Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Gence Membedah Anatomi Peradaban Digital

Gence Membedah Anatomi Peradaban Digital

Published by seputarfib, 2022-01-23 17:02:57

Description: Gence Membedah Anatomi Peradaban Digital

Search

Read the Text Version

Instagram, Majalah Time (MacMillan, 2017) melaporkan bahwa berdasarkan penelitiannya terhadap 1.500 remaja dan orang dewasa awal, Instagram ternyata adalah media sosial yang terburuk, ditilik dari sudut pandang kesehatan mental. Instagram memang dipuji sebagai lahan untuk expresi diri dan identitas diri, akan tetapi juga berkaitan dengan tingginya kecemasan, depresi, bullying, dan FoMO. Berbeda dengan Instagram, YouTube diakui sebagai media sosial yang mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan penggunanya. FoMO pada dasarnya adalah emosi ketakutan. Bila ini berkenaan dengan emosi, maka dimanakah secara neuropsikologis FoMO ini berada di otak? Amigdala, bagian dari sistem limbik di otak adalah sumber dari emosi dan ingatan jangka panjang. Amigdala memberi sinyal kepada otak untuk flight atau fight ketika orang merasa terancam atau tidak aman. Fenomena FoMO hampir mirip dengan perasaan adanya pengucilan atau eksklusi sosial. Saat seseorang mengalami FoMO, otak akan menghantarkan sinyal stres mirip saat seseorang mengalami pengucilan dari aktivitas. Individu yang mengalami ekslusi sosial mengalami kenaikan aktivitas di otak yang berkaitan dengan rasa sakit. Saat seseorang merasa dikucilkan, korteks singulat anterior dan korteks prefrontal ventral kanan menjadi aktif. Saat merasa distres seperti perasaan dikucilkan, korteks singulat anterior berfungsi sebagai “sistem alarm” yang membuat otak menjadi waspada selama perasaan dikucilkan tersebut muncul. Hal ini menunjukkan bahwa saat seseorang merasa terkucil, badan orang itu bereaksi seperti saat dia merasakan sakit. Terkait dengan FoMO, orang merasa dia terkucil dari orang-orang lain, perasaan terkucil ini menimbulkan kecemasan dan distres saat dia tahu bahwa orang-orang lain beraktivitas bersama- sama, sedangkan dia tidak ikut (Lopera, 2016). Bagaimana sekarang jalan keluar dari FoMO? Kerapkali penyebab FoMO adalah ketidakbahagiaan hidup. Untuk menjadi bahagia, orang berusaha mencari kebahagiaan itu dari luar dirinya. Disarankan orang yang mengalami FoMO untuk menemukan kebahagiaan dari dalam dirinya. Memulai dengan diri sendiri, yaitu dengan memberikan Perhatian. Berikan perhatian lebih pada aktivitas sekolah, pada Membedah Anatomi Peradaban Digital — 351

aktivitas di rumah, atau di lingkungan. Artinya, mulailah menyibukkan diri dengan ikut dalam kegiatan di lingkungan sekolah seperti OSIS, olahraga, kegiatan sosial, yang membuat individu sibuk dalam dunia nyata. Penggunaan internet berlebihan akan menjurus ke kecanduan internet dimana orang yang kecanduan menjadi kurang atau tidak bisa berfungsi normal dalam kehidupan sehari-harinya. Kecanduan internet dapat menimbulkan kriminalitas di kala orang itu membutuhkan uang untuk dapat selalu online. Mencuri atau merampas uang dengan kekerasan sering dilakukan remaja agar selalu dapat terhubung dengan internet. Mengurung diri kamar, lupa makan, minum, dan tidur sehingga mengganggu kesehatan juga bagian dari orang yang kecanduan internet. Dalam beberapa studi ternyata orang-orang yang kesepian dan pemalu adalah calon dari pecandu internet. Sedangkan orang-orang yang lebih tangguh dapat melindungi dirinya sendiri dari kecanduan internet (Nitu, 2017; Terwase & Ibaishwa, 2014). Manusia hidup sejak kecil meniru perilaku orang yang ada di sekitarnya, baik yang riil maupun non-riil seperti yang ditampilkan dalam video atau film. Di banyak negara, termasuk Indonesia banyak anak dan remaja melakukan tindak kekerasan yang merupakan copycat dari apa yang sudah ditontonnya di layar. Semakin mirip tokoh yang ada di layar dengan dirinya, maka akan semakin mudah bagi pemirsanya untuk meniru langsung. Kemiripan itu antara lain dalam hal: warna kulit, warna rambut, jenis kelamin, umur, dan asal (orang se negara – orang asing). Di awal tahun 1990-an di mana internet masih belum berkembang, dan permainan game video belum merebak seperti sekarang, anak-anak dan remaja menonton televisi atau film di bioskop. Menonton tayangan TV yang penuh kekerasan, meskipun anak sebagai pemirsa pasif, ternyata dapat menimbulkan efek imitasi/meniru pada anak-anak (Wimbarti, 2002). Sekarang, anak tidak lagi sebagai pemirsa pasif dalam bermain game video, akan tetapi bermain langsung dan meleburkan dirinya sebagai tokoh dalam game video. Game video dengan judul yang sudah provokatif keras ini akan amat mudah di”reacting” kembali oleh pemainnya di dunia nyata: “Manhunt,” “Thrill Kill,” “Gears of War” dan “Mortal Kombat.” Adanya dampak bermain game video terhadap perilaku 352 — G.E.N.C.E.

kekerasan anak dan remaja mengakibatkan turunnya kemampuan prososial, empati dan keterlibatan moral dalam perilaku anak dan remaja. Anak menjadi seperti robot yang tanpa perasaan, kasar, yang akhirnya menggunakan cara keras untuk menyelesaikan masalah. Sebuah lingkaran kekerasan yang dipicu oleh menonton dan bermain game video keras. Dalam tesisnya akhir-akhir ini Prisca Anindya Dewi (2018) menemukan bahwa kecanduan bermain game video berkaitan erat dengan munculnya agresivitas pada remaja laki-laki. Namun demikian bila orangtua berperan aktif sebagai mediator anak dalam bermain game video, agresivitas anak dapat dihindari. Menilik banyaknya dampak negatif dari pemakaian internet yang tidak bijaksana menimbulkan pertanyaan yang menggelitik. Sebetulnya, bagaimana sih temperamen atau kepribadian dari orang- orang yang kecanduan internet? Kecanduan internet sendiri banyak dipertanyakan, apakah dampak pada orang yang kecanduan internet sama dengan kecanduan obat-obatan (narkoba) atau kecanduan sex? Kecanduan internet mempunyai karakteristik sebagai aktivitas yang terus menerus dengan dunia maya, tergantung berlebihan ke dunia maya, dengan disertai perubahan mood, kurang toleran, menarik diri dan sifatnya kambuhan (muncul kembali, kambuh). Kecanduan internet juga dianggap sebagai perilaku kecanduan seperti kecanduan menonton televisi, kecanduan game video, dan berjudi yang patologis (Lee & Jung, 2012). APA sendiri memasukkan diagnosis terkait penggunaan internet sebagai bermain game video online dan tidak berminat pada hal-hal lain; mengalami gangguan klinis atau distres sebagai akibat dari bermain game internet yang berlebih-lebihan; mengalami dampak negatif dalam kehidupan akademis maupun kerja karena tersitanya waktu untuk bermain video online atau game komputer; dan mengalami gejala menarik diri (withdrawl) bila tak bisa mendapatkan akses ke game online (APA, 2013). Yang termuat dalam DSM-5 tidak termasuk fenomena seperti orang yang menghabiskan banyak waktu dengan internet, masalah yang berkaitan dengan bermain game online atau banyak memakai media social seperti Facebook. Remaja yang bermasalah dalam penggunaan internet (Problematic Internet User = PIU) dibandingkan dengan remaja yang bermasalah dalam penggunaan obat-obatan (Problematic Drug Users = PDU) ternyata Membedah Anatomi Peradaban Digital — 353

mempunyai temperamen yang berbeda. Remaja yang bermasalah dalam penggunaan internet dalam kehidupan sosialnya ternyata lebih tidak sensitif dibandingkan dengan temannya yang bermasalah dalam penggunaan obat-obatan (Lee & Jung, 2012). Mereka yang kecanduan internet adalah orang-orang yang cenderung menghindari keadaan yang sulit, kurang bisa mengarahkan dirinya sendiri, kurang dapat menata hidupnya sendiri, dan kurang bisa diajak bekerjasama. Selanjutnya, pecandu internet ini juga dilaporkan mempunyai gen dan kepribadian yang mirip dengan pasien penderita depresi (Lee & Jung, 2012). Penutup Penggunaan internet yang merupakan jelmaan dari revolusi industri level 4 disikapi bermacam-macam oleh orangtua dan profesional (guru, dokter, psikolog dan sebagainya). Meskipun internet menunjukkan pengaruh yang positif bagi kemampuan kognitif manusia termasuk dalam kemampuan matematika, namun ternyata dampak negatifnya terhitung lebih banyak. Hal ini membutuhkan kewaspadaan bagi para penggunanya. Sebetulnya internet juga mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap kehidupan masyarakat, terutama media sosial. Terjadinya kesalahpahaman, terjadinya pengiriman berita palsu (hoax) melalui media sosial adalah dampak negatif dari penggunaan internet, yang berpotensi mempunyai daya rusak besar terhadap suatu bangsa. Sayang kajian tentang hoax ini tidak akan dilakukan di sini. Kenyataan bahwa penggunaan internet terutama game internet mempunyai daya rusak pada penggunanya, yang disejajarkan dengan kerusakan akibat kecanduan yang lain, maka keluarga, sekolah, dan institusi tempat kerja perlu melakukan deteksi dini dan mengupayakan pertolongan bagi anggotanya yang sudah kecanduan. FoMO perlu disikapi dengan bijak, karena adanya FoMO menunjukkan kehidupan yang tidak bahagia. Karena anak-anak pra remaja di Indonesia banyak yang telah menggunakan internet, maka pendampingan terhadap mereka perlu dipikirkan. Propaganda Kesehatan Mental di sekolah yang berkenaan dengan penggunaan internet bisa dikembangkan untuk prevensi kecanduan game internet. Ramdhani (2016) menyatakan bahwa terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy) seperti self 354 — G.E.N.C.E.

talk, dan mindfulness dapat dilatihkan untuk menambah kemampuan orang mengontrol dirinya terutama dalam penggunaan internet yang berlebihan. Daftar Referensi Abdullah, M. 2017. The Relationship between Internet Addiction and Temperament among Children and Adolescents. Psychol Behav Sci Int J. Volume 5 Issue 5. DOI: 10.19080/PBSIJ.2017.05.555674. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fifth edition DSM-5. Arlington. doi: 10.1176/appi.books.9780890425596.744053 Andreassen, C; Billieux, J; Griffiths, M; Kuss, D; Demetrovics, Z; Mazzoni, E; Pallesen, S. 2016. The Relationship between Addictive Use of Social Media and Video Games and Symptoms of Psychiatric Disorders: A Large-Scale Cross-Sectional Study. Psychology of Addictive Behaviors, Vol. 30, No. 2, 252–262 0893-164X/16/$12.00 http://dx.doi.org/10.1037/adb0000160. Dewi, P. 2018. Peran Adiksi Video Game Terhadap Agresivitas Yang Dimoderatori Oleh Persepsi Terhadap Mediasi Orangtua Pada Masa Anak-Anak Akhir Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Fuster, H; Chamarro, A; & Oberst, U. 2017. Fear of Missing Out, online social networking and mobile phone addiction: A latent profile approach. Aloma, 35(1), 23-30. Johnson, G. 2010. Internet Use and Child Development: Validation of the Ecological Techno-Subsystem. Educational Technology & Society, 13 (1), 176–185. Johnson, G., & Puplampu, P. 2008. A conceptual framework for understanding the effect of the Internet on child development: The ecological techno-subsystem. Canadian Journal of Learning and Technology, 34, 19-28. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 355

Lee, M; & Jung, In-Kwa. 2012. Comparisons of temperament and character between problematic internet users and problematic drug users in Korean adolescents. Open Journal of Psychiatry, 2, 228-234. http://dx.doi.org/10.4236/ojpsych.2012.23030 (http:// www.SciRP.org/journal/ojpsych/) Lopera, D. 2016. The Science Behind FOMO. Innovation: Princeton Journal of Science and Technology, 11 Mei. Lubis, M. 2017. Tren Baru di Kalangan Pengguna Internet di Indonesia. Nielsen Cross-Platform 2017. http://www.nielsen.com/id/en.html MacMillan, A. 2017. Why Instagram Is the Worst Social Media for Mental Health. Time Magazine, May 25. Nitu. 2017. Shyness as a Psychological correlates of Internet Addiction. International Journal of Education and Psychological Research (IJEPR) Volume 6, Issue 2. Posso, A. 2016. Internet Usage and Educational Outcomes among 15-Year-Old Australian Students. International Journal of Communication, 10, 3851–3876. Ramdhani. N. 2016. Game Internet dan Adiksi, Kontrol Dirikah Solusinya? Dalam Neila Ramdhani, Supra Wimbarti, dan Yuli Fajar Susetyo (Editor): Psikologi untuk Indonesia Tangguh dan Bahagia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terwase, J; & Ibaishwa, R. 2014. Resilience, Shyness and Loneliness as Predictors of Internet Addiction among University Undergraduate Students in Benue State. IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 9, Ver. III. Van Deventer, S. S., & White, J. A. 2002. Expert behavior in children’s video game playing. Simulation and Games, 33, 28-48. Wimbarti, S. 2002. Children’s Aggression in Indonesia: The Effects of Culture, Familial Factors, Peers, TV Violence Viewing, and Temperament. (Disertasi). Los Angeles: University of Southern California. 356 — G.E.N.C.E.

(2) Adiksi Internet Oleh Shelly Iskandar & Elvine Gunawan Pendahuluan Internet telah merevolusi dunia sejak ditemukan pertama kali tahun 1960-an. Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan internet bertumbuh dengan pesat dan menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia. Saat ini internet menjadi alat bantu utama untuk bekerja dan kegiatan sosialisasi sehingga tanpa disadari individu menghabiskan banyak waktu untuk menggunakan internet. Peningkatan angka penggunaan dan popularitas penggunaan internet ternyata menyebabkan konsekuensi positif dan negatif. Akhir-akhir ini, terdapat pertambahan jumlah laporan mengenai konsekuensi negatif dari penggunaan internet yang berlebihan.1,2 Perkembangan teknologi dan pola hidup tersebut menyebabkan adanya pengelompokan generasi. Individu yang lahir antara tahun 1977 dan 1997 (Generasi Y) disebut generasi milenial. Generasi Z (generasi net, gen I (internet), gen 911, atau gen M (multi tasking) adalah generasi yang lahir pada tahun 1990 dan awal tahun 2000. Generasi Z tumbuh dengan internet dan merupakan penerima langsung dari perkembangan teknologi modern. Individu yang termasuk dalam generasi ini tumbuh dengan komputer rumah, internet, video games, dan berbagai gadget lainnya. Oleh karena itu, secara asadar mereka menjadi tergantung terhadap internet, email, media sosial dan lainnya.2 Beberapa potensi penyalahgunaan internet selain adiksi (dengan perilaku ketergantungan dan toleransi yang tidak dapat dikontrol) adalah internet stalking, kekerasan seksual, perudungan, judi online, akses situs pornografi, sexting, dan masih banyak lagi.2 Berdasarkan banyaknya hal negatif yang dapat diakibatkan dari adiksi internet, maka perlu adanya pembahasan mengenai adiksi internet dan cara mengatasinya. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 357

Definisi Internet adiksi merupakan salah satu bentuk adiksi teknologi. Beberapa nama lainnya yaitu penyalahgunaan internet, gangguan adiksi internet, adiksi cyberspace, adiksi net, adiksi online, penggunaan internet patologis, high internet dependency. Hingga saat ini belum ada definisi pasti dari adiksi internet. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 5th edition (DSM-5), adiksi internet adalah kelompok dari adiksi non zat/kimia (perilaku) yang melibatkan interaksi manusia-mesin secara berlebihan. Beard menegaskan individu dengan adiksi internet adalah individu yang keadaan psikologisnya (termasuk sekolah, pekerjaan, dan interaksi sosial) mengalami hendaya karena penggunaan internet. Young mengelompokkan adiksi internet sebagai bagian dari spektrum gangguan obsesif kompulsif (dengan kehilangan pengenalan waktu), gejala withdrawal (marah, depresi, emosional) ketika tidak ada komputer atau internet, gejala toleransi (kebutuhan internet yang semakin bertambah dan peningkatan jumlah perangkat lunak) dengan variasi gejala tambahan seperti peningkatan kemarahan, rasa lelah, isolasi sosial, dan perilaku anti sosial seperti berbohong, mencuri, dan lainnya. Terdapat beberapa subtipe dari adiksi internet seperti bermain game secara berlebihan, preokupasi seksual, email, media sosial, dan lainnya.2,3 358 — G.E.N.C.E.

Epidemiologi Rentang epidemiologi dari adiksi internet atau penggunaan patologis beragam, rata-rata berkisar antara 1.5-8.2%.2 Pada tabel 1 didapatkan perbandingan epidemiologi dari adiksi internet.2,4 Tabel 1. Perbandingan Epidemiologi Adiksi Internet.2,4 Negara Persentase (%) Penggunaan “ambang” Inggris 8.2 18.1 Yunani 11 12.8 Korea Selatan 18.2 37.9 Hongkong 19.1 Belanda 3 - Norwegia 1.98 8.68 China 10.8 Turki 11.6 - Italia 36.7 Proses Neuronal Adiksi Internet Struktural Otak Berdasarkan penelitian pada adiksi terkait zat, adiksi berkembang melalui mekanisme habituasi di mana terjadi pengembangan menjadi perilaku adiksi yang mengarah kepada peningkatan pelepasan dopamin di jalur dopamin. Sebagai konsekuensi, individu tersebut menjadi kurang sensitif terhadap rewards normal (makanan, seks) dan pada akhirnya menyebabkan perubahan kimiawi otak yang mengarah kepada toleransi dan craving.3 Penelitian dalam bidang adiksi perilaku menunjukkan hipotesis serupa.5 Penelitian menunjukkan individu dengan adiksi internet memiliki peningkatan sensitivitas terhadap penghargaan dan penurunan sensitivitas terhadap hukuman dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian dengan menggunakan fMRI (functional magnetic resonance imaging) terhadap 16 individu adiksi internet dan 15 kontrol menunjukkan individu dengan adiksi internet memiliki peningkatan aktivitas girus frontal superior kiri pada saat menang Membedah Anatomi Peradaban Digital — 359

dibandingkan kelompok kontrol, seperti dapat dilihat pada gambar 1 dan 2. Penelitian ini menyimpulkan bahwa individu dengan adiksi internet memiliki peningkatan sensitivitas terhadap kemenangan dan mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi saat kalah dan menyangkal kekalahannya yang berdampak pada keberlanjutan terhadap penggunaan internet walaupun menghadapi konsekuensi negatif.5 Gambar 1. Area otak yang menunjukkan perbedaan individu dengan Adiksi Internet dibandingkan dengan kelompok kontrol saat menang. a: Individu dengan adiksi internet menunjukkan aktivasi girus frontal superior kiri yang lebih kuat dibandingkan kelompok kontrol saat menang. b: Gambar Beta dari girus frontal superior kiri saat menang dan kalah. Gambar menunjukkan perbedaan disebabkan peningkatan aktivitas otak pada individu dengan adiksi internet saat menang. Gambar 2. Area Otak yang menunjukkan perbedaan individu dengan Adiksi Internet dibandingkan dengan kelompok kontrol saat kalah. a: Individu dengan adiksi internet menunjukkan aktivasi girus frontal superior kiri yang lebih kuat dan penurunan aktivasi di Posterior Cingulate Cortex (PCC) dibandingkan kelompok kontrol saat kalah. b: Gambar Beta menunjukkan perbedaan pada girus frontal superior kiri disebabkan penurunan sinyal bold saat kalah pada kelompok kontrol. Perbedaan pada gambaran PCC disebabkan oleh penurunan aktivasi otak saat kalah pada individu dengan adiksi internet. 360 — G.E.N.C.E.

Individu dengan adiksi internet merupakan individu yang rentan dengan perilaku kekerasan. Beberapa bagian yang memegang peranan penting dalam perilaku agresi adalah korteks prefrontal dan sistem limbik yang juga merupakan bagian yang berhubungan dengan gangguan adiksi internet.6 Penelitian yang dilakukan oleh Zhou7 terhadap 18 remaja dengan menggunakan Voxel Based Morphometry (VBM) menunjukkan individu dengan adiksi internet memiliki gray matter density (GMD) yang lebih rendah di area korteks cingulate anterior kiri, korteks cingulate posterior kiri, insula kiri, dan girus lingual kiri, bagian otak yang diketahui memegang peranan penting pada perilaku adiksi.7 Penelitian lain dengan menggunakan VBM yang dilakukan oleh Yuan8 menunjukkan perubahan gray matter volume pada korteks prefrontal dorsolateral bilateral, supplementary motor area, dan korteks orbitofrontal yang berhubungan dengan durasi adiksi internet. Adiksi internet dapat menyebabkan perubahan struktur otak yang pada akhirnya berdampak terhadap disfungsi kronik. Penelitian yang dilakukan oleh Dong9,10 terhadap 15 orang individu dengan adiksi internet dan 15 kontrol dengan menggunakan fast stroop task menunjukkan bahwa individu dengan adiksi internet memiliki peningkatan aktivitas di korteks cingulate anterior dan penurunan aktivasi di korteks orbitofronral. Penelitian ini menyimpulkan adanya hendaya dalam kemampuan error-monitoring pada individu dengan adiksi internet. Neuromodulator Sistem dopamin mempengaruhi perilaku dan proses reward. Perilaku adiktif sering kali menunjukkan peningkatan kadar dopamin di nukleus akumbens. Penelitian pencitraan dengan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) yang dilakukan oleh Hou terhadap 5 orang individu dengan adiksi internet dan 9 kontrol sehat menunjukkan tingkat ekspresi DAT menurun secara signifikan pada individu adiksi internet, membuktikan adanya disfungsi sistem dopaminergik otak pada individu dengan adiksi internet.6,10,11 Membedah Anatomi Peradaban Digital — 361

Penelitian yang dilakukan oleh Liu di China terhadap 33 remaja menunjukkan adanya perbedaan tingkat dopamin pada darah perifer yang signifikan antara individu dengan adiksi internet dan kontrol (t=2.722, P<0.05) dan tingkat dopamin berhubungan secara signfikan dengan nilai Internet Addiction Test (r = 0.457, p<0.001), selain itu terdapat korelasi positif yang signfikan antara kadar dopamin plasma dengan waktu online (r=0.380, p<0.01).12 Selain dopamin, neurotransmiter yang berperan dalam adiksi adalah serotonin. Penelitian mengenai peranan serotonin terhadap adiksi internet belum banyak. Penelitian yang dilakukan oleh Lee (2008) menunjukkan adanya perbedaan homozygous short allelic variant of the serotonin transporter gene (SS-5HTTLPR) pada individu dengan adiksi internet. Sistem serotonergik juga berperan penting dalam memediasi reward, pilihan, ketergantungan, dan craving pada penyalahgunaan zat. 6,13 Neurotransmitter lain yang memiliki peranan adalah sistem anti kolinergik. Penelitian yang dilakukan oleh Montag14 menunjukkan adanya perbedaan nicotinic acetylcholine receptor subunit alpha 4 (CHRNA4) pada individu dengan adiksi internet dan kontrol. Diagnosis Hingga saat ini belum ada kriteria diagnosis dan alat/kuesioner untuk mendiagnosis pasti adiksi internet. Kriteria diagnosis merujuk kepada kriteria diagnosis secara umum. Beberapa kriteria umum yang digunakan sebagai landasan untuk menentukan adanya perilaku adiksi internet adalah perilaku kompulsif yang menonjol, merubah alam perasaan, hasil luaran perilaku negatif, terdapat toleransi, gejala withdrawal, konflik, relaps, dan berdampak terhadap kehidupan sosial, keuangan, dan pekerjaan.1-3 Beberapa alat dikembangkan untuk membantu diagnosis adiksi internet, salah satunya adalah Internet Addiction Scale (IAS), CHEN IAS, Brenner Internet-Related Addictive Behavior Inventory, Chinese Internet- Related Addictive Behavior Inventory Version II (C-IRABI-II), Goldberg Internet Addictive Disorder Scale, Pathological Internet Scale (Morahan- Martin), young Diagnostic Questionnaire.2 362 — G.E.N.C.E.

Pendekatan perilaku-kognitif yang dikembangkan oleh Davis, membedakan dua jenis penggunaan internet patologis, yakni Specific Pathological Internet Use (SPIU) dan Generalized Pathological Internet Use (GPIU). Selain itu untuk mengembangkan teori kognitif dari penggunaan internet patologis, diperkenalkan dua konsep seperi penyebab yang berkontribusi secara distal dan proksimal. Penyebab distal adalah psikopatologi yang mendasari (depresi, cemas, penyalahgunaan zat) dan penguatan perilaku (tersedia di internet sendiri melalui pengalaman dari fungsi baru dan cues situasional yang berkontribusi terhadap respon terkondisikan). Penyebab proksimal mungkin melibatkan kognisi maladaptif yang dipandang sebagai kondisi yang cukup potensi untuk mengarah pada GPIU dan SPIU dan juga menyebabkan serangkaian gejala yang terkait dengan penggunaan Internet patologis.3 Hal penting dalam mendiagnosis adiksi internet adalah membedakan antara adiksi internet dan penggunaan internet berlebih. Pada adiksi internet, harus didapatkan gejala utama dari perilaku adiksi, yaitu, perilaku kompulsif yang menonjol, perubahan mood, gejala toleransi, gejala withdrawal, konflik, relaps, dan gangguan fungsi. Individu dengan gangguan penggunaan internet berlebih hanya menunjukkan beberapa gejala perilaku adiksi. Selain itu gangguan fungsi pada penggunaan internet berlebih tidak seberat gangguan fungsi pada adiksi internet.3,4 Komorbiditas dan Konsekuensi Beberapa komorbiditas dari adiksi internet adalah Gangguan Pemusatan dan Perilaku Hiperaktivitas (GPPH), depresi, perilaku impulsivitas, gangguan cemas, fobia sosial, gangguan perilaku kompulsif, autism atau perilaku autistik, gangguan penyalahgunaan zat, adiksi cyber-sex, masalah judi, hostilitas, gangguan afektif bipolar, gangguan kepribadian, dan gangguan psikiatri lainnya.2,6 Terdapat hubungan yang kuat antara komorbiditas gangguan psikiatrik dengan adiksi internet sehingga mekanisme kontribusi penting untuk diketahui. Beberapa mekanisme terjadinya hubungan ini adalah (1) gangguan psikiatri berdampak, berkontribusi terhadap, Membedah Anatomi Peradaban Digital — 363

menyebabkan deteriorasi gejala atau perjalanan penyakit dari gangguan adiksi, (2) gangguan adiksi menyebabkan, berkontribusi, menyebabkan deteriorasi gejala atau perjalanan penyakit psikiatri, (3) gangguan psikiatri dan adiksi memiliki beberapa mekanisme biologi, psikologi, sosiologi yang serupa, (4) bebrapa faktor yang berhubungan dengan pengambilan sampel penelitian, penilaian, investigasi, desain penelitian, atau analisis hasil berpengaruh terhadap ketidaksesuaian estimasi berlebih dari komorbiditas.4 Beberapa konsekuensi dari adiksi internet adalah depresi, disfungsi keluarga (termasuk perceraian), performan akademi yang buruk, adiksi cyber sex, cemas, gangguan makan, mata kering dan iritasi, insomnia, masalah keuangan, nyeri kepala, insomnia, kondisi muskuloskeletal, isolasi sosial, perawatan diri buruk, penyalahgunaan zat, dan lain-lain.2,3 Penelitian yang dilakukan oleh Dong tahun 2013 menunjukkan individu dengan adiksi internet memiliki hendaya fleksibilitas kognitif dibandingkan kelompok kontrol, sama seperti pada kelompok dengan perilaku adiktif lainnya.15 Populasi Rentan : Remaja Remaja merupakan kelompok yang paling banyak menerima dampak dari perubahan teknologi yang menyedikan berbagai fasilitas seperi pendidikan, dunia hiburan, permainan, dan media sosialisasi. Terkadang remaja menggunakan internet sebagai salah satu cara untuk menghindari realitas kehidupan dan memasuki dunia fantasi yang mudah ditemukan di internet seperti perangkat lunak Second Life, World of War Craft, dan lainnya.2 Perubahan periode perkembangan menjadi remaja merupakan fase penting dalam perkembangan suatu perilaku adiksi. Pada masa remaja, hal yang penting adalah terdapat interaksi otak-perilaku- interaksi sosial. Hal yang penting adalah terdapat dua pembentukan neural network yaitu emosi atau afektif, yang berkembang lebih dahulu, lebih cepat, dan lebih intensif dibandingkan network kedua yaitu penilaian atau judgement, yang berpusat di sistem limbik subkortikal dan akan berperan dalam kontrol dan inhibisi dari reaksi emosi.2,16,17 364 — G.E.N.C.E.

Pada remaja, network emosi menunjukkan prevalensi struktural dan fungsional yang melebihi network judgement pada tahun-tahun awal fase remaja hingga usia 18 tahunan. Dominasi dari network emosi dimanifestasikan oleh hiperaktivitas sistem limbik, yang berdampak pada kecenderungan untuk mengambil tindakan berisiko, tanpa pertimbangan, tindakan berbahaya. Tahap perkembangan maturasi ini menunjukkan besarnya keterlibatan emosi pada pengambilan keputusan remaja, seperti dapat dilihat pada gambar 3.16-18 Fase anak menuju remaja Fase remaja menuju dewasa Gambar 3. Perbedaan Gray Matter Density (VBM) antar kelompok usia Terapi Farmakoterapi Pemberian terapi farmakoterapi terutama diberikan untuk mengatasi komorbiditas yang menyertai adiksi internet. Beberapa obat yang dapat digunakan adalah golongan antidepresan (escitalopram, citalopram, bupoprion), antipsikotik (olanzapine, quetiapine, quetiapine kombinasi dengan citalopram), antagonis receptor opioid (naltrexone 150 mg per hari kombinasi dengan sertraline), psikostimulan (methylphenidate), antagonis glutamate (memantine).19 Non farmakoterapi Beberapa terapi nonfarmakoterapi yang dapat dilakukan untuk adiksi internet adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT). CBT memiliki bukti yang cukup baik dalam tata laksana adiksi.19 Cognitive Behavioral Membedah Anatomi Peradaban Digital — 365

Therapy for Internet Addiction (CBT-IA) dapat dilakukan dengan dikombinasikan dengan Interaction of Person-Affect-Cognition- Execution (I-PACE).13,20 I-PACE merupakan model yang menjelaskan gejala adiksi internet dengan melihat interaksi antara kombinasi faktor predisposisi, moderator, mediator, dengan penurunan fungsi eksekutif dan hilanganya kemampuan mengambil keputusan pada individu dengan adiksi internet, seperti dapat dilihat pada gambar 4 dan gambar 5.13 Gambar 4. Model I-PACE13 366 — G.E.N.C.E.

Gambar 5. Integrasi elemen CBT-IA dengan Pendekatanmodel I-PACE13 Terapi lain yang efektif adalah multi family group therapy (MFGT). Penelitian yang dilakukan di China terhadap 92 orang menunjukkan bahwa 6 sesi MFGT membantu menurunkan adiksi internet dan proses maintenance therapy (100 versus 11.1%, p<0.001). Mekanisme yang mendasari efektivitas MFGT adalah peningkatan komunikasi, kelekatan, dan kedekatan antara orang tua dan anak, pemenuhan kebutuhan psikologis sebagai hasil peningkatan komunikasi dan kelekatan orangtua-anak. 21 Kesimpulan Internet memiliki banyak manfaat dalam membantu kehidupan manusia namun penggunaannya yang berlebihan dapat menimbulkan risiko untuk terjadinya adiksi yang akan menimbulkan gangguan proses berpikir dan perilaku. Deteksi dan penanganan adiksi internet perlu dilakukan secara dini untuk menghindari konsekuensi yang merugikan. *** Membedah Anatomi Peradaban Digital — 367

Daftar Pustaka 1. Kuss DJ, Griffiths MD, Karila L, Billieux J. Internet addiction: a systematic review of epidemiological research for the last decade. Curr Pharm Des. 2014;20(25):4026-52. 2. GreydanusDE,GreydanusMM.Internetuse,misuse,andaddiction in adolescents: current issues and challenges. International journal of adolescent medicine and health. 2012;24(4):283-9. 3. Pontes HM, Kuss DJ, Griffiths MD. Clinical psychology of Internet addiction: a review of its conceptualization, prevalence, neuronal processes, and implications for treatment. Neuroscience & Neuroeconomics. 2015;4:11-23. 4. Ko CH, Yen JY, Yen CF, Chen CS, Chen CC. The association between Internet addiction and psychiatric disorder: a review of the literature. European psychiatry : the journal of the Association of European Psychiatrists. 2012 Jan;27(1):1-8. 5. Dong G, Hu Y, Lin X. Reward/punishment sensitivities among internet addicts: Implications for their addictive behaviors. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2013 Oct 01;46:139-45. 6. Hahn C, Kim DJ. Is there a shared neurobiology between aggression and Internet addiction disorder? Journal of Behavioral Addictions. 2014 Mar;3(1):12-20. 7. Zhou Y, Lin FC, Du YS, Qin LD, Zhao ZM, Xu JR, et al. Gray matter abnormalities in Internet addiction: a voxel-based morphometry study. European journal of radiology. 2011 Jul;79(1):92-5. 8. Yuan K, Qin W, Wang G, Zeng F, Zhao L, Yang X, et al. Microstructure abnormalities in adolescents with internet addiction disorder. PloS one. 2011;6(6):e20708. 9. Dong G, Shen Y, Huang J, Du X. Impaired error-monitoring function in people with Internet addiction disorder: an event- related fMRI study. European addiction research. 2013;19(5):269- 75. 10. Zhu Y, Zhang H, Tian M. Molecular and functional imaging of internet addiction. BioMed Research International. 2015;2015:378675. 368 — G.E.N.C.E.

11. Hou H, Jia S, Hu S, Fan R, Sun W, Sun T, et al. Reduced Striatal Dopamine Transporters in People with Internet Addiction Disorder. Journal of Biomedicine and Biotechnology. 2012;2012. 12. Liu M, Luo J. Relationship between peripheral blood dopamine level and internet addiction disorder in adolescents: a pilot study. International journal of clinical and experimental medicine. 2015;8(6):9943-8. 13. Young KS, Brand M. Merging Theoretical Models and Therapy Approaches in the Context of Internet Gaming Disorder: A Personal Perspective. Frontiers in psychology. 2017;8:1853. 14. Montag C, Kirsch P, Sauer C, Markett S, Reuter M. The role of the CHRNA4 gene in Internet addiction: a case-control study. Journal of addiction medicine. 2012 Sep;6(3):191-5. 15. Dong G, Lin X, Zhou H, Lu Q. Cognitive flexibility in internet addicts: fMRI evidence from difficult-to-easy and easy-to-difficult switching situations. Addictive behaviors. 2014 Mar;39(3):677-83. 16. Chwedorowicz R, Skarżyński H, Pucek W, Studziński T. Neurophysiological maturation in adolescence – vulnerability and counteracting addiction to alcohol. Annals of Agricultural and Environmental Medicine. journal article. 2017;24(1):19-25. 17. Dahl RE. Biological, developmental, and neurobehavioral factors relevant to adolescent driving risks. American journal of preventive medicine. 2008 Sep;35(3 Suppl):S278-84. 18. Ernst M, Korelitz KE. Cerebral maturation in adolescence: behavioral vulnerability. L’Encephale. 2009 Dec;35 Suppl 6:S182- 9. 19. Przepiorka AM, Blachnio A, Miziak B, Czuczwar SJ. Clinical approaches to treatment of Internet addiction. Pharmacological reports : PR. 2014 Apr;66(2):187-91. 20. Young KS. Treatment outcomes using CBT-IA with Internet- addicted patients. Journal of Behavioral Addictions. 2013 Dec;2(4):209-15. 21. Liu QX, Fang XY, Yan N, Zhou ZK, Yuan XJ, Lan J, et al. Multi- family group therapy for adolescent Internet addiction: exploring the underlying mechanisms. Addictive behaviors. 2015 Mar;42:1- 8. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 369

(3) Gangguan Kecanduan Internet Oleh Nugraha P. Utama PEMBUKAAN Perkembangan teknologi internet sudah kita akui dan rasakan mampu mengubah wajah dunia menjadi lebih dinamis dan penuh warna. Sesuatu yang booming saat ini, dalam hitungan bulan, atau bahkan hari dapat menjadi sesuatu yang sudah dilupakan, atau sebaliknya, hal-hal baru muncul bagai cendawan di musim hujan. Oleh karena sifatnya yang dinamis tinggi inilah yang membuat teknologi internet ini memaksa manusia untuk selalu dinamis, beradaptasi dengan kondisi yang selalu berubah. Segala kemudahan bias didapatkan dari berkembangnya teknologi internet ini. Ingin kirim surat, e-mail jauh lebih cepat daripada post-mail. Saat malas keluar rumah, dengan membuka aplikasi di smartphone yang terhubung internet, dalam hitungan jam atau bahkan menit kita sudah dapat mendapatkan makanan hangat di depan mata. Akibat teknologi internet ini, dunia ibarat dalam genggaman, berbagai kemudahan yang didapat membuat tingkat ketergantungan manusia terhadap teknologi internet semakin tinggi. Saat ini, isu sosial yang diakibatkan oleh pemakaian internet secara berlebihan menjadi bahan perdebatan di seluruh dunia. Internet Addiction Disorder (IAD) atau dalam bahasa Indonesia kita terjemahkan bebas sebagai adiksi atas penggunaan internet, ternyata dapat menyebabkan permasalahan dalam otak kita, gangguan psikologi, serta permasalahan sosial, yang dampaknya dapat menghancurkan hidup manusia. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Weinstein et.al 2010 (Weinstein & Lejoyeux, 2010)terhadap para pengguna internet di Eropa dan Amerika Serikat, ditemukan bahwa IAD memiliki tingkat kelaziman antara 1.5% hingga 8.2% dari total pengguna internet di 370 — G.E.N.C.E.

kawasan tersebut. Untuk kawasan Asia, diwakili oleh penelitian di 6 kawasan; China (879 responden), Hongkong (839 responden), Jepang (744 responded), Korea Selatan (936 responden), Malaysia (969 responden), dan Philippines (999 responden), terhadap remaja berusia 12 -18 tahun, ditemukan bahwa kawasan-kawasan di Asia ini lebih rawan terhadap permasalahan IAD. Dari hasil data, didapati bahwa remaja sebagian besar mengakses internet dari rumah masing- masing; Jepang (96%), Hongkong (91.5%), Korea Selatan (86.3%), Malaysia (78.5%), dan Philippines (19.4%). Selain di rumah, mereka juga mengakses internet di tempat umum, sekolah perpustakaan, dan rumah teman. Terkait dengan aktivitas yang para remaja lakukan saat mengkases internet, mereka sebagian besar menggunakan internet untuk melihat email, jejaring sosial, browsing, dan bermain game online (Mak et al., 2014). Beberapa hasil penelitian mencoba untuk menjawab persoalan terkait dengan IAD, mulai dari definisi IAD, klasifikasi IAD, bagaimana mendiagnosa IAD, bagaimana IAD bisa terjadi dan bagaimana kita bisa mengontrolnya, dan apa yang membedakan IAD dengan adiksi yang lain (Beard, 2005; Byun et al., 2009; Chou, Condron, & Belland, 2005; Wolfling, Buhler, Lemenager, Morsen, & Mann, 2009), dan ada juga beberapa penelitian yang fokus bagaimana mengatasi atau menangani IAD (Laura Widyanto & Griffiths, 2006; Petersen, Weymann, Schelb, Thiel, & Thomasius, 2009; Peukert, Sieslack, Barth, & Batra, 2010). Dan tulisan ini berusaha untuk merangkum hasil penelitian yang sudah dicapai, sehingga kita memiliki gambaran yang lebih jelas tentang IAD. KLASIFIKASI Sebenarnya masih banyak perdebatan yang terjadi dalam menentukan cara terbaik dalam mengklasifikasikan perilaku yang dicirikan dengan waktu yang dihabiskan di depan computer/internet/video games yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. (Czincz & Hechanova, 2009). Perilaku yang diikuti dengan adanya perubahan suasana hati (mood), keasyikan yang berlebihan dengan internet dan media dijital, ketidakmampuan untuk mengendalikan waktu yang dipakai untuk bermain teknologi dijital, diperlukannya waktu yang semakin lama Membedah Anatomi Peradaban Digital — 371

atau jenis permainan dijital baru untuk mengambalikan suasana hati, gejala untuk mengucilkan diri ketika tidak bermain dengan dijital teknologi, dan keberlanjutan perilaku ini dapat mengakibatkan berbagai macam permasalahan mulai dari konflik dalam keluarga, terganggunya pekerjaan ataupun kegiatan belajar-mengajar, hingga hilangnya kehidupan sosial (Beard, 2005; YOUNG., 2009). Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan internet yang berlebihan adalah salah satu ciri dari penyakit mental yang lain seperti ketakuan (anxiey) atau depresi, bukan penyakit mental yang berbeda, misalkan yang hasil penelitian yang ditulis oleh Kratzer dan rekan (Kratzer & Hegerl, 2008). Adiksi Internet juga dapat dianggap sebagai gangguan kontrol secara impulsif. Namun masih ada konsensus yang berkembang mengkategorikan gejala ini sebagai adiksi (Grant, Potenza, Weinstein, & Gorelick, 2010). American Society of Addiction Medicine (ASAM) baru-baru ini merilis definisi baru tentang adiksi sebagai penyakit yang berkaitan dengan otak kronis, yang secara resmi mengusulkan pertama kalinya bahwa adiksi tidak terbatas hanya pada penggunaan obat-obatan atau zat adiktif lainnya (ASAM, 2011). Semua kecanduan, entah kimiawi atau perilaku, memiliki karakteristik tertentu yang dominan, seperti penggunaan yang berlebihan hingga kehilangan kendali atasnya, suasana hati yang berubah-ubah, berkurangnya toleransi, pengucilan diri, dan kelanjutannya yang memiliki dampak negatif. KARAKTERISTIK DIAGNOSA UNTUK IAD Proposal serius pertama untuk kriteria diagnostik diajukan pada tahun 1996 oleh Dr. Young, memodifikasi kriteria DSM-IV terkait dengan kecanduan judi (Chakraborty, Basu, & Vijaya Kumar, 2010). Sejak itu, berbagai variasi nama dan penentuan kriteria telah diajukan untuk dapat merepresentasikan masalah yang saat ini dikenal dengan istilah Internet Addiction Disorder (IAD). Problematic Internet Use (PIU) (Davis, 2001), adiksi komputer, ketergantungan internet (Dowling & Quirk, 2009), Penggunaan internet yang berlebihan (Caplan, 2002), dan beberapa sebutan lainnya dapat ditemukan dalam berbagai tulisan. Demikian juga berbagai kriteria yang sering tumpang tindih 372 — G.E.N.C.E.

telah diajukan dan dipelajari, dan beberapa di antaranya telah berhasil divalidasi. Akan tetapi, beberapa penelitian secara empiris masih memberikan seperangkat kriteria yang tidak konsisten dalam mendefinisikan adiksi internet ini (Byun et al., 2009; Winkler, Dorsing, Rief, Shen, & Glombiewski, 2013). Beard (Beard, 2005) merekomendasikan lima kriteria dasar untuk mendiagnosa kecanduan internet: (1)Ianya disibukkan oleh internet (memikirkan aktivitas online sebelumnya atau mengantisipasi sesi online berikutnya); (2) Penggunaan internet dengan jumlah waktu yang meningkat untuk merasa puas; (3) Gagal untuk mengendalikan, mengurangi, atau menghentikan penggunaan Internet; (4) Ianya gelisah, murung, depresi, atau mudah tersinggung saat mencoba mengurangi atau menghentikan penggunaan internet; (5) Terhubung atau melakukan kegiatan online lebih lama dari yang semula direncanakan. Selain itu, setidaknya satu dari kriteria berikut ini harus ada: (6) Membahayakan atau mempertaruhkan kehilangan hubungan, pekerjaan, pendidikan, atau kesempatan karir yang penting demi internet; (7) Telah berbohong kepada anggota keluarga, terapis, atau orang lain untuk menutupi tingkat penggunaan internet; (8) Menggunakan Internet sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau menghilangkan suasana dysphoric (mis., Perasaan tidak berdaya, rasa bersalah, cemas, depresi) (Beard, 2005). Saat ini ada beberapa alat penilaian yang telah dikembangkan untuk mengevaluasi IAD, antara lain Young’s Internet Addiction Test (Young, 1998), the Problematic Internet Use Questionnaire (PIUQ) yang dikembangkan oleh Demetrovics, Szeredi, and Pozsa (Demetrovics, Szeredi, & Rozsa, 2008) dan the Compulsive Internet Use Scale (CIUS) (Meerkerk, Van Den Eijnden, Vermulst, & Garretsen, 2009). PREVALENSI Tingkat prevalensi atau tingkat jumlah kasus terkait IAD saat ini sangat bervariasi, menurut hasil penelitian oleh Chakraborty dan koleganya (Chakraborty et al., 2010), didapati bahwa tingkat prevalensi IAD Membedah Anatomi Peradaban Digital — 373

memiliki nilai varian yang sangat tinggi, nilai prevalensi IAD berada diantara 0.3% dan 38%. HAsil penelitian yang dilakukan oleh Weinstein dan Lejoyeux (Weinstein & Lejoyeux, 2010) didapati bahwa untuk Amerika Serikat dan Eropa, tingkat prevalensi IAD sangat bervariasi antara 1.5% dan 8.2%, bahkan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Young dan de Abreu (Young & Abreu, Oct2010) menyebutkan bahwa nilai prevalensi IAD di Amerika Serikat dan Eropa bervariasi diantara 6% dan 18.5%. Hasil-hasil tersebut memberikan gambaran nyata, bahwa hingga saat ini kita masih belum memiliki standard baku atas prosedur pengkategorian IAD yang dapat diberlakukan disemua Negara, atau kita juga dapat mengatakan bahwa faktor budaya sangat berpengaruh pada pengkategorian IAD, sehingga nilai prevalensi yang didapatkan sangat bervariasi di setiap Negara. Selain itu, penelitian dilakukan berdasarkan hasil survei online yang sangat mungkin tidak mempresentasikan keadaan yang sesuangguhnya (Peukert et al., 2010). PEMODELAN Untuk merumuskan suatu permasalahan yang menyangkut kesehatan mental, terdapat beberapa model yang berkembang dalam merumuskan adiksi internet, antara lain: • Cognitive-behavioral model of problematic Internet use atau model kognitif-perilaku penggunaan Internet bermasalah (Davis, 2001), • The anonymity, convenience and escape (ACE) model atau model anonimitas, kenyamanan dan pelarian (Young, Griffin- shelley, Cooper, O’Mara, & Buchanan, 2000), • The access, affordability, anonymity (Triple-A) engine atau akses, keterjangkauan, anonimitas (Cooper, Putnam, A. Planchon, & C. Boies, 1999), • A phases model of pathological Internet use atau model bertahap untuk penggunaan Internet patologis yang dikembangkan oleh Grohol (Grohol, 1999 (updated 2016)), 374 — G.E.N.C.E.

• A comprehensive model of the development and maintenance of Internet addiction atau model komprehensif pengembangan dan pemeliharaan kecanduan internet oleh Winkler & Dörsing (Winkler et.al., 2013), yang mempertimbangkan faktor sosial budaya (misalnya, faktor demografi, akses dan penerimaan Internet), kerentanan biologis (misalnya faktor genetik, kelainan pada proses neurokimia), kecenderungan psikologis (misalnya, karakteristik kepribadian, pengaruh negatif), dan atribut spesifik Internet untuk menjelaskan “keterlibatan berlebihan dalam aktivitas internet “ (Winkler et al., 2013). KEKACAUAN NEUROBIOLOGIS Telah diketahui bahwa kecanduan mengaktifkan bagian-bagian otak yang terkait dengan kesenangan, atau yang dikenal bersama sebagai “reward center (pusat penghargaan)” atau “pleasure pathway (jalur kesenangan)” di otak (Linden, 2011; Maté, 2010). Ketika bagian-bagian otak ini teraktifkan, maka pelepasan dopamin bersamaan dengan opiat dan bahan kimia saraf lainnya meningkat. Seiring waktu, reseptor terkait akan terpengaruh, rasa senang yang pertama kali dirasa saat melakukan aktivitas yang mengaktifkan pusat penghargaan di otak semakin berkurang, akibatnya terjadilah toleransi otak dimana diperlukan aktivitas yang intensitasnya lebih untuk menghasilkan rasa senang seperti yang dirasa pertama kali. Diperlukannya aktivitas yang semakin meningkat seiringnya waktu inilah yang menyebabkan adiksi, dan peningkatan aktivitas ini juga selanjutnya diperlukan untuk menghindari perilaku menarik diri (withdrawal). Selain itu, penggunaan internet juga dapat menyebabkan pelepasan dopamin secara khusus di bagian nucleus accumbens, yang merupakan bagian pusat penghargaan yang secara khusus terlibat dalam kecanduan lainnya (Bai, Lin & Chen, 2001; Ko et al., 2009). DUKUNGAN DAN PENGHARGAAN Apa manfaat penggunaan internet dan video game sehingga bisa menyebabkan kecanduan? Teorinya adalah para pengguna internet menjadi kecanduan karena mereka memperoleh berbagai Membedah Anatomi Peradaban Digital — 375

penghargaan saat mereka menggunakan berbagai aplikasi computer, baik penghargaan yang bersifat nyata ataupun yang bersifat maya. Apapun jenis aplikasi dijital yang digunakan, seperti internet browsing, chat room, video game, SMS, cloud game, pornografi, dll., semua kegiatan ini dapat menyebabkan rasa penghargaan dan rangsangan dengan tingkatan yang berbeda dan bervariasi (Young & Abreu, Oct2010). Rasa penghargaan dan rangsangan ini akan semakin meningkat jika digabungkan dengan konten yang meningkatkan mood, misalkan rangsangan seksual dari kegiatan melihat pornografi, memperoleh penghargaan sosial semisal menjadi superhero dalam video game, fantasi yang romantis di situs kencan, bahkan keuntungan finansial dari situs poker online (Amichai-Hamburger & Ben-Artzi, 2003). KECENDERUNGAN SECARA BIOLOGIS Ada beberapa hasil penelitian yang menemukan bahwa faktor genetik berpengaruh pada kecenderungan terjadinya perilaku adiktif (Eisen et al., 1998; Grant, Brewer, & Potenza, 2006). Sejauh ini, secara teori kita dapat dikatakan bahwa mereka yang berkecenderungan untuk berperilaku adiktif memiliki jumlah reseptor dopamin/serotonin yang kurang atau jumlah serotonin/dopamin yang mereka miliki lebih sedikit dibandingkan dengan mereka tanpa kecenderungan adiktif (Beard, 2005). Dengan sedikitnya produksi hormon serotonin/dopamin ataupun sedikitnya jumlah reseptor untuk hormon ini, mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk merasakan tingkat kenikmatan yang setara dengan tingkat kenikmatan yang diperoleh kebanyakan individu saat melakukan aktivitas yang sama. Oleh karenanya, untuk meningkatkan kesenangan, individu-individu yang berkecenderungan adiktif ini membutuhkan perangsangan dopamin/serotonin yang lebih besar dari rata-rata orang tanpa kecenderungan adiktif, sehingga mereka ini memiliki resiko kecanduan yang lebih tinggi. GANGGUAN KESEHATAN MENTAL Para peneliti masih belum secara jelas menjawab, mana yang lebih dahulu antara gangguan mental dengan kecanduan (seperti IAD), tapi 376 — G.E.N.C.E.

mereka dengan mudah dapat mengatakan bahwa banyak gangguan mental akan terjadi bersamaan dengan terjadinya kecanduan seperti misalnya IAD. Jadi efek sebab-akibat antara gangguan mental dan kecanduan masih dalam tahap perdebatan (Dong, Lu, Zhou, & Zhao, 2011; Kratzer & Hegerl, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Dong et al. (Dong et al., 2011) sedikit menjawab perdebatan yang terjadi ini, dilaporkan bahwa menurut hasil penelitian mereka, didapati bahwa nilai depresi, kecemasan permusuhan, sensitivitas interpersonal, dan psikotisme adalah akibat atau konsekuensi dari IAD. Akan tetapi hasil penelitian ini masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian lebih mendalam untuk benar-benar dapat menyimpulkan dengan pasti. PENGOBATAN BAGI KECANDUAN INTERNET Ada konsensus atau pendapat umum dari para peneliti yang menyimpulkan bahwa pelarangan total menggunakan internet untuk para IAD jangan menjadi tujuan dalam proses intervensi penyembuhan orang dengan IAD. Yang menjadi tujuan utama dari proses penyembuhan ini dalah tercapainya keseimbangan dan kendali atas penggunanaan internet dengan media dijital yang digunakan. Misalkan jika orang dengan IAD memiliki kecanduan aplikasi media sosial seperti facebook, maka orang dengan IAD ini tetap boleh menggunakan internet untuk melakukan kegiatan dijital lainnya, dengan catatan bahwa penggunaan media sosial tersebut harus dibatasi dan diawasi dengan benar (Petersen et al., 2009). Terdapat beberapa cara intervensi untuk penyembuhan orang dengan IAD yang berkembang saat ini. Proses penyembuhan orang dengan IAD dapat dilakukan dengan intervensi obat-obatan, akan tetapi sangat disayangkan bahwa penelitian terhadap kefektifan penyembuhan melalui obat-obatan memiliki kualitas metodologi yang rendah dikarenakan seringnya menggunakan metoda penelitian intra-kelompok. Mengacu kepada buku karya Young “Internet Addiction: Symptoms, Evaluation, and Treatment” (KS, 1999), ada beberapa strategi penyembuhan yang diturunkan dari metoda pendekatan perilaku-kognitif, yaitu: Membedah Anatomi Peradaban Digital — 377

i. Penjadualan aktivitas yang mengganggu proses penggunaan internet; dimana kita harus memetakan jadual penggunaan internet dari orang dengan IAD dahulu, lalu dibuatlah jadual baru yang menganggu aktivitas penggunaan internet tersebut. ii. Menggunakan metoda stopper eksternal; yang mana kita melakukan satu aktivitas atau membuat suatu kejadian yang membuat orang dengan IAD untuk log off. iii. Membuat goal atau batasan waktu penggunaan internet. iv. Menjauhkan diri dari aplikasi dijital tertentu yang menjadi sumber kecanduan. v. Menggunakan kartu pengingat; yang mengingatkan orang dengan IAD akan bahaya dari IAD dan manfaatnya jika sembuh dari IAD. vi. Mengembangkan inventaris aktivitas pribadi yang dapat melibatkan orang dengan IAD atau membuat inventaris aktivitas pribadi yang mana saat ini tidak dapat dilakukan karena tidak ada waktu akibat dari IAD vii. Bergabung dengan grup yang mendukung penyembuhan IAD, sebagai kompensasi atas kurangnya dukungan sosial. viii. Terlibat dalam terapi keluarga; memetakan permasalahan hubungan dalam keluarga. Sayangnya dalam buku tersebut, bukti secara klinis atas efektivitas strategi di atas tidak dipaparkan dengan jelas. a. Pendekatan-pendekatan non-psikologis Meskipun belum ada penelitian medis tentang keefektifan perawatan farmakologis untuk IAD, ada beberapa hasil penelitian yang membahas tentang penggunaan obat-obatan untuk proses penyembuhan orang dengan IAD. Penggunaan obat-obatan dalam proses penyembuhan ini, terutama selective serotonin-reuptake inhibitors (SSRIs) atau dalam bahasa Indonesia disebut penghambat ambilan kembali serotonin secara selektif, diketahui efektif berdasarkan beberapa hasil penelitian dalam menangani depresi dan kecemasan, yang mana depresi dan kecemasan ini merupakan gangguan mental yang terkait dengan IAD (Atmaca, 378 — G.E.N.C.E.

2007; Huang, Li, & Tao, 2010; Wieland, 2005). Dalam penelitian medis yang dilakukan oleh Dell’Osso dan rekan (Dell’Osso et al., 2008) dengan menggunakan Escitalopram (SSRI) untuk merawat 14 subjek dengan gangguan penggunaan internet impulsif-kompulsif, ditemukan bahwa penggunaan internet menurun secara signifikan dari rata-rata 36,8 jam / minggu menjadi 16,5 jam / minggu. Dalam penelitian yang lain oleh Han, Hwang, dan Renshaw (Han, Hwang, & Renshaw, 2010), dinyatakan bahwa keinginan untuk bermain video game di internet, total waktu bermain di internet, dan juga sinyal aktivitas otak di daerah prefrontal dorsolateral korteks saat dirangsang menunjukan penurunan dibandingkan sebelum dilakukan pengobatan dengan bupropion yaitu obat antidepresan yang non- trisiklik. Dalam penelitian tersebut juga dinyatakan bahwa lama periode pengobatan dengan bupropion ini dilakukan selama enam minggu secara berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan oleh Han dan koleganya (Han et al., 2009) untuk menyembuhkan 62 anak dengan gangguan Attention Defisit and Hiperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan hiperaktif dan perhatian-defisit yang kecanduan video-game online, didapati bahwa setelah proses penyembuhan menggunakan Methylphenidate yang merupakan jenis obat yang biasa digunakan untuk mental-stimulan selama delapan minggu, didapati bahwa waktu anak-anak tersebut untuk mengakses internet berkurang secara signifikan dibandingkan sebelum pengobatan, hal ini juga didukung oleh turunnya nilai Young’s Internet Addiction Scale (YIAS-K) setelah pengobatan dibandingkan sebelum pengobtan. Berdasarkan hasil tersebut, penulis menyarankan bahwa methylphenidate ini mungkin dapat juga digunakan untuk diterapkan dalam proses penyembuhan orang dengan IAD. Penelitian lain oleh Shapira dan rekan (Shapira, Goldsmith, Keck, Khosla, & McElroy, 2000) ditemukan bahwa obat- obatan penstabil mood ternyata berguna untuk memperbaiki gejala IAD. Selain penelitian di atas, ada beberapa laporan kasus pasien yang diobati dengan kombinasi escitalopram (SSRI) (Sattar & Ramaswamy, Dec 2004), citalopram (SSRI)-quetiapine (antipsikotik) (Atmaca, 2007) dan naltrexone (anti opioid reseptor) (Bostwick & Bucci, 2008). Selain itu, beberapa peneliti juga menyebutkan bahwa berkurangnya level dopamine akibat berkurangnya aktivitas online Membedah Anatomi Peradaban Digital — 379

dapat diganti dengan melakukan latihan fisik. Selain itu, latihan fisik secara berkelompok yang biasa diterapkan dalam terapi-kelompok perilaku-kognitif diketahui banyak membantu proses penyembuhan orang dengan IAD (Zhang, 2009). b. Pendekatan secara psikologis Motivational Interviewing (MI) atau wawancara motivasi adalah suatu metoda dengan teknik wawancara yang berpusat pada klien, yang diarahkan untuk meningkatkan motivasi dalam diri dengan mengeksplorasi dan mengatasi keragu-raguan klien (W. R. Miller & Rollnick, 2002). MI menggunakan teknik interview seperti pertanyaan terbuka, mendengarkan perasaan klien, dukungan positif, dan refleksi diri secara umum untuk membantu individu memahami atau mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap perubahan (N. H. Miller, 2010), dan MI ini dikembangkan untuk membantu individu melepaskan perilaku adiktif dengan mempelajari keterampilan perilaku yang baru. Sayangnya, data penelitian yang membahas keampuhan MI dalam mengobati IAD masih sangat kurang. Untuk saat ini metoda MI ini cukup efektif dalam menangani kasus-kasus adiksi yang terkait dengan alkohol, obat-obatan, dan kesulitan untuk olahraga dan pengaturan pola makan (dieting) (Burke, Arkowitz, & Menchola, 2003). Meskipun belum adanya kontrol studi yang mengulas seberapa efektif intervensi anggota keluarga untuk meningkatkan motivasi pengguna internet untuk mengurangi penggunaannya, tapi hasil postif dari intervensi anggota keluarga dalam mengurangi penggunaan internet didapati dalam penelitian yang dilakukan oleh Peukert dan rekan (Peukert et al., 2010) Selain itu, dari sisi pendekatan psikologis juga dikenal metoda Reality Therapy (RT) atau terapi realitas yang bertujuan untuk mendorong individu agar mereka memilih untuk memperbaiki hidup mereka dengan cara melakukan perubahan perilakunya. Di dalam terapi ini, tercakup sesi yang menunjukkan kepada individu bahwa kecanduan adalah pilihan, dan mereka adalah penentunya. Dalam terapi ini, individu diberi pelatihan tentang manajemen waktu, selain 380 — G.E.N.C.E.

juga memperkenalkan aktivitas alternatif sebagai pengganti aktivitas yang sebelumnya menjurus pada perilaku bermasalah. Menurut Kim (Kim, Spring2007), RT ini dapat dikatan sebagai alat utama dalam pemulihan kecanduan seperti obat-obatan, seks, gila makan, dan gila kerja, termasuk untuk kecanduan internet. Dalam program konseling berkelompok yang dipandu oleh Kim (Kim, Spring2008), dilaporkan bahwa program tersebut yang dilakukan secara insentif dan berkelanjutan, mampu mengurangi tingkat kecanduan sekaligus meningkatkan harga diri dari 25 mahasiswa dengan IAD di Korea Selatan. Selain itu, dari sisi pendekatan psikologis, juga didapati metoda lain yang disebut Acceptance and Commitment Therapy (ACT) yang merupakan sebuah protokol yang berisi latihan-latihan yang disesuaikan dengan permasalahan tiap individu. Penelitian yang dilakukan oleh Twohig dan Crosby dengan menggunakan ACT menyatakan bahwa mereka berhasil mengurangi prosentase waktu penderita dengan kecanduan pornografi dalam melihat konten pornografi sebanyak 85% (Twohig & Crosby, 2010). Dan pengurangan waktu dalam mengakses konten pornografi sebanyak 85% dibandingkan sebelum terapi ini bertahan hingga masa studi, yaitu 3 bulan pasca penelitian. Menurut Widyanto dan Griffith (Laura Widyanto & Griffiths, 2006) disebutkan bahwa untuk saat ini, sebagian besar perawatan untuk menangani kasus adiksi atau kecanduan merupakan modifikasi yang bersumber dari pendekatan perilaku-kognitif. Cognitive- Behavioral Therapy (CBT) atau terapi perilaku-kognitif dikenal sangat berhasil untuk menangani kasus adiksi yang terkait dengan perilaku ataupun adiksi yang terkait dengan gangguan pada control diri sesaat, seperti gila judi, gila belanja, dan penyakit bulimia nervosa yang selalu memuntahkan makanan setelah ditelan (de Abreu & Góes, 2007). Di dalam penelitiannya, Young merawat 114 orang dengan IAD dengan menggunakan metoda CBT, dan dilaporkan bahwa metoda CBT ini mampu meningkatkan kemampuan peserta rawat dalam mengelola permasalahan mereka, yang ditunjukkan dengan meningkatnya motivasi untuk berhenti menyalahgunakan internet, meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan penggunaan Membedah Anatomi Peradaban Digital — 381

komputer mereka, meningkatnya kemampuan sosial secara nyata atau offline, meningkatnya kemampuan untuk menjauhkan diri dari materi pornografi online, meningkatnya kemampuan bersosialisasi dan beraktivitas nya, dan meningkatnya kemampuan dalam mengontrol ketenangan terhadap aplikasi yang menjadi masalahnya. Hasil lain yang dilaporkan oleh Cao, Su dan Gao (CAO, SU, & GAO, 2007)terhadap 29 siswa sekolah menengah dengan IAD dengan menggunakan metoda CBT dalam kelompok, ditemukan bahwa setelah perawatan, nilai Chen-Internet Adicction Scale (CIAS); salah satu alat uji yang digunakan untuk menentukan seberapa tinggi tingkat IAD, ternyata lebih rendah pada peserta rawat dibandingkan nilai CIAS pada kelompok kontrol. Selain itu, disebutkan juga bahwa setelah perawatan para peserta rawat didapati menjadi lebih baik pada fungsi perilaku psikologis mereka. Penelitian serupa terhadap 38 delapan remaja dengan IAD dengan menggunakan metoda CBT gubahan Li dan Dai, yang dimodifikasi khusus untuk menanggulangi remaja dengan IAD , didapati bahwa setelah perawatan, kelompok peserta rawat memiliki nilai CIAS pada aspek depresi, kecemasan, kompulsif, menyalahkan diri sendiri, ilusi, dan mengurung diri, menurun secara signifikan. Komparasi studi yang dilakukan oleh Zhu, Jin, dan Zhong (Zhu, Jin, & Zhong, 2009) yang membandingkan CBT dengan elektro akupunktur-CBT (EA-CBT) pada 47 pasien dengan IAD yang dibagi dalam 2 kelompok tersebut, menyatakan bahwa kedua metoda tersebut secara signifikan mampu mengurangi nilai IAD dan kecemasan pada aspek penilaian diri, kesehatan diri, namun efek terapi EA-CBT lebih baik dibandingkan dengan efek CBT saja. c. Pengobatan Multimodal Pengobatan multimodal adalah pendekatan perawatan yang ditandai dengan penerapan beberapa jenis pengobatan dari berbagai disiplin ilmu seperti farmakologi, psikoterapi, dan konseling keluarga secara bersamaan atau berurutan untuk menangani berbagai kasus adiksi yang kompleks seperti halnya IAD (Orzack & Orzack, 1999). Berdasarkan hasil studi perawatan terhadap 23 remaja dengan IAD yang dilakukan oleh Du, Jiang, dan Vance (Du, Jiang, & Vance, 2010), perawatan dengan metoda kelompok multimodal berbasis sekolah 382 — G.E.N.C.E.

CBT; termasuk pelatihan orang tua, pendidikan guru, dan kelompok CBT, ditemukan efektif, terutama dalam meningkatkan kemampuan emosional dan peraturan, gaya perilaku dan manajemen diri. Selain itu, hasil dari pengobatan multimodal serupa yang terdiri dari solution- focused brief therapy (SFBT) atau terapi singkat yang berfokus pada solusi, terapi keluarga, dan terapi kognitif (CT) yang diterapkan pada 52 remaja dengan IAD di Tiongkok menyatakan bahwa setelah tiga bulan pengobatan, nilai pada Young’s Internet Addiction Diagnostic Questionnaire (IAD-DQ), nilai pada Symptom Checklist-90 (SCL-90), dan jumlah waktu yang dihabiskan untuk melakukan kegiatan online menurun secara signifikan (Fang-ru & Wei, 2005). Dengan menggunakan program edukasi psikologis; suatu program yang menggabungkan perspektif teoritis psikodinamis dan kognitif, Orzack dan rekan (Orzack, Voluse, Wolf, & Hennen, 2006) dengan mengkombinasikan Readiness to Change (RtC), CBT, dan MI dalam merawat 35 lelaki yang terlibat dalam problematik internet- enabled sexual behaviour (IESB) atau kecanduan pornografi online, ditemukan bahwa terjadi peningkatan kualitas hidup dan penurunan gejala depresi setelah 16 minggu sesi pengobatan, namun tingkat penggunaan internet yang bermasalah gagal menurun secara signifikan. Kasus pengobatan yang lain terhadap 23 siswa sekolah menengah dengan IAD yang diobati dengan gabungan metoda behavioural therapy (BT) atau cognitive therapy (CT), rehabilitasi psikososial, pemodelan kepribadian, dan pelatihan orang tua, didapati bahwa nilai yang terkait dengan gejala kecanduan internet menurun secara signifikan(Rong, Zhi, & Yong, 2005). Penelitian lain berdasarkan multi-level konseling; penggabungan MI, perspektif keluarga, kerja kasus, dan kerja kelompok, terhadap 59 peserta dengan IAD menyatakan bahwa pendekatan multimodal ini berhasil untuk menurunkan kecanduan internet secara signifikan, akan tetapi program multi-level konseling ini kurang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis para peserta konseling tersebut (Shek, Tang, & Lo, 2009). Program multi-level konseling berkelompok lainnya yang menggabungkan CBT, pelatihan kompetensi sosial, pelatihan pengendalian diri, dan pelatihan ketrampilan komunikasi terhadap 24 orang dengan IAD di Tiongkok juga menunjukkan hasil Membedah Anatomi Peradaban Digital — 383

yang signifikan dalam menurunkan gejala IAD (Yu & Fu-Min, 2007). Para peneliti ini melaporkan bahwa nilai CIAS yang sudah disesuaikan untuk kegunaan dalam bahasa China, menunjukkan bahwa setelah proses perawatan, nilai para peserta rawat lebih rendah secara signifikan daripada nilai CIAS kelompok kontrol. d. Program re START Di Amerika Serikat, saat ini berkembang suatu program yang dinamakan reSTART, yang merupakan program untuk pemulihan kecanduan internet, dimana peserta program harus menjalani rawat inap. Program reSTART ini memadukan teknologi detoksifikasi, dimana selama 45 -90 hari para peserta tidak diperkenankan memakai satu teknologi apapun, pengobatan narkoba dan alkohol, 12 langkah kerja, Cognitive-Behavioral Therapy (CBT), Experiental Adventure Based Therapy (EABT) atau terapi berbasis pengalaman berpetualang, Acceptance and Commitment Therapy (ACT) atau terapi penerimaan dan komitmen, intervensi peningkatan otak, terapi dengan bantuan hewan, Motivational Interviewing (MI) atau wawancara motivasi, Mindfullness Based Relapse Prevention (MBRP), Mindfullness Based Stress Reduction (MBSR), psikoterapi interpersonal berkelompok, psikoterapi individual, pengobatan personal bagi gangguan yang kembali terjadi, pendidikan mental berkelompok (tujuan hidup, pendidikan tentang kecanduan, pelatihan komunikasi dan keteguhan, ketrampilan sosial, keterampilan hidup, perencanaan hidup seimbang), perawatan paska pengobatan seperti pemantauan penggunaan teknologi, psikoterapi dan kelompok diskusi yang berkelanjutan, pengobatan rawat jalan secara personal, dan pendekatan holistik. Dari data peserta sebanyak 19 orang dewasa, program reSTART ini dilaporkan menunjukkan peningkatan dalam proses penilain OQ45- 2, suatu metoda pengukuran kesehatan mental, setelah menyelesaikan program reSTART selama lebih dari 45 hari. Berdasarkan data tersebut didapati 74% peserta menunjukkan peningkatan klinis yang signifikan, 21% peserta tidak menunjukkan perubahan yang berarti, dan 5% peserta memburuk. Hasil ini belum dapat digunakan untuk memberikan kesimpulan yang berarti, dikarenakan jumlah peserta 384 — G.E.N.C.E.

didik yang masih sedikit, serta tidak adanya kelompok kontrol dalam program ini. Terlepas dari keterbatasan yang ada, kita dapat melihat bahwa program ini berperan dalam sebagian besar perbaikan para peserta. PENUTUP Seperti dapat dilihat dari tulisan singkat ini, meskipun belum adanya standar pendeteksi atau pengklasifikasian yang baku untuk IAD, serta belum diakuinya secara resmi bahwa IAD merupakan jenis perilaku adiksi yang berbeda dengan yang lain, bidang penelitian terkait IAD ini berkembang sangat pesat. Peneliti dunia masih berdebat perihal pengklasifikasian IAD ini, apakah ianya termasuk dalam bagian perlaku adiksi, gangguan tingkah laku impulsif, atau bahkan ianya termasuk dalam bagian gangguan obsesif kompulsif atau biasa kita kenal dengan Obsesive Compulsive Disorder (OCD). Namun berdasarkan hasil penelitian sejauh ini, gejala yang dijumpai pada orang dengan IAD banyak serupa dengan gejala yang ditemui pada orang dengan perilaku adiktif. Selain itu, hingga saat ini masih belum jelas apakah mekanisme dasar yang bertanggung jawab atas perilaku adiktif akan sama untuk jenis IAD yang berbeda; misalkan IAD yang terkait dengan kecanduan seksual online, IAD yang terkait dengan game online, atau IAD yang terkait dengan browsing berlebihan. Dari sudut pandang praktikal, semua jenis IAD masuk ke dalam satu kategori dikarenakan semua itu memiliki berbagai kesamaan yang terkait dengan aktivitas berinternet, seperti interaksi tanpa identitas atau anonimitas, interaksi tanpa resiko. Selain itu semua jenis IAD memiliki kesamaan gejalan yang mendasar, misalkan perilaku menarik diri, perilaku ketakutan yang tidak umum, rasa senang yang berbeda dari norma umum, dan perilaku internet sebagai salah satu hiburan wajib. Kesemua jenis IAD juga memiliki beberapa gejalan yang serupa, misalnya meningkatnya jumlah waktu yang dihabiskan untuk berkegiatan secara online, serta tanda-tanda kecanduan lainnya. Meskipun demikian penelitian lebih lanjut harus tetap dilakukan untuk memperkuat pendapat tersebut. *** Membedah Anatomi Peradaban Digital — 385

REFERENCES Amichai-Hamburger, Y., & Ben-Artzi, E. (2003). Loneliness and Internet use. Computers in Human Behavior, 19(1), 71-80. doi: https://doi. org/10.1016/S0747-5632(02)00014-6 ASAM, A. S. o. A. M. (2011). Public Policy Statement: Definition of Addiction. . http: //www.asam.org/1DEFINITION_OF_ ADDICTION_LONG_4-11.pdf. Atmaca, M. (2007). A case of problematic internet use successfully treated with an SSRI-antipsychotic combination. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry, 31(4), 961-962. doi: 10.1016/j. pnpbp.2007.01.003 Bai, Y. M., Lin, C. C., & Chen, J. Y. (2001). Internet addiction disorder among clients of a virtual clinic. Psychiatr Serv, 52(10), 1397. doi: 10.1176/appi.ps.52.10.1397 Beard, K. W. (2005). Internet addiction: a review of current assessment techniques and potential assessment questions. Cyberpsychol Behav, 8(1), 7-14. doi: 10.1089/cpb.2005.8.7 Bostwick, J. M., & Bucci, J. A. (2008). Internet sex addiction treated with naltrexone. Mayo Clin Proc, 83(2), 226-230. doi: 10.4065/83.2.226 Burke, B. L., Arkowitz, H., & Menchola, M. (2003). The efficacy of motivational interviewing: a meta-analysis of controlled clinical trials. J Consult Clin Psychol, 71(5), 843-861. doi: 10.1037/0022- 006x.71.5.843 Byun, S., Ruffini, C., Mills, J. E., Douglas, A. C., Niang, M., Stepchenkova, S., . . . Blanton, M. (2009). Internet addiction: metasynthesis of 1996-2006 quantitative research. Cyberpsychol Behav, 12(2), 203- 207. doi: 10.1089/cpb.2008.0102 CAO, F.-L., SU, L.-Y., & GAO, X.-P. (2007). Control Study of Group Psychotherapy on Middle School Students with Internet Overuse. Chinese Mental Health, 21(5), 4. Caplan, S. E. (2002). Problematic Internet use and psychosocial well- being: development of a theory-based cognitive–behavioral measurement instrument. Computers in Human Behavior, 18(5), 553-575. doi: https://doi.org/10.1016/S0747-5632(02)00004-3 386 — G.E.N.C.E.

Chakraborty, K., Basu, D., & Vijaya Kumar, K. G. (2010). Internet addiction: consensus, controversies, and the way ahead. East Asian Arch Psychiatry, 20(3), 123-132. Chou, C., Condron, L., & Belland, J. C. (2005). A Review of the Research on Internet Addiction. Educational Psychology Review, 17(4), 363- 388. Cooper, A., Putnam, D., A. Planchon, L., & C. Boies, S. (1999). Online sexual compulsivity: Getting tangled in the net (Vol. 6). Czincz, J., & Hechanova, R. (2009). Internet Addiction: Debating the Diagnosis. Journal of Technology in Human Services, 27(4), 257-272. doi: 10.1080/15228830903329815 Davis, R. A. (2001). A cognitive-behavioral model of pathological Internet use. Computers in Human Behavior, 17(2), 187-195. doi: https://doi.org/10.1016/S0747-5632(00)00041-8 de Abreu, C. N., & Góes, D. S. (2007). Psychotherapy for Internet Addiction. In K. S. Young & C. N. de Abreu (Eds.), Internet Addiction: A Handbook and Guide to Evaluation and Treatment. Hoboken, NJ, USA. : John Wiley & Sons, Inc. Dell’Osso, B., Hadley, S., Allen, A., Baker, B., Chaplin, W. F., & Hollander, E. (2008). Escitalopram in the treatment of impulsive- compulsive internet usage disorder: an open-label trial followed by a double-blind discontinuation phase. J Clin Psychiatry, 69(3), 452-456. Demetrovics, Z., Szeredi, B., & Rozsa, S. (2008). The three-factor model of Internet addiction: the development of the Problematic Internet Use Questionnaire. Behav Res Methods, 40(2), 563-574. Dong, G., Lu, Q., Zhou, H., & Zhao, X. (2011). Precursor or Sequela: Pathological Disorders in People with Internet Addiction Disorder. PLOS ONE, 6(2), e14703. doi: 10.1371/journal.pone.0014703 Dowling, N. A., & Quirk, K. L. (2009). Screening for Internet dependence: do the proposed diagnostic criteria differentiate normal from dependent Internet use? Cyberpsychol Behav, 12(1), 21-27. doi: 10.1089/cpb.2008.0162 Du, Y. S., Jiang, W., & Vance, A. (2010). Longer term effect of randomized, controlled group cognitive behavioural therapy for Membedah Anatomi Peradaban Digital — 387

Internet addiction in adolescent students in Shanghai. Aust N Z J Psychiatry, 44(2), 129-134. doi: 10.3109/00048670903282725 Eisen, S. A., Lin, N., Lyons, M. J., Scherrer, J. F., Griffith, K., True, W. R., . . . Tsuang, M. T. (1998). Familial influences on gambling behavior: an analysis of 3359 twin pairs. Addiction, 93(9), 1375-1384. Fang-ru, Y., & Wei, H. (2005). The effect of integrated psychosocial intervention on 52 adolescents with Internet addiction disorder. Chinese Journal of Clinical Psychology, 13(3), 3. Grant, J. E., Brewer, J. A., & Potenza, M. N. (2006). The neurobiology of substance and behavioral addictions. CNS Spectr, 11(12), 924-930. Grant, J. E., Potenza, M. N., Weinstein, A., & Gorelick, D. A. (2010). Introduction to behavioral addictions. Am J Drug Alcohol Abuse, 36(5), 233-241. doi: 10.3109/00952990.2010.491884 Grohol, J. M. (Producer). (1999 (updated 2016)). Internet addiction guide. Retrieved from http://psychcentral.com/netaddiction/ Han, D. H., Hwang, J. W., & Renshaw, P. F. (2010). Bupropion sustained release treatment decreases craving for video games and cue- induced brain activity in patients with Internet video game addiction. Exp Clin Psychopharmacol, 18(4), 297-304. doi: 10.1037/ a0020023 Han, D. H., Lee, Y. S., Na, C., Ahn, J. Y., Chung, U. S., Daniels, M. A., . . . Renshaw, P. F. (2009). The effect of methylphenidate on Internet video game play in children with attention-deficit/hyperactivity disorder. Compr Psychiatry, 50(3), 251-256. doi: 10.1016/j. comppsych.2008.08.011 Huang, X. Q., Li, M. C., & Tao, R. (2010). Treatment of internet addiction. Curr Psychiatry Rep, 12(5), 462-470. doi: 10.1007/s11920-010-0147-1 Kim, J.-U. (Spring2007). A Reality Therapy Group Counseling Program as An Internet Addiction Recovery Method for College Students in Korea. International Journal of Reality Therapy, 26(2), 7. Kim, J.-U. (Spring2008). The Effect of a R/T Group Counseling Program on The Internet Addiction Level and Self-Esteem of Internet Addiction University Students. International Journal of Reality Therapy, 27(2), 9. 388 — G.E.N.C.E.

Ko, C. H., Liu, G. C., Hsiao, S., Yen, J. Y., Yang, M. J., Lin, W. C., . . . Chen, C. S. (2009). Brain activities associated with gaming urge of online gaming addiction. J Psychiatr Res, 43(7), 739-747. doi: 10.1016/j.jpsychires.2008.09.012 Kratzer, S., & Hegerl, U. (2008). [Is “Internet Addiction” a disorder of its own?--a study on subjects with excessive internet use]. Psychiatr Prax, 35(2), 80-83. doi: 10.1055/s-2007-970888 KS, Y. (1999) Internet Addiction: Symptoms, Evaluation, And Treatment. Innovations in Clinical Practice: Vol. 17. http: //treatmentcenters. com/downloads/ internet-addiction.pdf. Laura Widyanto, L., & Griffiths, M. (2006). ‘Internet Addiction’: A Critical Review (Vol. 4). Linden, D. J. (2011). The Compass of Pleasure: How Our Brains Make Fatty Foods, Orgasm, Exercise, Marijuana, Generosity, Vodka, Learning, and Gambling Feel So Good.: Viking. Mak, K. K., Lai, C. M., Watanabe, H., Kim, D. I., Bahar, N., Ramos, M., . . . Cheng, C. (2014). Epidemiology of internet behaviors and addiction among adolescents in six Asian countries. Cyberpsychol Behav Soc Netw, 17(11), 720-728. doi: 10.1089/cyber.2014.0139 Maté, G. (2010). In the Realm of Hungry Ghosts: Close Encounters with Addiction.: North Atlantic Books. Meerkerk, G. J., Van Den Eijnden, R. J., Vermulst, A. A., & Garretsen, H. F. (2009). The Compulsive Internet Use Scale (CIUS): some psychometric properties. Cyberpsychol Behav, 12(1), 1-6. doi: 10.1089/cpb.2008.0181 Miller, N. H. (2010). Motivational interviewing as a prelude to coaching in healthcare settings. J Cardiovasc Nurs, 25(3), 247-251. doi: 10.1097/JCN.0b013e3181cec6e7 Miller, W. R., & Rollnick, S. (2002). Motivational interviewing: preparing people for change. New York: Guilford Press. Orzack, M. H., & Orzack, D. S. (1999). Treatment of computer addicts with complex co-morbid psychiatric disorders. Cyberpsychol Behav, 2(5), 465-473. doi: 10.1089/cpb.1999.2.465 Orzack, M. H., Voluse, A. C., Wolf, D., & Hennen, J. (2006). An ongoing Membedah Anatomi Peradaban Digital — 389

study of group treatment for men involved in problematic Internet-enabled sexual behavior. Cyberpsychol Behav, 9(3), 348- 360. doi: 10.1089/cpb.2006.9.348 Petersen, K. U., Weymann, N., Schelb, Y., Thiel, R., & Thomasius, R. (2009). [Pathological Internet use--epidemiology, diagnostics, co-occurring disorders and treatment]. Fortschr Neurol Psychiatr, 77(5), 263-271. doi: 10.1055/s-0028-1109361 Peukert, P., Sieslack, S., Barth, G., & Batra, A. (2010). [Internet- and computer game addiction: phenomenology, comorbidity, etiology, diagnostics and therapeutic implications for the addictives and their relatives]. Psychiatr Prax, 37(5), 219-224. doi: 10.1055/s-0030- 1248442 Rong, Y., Zhi, S., & Yong, Z. (2005). Comprehensive Intervention on Internet Addiction of Middle School Students. Chinese Mental Health, 19(7), 3. Sattar, P., & Ramaswamy, S. (Dec 2004). Internet gaming addiction. Canadian Journal of Psychiatr, 49(12), 2. Shapira, N. A., Goldsmith, T. D., Keck, P. E., Jr., Khosla, U. M., & McElroy, S. L. (2000). Psychiatric features of individuals with problematic internet use. J Affect Disord, 57(1-3), 267-272. Shek, D. T., Tang, V. M., & Lo, C. Y. (2009). Evaluation of an Internet addiction treatment program for Chinese adolescents in Hong Kong. Adolescence, 44(174), 359-373. Twohig, M. P., & Crosby, J. M. (2010). Acceptance and commitment therapy as a treatment for problematic internet pornography viewing. Behav Ther, 41(3), 285-295. doi: 10.1016/j.beth.2009.06.002 Weinstein, A., & Lejoyeux, M. (2010). Internet addiction or excessive internet use. Am J Drug Alcohol Abuse, 36(5), 277-283. doi: 10.3109/00952990.2010.491880 Wieland, D. M. (2005). Computer addiction: implications for nursing psychotherapy practice. Perspect Psychiatr Care, 41(4), 153-161. doi: 10.1111/j.1744-6163.2005.00038.x Winkler, A., Dorsing, B., Rief, W., Shen, Y., & Glombiewski, J. A. (2013). 390 — G.E.N.C.E.

Treatment of internet addiction: a meta-analysis. Clin Psychol Rev, 33(2), 317-329. doi: 10.1016/j.cpr.2012.12.005 Wolfling, K., Buhler, M., Lemenager, T., Morsen, C., & Mann, K. (2009). [Gambling and internet addiction: review and research agenda]. Nervenarzt, 80(9), 1030-1039. doi: 10.1007/s00115-009-2741-1 Young, K. S. (1998). Caught in the Net: How to Recognize the Signs of Internet Addiction--and a Winning Strategy for Recovery. New York: J. Wiley. Young, K. S., & Abreu, C. N. d. (Oct2010). Internet Addiction: A Handbook and Guide to Evaluation and Treatment (K. S. Young & C. N. d. Abreu Eds.). New Jersey: John Wiley & Sons Inc. Young, K. S., Griffin-shelley, E., Cooper, A., O’Mara, J., & Buchanan, J. (2000). Online infidelity: A new dimension in couple relationships with implications for evaluation and treatment. Sexual Addiction & Compulsivity, 7(1-2), 59-74. doi: 10.1080/10720160008400207 YOUNG., K. S. (2009). Internet Addiction: The Emergence of a New Clinical Disorder. CyberPsychology & Behavior, 1(3), 8. Yu, B., & Fu-Min, F. (2007). The Effects of Group Counseling on Internet- Dependent College Students. Chinese Mental Health, 21(4), 4. Zhang, L. (2009). The applications of group mental therapy and sports exercise prescriptions in the intervention of Internet addiction disorder. Psychological Science (China), 32(3), 4. Zhu, T. M., Jin, R. J., & Zhong, X. M. (2009). [Clinical effect of electroacupuncture combined with psychologic interference on patient with Internet addiction disorder]. Zhongguo Zhong Xi Yi Jie He Za Zhi, 29(3), 212-214. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 391

(4) ADIKSI GADGET? oleh Tauhid Nur Azhar Tulisan ini adalah jawaban atas pertanyaan Prof. Suhono dan Mbak Wien serta Mas Albert (CEO Samsung) tentang apa yang terjadi pada anak-anak Bondowoso yang adiksi gadget. Secara garis besar kasus ini memang sudah terkategori sebagai adiksi. Dalam konsep adiksi, ada beberapa faktor yang terlibat, teori defisiensi neurotransmitter yang disampaikan Mas Albert itu benar dan bisa menjadi salah satu hipotesa. Aktivitas yang tersita gadget menyebabkan makan menjadi tidak bervariasi dan bahkan lupa. Efek lanjutannya adalah hadirnya ketidakseimbangan probiotik dalam tubuh, kemudian ada perubahan metabolit serta kelak kadar neurotransmiter dan neuroendokrin juga neuropeptida. Di sisi lain, atensi yang begitu tinggi pada game/gadget/internet sangat efektif dalam mengubah behaviour. Hal ini disebabkan karena adanya konsep reward yang diterjemahkan oleh ventral tegmental area/VTA dan nukleus akumben bagian sub kortikal otak manusia yang bertanggung jawab dalam proses reward anticipation. Bagian ini terdiri dari neuron-neuron dopaminergik yang akan craving atau menuntut stimulus yang secara habituasi atau pembiasaan telah menjadi faktor pemicu mereka untuk bekerja dan mensintesis NT dopamin. Kehilangan stimulus dari gadget/game/internet akan mendorong substitusi area aktif sebagai bagian dari defense process/survival tools yang didominasi epinefrin dan kortisol. Hadir kecemasan dan gejala putus obat (drug withdrawl) karena kadar dopamin dan serotonin yang menurun drastis. Kondisi ketergantungan stimulus pada reward system yang terjadi karena proses yang simultan dan berkesinambungan akan menghasilkan pola dan sirkuit belajar dan memori di limbic loop yang melibatkan hipokampus dan amigdala juga endokrin sistem yang mewartakan kondisi fisiologi ke seluruh sistem tubuh, hipotalamus. Akan terjadi perubahan preferensi, ambang batas kesenangan, stress 392 — G.E.N.C.E.

kronik, serta reaksi faal tubuh yang mengikuti. Trajectory atau lintasan syaraf ke otak depan (frontal area) akan menghasilkan gangguan signifikan pada aliran data di pusat kendali “error” di orbitofrontal cortex/OFC dan selanjutnya di jalur dlPFC dan pintasan ACC. *** Sederhananya anak yang mengalami adiksi gadget tidak bisa lagi menilai secara objektif pilihan yang harus dilakukan. Dia hanya dapat terpuaskan jika ada stimulasi dari yang disukai, yaitu gadget/game/ internet. Kondisi ini dipengaruhi juga oleh dampak ikutan penggunaan teknologi seperti bertambah miskinnya gerak. Karena gerak dan aktivitas fisik/motorik memerlukan perencanaan dan fungsi kognitif selain kecerdasan spasial, dan itu akan merangsang serta menjadi insentif bagi area perencana gerak/ supplementary motor area/cortex, dan premotor cortex yang punya hubungan erat dengan basal ganglia dan cerebelum. Orang yang tidak bergerak dan merencanakan gerak akan mengalami degradasi kemampuan kognitif karena area motorik yang bersebelahan dengan area kognitif akan berhenti menstimulasi Membedah Anatomi Peradaban Digital — 393

sistem kecerdasan lainnya. Jika mengacu pada konsep yang diadopsi oleh deep learning dan knowledge growing system-nya Pak Arwin, pola-pola pada penderita adiksi ini akan menjadi pattern acuan atau ‘refferal system’ dalam lapis pembelajaran yang bersifat reverbigeratif dan akan diperkuat/augmented jika sumber stimulus dopamin cs tetap didapatkan dari gadget/game/internet. Pada tahap lanjutan, gangguan kinerja fisiologi otak dapat merambah sampai fungsi Insula dan frontal girus inferior yang secara sederhana adalah bagian dari proses/mekanisme berpikir rasional dan berbasis pada pengolahan data objektif yang bersifat faktual serta mengintegrasikannya dengan knowledge yang didapatkan dari hasil belajar. Lintasan ini mungkin yang paling bertanggung jawab pada maraknya kelompok yang begitu mudahnya percaya pada berita hoax. Jika diakumulasikan semua jalur yang punya kemungkinan terpapar, kita akan punya gambaran ke depan tentang langkah-langkah apa yang tepat untuk mengatasi dan mengantisipasi dampak teknologi, agar tercipta harmoni antara fungsi dan efek samping yang dapat direduksi. Ketertarikan berlebih dan lack of reward stimulus dari lingkungan (keluarga) akan mendorong shifting behaviour untuk mencari dan mensubstitusi dari piranti dan proses yang paling memungkinkan, dan saat ini gadget dan contentnya menyediakan semuanya. Aktivitas fisik itu menstimulasi produksi dopamin, adrenalin, juga endorfin (Beta dinorfin, enkefalin, derivat morfin endogen dan reseptor opiadnya). Kalau dilakukan bersama dengan orang-orang terkasih dan penuh dengan sentuhan sayang maka akan diproduksi juga oksitosin dan fenilethylamine yang merupakan chemical factor untuk “attachment”. Nah, ini yang hilang di tengah-tengah kita yang sibuk di dunia maya tanpa “physical touch” Berdasarkan hal ini, Samsung dan lainnya bisa mempertimbangkan pengembangan produk ke arah ini. Touch and relationship dalam frame motion. Bergerak dan berinteraksi. Baik itu dari device ataupun dari content. Peluang ada kebijakan TKDN, kita bisa berkontribusi menyelamatkan bangsa melalui inovasi sederhana based on fitrah manusia ini. *** 394 — G.E.N.C.E.

(5) PONSEL DAN TUMOR OTAK oleh FX Wikan Indrarto Ada sejumlah data menarik dari Top 10 Most-Read Articles by Pediatricians Last Month yang terbit pada Januari 2015 sebagaimana bisa kita lihat di http://www.medscape.com/viewarticle. Salah satu yang menarik adalah tentang tumor otak yang dimuat di dalam jurnal “Pathophysiology” dan dipublikasikan secara online pada 28 Oktober 2014. Apa yang sebaiknya diketahui? Penggunaan jangka panjang ponsel, telepon genggam atau HP dan pesawat telepon cordless atau nirkabel dikaitkan dengan peningkatan risiko terkana glioma, jenis tumor otak yang paling umum. Penelitian terbaru (waktu itu) yang dipimpin oleh Dr. Lennart Hardell, Ph.D, Profesor Departemen Onkologi, University Hospital, Örebro, Swedia, menunjukkan bahwa risiko glioma tiga kali lipat pada orang yang menggunakan HP selama lebih dari 25 tahun. Selain itu, risiko juga lebih besar bagi mereka yang telah mulai menggunakan HP atau cordless sebelum usia 20 tahun. Peningkatan penggunaan perangkat komunikasi nirkabel telah meningkatkan paparan atau eksposur yang lebih besar, pada medan elektromagnetik karena frekuensi radio (RF-EMF atau radiofrequency electromagnetic fields). Otak adalah target utama RF-EMF saat HP digunakan, dengan eksposur tertinggi berada di sisi otak yang sama dengan letak HP. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 395

Data ini sendiri dikumpulkan dari dua buah penelitian dengan rancang bangun kasus-kontrol. Penelitian pertama melibatkan pasien berusia 20 sampai 80 tahun yang didiagnosis tumor otak pada rentang tahun 1997-2003. Adapun penelitian kedua melibatkan pasien yang berusia 18-75 tahun yang didiagnosis pada tahun 2007-2009. Kelompok kasus berasal dari enam pusat onkologi di seluruh Swedia. Kelompok kontrol dari jenis kelamin dan usia yang sama, secara acak diambil dari Swedish Population Registry. Semua subyek penelitian mengisi kuesioner dan merinci paparan HP dan telepon nirkabel yang digunakan. Penelitian ini melibatkan 1.498 orang dalam kelompok kasus tumor otak ganas dengan usia rata-rata adalah 52 tahun. Kebanyakan pasien (92%) memiliki diagnosis glioma. Dan, lebih dari setengah (50,3%) adalah jenis yang paling ganas, yaitu astrocytoma kelas IV (glioblastoma multiforme). Pada kelompok kontrol melibatkan 3.530 orang, dengan usia rata-rata 54 tahun. Hasil analisis menunjukkan peningkatan risiko glioma, berkaitan dengan penggunaan HP dan ‘cordless’ selama lebih dari 1 tahun, setelah penyesuaian untuk usia saat didiagnosis kanker, jenis kelamin, indeks sosial ekonomi, dan tahun saat didiagnosis. Risiko tertinggi terjadi pada mereka pengguna HP dan ‘cordless’ terlama, yaitu lebih dari 25 tahun. Table risiko (Odds Ratio) glioma pada penggunaan HP dan cordless: • Penggunaan HP > 1 tahun, Odds Ratio 1.3 dan (95% Confidence Interval) (1.1 - 1.6) • Penggunaan telepon tanpa kabel> 1 tahun, Odds Ratio 1.4, dan (95% Confidence Interval) (1.1 – 1.7) • Penggunaan HP > 25 tahun, Odds Ratio 3.0, dan (95% Confidence Interval) (1.7 - 5.2) Risiko terjadinya tumor otak meningkat sepadan dengan peningkatan penggunaan HP dan ‘cordless’. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatkanya odds ratio sesuai dengan meningkatnya lama penggunaan. Risiko untuk glioma terbesar di bagian otak paling terkena paparan RF-EMF HP. Rasio odds lebih tinggi untuk paparan 396 — G.E.N.C.E.

ipsilateral atau satu sisi yang sama dan glioma lebih sering terjadi pada lobus temporal dan bilateral atau dua sisi otak. Rasio odds tertinggi pada subyek yang pertama kali menggunakan HP (1,8) atau telepon cordless (2,3) sebelum berusia 20 tahun. Dr. Dade Lunsford, Profesor Bedah Syaraf, dan Direktur Center for Image Guided Neurosurgery, University of Pittsburgh, Pennsylvania USA, mengatakan penelitian terbaru tersebut memberikan tambahan data “tetapi belum meyakinkan”, tentang bukti peran potensial teknologi HP atau ‘cordless’, dalam patogenesis glioma. Hal ini disebabkan karena beberapa variabel, termasuk besaran paparan radiasi pengion dan riwayat keluarga, tidak dikendalikan. Selain itu, penelitian ini mengandung ‘recall bias’ atau bias memori, karena subyek penelitian mungkin terpengaruh ingatan, kekhawatiran dan pendapat pribadinya. Perlu dicatat juga, bahwa peneliti tidak menganalisis data dari kalangan industri HP di Denmark, yang dimuat pada Lancet Oncol. 2011; 12: 624-626 dan Rev Environment Health 2012; 27: 51-58, meskipun data tersebut oleh peneliti disebut sebagai ‘informatif’. Dr. Lunsford juga mempertanyakan bahwa sel glial dan Schwann adalah jaringan yang tidak mudah terpicu (late-responding tissues) dan bahwa proses onkogenesis kedua jenis sel tersebut karena pengaruh teknologi HP, tetap tidak terjelaskan. Dugaan jika HP dan ‘cordless’ menyebabkan tumor otak tersebut, diragukan karena tidak lebih banyak pasien yang mengalami kanker sel skuamosa atau melanoma, pada bagian basal ipsilateral, yang secara teoretis seharusnya lebih rentan. Dokter dan orangtua seharusnya prihatin dan mendiskusikan tindakan pencegahan untuk pasien mereka yang masih anak. Tindakan pencegahan terbaik adalah menggunakan mode hands-free pada HP, fitur pengeras suara, dan pesan teks seperti SMS, Whatsapp atau BBM, bukan menelepon atau ‘call’. Sudahkah kita menganjurkan tindakan pencegahan tersebut pada anak dan remaja di sekitar kita? *** Membedah Anatomi Peradaban Digital — 397

(6) MENGATASI HOAKS: Tantangan Masyarakat Digital di Indonesia Oleh Santi Indra Astuti Dapatkah Anda sebutkan, paling tidak dalam setahun belakangan ini, satu hari di mana Anda bebas hoaks saat membuka media sosial? Jempol sepuluh jari jika ada. Hari-hari ini, khususnya pasca Pilpres 2014, hoaks merajalela. Bukan berarti hoaks tak pernah ada. Hoaks sudah eksis sejak dulu. Namun, digitalisasi yang mengamplifikasi data dan kecepatan penyebaran informasi membuat serangan hoaks begitu masif belakangan ini. Bagi beberapa pihak, hoaks adalah hal biasa. Salah atau selip informasi, maafkan saja. Manusia tidak bebas salah toh? Hoaks nggak usah dianggap serius. Secepat itu datangnya, secepat itu juga hilang dan ditimpa oleh limpahan informasi lainnya. Atau, ditimpa oleh hoaks-hoaks lainnya. Bagi pihak lain, hoaks adalah tambang emas. Bisnis hoaks yang mendulang like (dan share) berpotensi menghasilkan pendapatan yang tidak sedikit. Paul Horner mendapatkan tak kurang dari USD 10.000 atau 133 juta rupiah setiap bulan. Di kawasan Macedonia, anak-anak muda yang berkecimpung dalam bisnis hoaks menghasilkan USD 60.000 selama enam bulan menggoreng isu hoaks dalam Pilpres US kemarin, atau setara dengan 800 juta rupiah1. Seorang informan di talkshow “Mata Najwa” mengaku mendapatkan 300 hingga 500 juta rupiah per bulan dari situs web hoaks yang dikelolanya. Pendapatan itu bersumber dari iklan di situs web tersebut2. Jika dalam sebulan ia dan timnya bisa mengelola 2 situs web hoaks (yang katanya operasionalnya mudah saja), maka pendapatannya bisa mencapai 1 milyar rupiah. Masih ingat dengan 1 (https://techno.okezone.com/read/2017/08/25/207/1763389/menggiurkan-nih-pendapatan- bisnis-konten-hoaks-di-media-sosial). 2 https://quwerty.com/berapakah-nilai-bisnis-situs-hoaks-di-indonesia/ 398 — G.E.N.C.E.

nama “Saracen” bukan? Jaringan pebisnis hoaks tersebut pasang tarif 72 juta rupiah untuk setiap paket unggahan hoaks berkonten SARA. Rinciannya, 15 juta untuk biaya pembuatan situs, 45 juta untuk 15 orang buzzer per bulan, 10 juta untuk Jasriadi sang boss Saracen. Mereka eksis sejak Agustus 2015.3 Bayangkan, sudah berapa banyak uang yang mereka dapatkan. Jangan lupa hitung juga berapa banyak kerusuhan yang sudah terjadi diakibatkan oleh sebaran hoaks tersebut. Mengingat parahnya sebaran dan dampak hoaks, tak heran jika bagi yang lain hoaks menjadi pemecah belah keluarga, ancaman terhadap lingkar pertemanan, hubungan persaudaraan, sampai perusak persatuan bangsa dan negara. Hoaks meracuni grup media sosial. Yang tujuan awalnya dibentuk untuk saling beramah tamah dan bersilaturahmi, akhirnya malah jadi berantem dan kubu-kubuan. Hoaks mencemari dunia akademis. Yang tadinya dibentuk untuk sharing informasi valid dan shahih, jadinya malah digunakan untuk sebar berita bohong demi tujuan tertentu. Hoaks menggoncang dunia sosialita emak-emak. Yang tadinya bikin grup untuk hidup bahagia dengan sharing resep, tempat makan enak dan info parenting, akhirnya tercemar oleh hoaks yang menggiring pada permusuhan dan bikin orang jadi paranoid. Masifnya hoaks yang beredar hari-hari ini membuat pihak terakhir ini menganggap bahwa Indonesia sudah termasuk dalam kategori negara darurat hoaks. Serba-serbi Hoaks di Indonesia Berkaca pada beberapa definisi, hoaks dirumuskan sebagai rangkaian informasi yang sengaja disesatkan sedemikian rupa, namun ‘dijual’ sebagai kebenaran (Silverman, 2015)4. Hoaks adalah “deliberate fabrication or falsification in the mainstream or social media (pemalsuan atau perekayasaan informasi yang disengaja dalam media sosial maupun media arus utama lainnya)” (Rubin, Chen dan Conroy, 2015)5. Hoaks 3 http://nasional.kompas.com/read/2017/08/25/20475761/polisi-sebut-saracen-pasang-tarif- rp-72-juta-per-paket-konten-sara 4 Silverman, Craig. (2015). Lies, Damn Lies, And Viral Content How News Situs webs Spread (And Debunk) Online Rumors, Unverified Claims, And Misinformation. Tow Center for Digital Journalism: A Tow/Knight Report. 5 Rubin, Victoria L. , Chen, Yimin, & Conroy, Niall J. (2015). Deception Detection for News: Three Types of Fakes. Language and Information Technology Research Lab (LIT.RL) Faculty of Information and Media Studies University of Western Ontario, London, Ontario, Canada. Membedah Anatomi Peradaban Digital — 399

acap disamakan dengan fake news, yaitu berita palsu yang mengandung informasi yang disengaja guna menyesatkan orang dan kerap memiliki agenda politik tertentu (Merwe, 2016)6. Bukan sekadar ‘misleading’ alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian kebenaran. Jadi, bisa disimpulkan, sebuah informasi dikatakan hoaks jika memenuhi tiga unsur: (1) (1) informasi yang menyesatkan (misleading information); (2) tindakan yang disengaja (deliberate or purposefully act); dan (3) ketidakbenaran yang ditampilkan seolah-olah sebagai kebenaran (presented untruth as the ultimate truth)7. Sumber hoaks secara garis besar ada dua, yaitu misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi yang salah, sementara disinformasi adalah informasi yang sengaja dikelirukan. Konten misinformasi dan disinformasi yang sering dikemas menjadi hoaks terdiri atas: (1) Satire/parodi (yang kerap disalahpahami); (2) Konten menyesatkan (yang biasanya mem-framing sebuah isu untuk mendukung atau mendiskreditkan pihak lain); (3) Konten tiruan (ketika sumber aslinya ditiru/dipalsukan); (4) Konten palsu (isinya 100% salah dan didesain untuk menipu); (5) Keterkaitan yang salah (ketika judul, isi, gambar/foto tidak mendukung konten); (6) Konten yang salah (ketika konten asli dipadankan atau diframing dengan konteks yang tidak tepat); dan (7) Konten yang Dimanipulasi (ketika teks atau gambar yang asli sengaja diutak-atik dengan tujuan untuk menipu’8 Satu hal yang menarik dan tampaknya ‘khas’ Indonesia, hoaks masih kerap disalahkaprahkan dengan janji yang tidak atau belum dipenuhi. Tidak tepat janji, dikatakan hoaks. Ini biasanya dipakai untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu dalam Pemilu. By definition, hoaks bukanlah janji yang tidak/belum ditepati. Masalah janji yang belum ditepati adalah masalah ending, masalah di akhir. 6 Merwe, Nicola van der. (2016). Fake News: the significance of false reporting in the South African media. Focal Points Research. https://www.newsclip.co.za/temp/fake-news-the-significance- of-false-reporting-in-the-south-african-media.pdf 7 Astuti, Santi Indra. (2017). Konstruksi Body of Knowledge tentang Hoaks di Indonesia: Upaya Merumuskan Strategi Anti Hoaks. Prosiding dalam Lustrum Aspikom 2017 “Komunikasi Membangun Kebersamaan dan Kemajemukan Bangsa” di UKSW Salatiga, 3-5 Oktober 2017. 8 https://www.suara.com/tekno/2017/05/15/232015/ini-7-jenis-konten-misinformasi-dan- disinformasi 400 — G.E.N.C.E.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook