. Pendidikan jaman duhulupun juga ditujukan agar kehidupan manusia lebih tertib dan nyaman. Keberhasilan pendidikan yang sudah dicapai manusia di muka bumi ini sekaligus juga adalah kegagalan. Mengapa tidak? karena tujuan pendidikan Membedah Anatomi Peradaban Digital — 341

adalah melepaskan diri dari kegelapan, dan kebodohan. Tujuan pendidikan adalah mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi, tujuan pendidikan adalah mengeksplorasi dunia termasuk manusia yang hidup di dalamnya. Perkenalan antarmanusia dilakukan dengan berkomunikasi yang ujungnya saling memahami, mentransfer pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang atau sekelompok individu ke individu atau kelompok lain. Teknologi tinggi yang dipakai dalam kehidupan manusia adalah hasil dari pendidikan ini. Teknologi tinggi diidamkan sebagai alat bantu untuk kenyamanan hidup manusia, ternyata tidak selamanya terpenuhi. Dengan teknologi tinggi tetapi konten informasi yang tidak benar ternyata dapat memicu salah paham, yang berujung pada hatred, kebencian antar kelompok, dan bahkan peperangan. Teknologi juga dapat dipakai untuk mendekatkan sanak keluarga yang jauh. Anggota keluarga yang sedang bepergian atau tinggal di belahan bumi yang lain setiap waktu bisa berhubungan sekaligus melihat wajah dan kegiatan mereka, membuat ketentraman hati seluruh keluarga. Teknologi juga menjauhkan anggota keluarga yang hidup berdekatan, bahkan se rumah, karena setiap anggota hanya sibuk dengan gadgetnya sendiri, di sinilah dimulainya kerenggangan hubungan face-to-face antar manusia yang sehat. Jadi, salahkah pendidikan yang menghasilkan sains dan menciptakan teknologi? Perubahan Perilaku Manusia berkat Teknologi Diakui atau tidak, pendidikan pada jaman tertentu membawa dampak pada perkembangan teknologi. Sejak abad ke 18 terjadi revolusi industri yang mengubah perilaku manusia. Revolusi pertama pada tahun 1784 ditandai dengan diketemukannya dan digunakannya alat-alat produksi mekanik, jalan kereta api, dan mesin uap. Kehidupan menjadi lebih nyaman karena mobilitas dan produktivitas manusia meningkat, terutama dalam bidang pertanian dan transportasi. Revolusi kedua yang terjadi di paruh kedua abad 19 ditandai dengan produksi masal, tenaga listrik, dan assembly line. Revolusi ketiga pada pertengahan abad ke 20 ditandai dengan lahirnya komputer, otomatisasi produksi, dan munculnya barang2 elektronik. Revolusi keempat yang sampai masih 342 — G.E.N.C.E.

berjalan dimulai di awal abad 21 yang ditandai dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence), big data, robot, dan hal-hal lain yang sekarang belum ada. Gambar 1 menunjukkan perjalanan perubahan tersebut. Gambar 1. Garis waktu empat revolusi industri. Sumber: ASPGulf, 2017-2018. Dalam kehidupan sehari-hari, seiring dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang tersebut, terjadi juga perubahan perilaku manusia yang menggunakan hasil kemajuan itu. Tengok misalnya penemuan pendingin ruangan elektrik (air conditioner, AC) oleh Willis Carrier tahun 1902 di Buffalo, New York, sesudah dia lulus dari Universitas Cornell. Hadirnya teknologi pendingin ruangan mengubah banyak perilaku manusia termasuk industri. Sebelum ada AC penduduk Amerika membangun rumah dengan banyak ruang terbuka untuk memungkinkan angin lalu lalang, mereka suka duduk-duduk di bawah pohon di musim panas. Namun dengan dipasangnya AC di rumah mereka, mereka lebih suka ada di dalam rumah yang tertutup dengan pendingin. AC sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari manusia, demi kenyamanan, selain rumah, hotel – super market, rumah sakit, bahkan kandang binatang tertentu oleh manusia diberi AC. Selain AC, alat pendingin air dan makanan, yaitu lemari pendingin atau kulkas juga mengubah perilaku manusia. Berbelanja makanan yang semula dilakukan setiap pagi, sekarang bisa dilakukan hanya seminggu sekali, karena kebutuhan bahan makanan selama itu bisa disimpan di kulkas. Ibu-ibu yang dulunya pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk dimasak hari itu, bertemu dengan tetangga, mengobrol di pasar, sudah menyusut jumlahnya. Televisi (TV) adalah produk teknologi Membedah Anatomi Peradaban Digital — 343

Barat yang masuk ke Indonesia di tahun 1960an. Bahkan pemerintah RI membangun TVRI tahun 1962 untuk meliput siaran Asian Games yang dilaksanakan di Indonesia. TV adalah alat pembelajaran dan penyebaran informasi yang amat ampuh, bahkan diakui sebagai alat pemersatu sebuah bangsa. Berbeda dengan radio, TV menyuguhkan berita, hiburan, dan pendidikan secara audiovisual. Gambar yang langsung dapat dilihat oleh pemirsa mempunyai dampak psikologis berbeda dibandingkan hanya mendengar suara saja. Meskipun demikian, suara yang didengar, sebagaimana buku yang dibaca, memberikan kesempatan tak terhingga untuk menginterpretasikan apa yang didengar atau dibaca. Imajinasi pendengar dan pembaca bisa amat kreatif bahkan liar, yang banyaknya sebanyak pemirsa atau pembaca. Gambar yang ada di TV, sebaliknya, memberi peluang yang lebih terbatas untuk menginterpretasi. Tayangan televisi sudah lama diprihatinkan orangtua dan pemerintah. Tayangan televisi yang agresif dan mengandung pornografi sudah dideklarasikan sebagai tayangan yang dianggap merusak mental terutama anak dan remaja. Di tahun 1994 dimana hanya ada beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia, ada terdapat 29 film anak-anak yang ditayangkan dalam satu minggu. Anak- anak prasekolah yang mempunyai kebiasaan menonton film yang agresif ternyata juga menampilkan perilaku agresif, bahkan mampu menghasilkan fantasi agresif (Wimbarti, 2002). Pada penelitian ini, anak adalah pemirsa pasif, tidak ada interaksi langsung dengan tokoh- tokoh yang ada dalam tayangan tersebut. Dan cara menonton pasif ini mampu memantik perilaku anak-anak menjadi agresif, karena adanya efek peniruan. Bagaimana bila anak, remaja, atau orang dewasa tidak hanya pasif menonton, tapi aktif secara virtual dan tenggelam dalam bermain peran di dalam game internet, apakah dampaknya sama dengan bila mereka hanya menonton, ataukah dampaknya lebih dahsyat? Perkembangan anak dan keberadaan internet Sejak awal tahun 1990, revolusi teknologi sudah mengubah cara manusia melakukan komunikasi, dan komunikasi berteknologi tinggi 344 — G.E.N.C.E.

ini sudah menjadi peradaban baru manusia. Peradaban baru dalam berkomunikasi ini ditandai dengan mudahnya alat komunikasi tingkat tinggi didapatkan dan diakses oleh banyak orang, murah dan tidak membutuhkan bertemu langsung dengan lawan komunikasinya. Karakteristik teknologi informasi dan komunikasi memberikan kesempatan bagi setiap orang termasuk anak dan remaja untuk mengisi waktu-waktu luangnya (walau hanya sedikit) dengan cara-cara yang mereka sukai. Keberadaan internet memang seperti pisau berujung dua dan disikapi oleh masyarakat, terutama orangtua dengan positif dan negatif. Terhadap internet ini orangtua memandang berbahaya bagi anak-anak, meracuni pikiran anak dengan isi internet yang tidak sesuai dengan usia anak. Namun di sisi lain, anak Jaman Now bila tidak mengenal internet akan terugikan secara kognitif dan sosial, sebab dari internet anak bisa mendapatkan stimulasi kognitif dan mendapatkan teman baru. Kajian yang dilakukan oleh Johnson (2010) ternyata mengamini pendapat ini, anak-anak sekolah yang menggunakan internet dibandingkan dengan yang tidak menggunakan internet, ternyata kemampuan membacanya lebih bagus dan rerata nilai akademiknya lebih tinggi saat diukur lagi 6 bulan, 12 bulan, dan 16 bulan kemudian. Ini menandakan penggunaan internet oleh anak mempunyai dampak positif terhadap prestasi belajar dalam kurun waktu yang cukup lama. Mengapa demikian? Anak yang sering mengakses internet dihadapkan pada fitur-fitur yang ada di layar yang juga sering terdapat pada buku bacaan. Kebiasaan berinteraksi dengan fitur internet membuat anak familiar dengan tulisan maupun simbol-simbol yang banyak dijumpai di buku bacaan. Penggunaan internet menstimulasi proses kognitif yang terlibat dalam menginterpretasikan teks yang sedang dibaca, termasuk di dalamnya adalah proses metakognitif yang terjadi. Proses metakognitif yang dimaksud adalah merencanakan, strategi untuk mencari, dan mengevaluasi informasi yang didapat. Ketiga kegiatan itu adalah hal penting saat berselancar di website. Di saat menggunakan internet, selain jari-jari tangan, mata pengguna juga memegang peranan penting. Pemakaian internet oleh anak-anak ternyata juga membantu meningkatkan perkembangan kognitif mereka. Penelitian Membedah Anatomi Peradaban Digital — 345

Van Deventer dan White (2002) lebih dari 15 tahun yang lalu sudah mengkonfirmasi hal tersebut, pada penggunaan game video. Terutama pada area kecerdasan visual, maka penggunaan games meningkatkan kemampuan pemainnya untuk memonitor beberapa stimulus yang muncul bersamaan di layar, untuk membaca diagram, untuk mengenali ikon, dan membayangkan hubungan-hubungan spasial obyek yang muncul di layar. Pada remaja awal berumur 10-11 tahun yang bermain game video dengan fasih, ternyata juga punya kemampuan memonitor diri yang baik, ingatan visual yang baik, dan rekognisi pola yang lebih lancar daripada remaja yang tidak bermain game video. Namun di sisi lain, dalam relasi sosial, anak dan remaja yang banyak bermain game video juga terbukti perhatiannya mudah terganggu, konsentrasi terpecah, kasar, dan agresif. Perjalanan hidup setiap manusia biasanya digambarkan seperti mengarungi dunia yang berlapis bak bawang. Artinya, ada unsur di luar diri manusia yang mempengaruhi, yang antara lain adalah mikrosistem, mesosistem, exosistem dan makrosistem seperti yang digambarkan berikut ini. Gambar 2. Subsistem Teknoekologi. Sumber: Johnson & Puplumpu (2008). 346 — G.E.N.C.E.

Subsistem teknoekologi yang merupakan lingkungan mikrosistem yang langsung dihadapi anak bersifat hidup dan tak hidup. Lingkungan hidup misalnya teman-temannya, dan lingkungan tak hidup termasuk alat-alat komunikasi, informasi, dan teknologi untuk rekreasi (televisi, telpon, e-book, komputer, internet, dan sebagainya). Semakin komplek subsistem yang dihadapi oleh anak, maka anak membutuhkan proses kognitif yang makin komplek juga. Internet dalam hal ini, memungkinkan anak dan orang dewasa untuk menjangkau informasi yang komplek, internet menjadi jembatan antara diri individu dengan dunia luar yang menuntut proses yang lebih luhur. Orangtua dan guru adalah kelompok yang mencemaskan penggunaan internet anak-anak dan remaja. Psikolog khususnya, mengkhawatirkan kalau penggunaan internet yang berlebihan di antara anak dan remaja akan mengganggu kesejahteraan subyektif mereka. Mereka yang memakai internet berlebihan banyak dilaporkan mempunyai kesejahteraan subyektif yang rendah, misalnya munculnya depresi dan jauh dari kehidupan sosial yang wajar. Australia sebagai negara maju, mempunyai warganegara dewasa pengguna internet sebanyak 83%; di antara remaja Australia yang berumur 15–17 tahun, 97% nya adalah orang-orang yang rajin ber-online-ria. Ini prosentase yang lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat (93%) dan Eropa (86%). Di negara kanguru ini ternyata ada hasil penelitian menarik yang dilakukan oleh Posso di tahun 2016, yaitu pelajar yang memakai waktunya di atas rata-rata sibuk dengan media sosialnya ternyata prestasi matematikanya di bawah rata-rata. Sebaliknya, mereka yang sibuk dengan game internet bisa mencapai nilai matematika di atas rata-rata! Penggunaan internet untuk bermain game online, offline, atau media sosial tidak akan membuat cemas masyarakat luas bila tidak ada dampak negatifnya. Kekhawatiran tersebut nampaknya riil bila sudah meninjau informasi berikut ini. Survey yang melibatkan 23.533 orang dewasa menunjukkan mereka yang kecanduan memakai internet ternyata menunjukkan gangguan mental. Munculnya gejala ADHD, obsesif kompulsif, cemas dan depresi biasa terlihat di antara orang- orang ini. Apakah ada variasi dampak penggunaan itu antara pria dan wanita? YA! Pengguna laki-laki ternyata berkaitan kuat dengan Membedah Anatomi Peradaban Digital — 347

penggunaan berlebihan game video, sedangkan para wanitanya gangguan mental banyak terkait dengan media sosial. Mereka yang statusnya tidak menikah ternyata gangguan mental berkaitan dengan sukanya menggunakan game video dan media sosial. Survey ini dilakukan di tahun 2016 oleh sekelompok ilmuwan yakni Andreassen, Billieux, Griffiths, Kuss, Demetrovics, Mazzoni, dan Pallesen. Era teknologi digital dan perubahan perilaku Kecanduan internet dapat juga dibahasakan dengan penggunaan internet yang bermasalah;, gangguan kecanduan internet, penggunaan internet berlebihan, yang semuanya menunjuk pada pemakaian internet yang berlebihan, yang menimbulkan konsekuensi negatif secara psikologis, mengganggu kehidupan sosial dan pekerjaan, dan kehidupan akademis seseorang. Sebetulnya, seberapa banyak orang Indonesia yang menggunakan internet? Bagaimana komposisi umurnya? Pada tahun 2016, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia melaporkan bahwa jumlah penggunanya adalah 132,7 juta orang, jumlah yang lebih dari 50% penduduk Indonesia. Dari jumlah itu 18,4% nya adalah pengguna anak sampai dewasa awal berumur 10 – 24 tahun. Daya penetrasi internet pada anak dan remaja dalam rentang itu adalah 75,5%. Pertanyaannya adalah, di manakah mereka tinggal? Laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia menunjukkan bahwa pengguna internet terbesar di Indonesia berasal dari Jakarta, Banten, dan Yogyakarta. Aktivitas memakai internet yang dilakukan kebanyakan adalah untuk mengakses Youtube (40%), bermain game online (63%), mencari informasi akademik (65%) dan menggunakan media sosial (77%). Dimanakah umumnya orang Indonesia mengakses internet? Ini menarik. Survey tahun 2017 yang dilakukan oleh Nielsen Cross-Platform 2017 (Lubis, 2017) menunjukkan orang mengakses internet hampir di semua tempat yaitu Kendaraan Umum (53%), Kafe atau Restoran (51%), dan acara Konser (24%). Belum dilaporkan apakah pengaksesan dari rumah dan tempat kerja juga tinggi. 348 — G.E.N.C.E.

Pada jaman manusia di bumi ini masih hidup pada masa mencari makan dengan berburu, menangkap ikan, dan bercocok tanam, tentu saja telpon, televisi, apalagi internet, belum ada. Pada masa itu komunikasi langsung dan cepat amat diperlukan untuk keberlangsungan hidup. Adanya tanda-tanda akan ada banjir, binatang buas datang, penyakit menular dan semacamnya, yang mengancam keberlangsungan hidup diri atau komunitasnya harus diketahui seawal mungkin. Setiap orang dewasa harus selalu dalam keadaan waspada, tidak boleh ketinggalan berita, karena ketinggalan berita dapat berarti ancaman bagi hidup seseorang atau komunitas (suku). Setiap orang dewasa selalu ingin tidak ketinggalan mengetahui keadaan setiap saat. Fenomena ini disebut fear of missing out (FoMO). Komunikasi secara oral relatif tidak banyak berubah, namun komunikasi tertulis berkembang amat pesat terutama dengan munculnya Social Networking Sites (SNS). Facebook digunakan oleh 1,74 juta orang di seluruh dunia dan merupakan platform yang terpopuler. Karena jejaring online menggunakan Facebook, Instagram, Twitter atau pelayanan pengiriman berita menjadi amat popular di antara anak dan remaja, maka konsekuensi anak dan remaja mengalami FoMO amat besar. FoMO masih ada pada jaman now ini, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Stimulusnya berbeda, sumber dari ketakutan ini berbeda. Jaman sekarang sumber dari FoMO adalah sosial media. Dalam sepuluh tahun terakhir ini fenomena FoMO begitu merebaknya sehingga istilah ini dimasukkan ke dalam Oxford Dictionary di tahun 2013. Kamus itu menerjemahkan FoMO sebagai munculnya kecemasan yang dialami seseorang bila ia ketinggalan berita menarik yang terjadi dimana saja, terutama di media sosial. Orang yang mengalami FoMO, ingin selalu terhubung dengan media sosial untuk mengetahui apa yang terjadi pada kenalan-kenalannya, apa yang mereka kerjakan, kemana mereka pergi, dengan siapa, bagaimana suasananya. Orang seperti merasa tidak mau ketinggalan, selalu harus ada dengan siapa saja, dimana saja. Tidak betah dalam keadaan sendiri. Bila tidak terhubung dengan kenalannya dia akan merasa gelisah. Selalu memastikan bahwa ponselnya ada di dekatnya, setiap ada notifikasi selalu tergesa-gesa untuk membukanya. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 349

Gambar 3: Fenomena FoMO di media sosial. Foto oleh Jurgen Appelo. Sumber: The Science Behind FOMO, David Lopera, 11 Mei 2016. Andrew Przybylski dari Oxford Internet Institute banyak meneliti tentang bermain game elektronik dan kaitannya dengan adaptasi psikososial remaja. Anak dan remaja di Inggris yang hanya sedikit bermain game, ternyata juga lebih sehat mentalnya, kehidupannya memuaskan dan dapat berekspresi dengan sehat dibandingkan mereka yang terlalu banyak bermain game. Lebih jauh lagi, mereka yang banyak berkutat menggunakan media sosial cenderung akan mengalami FoMO. FoMO akan mendorong orang untuk membuka Facebook, bukan Facebook yang menyebabkan orang mengalami FoMO. Orang yang mengalami FoMO akan selalu memonitor teleponnya saat bangun tidur di pagi hari, sampai mereka mau tidur lagi di malam hari, bahkan di saat mereka menyetir mobil. Di Spanyol Fuster, Chamarro, & Oberst (2017) membenarkan dugaan bahwa FoMO berkaitan dengan banyaknya menggunakan media sosial, intensitasnya dalam menggunakan jaringan sosial, kecanduan memakai ponsel, dan akses terhadap jejaring sosial. Tentang 350 — G.E.N.C.E.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook