Persembahan Untuk repihan jiwa; Kusnanto, Alisha Khaira Wilda dan kedua orang tuaku
DAFTAR ISI 1. Kecemasan Hati 1 2. Resepsi Pernikahan 13 3. Prasangka 27 4. Kado Untuk Mbak Ning 39 5. Hampa 56 6. Dalam Bopongannya 69 7. Mengintipmu Bekerja 82 8. Dinner di Pondok Bambu 94 9. Alasanku Belum Menyentuhmu 107 10. Pengkhianatan Cinta 119 11. Terseret Masa Lalu 135 12. Rindu Senyummu 151
13. Risau Hati Kemuning 169 14. Tujuh Hari Ungkapan Cinta 173 15. Tentang Cinta Mars dan Venus 189 16. Penyebab Penolakanmu 206 17. Menginap di Hotel 219 18. Di Merlion Bersamamu 231 19. Keagungan Cinta 242 20. Malam Penyatuan Kita 256 21. Selembut Cintanya 269 22. Jogja, I’M in Love 284 23. Bukan Mengkhianati Cintamu 307 24. Perjodohan Tak Terduga 330 25. Impian Kita 345 26. Kekuatan Cinta 360 27. Cinta Masa Lalu 374 28. Cobaan Menderaku 389 29. Honeymoon Kedua 402
30. Maafkan Aku, Sayang 416 31. Permintaan 432 Profil Penulis 457
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 01 KECEMASAN HATI Aku memandangi di sekeliling kamar. Warna putih di sekeliling dindingnya seputih diri ini tanpa warna cinta mas Arya. Detak jam yang menggantung seolah mengukur sampai kapan sekoci penantianku bermuara di pelabuhan hatinya. Begitu naif seorang Anjani Kemuning. Mengemis cinta. Menantinya. Haus tetesan kasihnya. Hati ini semakin kerontang. Aku iri pada setangkai mawar yang bersandar di vas bercorak daun waru. Ranum merekah semerbak arumnya ada yang menginginkan. Memetiknya. Menimang keindahannya. Meletakkannya pada tempat yang pantas. Namun diri ini. Seperti mawar yang merekah menanti untuk dipetik dan dinikmati. Namun dibiarkan tetap di taman yang kemudian berguguran kelopak-kelopaknya. Layu dan mati. Berapa lama lagi aku menanti. Menyambut cintanya yang begitu menyakitkan. Aku tersudut di ruang ini. Menanti setiap malam panjang sentuhannya. \"Ning, mengapa duduk di lantai. Nanti masuk angin lho.\" Mas Arya masuk membuyarkan lamunku. Segera aku hapus secepatnya air mata. Aku hanya terdiam. Seperti diamnya hati ini menanti rengkuhan cintanya. 1
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia mengulurkan tangannya padaku untuk kugapai. Aku pegang telapak tangannya. Telapak tangan yang ingin setiap saat memegangku dengan ketulusan. Tangan yang selalu menghapus setiap tetes air mataku. Tangannya yang memelukku dengan penuh cinta dan menerima kehadiranku. \"Sini aku bantu berdiri. Eman-eman1 lho kalau kamu sakit, Ning. Ibu pasti khawatir kalau kamu sakit. Nanti kalau masuk angin kamu muntah-muntah dan pikirannya macam-macam pada kamu.\" Mas Arya menarik tubuhku untuk membantuku berdiri sembari mengomel. \"Ini juga jendela dibiarkan semeblak2. Anginnya lho, Ning, gak apik3 buatmu.\" Dia menutup jendela. Kulihat semburat awan berwarna jingga merayap tembus lewati kaca jendela. Indah sekali. Namun kurasa masih buram. Seburam hatiku akan kepalsuan mas Arya. Biarkan saja aku sakit dan tiada. Karena diri ini sudah menjadi mayat hidup tanpa sentuhan cintanya. Dia merapikan rambutku. Disematkannya diantara dua telingaku. Aku menunduk. Jemari tangannya menggapai daguku dan menaikannya tepat di depan wajahnya. Wajah itu membuatku luluh tak berdaya. Sampai kapan penantianku berakhir. 1 Sangat sayang 2 Terbuka lebar 3 Tidak baik 2
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia memegang kedua pipiku. Mencium keningku. Aku hanya memejamkan mata. Merasakan kecupannya yang mengalir cepat kehatiku. Mengeja setiap kecupannya untukku. Selepasnya, dia membuat simpul senyum untukku. Senyuman yang selalu membuatku teduh. \"Maaf ya, aku terlambat. Seharusnya aku hubungi kamu dulu kalau untuk menunda rencana kita makan malam nanti. Aku mendadak ada janji dengan dokter Keysha. Sulit sekali buat janji dengannya. Hendak konsultasi. Karena besok dia ada jadwal workshop di Singapura. Aku tidak bisa menundanya. Jadwalnya selalu padat.\" Dia memegang kedua tanganku. Memandangku. Mencari manik mataku. Aku menahan air mataku yang sudah berkaca-kaca. Keysha... Keysha... Keysha lagi. Seberapa penting dia di hatimu mas. Aku hanya mampu memberontak dalam diam. Dia masih memandangku dengan mata yang berbinar-binar. Dengan senyum sumringah. Memegang tanganku semakin erat. Sangat terasa telapak tangan sedikit gemetar. Apa dia begitu bahagia bertemu Keysha? Wanita yang selalu dinanti setiap pesan-pesan dan telefon di ponselnya. Kami dikejutkan suara ponsel. Dia melepaskan genggamannya dan beralih menuju sumber suara itu. Aku melihatnya. Mengambil benda kotak tipis multiguna. Melihatnya dengan teriring senyuman. Siapa yang menghubunginya? Siapa dia yang telah membuat gurat senyum di wajahnya? Siapa dia, yang telah membiaskan pelangi beberapa hari ini dihari-harinya? 3
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Assalamuallaikum, Dokter Keysha,” sapa mas Arya membuatku jengah. Membuatku cemas dan kalut. “Oke, nanti setelah isya’ kita bertemu. Ya, sekitar jam delapan. Baik, di cafe biasanya. Oke, Dokter Key, terima kasih ya. Wasalamuallaikum.” Dia matikan ponsel. Diambilnya kabel changer di laci meja ukir dan mengisi daya ponsel miliknya. Aku hanya berdiri mengamatinya. Dia memandangku lagi. Dengan senyum yang sama. “Dia dokter Keysha Larasati ahli bedah. Kancaku sewaktu kuliah. Tapi aku mengambil jurusan yang berbeda dengannya. Dia tambah hebat setelah menyelesaikan sekolah spesialisnya. Dia juga dipercaya menjadi dokter bedah di rumah sakit ternama di Singapura.” Dia bercerita dengan begitu mengebu-gebu. Yang membuatku semakin takut akan pikiran mas Arya memuji dokter Keysha. Takut dia semakin memalingkan hatiku, takut tidak akan ada cinta untukku, takut perhatiannya luntur. “Ya wis, aku mandi dulu. Mau istirahat sebentar sambil nunggu maghrib. Kalau aku ketiduran tolong dibangunkan ya, nanti kita sholat berjamaah.” Dia menatapku. Menatap anggukanku. Berlalu, mengambil handuk biru langit di rak samping pintu kamar mandi. Kulihat dia memandangku dan meninggalkan senyuman. Suara azan maghrib terdengar sayup-sayup. Aku yang selesai membantu mbok Yem cuci piring bergegas menuju tangga rumah. 4
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Tangga ukir bernuasa putih. Menyiratkan pemilik rumah yang menyukai seni. Semua ruangan terisi mebeler ukir dengan pernak-pernik etnis Jawa. Seperti kesukaan mas Arya yang sarat akan nilai-nilai budaya Jawa. Sesampainya di bibir pintu kamar kami. Aku membuka kamar perlahan. Menghindari gesekan pintu yang berdecit sehingga membuatnya terbangun. Dia tertidur di ranjang bertirai putih bukan di sofa. Tempatku tertidur dalam kesendirian. Tempatku yang selalu kunantikan kehadirannya. Mengapa mas? Saat ini kau mau tidur di ranjang ini? Ranjang yang selalu menemaniku dingin tanpa sentuhmu. Mengapa mas tidak menunggu malam nanti? Disaat rembulan dengan lembut berpendar merayapi kaca jendela melihat kita dalam satu raga dan jiwa. Bercengkrama dalam untaian cinta. Aku mendekatinya dengan canggung. Namun harus kulakukan. Memaksanya bangun untuk menunaikan kewajiban sebagai hamba-Nya. Kucondongkan tubuhku di sisi ranjang. Mendekatkan tubuhku untuk sampai di wajahnya. Kupegang tangannya yang tertidur menyilangkan tangan. Menggerakkannya perlahan. Namun dia belum membuka kelopak matanya. Kucoba mengelus indah mayangnya sembari menggerakkan tangannya pelan. Dia membuka matanya. Menghembuskan napas panjang, kemudian menatap tirai putih di langit-langit ranjang. Dia 5
Kemuning Cinta Tanpa Bicara menolehkan pandangan padaku. Tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku kembali berdiri melihatnya terduduk sesaat sebelum dia beranjak ke kamar mandi. Segera aku menuju lemari ukir berwarna brunette tempat pakaian kami disimpan. Aku mengambil baju koko hijau lumut berbordir benang hijau tua dengan sarung tenun warna hijau avocado. Kuletakan di atas sofa. Lalu mengambil gulungan mukena milikku. Kuhamparkan sajadahnya di depan sajadahku. Melihatnya keluar dari kamar mandi yang sudah basah karena air wudhu. Aku bergegas menuju kamar mandi. Menanti giliranku berwudhu. Membersihkan segala kotoran baik dalam tubuh dan jiwaku. Menyegarkan untuk bermunajad berharap setiap butiran-butiran doaku diijabah-Nya. Berharap buih-buih dosa terpupus pada setiap sujud-sujudku. Mas Arya telah berdiri berbalut busana koko dan sarung. Tampak semakin tampan aura imannya. Membuatku semakin mencintainya. Takut kehilangannya. Aku berlari kecil. Takut membuatnya menunggu lama. Hingga aku terpeleset di dekatnya. Dia menahan tubuhku. Hampir bersentuhan. Dia tersenyum geli melihat tingkahku. 6
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Mbokyo ati-ati4 to, Ning. Tidak akan aku tinggal kok. Berharap pahala besar jika kita bisa mendirikan jamaah. Meskipun di rumah.” Dia tersenyum, membantuku berdiri. Aku hanya tertunduk malu. “Yowis, ayo kita sholat dulu. Pakai mukenamu.” Aku cepat-cepat memakainya. Lagi-lagi membuatnya tersenyum geli. “Ning, mukenamu mosah-masih5 itu lho.” Dengan cepat dia mendekatiku. Merapikan mukenaku dengan hati-hati tanpa menyentuh yang membuatnya batal wudhu. Aku berdebar. Antara malu dan senang. Perhatian kecilnya membuatku rindu. Menanti kedatangannya. Tutur katanya yang kalem namun berwibawa membuatku tenang berada disampingnya. Kami sholat berjamaah berdua. Di kamar kami. Kamar berdinding putih yang mengguratkan putihnya iman, hati dan kasih sayangnya. Sembari menanti isya’, dia membaca ayat-ayat suci. Aku berdzikir. Mengulurkan doa-doa yang tersemat. Berharap, mas Arya menerima diri ini seutuhnya. Selepas azan isya’, kami berjamaah kembali. Mengulang doa yang sama. Harapan yang terangkai dalam sujud-sujud kami. Dia memutar tubuhnya dan mengulurkan tangannya. Aku meraihnya dan mencium punggung tangannya. Ya Allah, semoga nuansa 4 Harusnya hati-hati 5 Berantakan 7
Kemuning Cinta Tanpa Bicara ini tetap ada di kehidupanku. Menjalani hari bersamanya. Berbakti sebagai istri shalihanya. Mas Arya bergegas melucuti baju koko dan sarungnya. Aku membantunya merapikan dan menggantungkan kegantungan baju. Dia bergegas memilih-milih baju ganti. Aku sibuk merapikan mukena dan sajadah. Aku kembali ke dapur melihat mbok Yem menyiapkan makan malam. Mengambil alih pekerjaanya. Memberi kesempatan untuk mbok Yem shalat. Aku melihat di antara pintu kamar ibu terbuka. Ibu sedang duduk bersimpuh di atas sajadah. Memainkan butiran tasbihnya. Kuletakkan piring-piring di meja makan. Nasi yang masih hangat mengepulkan asap. Tercium aroma wanginya berpadu tumis kangkung dengan sambal terasi yang menyengat memikat. Pepes ikan tuna juga terhidang dan terbungkus daun pisang yang berubah warna kecoklatan karena dikukus. Mas Arya menuruni tangga. Berpakaian kaos berkerah lengan pendek berwarna jingga gelap semakin terlihat lengan tangannya yang gempal. Mengenakan jeans biru dongker. Sangat kontras dengan wajah tampannya. Kulit tubuhnya seperti bangsa Turki dengan cambang tampak kebiruan. Setiap paginya, mas Arya mencukurnya. Membuatku terpaku sesaat. Menikmati keindahannya, ketampanannya. Penampilan yang berbeda ini tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mas Arya setiap bekerja hanya mengenakan kemeja polos bercelana formal. 8
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia mendekati meja makan. Mendekatiku. “Ning, maaf ya. Aku tidak bisa menikmati sayur kangkung dan pepes tuna buatanmu malam ini. Aku sudah harus ke kafe. dokter Keysha dalam perjalanan saat ini.” Tangannya memegang sandaran kursi. Aku hanya mengangguk. Walau sebenarnya aku tidak rela mas Arya bertemu dengan Keysha. Hatiku selalu berdesir saat mendengar namanya. Mas Arya berlalu. Angin menghembuskan aroma parfumnya. Aroma yang selalu kurindu. Kuikuti dirinya. Mengiringinya di halaman rumah. Mobil putih melesat berlalu di balik pagar besi bercat hitam. Mbok Yem melintasiku untuk menutup pagar. Lalu mengajakku masuk rumah. Ibu sudah duduk di meja makan. Aku melayaninya. Mbok Yem aku ajak serta makan bersama. Aku hanya mengambil sedikit nasi. Tidak selera makan. Kecemasan yang membuat perut ini terasa kenyang. “Nduk, makan sing akeh6.” Ibu melihatku dengan isi piring yang sangat sedikit. “Inggih, Mbak Ning makan jangan sambil melamun. Ora ilok7.” Mbok Yem juga merasa heran. Aku hanya memainkan sendokku. Enggan untuk makan. 6 Yang banyak 7 Pamali 9
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku melihat jam menunjukkan pukul 22.30 WIB. Kecemasanku menderaku. Apa yang diperbincangkannya hingga selarut ini? Aku sesekali melirik tirai jendela. Menunggu mobil milik mas Arya muncul di depan pagar. Ibu yang sedang dipijit kakinya oleh mbok Yem melihatku sambil senyum. Bergeleng-geleng kepala melihat kecemasanku. “Uwis to, Nduk, jangan bingung begitu. Masmu pasti pulang. Kene, lihat film India. Lihat Nduk, yang main ganteng. Mirip kang masmu Arya. Awakmu beruntung nikah sama nak Arya. Wis ganteng, santun, perhatian sama awakmu.” Dia menyuruh mbok Yem berhenti memijitnya. Dia meletakkan kakinya ke lantai. Mengambil secangkir teh tawar hangat dan diminumnya. Aku kembali duduk disamping ibu. Masih dicekam rasa cemas. Masih menanti mas Arya. Menunggunya di balik tirai jendela. Hingga setengah jam kemudian. Kudengar mesin mobil terdengar tepat di depan pagar. Aku bergegas menuju pintu. Kulihat ibu sudah melangkahkan kakinya ke kamar tidurnya. Dengan hati yang berbunga-bunga kusambut mas Arya. Membukakan pintu pagar. Mobilnya melintas dan masuk garasi dengan sempurna. Kututup pintu pagar dan menggemboknya. “Belum tidur Ning?” Dia keluar dari pintu mobilnya. Melihatku dengan iringan senyum. Aku membalas senyumannya. 10
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Maaf ya, kamu jadi menungguku lama.” Dia berjalan mengiringiku. Membantuku mengunci pintu. Tetap berjalan mengiringiku. Menungguku mematikan lampu seluruh ruangan. Lalu berjalan menyusuri tangga ukir menuju kamar kami. Kamar yang terasa suwung. Dia menyalakan lampu kamar. Bergegas berganti pakaiannya tanpa canggung, aku melihatnya. Melihat indah tubuhnya. Melihat betapa dia pria sempurna, ciptaan-Nya. “Karena kami sudah lama tidak bertemu jadi ya, kami mengobrol banyak. Dia menceritakan pengalamannya saat meraih beasiswa S3 di Universitas Oxford di Inggris. Dia mendapat tawaran bekerja di rumah sakit ternama di Singapura.” Mas Arya menyandarkan tubuhnya di atas sofa. Sofa yang membuatku jengah. Sofa yang menemani malam-malam panjangnya. Terlebih lagi cerita tentang pertemuannya dengan dokter Keysha Larasati. Aku hanya tidak bisa membayangkan. Seperti apa wajah Keysha Larasati yang membuat mas Arya begitu bersemangat bercerita. Membuat hasrat hatinya membara. Aku semakin takut akan pujian mas Arya untuk Keysha. Begitu istimewanya dia dimata mas Arya. Cantikkah dia? Jam berdenting menunjuk pukul dua belas malam. Mas Arya menghentikan ceritanya. Melihatku tidur di sisi kanan ranjang bertirai putih. Dia menghampiriku. Mengambil bantal dan selimutnya. Bukan untuk menemani tidurku. Bukan membuaiku. Bukan merangkai untaian mimpi bersamanya. 11
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku tetap sendiri di ranjang pegas berumbai tirai putih. Aku hanya menarik selimutku. Menghalau dinginnya malam. Dinginnya hati mas Arya. 12
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 02 RESEPSI PERNIKAHAN Mobil mas Arya sudah berada di halaman rumah. Aku melihatnya di balik jendela ruang utama. Dia membawa beberapa tas berwarna coklat bertuliskan Ana Boutique. Memasuki ruangan dimana aku membantu mbok Yem membersihkan pernak-pernik dan mebeler ukir kesayangan Mas Arya. Dia menarik tanganku. Meninggalkan mbok Yem sendiri di ruangan utama yang masih dibereskannya. Aku mengikuti langkahnya. Melewati tangga kayu terukir indah. Seindah sentuhan tangannya menggandengku. Ia letakkan tas di meja. Dia merogohnya dan mengeluarkan busana dan melekatkannya pada bahuku. Melihatnya dan membandingkannya pada wajahku. Apa busana cantik itu untukku? Atau untuk wanita lain yang memiliki postur tubuh yang sama denganku? Aku hanya diam. Ponselnya diambil disaku celana. Dia menghubungi seseorang. “Wa’alaikumusalam, Citra. Kamu sekarang sibuk tidak?” Dia terdiam sejenak, mendengar balasan suara Citra melalui ponsel. “Bisa bantu mbakmu Ning? Tolong panggil sahabatmu yang bisa make up ya.” Mas Arya menutup panggilan ponselnya setelah dia mengucapkan terima kasih untuk Citra. 13
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia mendekatiku. Menarik dan memegang bahuku, menuntunku untuk duduk di sofa kesayanganya. “Ning, dua minggu lalu. Aku mendapat undangan dari sahabatku Marcel. Dia sahabat baikku sewaktu SMA hingga kami diterima diperguruan tinggi yang sama. Dia hendak menikah.” Dia menyodorkan selembar kertas undangan untukku. Aku membuka undangan itu. Undangan yang berhias pita warna emas dengan dipenuhi foto-foto prewedding. Aku membaca tanggal acara itu. Hari ini. Jadi maksud mas Arya membelikan busana itu untuk diriku. Antara bahagia dan bingung, apa yang harus aku lakukan. Aku malu bertemu dengan banyak orang. Terutama bertemu teman-teman mas Arya. Aku malu mereka melihatku dan mengetahui kekuranganku. “Aku mohon sama kamu, Ning. Maukah kamu ikut bersamaku diacara itu?” Mas Arya menekuk lututnya terduduk didepanku. Memegang kedua tanganku. Menangkap manik mataku dengan sorot mata berharap. Aku tak berdaya melihat tatapannya. Tatapan itu membuat detak jantung berdebar tak menentu. Membuat napasku tertahan. Aku hela napas panjang. Mengangguk. Menerima permintaannya. Sorot mata yang berbinar-binar dengan gurat senyum dibibirnya. Dia mencium punggung tanganku dengan begitu lembut. Mengucapkan terima kasih padaku. Mas Arya membuka lemari. Membuka brankas kecil yang tersimpan didalamnya. Dikeluarkannya beberapa kotak bludru berwarna 14
Kemuning Cinta Tanpa Bicara merah. Dan menutup brankas itu kembali. Kotak bludru disimpannya di laci meja kerjanya. Mas Arya mengganti kemejanya dengan kaos berwarna putih polos. Dan beranjak duduk dikursi malas dekat balkon. Dia sesekali melihat ke bawah melihat halaman dan pagar dari atas sana. Menanti Citra. Terlihat senyumannya ketika mobil Citra terlihat di depan pagar. Citra dan temannya memasuki kamar kami. Aku menjabat tangan Citra dan temannya lalu bergegas untuk mandi. Kulihat mas Arya berbicara serius dengan Citra di balkon. Sahabat Citra mempersiapkan beberapa make up yang kesemuanya itu tidak aku kenal kecuali lipstik. “Sudah selesai mandinya, Mbak? Ayo sini, Mbak Ning akan di make over.” Citra memegang tanganku menuntunku untuk duduk di depan meja rias. Aku duduk di depan cermin meja ukiran minimalis berwarna putih. Wajah polosku terlihat jelas di cermin. “Ris, tolong make over mbakku ya. Pokoke buat secantik mungkin.” Citra memegang pundakku. Melihat wajahku dari cermin meja rias. “Cit, mbak Ning itu wis ayu banget lho. Dipoles sedikit tambah terpancar kecantikannya.” Risa memegang daguku melihat dengan senyumannya. “Yowis terserah pokok dipoles sing sip, ben tambah cuantik ya. Masalah duwit gampang. Itu pak bos siap bayar.” Mulut Citra 15
Kemuning Cinta Tanpa Bicara mengkrucut menunjuk kearah mas Arya yang sedang memainkan ponselnya. “Gampang Cit. Gratis ora popo. Tapi enek syaratnya.” Risa memandang Citra sambil mengambil alas bedak. “Apapun syaratnya. Tak jabani. Apa penjalukmu8 cah ayu?” Citra terkekeh. “Aku pinjam mbak Ning dan mas Arya untuk aku jadikan model di event lomba rias pengantin ya,” Risa berbicara pelan dekat dengan Citra. Mereka tertawa berdua. Aku ikut tersenyum melihat obrolan mereka. Kulirik dari pantulan cermin, mas Arya keluar kamar membawa handuk, tas bertuliskan Ana Boutique dan kotak bludru merah. Satu setengah jam kemudian aku sudah siap dengan tata rias lengkap dengan busana yang aku kenakan. Citra mengajakku keluar dari kamar. Risa masih sibuk membereskan peralatan tata riasnya. Kami menuruni tangga perlahan. Busanaku yang panjang menjuntai, aku angkat sedikit untuk memudahkanku menuruni tangga. Kulihat mas Arya duduk di kursi meja makan dengan busananya yang membuatnya semakin tampan. Citra memanggil mas Arya. Dia mendongak keatas melihat kami. Melihat tanpa berkedip. Tatapan matanya mengikuti langkahku menuruni tangga. Dia berdiri menghampiri dan tetap memandang. Citra sudah berpindah tempat dan memberikan tanganku pada mas Arya. Aku 8 Permintaanmu 16
Kemuning Cinta Tanpa Bicara merasa malu, canggung melihat tatapan mata mas Arya. Tatapannya penuh makna. “Mas... mas... Mas Arya!” suara Citra sedikit melengking dan mencolek perut mas Arya yang sejak tadi tanpa berkedip melihatku. Diam tanpa mengucap sepatah kata pun. “Ada apa Citra?” mas Arya menjawab terkaget. “Wis aku mulih9 ya, Mas. Dijaga mbak Ning. Aja sampai hilang.” Citra terkekeh dan kembali naik tangga memanggil temannya untuk pulang. Mas Arya berterima kasih pada mereka. Mereka berlalu pergi. Mas Arya mengeluarkan kotak bludru merah dari sakunya. Membukanya. Terdapat sebuah kalung bermata berlian dikotak itu. Mas Arya mengambilnya. Membuka pengaitnya dan kedua tangannya. Melingkarkan dileherku. Aku mencium parfumnya. Aroma yang aku rindu. Mengakhirinya dengan menatap wajahku lebih dekat sepuluh senti. Lalu dibuka kotak bludru lebih kecil. Terdapat sebuah cincin platina didalamnya. Dia mengambilnya. Menyematkan ke jari manis tangan kananku. Aku melihatnya. Terukir namanya. Mahendra Arya Putra. Aku hanya membalas senyumannya. Mengikuti genggaman tangannya menyusuri ruangan-ruangan istana kami. Mobil putih itu terasa seperti kereta kencana yang siap mengantar kita berdua. 9 Pulang 17
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Kita menyusuri lorong berenda berhias bunga, tangan mas Arya memegangku semakin erat. Megah. Itu kesan yang kulihat di acara resepsi pernikahan Marcel sahabat karib mas Arya. Para tamu sudah hampir memenuhi ruangan. Suasana musik slow menenuhi ruang resepsi. Aku semakin canggung. Namun mas Arya tetap memegang erat telapak tanganku. Menghalau raguku. Menguatkan diriku. Dia ada untuk tetap disampingku. Aku merasa nyaman ketika senyum dan tatapan matanya untukku. Busana gamis berwarna cream terang. Berhias bunga disamping kanan hingga menjuntai ke bawah. Kerudung berwarna coklat tortilla. Sederhana namun elegan. Mas Arya mati-matian merayuku untuk ikut bersamanya. Termasuk make over diriku. Dia mengenakan kemeja warna coklat caramel dengan jas coklat yang memikat. Senada dengan penampilanku. Semua mata tertuju pada kami. Aku melihat wajah mas Arya begitu bahagia. Bahagiakah dia bersamaku? Atau kebahagiaannya hanya untuk sahabatnya? Aku sulit menyelami telaga hatinya. Hatinya masih terlalu dingin untuk aku arungi. Meski aku sangat menginginkannya. \"Wah! Arya, dapat bidadari surga dari mana ini?\" Pria berkulit sawo matang ini melihatku dari tanpa berkedip. Mas Arya mengenalkan nama temannya. Faiz, dia memperkenakan diri hendak menjabat 18
Kemuning Cinta Tanpa Bicara tanganku dengan sopan namun aku balas dengan melekatkan telapak tanganku menghormatinya. \"Pantas, cucok banget Ar. Seperti raja dan ratu.\" Faiz menepuk bahu mas Arya sambil terkekeh. \"Siapa nama bidadarimu itu Ar, jangan pelit. Tidak bakalan kuculik kok. Mana mau sih dengan si kumel Faiz.\" Dia terkekeh lagi. Membuatku ikut tersenyum melihat tingkahnya. \"Ehh... lihat itu! Mantanmu datang, Ar\" Tiba-tiba saja Faiz menunjuk arah belakang kami. Membuat kami menoleh dan berbalik tubuh. Seorang wanita yang begitu cantik. Bergamis warna maroon. Dengan hiasan bordir benang emas dibagian gaunnya. Jilbabnya warna senada dengan hiasan kepala mahkota minimalis. Melangkah anggun mendekati kami. Sesekali dia tersenyum dan melambaikan tangan dengan tamu undangan yang kemungkinan sahabatnya. Dia telah berada diantara kami. Menyunggingkan senyuman. Senyumannya berpendar ketika telapak tangannya bersentuhan dengan telapak tangan mas Arya. \"Dokter Keysha Larasati. Dokter cantik berbakat, idola kita.\" Suara Faiz begitu keras membuatku terkejut. Mencambuk hatiku seketika itu. Seperti petir yang menyambar jiwaku. Dadaku menjadi sesak. Hatiku semakin kacau. Diakah wanita yang disebut oleh mas Arya? Menanti telfonnya hingga begitu gila, mencari waktu untuk menemuinya dengan dalih konsultasi. 19
Kemuning Cinta Tanpa Bicara \"Ar, sudah memberi selamat pada sahabat kita belum?\" kata Keysha membuka percakapan. Meski suara wedding singer cukup keras. Namun suara Keysha begitu menarik perhatian mas Arya dan Faiz. Kami mendatangi Marcel dan istrinya. Berfoto bersama. Hingga aku dikejutkan pada area selfie. Teman-teman kerja mas Faiz menariknya ke tempat itu. Begitu juga Keysha. Mereka berdua bersinggungan lengan. Kulihat ada kecanggungan dimata mereka. Membuat hatiku semakin tak menentu. Salah satu teman Mas Arya menyodorkan dua tulisan yang membuatku semakin tak tenang. Keysha memegang kata MASIH SENDIRI sedangkan mas Arya memegang kata CLBK. Aku tidak tahu apa arti CLBK. Yang membuatku tak senang, manik mata Keysha begitu berbinar-binar. Mas Arya hanya tersenyum. Membuat hatiku hancur berkeping-keping. Keysha memegang dengan mesra lengan mas Arya. Aku menahan air mataku. Aku ingat pesan yang telah memoles wajahku. Jangan sampai maskara luntur kena air. Apalagi air mata. Aku menarik napas panjang. Kuatur ulang air mata yang hendak menelimuti kornea mataku. Kukemas dan kusimpan nanti sampai di rumah. Ya Allah... harusnya aku dirumah. Menantinya dengan cemas. Namun tak begini. Begitu sakit. Melebihi rasa sakitku akan penolakan mas Arya. 20
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Marcel mendatangi mas Arya berbisik sesuatu. Kemudian berbisik pada Keysha. Andai aku mendengarnya. Sudahlah. Melihatnya tadi sudah membuatku getir. Beberapa detik kemudian MC memanggil nama Mahendra Arya Putra untuk naik panggung. Mas Arya memegang tanganku mengajakku menuju kursi-kursi berderet yang menghadap panggung kedua mempelai. Dia memintaku duduk menantinya. Mas Arya menuju ke panggung. Hendak mempersembahkan suara indahnya. Suara yang gemanya selalu kurindu. Suaranya yang selalu berbisik di telingaku. Suaranya yang lembut saat berbicara dekat dengan wajahku. Suaranya yang membuat hatiku meleleh alunan nada- nada cinta yang dia mainkan. Aku terhentak, ketika Keysha sudah duduk di sampingku. Menatap tajam wajah mas Arya. Mendengarkan bait-bait lagunya. Dengan senyumannya. Mas Arya bernyanyi sembari menatap kearah kami. Hati ini semakin kacau. Untuk siapa nada-nada cinta itu berlabuh? Untukku atau untuk Keysha? Wanita disampingku yang begitu terlihat ambisius memandang mas Arya. Sudut matanya seakan merebut apa yang sudah aku miliki dari mas Arya. Meskipun raga mas Arya, bukan hatinya. Keysha menyambut setangkai bunga mawar yang dibawa mas Arya. Aku mengambil tisu yang sengaja aku simpan di tas kecil warna capucino. Hati-hati sekali aku menyeka air mataku. 21
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Sorak-sorai tepuk tangan dari para undangan terlebih teman- teman mas Arya. Kulihat senyum kepuasan dari Keysha telah memenangkan keadaan. Aku pergi mencari toilet. Melihat keadaanku. Rasa perih yang sengaja disiram air garam oleh Keysha. Wanita yang sejak awal membuat hatiku semakin luluh lantah. Aku terbakar cemburu. Dia melilitku kuat hingga tak kuasa air mataku berderai. Aku sesenggukan di toilet. Menatap cermin kecil. Meratapi kekalahanku. Ketika tangisku tak mampu kubendung. Aku mendengar suara Keysha bernyanyi. Lagu cinta yang dia dendangkan. Lagu yang mengisyaratkan cintanya masih dalam penantian dan kesetiaan. Hatiku semakin terpuruk. Sisi pikiran negatifku memprovokasi batinku. Semakin membuatku tak berdaya. Kudengar suara Keysha berhenti bernyanyi. Aku mulai redakan hatiku. Mengemas dengan rapi air mataku. Tapi yang tidak bisa aku sembunyikan adalah maskaraku. Maskaraku mulai luntur. Aku kebingungan untuk membersihkan sisa lunturnya. Mas Arya muncul dipintu toilet. Dengan wajah penuh cemas. “Ning, aku mencarimu. Kau kenapa, sakit?” Mas Arya memegang pundakku. Aku memutar badan mencari wajahnya. “Waduh, kenapa tidak bilang sama aku. Iki maskaramu luntur. Dleweran10 di pipimu. Sebentar ya.” Mas Arya pergi lagi. Melalui pintu 10 Meleleh 22
Kemuning Cinta Tanpa Bicara yang sama. Berlalu meninggalkan maskaraku yang luntur menorehkan bekas hitam di pipi. Mas Arya kembali masuk ke toilet, tempat aku kebingungan akan hasil karya tangisanku. Dia tidak sendiri. Membawa Keysha bersamanya. “Key, tolong dong. Ini maskara Ning luntur. Bisa tidak merapikannya?” Mas Arya memegang lengan Keysha. Membuatku semakin gusar. “Bagi Dokter Keysha. Tidak ada masalah.” Dia membuka tas kecilnya yang berisi beberapa kosmetik. Cukup lengkap. “Wah, itulah dirimu. Sejak awal hingga sekarang penampilan nomor siji.” Mas Arya memuji Keysha. Wanita itu tersenyum dengan bangga. “Iya, coba kalau dulu kamu tidak kenal aku. Pasti Dokter Arya dijuluki Dokter cupu. Sekarang julukannya DoCap. Dokter Cakep idola pasien dan perawat-perawat rumah sakit.” Dia terkekeh bersama mas Arya. Aku hanya diam. Melihat Keysha mengambil tisu basah mengelap noda hitam bekas maskara di pipiku yang meleleh. Aku menatap wajah Keysha. Wanita yang sekarang berada didepan mataku. Wajahnya memang cantik. Kulitnya putih bersih dengan hidung mbangir11. Dagunya panjang dengan bibir kecil sigar jambe. Tubuh 11 Mancung 23
Kemuning Cinta Tanpa Bicara mungil dengan sepatu hak tingginya menampilkan tubuhnya semakin menarik. Siapa saja pria akan terpesona melihatnya. Wanita yang selalu menjaga kecantikannya. Terlihat dari kosmetik yang dia bawa. Sedangkan aku hanya bawa tisu dan sebatang lipstik saja. Ya Allah... apa ini yang membuat mas Arya hingga sekarang enggan menyentuhku? Apa mas Arya mengidamkan wanita sempurna dan semua ada pada Keysha? Aku menahan perasaanku. Menahan semua obrolan mereka yang sangat dekat. Seperti sepasang kekasih yang baru dipertemukan kembali. Keysha selesai memperbaiki dandananku kembali. Mas Arya berterima kasih atas bantuannya. “Ning, kamu tidak enak badan? Sakit ya?” Mas Arya memegang pundakku dan melihat sorot mataku. Aku hanya mengangguk. Berbohong akan keadaanku sekarang. Berbohong tentang rasa sakitku akan kedekatanmu dengan Keysha. “Sudah Ar, lebih baik kalian pulang. Biar aku nanti bilang sama Marcel kalau istrimu tidak enak badan jadi pulang buru-buru.” Keysha menolongku sekaligus membuat pertanyaan besar akan hubungan mereka. Hubungan apa yang terjalin selain persahabatan. Adakah hubungan yang special antara mereka? Entahlah aku sulit mengartikan tatapan mata keduanya. Terlalu menyakitkanku. Mas Arya membawaku pulang. Aku hanya melihat lalu lintas yang mulai padat karena jam dua belas siang adalah saatnya waktu 24
Kemuning Cinta Tanpa Bicara istirahat makan siang. Aku tidak makan sejak pagi. Hingga membuat suara gemuruh di perutku. Mas Arya tersenyum mendengar suara perutku. Dia menepikan mobilnya ke sebuah warung soto. Warung itu cukup ramai. Mas Arya memesan dua porsi soto, dua gelas es teh dan segelas teh hangat. Banyak sekali pengunjung hampir memenuhi tempat duduk. Kami memilih duduk di pojok belakang warung. Tepat menghadap jalanan yang penuh lalu lalang kendaraan dan manusia. Aroma khas soto membuat perutku semakin keroncongan. Es teh telah tersaji dahulu. Aku coba ingin meminum es teh, namun Mas Arya menahannya. “Jangan minum minuman dingin dhisik Ning. Ora apik. Minum minuman dingin saat perut kosong dapat merusak selaput lendir dan membuat kerja sistem pencernaan melambat. Ini, minum teh hangat iki. Baik untuk mendorong sistem metabolisme tubuhmu agar bekerja lebih maksimal.” Dia menyodorkan segelas teh hangat. Aku mengangguk. Meminum teh hangat yang dia berikan. Tidak beberapa lama soto pesanan kami tiba. Kami makan bersama. Bersama dengan sekitar kita yang mendukung kebahagiaanku saat ini. Mungkin sesaat aku menikmati kebahagian. Entahlah, meski sesaat. Asal aku bersamanya. Mas Arya pergi sebentar beralih membeli sesuatu di toko samping warung soto. Dia membawa dua gelas plastik es krim coklat. 25
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Ini buat kamu. Coklat sangat baik untuk meredakan perasaan sedih atau suntuk lho.” Aku terkejut mendengar ucapan mas Arya. Dia mengerti keadaanku tidak sedang baik. Selepas kami habiskan semuanya. Kami meluncur kembali untuk sampai tiba di rumah, karena mas Arya besok ada tugas di luar kota selama tiga hari. Program bakti sosial di daerah terpencil memberikan layanan kesehatan gratis bagi masyarakat di sana. Aku pasti merindukannya. Merindukan segala yang dimiliki mas Arya. Kejutannya, perhatiannya dan candaan kecilnya terhadapku. Tak perlu telinga untuk mendengar kata cinta. Karena cinta membutuhkan detak jantung untuk merasakannya. Dan cinta tak perlu bibir untuk berucap kata cinta. Karena cinta hanya membutuhkan hati untuk merasakan debarannya. 26
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 03 PRASANGKA Satu hari berlaku, kulewati tanpa kehadiran mas Arya. Program bakti sosial yang dia lakukan bersama beberapa teman-temannya di suatu tempat terpencil membuatku merasa kesepian. Rasanya sudah setahun hariku tanpa senyum memikatnya. Tanpa aroma parfumnya. Merindukan saat-saat kami sholat berjamaah. Rindu suaranya saat membaca ayat-ayat suci. Rindu tatapan matanya. Rindu melihatnya di sofa. Rindu syair-syair cinta yang dia sematkan dalam nada-nada lagu. Inikah rasanya rindu yang menggebu. Seakan membelit kegusaranku. Ingin aku memutar waktu dua hari lebih cepat lewati lorong waktu. Namun hanya iringan doa untuknya yang mampu menguatkanku. Menghalau gundahku. Menghalau resah dan kecemasanku. Berharap mas Arya selamat dalam naungan perlindungan- Nya. Senantiasa teduh dalam rahman dan rahim-Nya. Gazebo kayu jati yang berada di samping halaman rumah. Aku bersandar padanya dan menikmati soreku sembari buka mushaf. Membacanya. Kuresapi dalam bait-bait syair Pencipta. Sang Maha Cinta melalui ayat-ayat sucinya. Semilir sang bayu mengibas juntaian hijabku. Aku resapi hembusannya. Mungkinkah itu pesan rindunya untukku. Terbawa terbang bersama sepoi angin. Berbisik akan kerinduan. Aku terdiam 27
Kemuning Cinta Tanpa Bicara sesaat. Menenggelamkan sanubariku bersama hembusan angin dan membawa kembali padanya. Kunikmati kerinduan di taman ini. Menatap bunga krisan yang menggantung di sisi kanan dan kiri halaman rumah kami. Bunga krisan yang mengabadikan nilai kejujuran. Tak senada kehidupan rumah tanggaku bersama mas Arya yang penuh kepura-puraan. Aku berharap krisan hidupku mampu mengubahnya menjadi kejujuran sejati. Barisan bunga melati mengelilingi rerumputan hijau. Terpaan angin membawa harum semerbak membuaiku dalam penantian. Melati putih yang melambangkan kesucian cinta. Sebesar harapanku akan cinta suci mas Arya, untukku. Meski aku masih mengeja setiap jengkal perhatiannya. Aku juga menyukai bunga morning glory atau bunga kemuliaan pagi yang menjalar di setiap permukaan pagar. Mas Arya bercerita. Itu bunga kenangan terindah yang dilaluinya. Bunga yang melambangkan kasih sayang, bunga favorit almarhum ibunya. Ketakjubanku bermuara pada kolam yang mengelilingi gazebo. Ada jembatan kecil untuk bisa melintasinya. Disinilah mas Arya luangkan waktunya. Memberi makan ikan-ikan koi di dalamnya. Sembari menikmati sore yang memikat. Ketika cahaya zodiak yang menggoreskan langit berwarna jingga. Dengan hangatnya mentari yang hendak menjemput rembulan. Menyeruput teh jahe hangat dengan aroma yang menyegarkan jiwa. Aku selalu membayangkan bersamanya, dia bersandar manja di pangkuanku. Membelai rambutnya. Bermain-main di 28
Kemuning Cinta Tanpa Bicara dagunya yang dipenuhi bulu-bulu halus cambangnya. Menceritakan tentang masa depan. Di sudut utara halaman, berdiri sawo kecik. Pohon sawo dengan buah kecil yang warna kulitnya merah. Sawo ini memiliki makna sawo becik yaitu baik. Memberi tanda sang pemilik memiliki sifat baik. Cerita mas Arya, di daerah Yogyakarta banyak yang menanam pohon ini. Pemiliknya umumnya orang abdi dalem keraton Yogyakarta. Apakah mungkin mas Arya masih memiliki darah seorang keraton. Entahlah, dia selalu terdiam ketika hendak bercerita tentang asal-usulnya. Mas Arya sosok pria baik yang aku kenal. Pujian bertubi-tubi ketika ibu mulai membicarakan tentang mas Arya. Perhatian dan kasih sayang tulus mas Arya kepada ibu, layaknya ibu dan anak kandung. Aku melihat betapa baktinya Mas Arya kepada Ibuku. Ibu juga menyayangi mas Arya. Hingga sering kudengar, doa-doa ibu dalam sholatnya teruntai untuk mas Arya. Aku dengar suara klakson mobil di depan pagar. Mobil Citra. Dia datang mengunjungiku. Mbok Yem membukakan pagar. Aku menutup mushafku. Beranjak menemuinya. “Mbak, aku datang setelah aku dapat telefon dari mbok Yem tentang Mbak Ning. Ayo dong, Mbak periksa.” Dia memegang lenganku. Mengajakku duduk kembali ke gasebo. Aku berfikir. Mbok Yem apa melihatku muntah-muntah tiap paginya. Apa dikira mbok Yem, aku sedang hamil. Ya Allah... 29
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Mbak Ning, tidak perlu khawatir. Yang meriksa Mbak Ning emanku cewek kok.” Citra menyakinkanku. Aku sebenarnya enggan. Menolak Citra untuk memeriksa keadaanku. Aku diam tak bergeming atau mengangguk. “Kalau Mbak Ning tidak mau, ya sudah. Nanti tinggal aku lapor saja sama mas Arya. Biar dipaksa sama mas Arya sendiri.” Mulut Citra cemberut. Tidak suka aku menolak bantuannya. Tapi aku juga tidak sanggup kalau mas Arya tahu dan membuat dia khawatir. Akhirnya aku bersedia menerima bantuan Citra. Aku berada di ruang tunggu. Ruangan yang dikelilingi poster wanita mengandung, menyusui dan bayi mungil yang lucu. Aku ingin seperti itu. Merasakan benih cinta mas Arya bersemayam dikandunganku. Merasakan gerakan lincahnya diperutku. Melahirkan buah cinta kami. Merasakan hari-hari bahagia dengan keluarga kecil yang membuat hidupku semakin sempurna. Citra duduk disebelahku, berderet dengan beberapa pasien yang mulai lengang. Kami mengamati sepasang suami istri yang tampak bahagia. Memeriksakan kehamilan yang aku rasa sudah mendekati bulan terakhir kelahiran. Sang suami yang selalu membelai perut buncit istrinya. Sesekali menciumnya tanpa canggung dengan kehadiran kami di ruang yang sama. Deret tempat duduk yang sama. “Ciee… Mbak Ning pasti mbayangne sama mas Arya ya?” dia berbicara pelan dekat telingaku. Menggodaku. 30
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Insyaallah, Mbak. Sebentar lagi pasti seperti itu.” Citra terkekeh pelan. Menggodaku. Menggoda angan-angan kosong yang selalu terlintas dalam benakku. Aku cuma tersenyum maya. Citra tiba-tiba berdiri menghampiri wanita berjas putih berkalung stetoskop. Dokter itu seusianya. Mereka berjabat tangan sembari menempelkan kedua pipi mereka bergantian. Saling memeluk seakan melepas rasa kangen diantara mereka. “Alisha, apa kabar. Lama tidak jumpa setelah kita lulus SMA. Oh ya, kamu mau periksa kandungan ya?” Dokter Alisha membuat senyum lebar pada Citra. “Wah, Sha, aku belum nikah. Pasangan saja belum punya. Mana bisa hamil.” Citra tertawa lirih. “Lalu siapa yang mau periksa kandungan Cit?” Dokter Alisha mulai mengenyitkan dahi. “Nih, mbak Ningku. Dia istri mas Arya.” Citra memperkenalkanku pada temannya. Kami bersalaman dan saling melemparkan senyuman. “Ya Allah, kok aku tidak diundang di acara pernikahan kakakmu.? Duh, patah hati jadinya.” Dokter Alisha mulai mengundang pertanyaanku. Dia juga sempat menyukai mas Arya. “Ya, untuk masalah pernikahan mas Arya panjang ceritanya, Sha. Sesuk ya, kapan-kapan aku ceritakan. Oh ya, mengenai kamu patah hati. Serius kamu suka sama masku? Hemm... pantas saja kamu dulu 31
Kemuning Cinta Tanpa Bicara sregep12 mengajak sinau13 di rumahku karena ingin ketemu mas Arya kan?” Mereka tertawa lepas. Dokter Alisha pamit untuk masuk ruangan periksa karena masih ada beberapa pasien. Aku dan Citra kembali duduk dibangku panjang ruang tunggu. Perawat memanggil sepasang suami istri yang sejak tadi menanti giliran. Tidak terlalu lama, tiba giliranku dipanggil. Ada nama mas Arya yang tersemat dalam panggilan perawat itu. Nyonya Mahendra Arya. Terasa berdesir di hatiku mendengarnya. Dokter Alisha mempersilakan kami duduk. Dia duduk di kursinya dengan meja kaca di depannya. Terdapat tensimeter, buku note, beberapa bolpoin yang bersandar di tempatnya serta beberapa brosur tentang masalah gizi dan kesehatan kehamilan. Dia memintaku menjulurkan tangan kananku. Dibukanya alat pengukur tekanan darah yang ada di atas mejanya. Dia membelitkan manset di lenganku. Lalu memompa bulb hingga lenganku terasa tertekan oleh manset tensimeter yang mulai menggembung. Dia melihat dengan tenang ukuran yang mulai naik dan pelan-pelan turun. “Tekanan sistoliknya 100 dan diastolnya 65. Tekanan darahnya rendah. Baik coba aku periksa di sana.” Dokter Alisha mengajakku untuk tidur di atas ranjang periksa. Sebuah ranjang matras dengan sprai berwarna merah jambu. Aku rebahkan tubuhku di sana. Di sampingku ada semacam monitor seperti 12 Rajin 13 Belajar 32
Kemuning Cinta Tanpa Bicara komputer dan terkait beberapa benda yang tidak aku mengerti. Dokter Alisha menyematkan eartips di telinganya. Menjulurkan tubing stetoskop dan menempelkan diaphagm didadaku. Memindahkan perlahan. Mendengar detak jantungku dengan teliti. “Tidak usah tegang ya, Mbak. Coba ambil napas panjang. Hembuskan perlahan.” Dia tetap mendengar detak jantungku dengan seksama. “Baik, sekarang saya USG ya, Mbak.” Dia mengambil alat USG yang berbentuk tongkat kecil. “Sha, kenapa pakai yang itu, bukan yang ini?” Citra menunjukkan salah satu bagian alat USG yang ujungnya pipih melebar. Persis yang aku lihat di iklan televisi. “Citra, alat USG memang macam-macam jenisnya. Yang aku pakai ini USG Transvaginal. Ini digunakan untuk melihat janin pada usia kehamilan sangat muda, mengetahui masalah infertil pada wanita serta pendarahan abnormal. Memang penggunakanya tidak melalui lapisan perut tapi langsung pada bagian genitalnya. Kalau yang kamu tunjuk ini, digunakan saat umur kandungan sudah menginjak lebih dari empat bulan. Pemakaiannya dengan menyentuh bagian perut bawah. Seperti yang ada pada iklan-iklan di televisi,” dokter Alisha menjelaskan sambil memberikan semacam cairan yang licin dan mengusapkan pada alat itu. Aku mulai panik. Takut dan ingin menolak. Dia mulai memeriksaku. “OMG... tidak mungkin!” Dokter Alisha menghentikannya. 33
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Sus, pemeriksaan selesai,” dia memberi tahu Suster, kemudian memberi kode untuk Citra agar keluar di ruang periksa. Dia mengembalikan alat USG ke tempatnya semula. Aku semakin gusar. Mengapa tiba-tiba secepat itu memeriksaku. Perawat mulai menyuruhku merapikan kembali gamisku. Mempersilahkanku kembali duduk di kursi depan meja dokter. Duduk menunggu mereka selesai bercakap-cakap. Aku tidak bisa menangkap pembicaraan mereka. Mereka tampaknya berbincang-bincang serius. Mereka kembali di ruangan. Memandangku dengan wajah berbeda. Kemudian tersenyum terpaksa. “Mbak Ning, tidak ada yang sakit. Cuma kecapekan. Makannya tidak teratur. Saya buatkan resep. Besok periksa di poli umum ya. Ini pengaruh asam lambung dan rendahnya tekanan darah sehingga menimbulkan mual dan pusing di kepala.” Aku mengangguk. “Ok, Sha, terima kasih ya untuk bantuannya.” Dokter Alisha menolak saat Citra membayar jasanya, mungkin karena persahabat yang membuatnya enggan menerima imbalan. Mereka bersalaman dan menempelkan kedua pipi mereka kembali. Berpamitan. Dokter Alisha menyalamiku dan menempelkan kedua pipinya. Tersenyum tipis pada kami. Aku menyusuri lorong ruangan beriringan dengan Citra. Dengan langkah yang sama. Tanpa bicara. Tanpa celoteh Citra yang ceria. Yang selalu kurindukan. Adik dari pria yang aku cintai. 34
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Mobil warna jingga melesat membelah jalan raya kota. Kesenyapan yang aku rasa. Kami sama-sama membisu. Hanya memandang keramaian kota saat itu. Hingga mobil Citra tiba di depan pagar. Aku keluar mobil membukakan pagar. Dia melesatkan mobilnya masuk ke halaman rumah. Memakirkannya. Citra keluar mobil dengan langkah gontai. Aku melihat dari wajahnya. “Ayo, Mbak Ning, kita ke kamar. Ada sesuatu yang ingin aku tahu.” Aku mengikutinya. Seiring langkahnya menyusuri tiap ruangan, menaiki tangga ukir warna putih hingga kami berdiri di depan pintu kamar. Aku membuka pintu kamar yang sepi. Sesepi perasaan kami. Terutama perasaanku yang mulai diliputi kecemasan. Aku duduk di sisi ranjang menghadapnya yang masih berdiri dengan wajah murung. Dia mendekatiku. Memegang kedua telapak tanganku. Menggenggamku dengan makna. Makna mencari kejujuranku. “Mbak, Mbak Ning.” Suara lembutnya terdengar lirih. Dia melihat mataku. Kulihat mata Citra sudah berkaca-kaca. “Apa benar, Mbak Ning masih perawan? Apa benar, mas Arya belum menyentuh Mbak sama sekali?” Mata ini semakin buram oleh air mata yang sudah di ambang kelopak mataku. Aku tidak bisa menyangkalnya. “Alisha sudah cerita semua. Dia periksa Mbak Ning masih virgin. Tidak akan ada kehamilan jika mas Arya tidak menyentuh Mbak sama sekali.” Air mata Citra mulai berderai. Dia menatap manik mataku 35
Kemuning Cinta Tanpa Bicara yang sudah tidak sanggup membendung air mata. Aku hanya mengangguk dan memeluk Citra. Menumpahkan segalanya padanya, rasa sakit yang kutahan sejak lama. “Mbak Ning, mulai sekarang jangan sungkan untuk berbagi kesedihan padaku. Aku akan berusaha bantu, Mbak Ning. Sebisaku. Semoga hati mas Arya luluh dan menerima Mbak Ning seutuhnya.” Dia menepis air mataku. Membuat telaga sejuk dari hatiku yang kering. Harapan masa depan sedikit ada celah cahaya dari gelapnya harapanku pada cinta mas Arya. Ucapan Citra memberikan angin surga yang sejuk menyentuh kesedihanku. Mungkin ini jawaban atas setiap doa yang aku panjatkan. Dukungan dari adik iparku. Membuatku semakin kuat menghadapi keadaanku, menghadapi keterpurukanku,menemukan kedikdayaan karena Citra. Seperti Dewi Kunti yang mendapatkan berkah putra dari para dewa dari ketidakberdayaan Pandu Dewanata untuk meneruskan trah keturunan. Citra mulai bercerita lagi. Mengalihkan kejadian pahit yang kita lalui beberapa jam lalu. Dia bercerita tentang masa sekolahnya dan persahabatannya dengan dokter Alisha. Ada banyak hal-hal yang lucu yang membuatku memotong sedikit kesedihanku. Kami tertawa di ruang ini. Ruang yang selalu suwung akan cinta mas Arya. Ruang yang memantulkan tawa kami dan cerita-cerita Citra. Hingga azan maghrib terdengar. Kami sholat jamaah dan bermunajad bersama. Lalu memecah kesunyian dengan membaca ayat-ayat suci. Menanti waktu isya’ tiba. 36
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Mbak, ayo tengok mbok Yem. Dia masak apa ya? Aku sebenarnya kuangen banget sama bothok tawon buatan Mbak Ning, sego liwet, pepes gerih, banyak deh pokoknya. Semuanya enak kalau Mbak Ning yang masak.” Kami berjalan menuruni tangga menyapa mbok Yem yang sudah mondar-mandir menyiapkan makan malam. Citra menghampiri ibu yang masih memainkan untaian tasbih. Menunggunya selesai. Dia mulai bersikap manja dengan ibu. Dia tidak canggung. Sudah lama Citra merindukan belaian ibunya. Sejak berumur 15 tahun dia harus kehilangan ibunya. Ibu mas Arya. Tidak heran mereka begitu senang ketika dekat dengan ibu. “Oh iya, Cit, tadi kamu mengantarkan Mbak Ning ke dokter. Piye kata dokter.Wis isi belum?” Aku tersentak mendengar pertanyaan ibu. “Ibu, kata dokter, mbak Ning tidak apa-apa. Mbak Ning cuma kecapaian dan sering telat makan maka, ya seperti itu. Pusing dan muntah-muntah. Seperti orang hamil.” Citra menuntun ibu ke meja makan. “Byuh... kadung seneng aku, Ning. Tapi tibakno bukan hamil.” Ibu mengerucut bibir. Dia kecewa. Harapannya bisa menimang cucu untuk mewarnai hari disisa usia senjanya, pupus. Aku seperti wanita tak berguna. “Sampun, sabar nggih, Bu. Usia pernikahan mbak Ning dan mas Arya belum seumur jagung. Ibu doakan saja buat mbak Ning dan mas Arya bisa segera dapat momongan.” Ucapan Citra menyelamatkanku. 37
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Mengurai kegalauanku akan keinginan ibu yang tidak mungkin terjadi. Harapan yang hanya membutuhkan tangan Allah untuk membuat hati mas Arya luluh. Menerima diriku sebagai istrinya seutuhnya. Kami makan malam bersama. Berbincang tentang asa kehadiran Arya junior ditengah-tengah kami. Ibu begitu berkeinginan besar. “Ning, tak gawekna jamu penyubur kandungan ya. Ibu pingin awakmu cepat hamil.” Ibu memulai hal yang membuatku getir. “Jamu macan kerah,” ibu menyebutnya. Sewaktu di dusun, beliau memang peramu jamu dan obat-obatan tradisional. “Macan kerah? Serem jamunya itu. Biar dua macan saling bertarung. Bertarung terus ya, Mbak, sama mas Arya.” Citra mencolek lenganku. Menggodaku untuk mengalihkan kesedihanku. “Iya... ben tambah tokcer ya Nduk Cit.” Mereka terkekeh bersama. Aku hanya tersenyum. Malam ini Citra menginap di rumah. Dia ingin tidur bersamaku. Bercerita. Di ranjang berumbai tirai putih, kini ada canda tawa kami. Menjemput malam hingga kita terlelap bersama. Jika aku mampu mengirim rinduku padamu. Biarkan kutitipkan rinduku bersama hembusan angin. Menyentuh setiap desir tubuhmu hingga merasuk pada hela napasmu. 38
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 04 KADO UNTUK MBAK NING POV : Citra Anarawati Namaku Citra Anarawati. Gabungan nama pemberian ayah dan mbah kakung. Menurut ayah, nama Citra berasal dari bahasa Sansekerta “Chitra” yang artinya bagus, beragam, indah, atau berwarna. Ayah berharap agar aku bisa tumbuh menjadi gadis cantik yang selalu ceria. Sedangkan nama Anarawati penambahan dari mbah kakung. Aku ingat kisah dari Mbah Kakung saat di Yogyakarta. Mbah kakung lebih suka memanggilku Anarawati. Mengingatkannya akan sejarah Majapahit. Seorang putri dari kerajaan Islam Champa bernama Anarawati. Istri dari Prabu Brawijaya. Mampu menggulingkan kerajaan besar Majapahit dan membangun kekuatan kerajaan Islam setelah Majapahit. Kakek berharap dengan nama itu, aku mampu menaklukkan hal besar dan mengubahnya menjadi hal yang lebih baik. Menurutku hal terbesarku adalah menaklukkan mas Arya dari egonya. Sering kali aku berdebat dengannya meski itu hal yang sepele. Setelah berdebat sengit. Mbok Yem melewati kami yang sedang membara berdebat cuma bilang. Rebutan balong tanpa isi. Berdebat untuk hal yang tidak berguna. Setelah kami mendengarnya, kami 39
Kemuning Cinta Tanpa Bicara langsung berhenti berdebat. Saling minta maaf dan berakhir tertawa atas kebodohan kami berdua. Itulah mas Arya. Berdebat adalah hobi saat kita mengobrol berdua. Namun hal yang membuat aku menyayangi mas Arya yaitu sifat pedulinya. Bahkan dia tidak memperdulikan dirinya sendiri demi orang lain. Apalagi pada orang yang dia sayangi. Pernah sewaktu aku masih kelas dua SD dan mas Arya sudah SMA saat itu. Kita dalam satu lembaga sekolah yang sama. Sekolah kami memang terdapat beberapa jenjang kelas mulai dari SD, SMP hingga SMA. Ketika hujan begitu deras. Aku menantinya di depan halaman sekolah. Aku lupa membawa payung. Mas Arya berlari menghampiriku dengan membawa jas hujan. Dia memakaikan jas hujan miliknya. Menyimpan sepatu dan tas kami dalam kantung plastik. Pulang sekolah bertelanjang kaki. Kita melawan hujan yang begitu deras saat itu. Seragam putih abu-abunya basah kuyup. Membawa bungkusan plastik besar yang berisi tas dan sepatu kami. Mas Arya menggendongku. Tubuhnya menggigil kedinginan. Namun dia tetap menggendongku dari belakang, membawaku pulang. Sesampainya di rumah. Mas Arya terserang demam tinggi. Kehujanan hanya ingin melindungiku. Tidak memperdulikan dirinya sendiri. Ada yang lebih gila lagi yang dilakukan mas Arya sewaktu kita kecil dulu. Merelakan dirinya dikejar anjing dan berakhir dengan bekas gigitan anjing di lengan kirinya. Demi melindungiku. Aku menangis 40
Kemuning Cinta Tanpa Bicara seharian waktu itu. Citra kecil yang polos. Takut terjadi apa-apa pada mas Arya saat melihat lengan kirinya bersimbah darah. Ada empat jahitan yang harus dilakukan untuk menutup luka menganga di lengannya. Aku begitu menyayangi mas Arya. Sosok kakak yang aku kagumi. Hingga kini, dia selalu ada untukku. Memenuhi kebutuhanku. Menjaga diriku dari tindakan bodoh sewaktu remaja. Mencegahku dari pergaulan bebas. Seakan-akan kita saudara kembar yang tidak terpisahkan. Sewaktu aku kuliah, banyak sekali yang mencibir tentang mas Arya. Hei, itu bodyguardnya datang. Hei, itu cethengnya datang. Aku sudah kebal cibiran-cibiran mereka. Bahkan dari cibiran mereka, terselip kekaguman teman-temanku. Mungkin karena ketampanannya. Tubuh yang proposional dengan tubuh cukup jangkung, siapa juga cewek tidak gandrung. Bermacam alasan teman-teman cewekku untuk berbasa-basi datang ke rumah hanya untuk bertemu mas Arya meski hanya menyapanya. Pernah juga ada teman yang karena kagumnya. Ketika melihatnya dan berkenalan. Bluk... pingsan. Setelah siuman. Melihat mas Arya lagi dia bergumam, “Cit, apa aku sudah di surga ya? Aku bertemu bidadara surga nih.” Waduh, ada saja tingkah mereka. Mengingatnya membuatku ketawa sendiri. Aku lebih memilih fakultas pendidikan dibanding mengikuti jejak mas Arya. Jujur aku tak sanggup melihat darah, luka yang 41
Kemuning Cinta Tanpa Bicara menganga, atau hal-hal yang berhubungan dengan organ tubuh. Rasanya ingin pingsan saja. Jadi aku memutuskan memilih jadi pendidik. Ini yang ditentang oleh almarhumah ibu saat aku ditanya tentang impian dan cita- citaku. Ibu berharap lebih dariku. Namun aku menyakininya, ini pilihan hidup dan aku ingin menumpuk pundi-pundi pahala seperti mas Arya meskipun jalan yang aku pilih berbeda. Banyak yang memandang pekerjaanku nyeleneh. Bahkan dipandang sebelah mata. Tapi jauh dari angan-angan mereka. Aku bisa membuat rangkaian bintang harapan bagi anak didikku. Harapan dari kekurangan yang mereka miliki. Harapan ada tempat istimewa dari keistimewaan yang mereka punya. Melihat mereka, seperti melihat rasa syukur yang mendalam karena aku tercipta sempurna. Melihat senyum mereka, itulah senyumku. Aku menempatkan diriku seperti mereka. Merasakan kekurangannya, keinginan mereka merangkai hal yang luar biasa di luar sana. Mendapat tempat di masyarakat. Bukan dari kekurangannya. Bukan dari belas kasihan. Namun murni bakat dan kemampuan yang dia miliki. Aku melihat mereka seperti malaikat tak bersayap. Berada ditengah-tengah mereka. Mengajarkan banyak hal kepada mereka. Merekalah, yang membuat hidupku teristimewa. Mengenyam selalu rasa syukur. Menjadi inspirasi akan hidupku. Bukan kekurangan yang membuat kita lemah. Namun kelemahan itulah membuat kita tidak pandai bersyukur akan hidup yang Allah titipkan pada kita. 42
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Oh iya, mengenai mbak Ning. Anjani Kemuning. Aku menemukan tulang rusuk dari mas Arya. Pertemuanku pertama ketika melihatnya dia wanita pemalu. Bersembunyi dipunggung mas Arya sewaktu aku menjemput mas Arya untuk pulang. Wanita yang begitu anggun. Berparas cantik dan terlihat begitu sempurna. Bersanding dengan mas Arya seperti sepasang dewa dan dewi yang berhias keindahan yang mereka miliki. Namun yang membuatku ingin menangis melihat mbak Ning. Peristiwa kecelakaan tragis yang membuatnya kehilangan suara. Ketidaksempurnaannya ini yang membuatku menangis. Aku memahami perasaannya. Ketidakberdayaannya. Aku sering bertanya ke mas Arya mengenai keadaannya. Apakah ada jalan mengenai mbak Ning? Memang ada jalan. Mbak Ning harus menjalani operasi. Namun biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit dan tidak bisa dilakukan di sini. Penanganan operasi melalui rumah sakit di luar negeri dengan beberapa pakar dokter yang sudah berpengalaman menangani kasus yang sama. Aku hanya bisa mendoakan untuk mbak Ning. Kakak iparku yang malang. Melihat keteguhan dan ketegarannya membuatku kagum akan sosoknya. Wanita yang sangat teduh. Pria mana pun akan merasa teristimewa ketika bersanding dengannya. Wajahnya yang begitu cantik dengan cahaya iman yang dia miliki. Aku sangat nyaman berada di dekatnya. Seperti rasa nyamanku dengan mas Arya. 43
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Seandainya saja mas Arya mampu menerimanya. Menerima dirinya dengan segenap cinta. Bersama mengayuh bahtera kuat rumah tangga dengan membawa serta putra-putrinya kelak. Masyaallah... keluarga kecil mas Arya akan diliputi keberkahan dan kebahagiaan. Andai saja putra-putri mas Arya terlahir dari rahim mbak Ning. Putra-putri yang dididik oleh seorang ibu yang memiliki kelembutan hati. Pastilah rumah tangga mas Arya selalu menebarkan semerbak harum surga. Kekuatan iman dan kecintaan yang besar terhadap Al Qur’an yang dimiliki mbak Ning menghantarkan Arya-Arya kecil menjadi putra-putri yang shalih dan shaliha. Mbak Ning adalah wanita nriman. Sikap mengalahnya. Terlihat di sorot matanya. Saat kedikdayaannya melemah, dia hanya pasrahkan pada Allah. Menangis saat sujudnya. Aku sering melihatnya menangis saat shalat. Ketika tahajudnya. Menggapai dhuha di setiap paginya. Menghiasi harinya dengan membaca mushaf disela-sela senggangnya. Sungguh, Allah kirimkan ratu bidadari surga untuk mas Arya. Namun hingga sekarang mas Arya belum menerimanya sebagai istri seutuhnya. Entahlah, aku tidak ingin berdebat dengan mas Arya yang sudah aku fikir dia pria dewasa. Jauh lebih bijaksana. Aku hanya melihat perhatian yang manis untuk mbak Ning. Namun, belum ada cinta dimatanya. Aku hanya melihat harinya dia lalui dengan mbak Ning. Namun, hatinya masih membeku akan kehadirannya. Inilah visi misiku. Mempersatukan mereka. Menautkan hati yang masih terpisah. Mencairkan hati mas Arya yang masih membeku. 44
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Mengubah cinta di mata mas Arya yang kosong terhadap mbak Ning. Sekarang aku bergerak menyatukan mereka. Siang ini cukup panas. Aku jalankan mobilku menuju pusat perbelanjaan di mall yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kerjaku. Jalanan yang cukup padat, tepat ketika waktunya semua penduduk pulang kerja. Butuh waktu satu jam kulalui kemacetan. Hingga aku bisa bernafas lega ketika sudah masuk kawasan mall. Pengunjung mall saat itu cukup padat. Mungkin ini waktunya berbelanja, mencari kebutuhan di mall ini yang kebetulan ada diskon besar-besaran di akhir tahun. Kulangkahkan kaki melalui eskalator yang bergerak menuju lantai dua. Begitu banyak baju berbagai model menggantung dengan tulisan SALE. Aku hiraukan itu. Tujuanku menuju galeri yang menjual pakaian dalam yang berkualitas. Menuju toko langgananku. “Mbak Citra, sudah lama gak kesini. Mana mas ganteng. Mas Arya.” Pemilik tokonya memang masih single. Berdarah etnis Tionghoa. Wajahnya cantik. Dia selalu bersemangat ketika aku dan mas Arya berbelanja di sini. Selalu diberi diskon meskipun pas tidak lagi diskon. Beruntungnya punya kakak ganteng. Kemana-mana diberi diskon. Uppsss... Ya Allah kok malah aku memanfaatkan kegantengannya. Hihihi... jadi geli sendiri. “Iya Cik, mau beli lingerie. Ada tidak? Yang kualitasnya bagus ya.” Aku sambil melihat-lihat baju hijab modern yang menggantung. 45
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 469
Pages: