UU No 6 Tahun 2014 dan Bangkitnya Desa Adat masyarakat hukum adat dengan aturan negara, juga kontestasi politik, dimana desa dinas bisa menjadi kekuatan politik. Desa Adat sebagai upaya pemenuhan amanat konstitusi Pasal 18B (2) dan penyelesaian krisis perdesaan (agraria, ekologis, dan sosial) pasca Putusan MK 35 Tahun 2012 mempunyai 3 elemen hak asal usul atau hak bawaan, bukan pemberian, yakni tatanan sosial budaya, tatanan sosial politk dan hukum, dan tatanan sosio ekonomi dan ulayat. Dari 3 elemen yang ada maka implikasi dari pengakuan atas kesatuan masyarakakat hukum adat adalah : • Pengakuan terhadap eksistensi organisasi dari ‘susunan asli’ ; • Pengakuan atas sistem nilai dan aturan-aturan yang men- gatur kehidupan bersama dalam ‘susunan asli’, terma- suk aturan-aturan yang mengatut ‘sumber-sumber ke- hidupan’nya; • Pengakuan terhadap ‘hak penguasaan’ ‘hak pertuanan’ atas apa yang disebut sebagai ulayat (baca: wilayah ke- hidupan) susuna asli yang bersangkutan. à Pengakuan atas ulayat mensyaratkan perubahan pada berbagai UU Sektoral yang selama ini tdk mengakui hak-hak mas- yarakat adat, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh TAP MPR IX/2001) • Dikaitkan dengan Pasal 18 dan 18A, maka desa atau dise- but dgn nama lain juga diberi kewenangan untuk menye- lenggarakan ‘pemerintahan nasional’! Untuk membangun Desa Adat dan Masyarakat Hukum Adat, sesuai dengan UU No 6 Tahun 2016 apabila memenuhi dua dari 5 unsur seperti tertuang dalam Pasal 97 ayat (2): Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus 477
Berguru Pada Desa memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya: (a) masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; (b) pranata pemerintahan adat; (c) harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau (d) perangkat norma hukum adat, Pemberlakukan pemenuhan syarat sesuai UU No 6 Tahun 2016 ini secara fakultatif. Hal ini berlainan sekali dengan Permendagri 52/2014: Menetapkan Masyarakat Hukum Adat, tapi tidak ada rumusan tujuan dengan mencermati (?): (a) sejarah; (b) wilayah adat; (c) hukum adat; (d) harta/benda adat; dan (e) kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Ditetapkan dlm keputusan bupati/walkot atau keputusan bersama kepala daerah, tanpa penjelasan tentang ukuran untuk verifikasinya. Pemberlakuan pemenuhan syarat secara akumulatif Pengakuan negara atas hak hak masyarakat hukum adat telah memberikan angin segar dan ruang lebar bagi tumbuh kembangnya desa adat dan masyarakat hukum adat, paling tidak ada tiga model pengembangan desa adat, yakni : • Model Penetapan mendahului pengakuan hak; dengan kriteria bersifat akumuatif, melalui Perda, MK 35/2012 (?) ; sebelumnya oleh UU 41/1999, Pasal 67; kemudian dikukuhkan oleh Permendagri 52/2014 (meski cukup dgn SK Bup); dan diteruskan oleh Perber 4 kementerian • Model pegakuan hak dengan alat verfikasi kriteria Mas- yarakat Hukum Adat yang bersif fakultatif, melalui Perda, sesuai dengan UU Desa 6/2014 = Pengakuan hak Mas- yarakat Hukum Adat atas pemerintahan dan pembangu- nan • Model pegakuan hak dengan alat verfikasi kriteria Mas- yarakat Hukum Adat yang bersifat akumulatif, melalui mekanisme adminitratif, Permenagraria 5/1999; dilanjut- kan oleh Permen Agraria dan Tata Ruang 9/2015 = Penga- 478
UU No 6 Tahun 2014 dan Bangkitnya Desa Adat kuan hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah Dengan tiga model pembentukan desa adat tersebut diatas, seharusnya bisa memicu kebangkitan masyarakat hukum adat untuk mewujudkan eksistenasinya, “ … kebangkitan adat juga menggarisbawahi kenyataan bahwa devolusi kekuasaan di sebuah negara yang sebelumnya tersentralisasi dapat menggiring kepada pengucilan, konflik, dan bahkan otoritarianisme di tingkat lokal...” (Hendli dan Davison 2010). Namun problematika kebangkitan desa adat masih menyeli muti dengan keraguan adanya kemauan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten, sampai dengan hari ini belum ada regulasi dari pusat, entah apa bentuknya yang menjadikan panduan terbentuknya desa adat. Sehingga nomenklatur tentang desa adat terancam mandul. Tanda tanda kemandulan akan nomenklatur desa adat antara lain tercermin dalam banyaknya tafsir atas norma UU yang meliputi Susunan asli, Hak asal-usul, Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Sesuai dengan prinsip-prinsip NKRI. Apa sesungguhnya makna kosa kata dimaksud, lalu siapa yang punya otoritas atas tafsir dari hal hal tersebut. Dari aspek turunan regulasi atas UU tentang Desa khususnya terkait dengan Desa Adat sampai saat ini masih semu, kalau toh ada inisiasi dari Kabupaten tentang Pembentukan Desa Adat, seperti yang terjadi di Papua dengan penetapan 36 Desa Adat, namun Perda Provinsi juga belum tersedia, demikian yang terjadi di Bali, di Sumatera Barat dan Riau, ada inisiatif dari kabupaten, namun belum ada regulasi ditingkat provinsi. Bentuk-bentuk pengaturan desa/komunitas, karena per kembangan dan perubahan sosial dan budaya, memang sudah beragam. Pilihan tunggal akan menimbulkan ketidakadilan 479
Berguru Pada Desa yang baru. Oleh sebab itu pilihan mana yang akan didaftarkan sebagai ‘desa’ akan sangat tergantung konteks keberadaan desa dan desa adat itu sendiri, yang situasinya memang beragam. Atas pilihan-pilihan itu, yang terpenting adalah jangan mengkhianati spirit desa adat. Jangan sampai ada desa adat yang ‘jadi-jadian’.Syarat-syarat sosial, budaya, dan spiritual keberadaan suatu desa adat tetap harus dipenuhi. Pada kasus pembentukan desa adat di bai misalnya pilihan yang diambil antara lain adalah: • Kondisi 1 = Desa Adat/Desa Pekraman, di mana struktur desa dinas diserap ke dalam struktur baru Desa Pekraman (Kades yang ada ditunggu habis masa tugasnya. Masa masa selanjutnya tidak lagi ada pemilihan Kepala Desa Dinas) • Kondisi 2 = Desa Dinas, di mana dalam proses peneta- pannya dinyatakan secara tegas bahwa di dalam wilayah desa dinas itu terdapat Desa Adat yang tidak menyeleng- garakan hak konstitusionalnya untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan (hal ini untuk menum- buhkan status hukum dari desa –desa adat yang bersang- kutan. Pada Desa Dinas yang bersangkutan bibentuk semacam ‘Dewan Pengarah’ yang terdiri dari wakil dari Desa-Desa Adat dengan kewenangan kontrol yang kuat. • Kondisi 3 = Kondisi 3. Struktur pemerintahan desa-desa dinas yang ada di lebur ke dalam struktur baru desa adat, dan menjadi unit penyelengara urusan pemerintahan dan pembangunan di bawah pimpinan kepala desa adat atau yang mendapat kewenangan untuk itu. Maka, untuk pembentukan desa adat di Bali bisa dipilih alternatif sebagai berikut; 480
UU No 6 Tahun 2014 dan Bangkitnya Desa Adat 1. Penetapan Masyarakat Hukum Aadat Desa Pekraman sebagai Masyarakat Hukum adalah suatu keniscayaan! 2. Apakah Desa Pekraman tertentu akan juga mengam- bil peran pemerintahan sebagaimana diatur oleh UU Desa 6/2014 adalah soal yang lain lagi (lihat Pasal 98: 2) 3. Instrumen hukum yang dapat digunakan – Melalui penetapan desa adat versi UU Desa; atau – Penetapan dengan Perda tentang Desa Pekraman dengan landasan hukum yang baru cq. Putusan MK 35 Tahun 2012. 4. Sesuai UU, Kebijakan Daerah yang dibutuhkan ada- lah: – Peraturan Daerah tentang Pengaturan Desa Adat di Tingkat Propinsi dan Kabupaten; – Peraturan Daerah tentang Penetapan Desa Dinas dan Desa Adat di Kabupaten/Kota. Dengan situasi masyarakat hukum adat yang demikian, masih sulitnya membangun desa adat, karena selama ini entitas masyarakat hukum adat sudah terporak porandakan dengan sistem pemerintahan yang unity dan seragam, oleh sebab itu, Pemerintah harus memiliki strategi tertentu untuk menyiasatinya, agar peluang yang sejatinya diupayakan dalam memenuhi mandat konstitusi itu dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak/masyarakat adat, dan tidak hanya bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok etnik tertentu saja. Beberapa kendala yang dihadapi, sebagaimana telah dijelaskan, harus segera dicarikan jalan keluarnya. Diantara garapan serius yang mestinya segera diwujudkan oleh 481
Berguru Pada Desa pemerintah untuk mendukung terbentuk dan berkembangnya desa adat dan masyarakat hukum adat antara lain adalah : a. Ranah Kebijakan: – Menyusun Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat; – Jika PP dianggap terlalu berat untuk dilakukan saat ini, setidak-tidaknya perlu disusun semacam PEDOMAN UMUM TENTANG PENGA- TURAN DESA ADAT. – Menyusun Peraturan Menteri mengenai tata cara pengubahan status desa menjadi desa adat (Pas- al 28, PP 43/2014); dan tentang Penataan Desa (Pasal 31 junto 32, PP 43/2014) b. Ranah Pengembangan Kapasitas: – Melakukan sosialisasi tentang peluang dan tanta- ngan nomenklatur desa adat di berbagai daerah yang relevan; – Mengembangkan kapasitas para pihak di tingkat Pusat dan Daerah yang berkepetingan dengan penerapan nomenklatur desa adat. c. ‘Forum Silahturrahmi Desa Adat’ – Konsolidasi di tingkat akar rumut Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan dan kesadaran terutama untuk penulis sendiri akan arti dan substansi desa adat. 482
Membangun Peradaban Desa Sawit Berkelanjutan Oleh : Nana Suryana (Tenaga Ahli Utama Human Resource Development KNP3MD 2016-2017) Kulepaskan sudah arena P3MD yang telah membawaku pada pergulatan wacana rekrutmen pendamping desa berserta Standard Operating Procedure (SOP) yang mengikatnya. Kulepaskan sudah arena pembangunan ekonomi lokal desa dan kawasan perdesaan yang mengilhamiku pada medan pendirian BUMDesa beserta turunannya Holding BUMDesa, BUMDesa Bersama, Transformasi UPK, Embung Desa, Pudes/Prukades, Sorga Desa dan aneka juklak juknisnya. Kutanggalkan sudah gelanggang inovasi desa dan pemantauan Dana Desa yang menyeretku pada pepatah dan pepitih serta peraturan penggunaannya. Kini tanpa terasa dua tahun sudah saya bergelut dengan dunia sawit. Dunia lain yang sebelumnya saya sendiri merasa asing dan tidak menyukainya. Bahkan cenderung membencinya, karena termakan hoax dan hasutan mitos yang mendeskriditkannya. Saya coba belajar dan bekerja langsung dengan mereka, masyarakat desa. Bergaul dan berbaur bersama petani sawit 483
Berguru Pada Desa di desa. Tidur, makan, ngopi, ngobrol bersamanya. Mencoba menyelami seluruh derap nadinya, harapan dan jutaan impian akan kemandirian desa dan hidupnya. Menjadikan alam raya sebagai sekolah, pengalaman sebagai pelajaran, dan sesama sebagai gurunya. Ya, saya tak ingin hanya “melihat desa dari Monas”. Merubah Paradigma Ya, saat pertama kali saya bersentuhan dengan kelapa sawit, satu-satunya pikiran yang ada di benak saya, bahwa kelapa sawit harus dimusnahkan dari muka bumi, karena me nyandang predikat negatif dan berbahaya bagi lingkungan. Kelapa sawit adalah tanaman yang kebutuhan airnya sangat tinggi dan memerlukan bahan kimia untuk membunuh gulma, sehingga berkontribusi terhadap pengurangan daya dukung lingkungan. Penggunaan pupuk kimia secara ber lebihan berdampak pada penurunan kualitas tanah. Kelapa sawit juga sering ditanam di kawasan hutan yang bukan Area Penggunaan Lain (APL). Hal ini menyebabkan deforestasi yang signifikan dan melepaskan karbon dioksida dan gas rumah kaca. Jika kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kelapa sawit dapat dibenarkan, maka tanaman itu adalah musuh bagi kelestarian lingkungan. Namun, pasca berinteraksi dan berdialog dengan para petani sawit, saya mengalami perubahan paradigma dari gagasan semula tentang sawit. Sekarang saya melihat sawit sebagai tanaman yang hanya memerlukan pengelolaan lebih baik dalam proses budidaya dan daur hidup produksinya. Perubahan pola pikir itu saya alami karena sadar, bahwa melawan kelapa sawit bukanlah hal yang mudah. Saya tahu kalau dalam beberapa tahun terakhir, minyak sawit mentah 484
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan (CPO) bertahan sebagai minyak nabati termurah di pasar global dibanding minyak nabati lainnya. Produktivitas minyak kedelai, rapeseed/canola, zaitun, bunga matahari, minyak kelapa, biji kapas, kacang tanah, sesame, linseed, dan lainya, hanya mampu menghasilkan minyak sekitar 0,3-0,6 ton minyak/hektar lahan. Sementara minyak sawit mampu menghasilkan 6-8 ton minyak/ hektar. Tidak hanya menghasilkan minyak tertinggi, tetapi juga mampu menghasilkan minyak sepanjang tahun selama 25 tahun secara terus-menerus, sehingga pasokan minyak sawit di dunia relatif stabil. Bagi saya, apabila tetap ngotot bahwa sawit harus dimusnahkan, maka pilihan yang paling masuk akal untuk memberantasnya adalah dengan cara mengembargonya. Mendorong konsumen untuk berhenti menggunakan kebutuhan pokoknya yang bahannya terbuat dari minyak sawit, seperti sabun, kosmetik dan makanan. Hal tersebut tentunya mensyaratkan terjadinya perubahan gradual di masyarakat secara menyeluruh untuk beralih dari produk yang mengandung minyak sawit ke produk yang tidak mengandung sawit. Tapi apa itu mungkin? Meskipun di dunia ini tak ada yang tak mungkin, tapi untuk saat ini saya menyatakan itu hal mustahil. Kenapa mustahil? Karena kelapa sawit merupakan tanaman ajaib ciptaan Tuhan yang dianugrahkan untuk dunia melalui tanah Indonesia. Kelapa sawit memang bukan tanaman asli Indonesia, melainkan asli dari Afrika Tengah. Namun di daerah asalnya sawit tidak berkembang, dan produktivitasnya juga relatif rendah. Setelah dikembangkan di Indonesia (1911), sawit melaju pesat dan menghasilkan minyak sawit untuk kebutuhan masyarakat dunia. Hal ini karena Indonesia juga dianugrahi Tuhan iklim yang kondusif sepanjang tahun. 485
Berguru Pada Desa Saat ini, Indonesia menghasilkan sekitar 36 juta ton minyak sawit dari 14 juta hektar lahan kebun sawit, dan lebih dari 70 persennya dibagikan keseluruh dunia dengan harga yang relatif murah. Tersedia jumlah yang cukup dan pasokan yang stabil sepanjang tahun, sehingga dunia dapat menikmatinya, baik untuk pangan, biodiesel, deterjen, sabun, lubrikan, pelumas, bahan kesehatan maupun kosmetika. Produksi minyak sawit Indonesia masih terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dunia yang terus bertumbuh. Prestasi tersebut turut merubah peta pasar minyak dunia dan menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar dunia sejak tahun 2006 sekaligus menjadi produsen terbesar dalam pasar minyak nabati dunia. Tidak hanya itu, kebun sawit Indonesia, baik milik BUMN, swasta maupun swadaya masyarakat, juga turut membersihkan udara bumi dari emisi karbon di dunia. Produktivitas minyak yang tinggi dari pohon sawit disebabkan tanaman sawit kerap menyerap karbon lebih tinggi dari atmosfir bumi, yang kemudian didaur ulang menjadi oksigen yang vital bagi kehidupan bumi. Untuk jasa membersihkan udara bumi itu diberikan kebun sawit Indonesia secara gratis ke seantoro jagat. Anda mungkin berpikir bahwa saya mendukung sawit karena pepatah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar. Dukungan ini saya berikan karena saya sudah melihat dan terlibat langsung atas pengaruh positif dari kelapa sawit yang dilakukan untuk mencapai kata keberlanjutan (sustainable). Namun sayangnya seringkali hal baik tersebut tetap tidak disadari, karena kontroversi yang terus menyelimuti industri sawit ini. Mereka yang menentang tidak menyadari bahwa perubahan yang nyata membutuhkan waktu dan upaya untuk 486
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan mewujudkannya, dan saya telah berupaya mewujudkan hal itu selama mendampingi para petani sawit yang tinggal di desa-desa sekitaran perkebunan sawit milik korporasi besar (swasta/BUMN). Pada akhirnya saya sadar, bahwa kunci dari keberlanjutan rantai pasok sawit bukan hanya tanggung jawab para produsen (petani, swasta/BUMN) saja, tapi seluruh stakeholders di balik industri sawit juga turut berperan. Sebagai contoh, walaupun ada upaya terbaik untuk melakukan pendampingan dalam membangun kebun sawit swadaya masyarakat melalui Kebijakan Sosial dan Lingkungan (GSEP), namun pelaksanaan akhirnya tetap berada di tangan para pemasok. Bersama dengan tim, saya berusaha menghadapi berbagai tantangan. Dari usaha untuk meluruskan persepsi yang salah tentang minyak sawit, mengatasi tuduhan palsu tentang proses pengelolaan limbah kelapa sawit, hingga mendampingi petani dan lembaga petani (Koperasi/Gapoktan/BUMDesa) untuk menerapkan business process setahap demi setahap agar sesuai dengan konsep pengembangan sawit berkelanjutan. Sebagai orang awam yang awalnya sangat asing dengan industri kelapa sawit, hal ini tentu saja menambah ilmu dan pengalaman baru saya untuk berpikir jernih dan objektif dalam menilai industri sawit agar tetap berkelanjutan. Peran Pendamping Pendampingan saya lakukan pada 1.354 orang petani yang tergabung dalam 12 Lembaga Petani, dengan total kebun sawit swadaya seluas 2.108 hektare, tersebar di 35 desa, di 9 kabupaten, dan di 4 provinsi. Di Provinsi Sumatera Utara ada di Kab. Labuhan Batu Utara, Kab. Labuhan Batu Selatan¸dan Kab. Padang Lawas Utara. Di Riau ada di Kab. Kampar, 487
Berguru Pada Desa Kab. Siak, dan Kab. Indragiri Hulu. Di Jambi ada di Kab. Merangin, dan Kab. Tebo. Sedangkan di Sumatera Selatan ada di Kab. Musi Rawas, Kab. Muara Enim, dan Kab. Ogan Ilir. Dari dialog bersama petani dan pemerintah desa yang memiliki culture dan budaya beragam, saya sadar bahwa kita tidak bisa begitu saja mengganti kelapa sawit dengan tanaman lain yang lebih ramah lingkungan. Untuk berhasil menanam sawit, seorang petani harus melalui masa ‘puasa’ panjang selama kurang lebih empat tahun sebelum ia dapat mengambil keuntungan finansial dari hasil panennya. Selama periode puasa tersebut, petani harus membiayai pemeliharaan kebun sawit tanpa ada penghasilan sedikitpun dari kebun itu. Begitu petani kebun sawit mulai menghasilkan tandan buah segar (TBS), banyak anggota keluarga mereka yang bergantung hidupnya pada pendapatan dari kebun sawit tersebut. Banyak pertanyaan yang diajukan petani kepada saya bila mereka harus berhenti menanam sawit. Bagaimana cara mengganti pendapatan mereka yang hilang itu? Padahal menanam sawit sangat penting bagi basis penghidupan keluarganya. Konsekuensi yang paling logis bagi ‘orang asing’ seperti saya bila meminta mereka berhenti menanam sawit adalah diusir dari desa tempat tinggalnya. Saya akan beruntung jika tidak sampai diarak keliling kampung dibawah ancaman ayunan parang karena amarah petani yang terpendam. Ya, pada akhirnya teori konservasi yang selama ini digaungkan oleh mereka yang menentang/anti sawit terputus dari individu yang menjadi subjeknya. Tercerabut dari akar habitatnya. Dari petani kelapa sawit itu sendiri! Setidaknya itulah yang saya saksikan di lapangan. Lalu lambat laun pepatah Mas Sutoro Eko kembali terngiang, “Desa adalah hulu masalah, dan Jakarta adalah hilir masalah. Jakarta adalah hulu kebijakan, 488
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan sedangkan Desa adalah hilir kebijakan. Masalah punya akar, kebijakan punya nalar. Dibalik nalar ada dahar dan mahar. Dibalik pandangan ada kepentingan. Dibalik solusi ada kontradiksi. Pemicu nalar dengan sadar selalu mencari dahar dan memburu mahar. Pemilik akar tidak punya kuasa membongkar nalar. Nalar tidak punya basis yang mengakar. Masalah dan kebijakan, maupun akar dan nalar berpapasan di tengah jalan dan di panggung pertunjukan, saling bertegur sapa, tetapi keduanya saling berpencar”. Hhmm, rupanya makna itu kutemui sekarang. Menjadi jelas bagi saya bahwa masyarakat desa dan petani sawit sejatinya juga akrab dengan perubahan lingkungan yang muncul sejak beralih fokus dari komoditas tanaman pangan dan rempah- rempah ke kelapa sawit. Mereka mengerti bahwa lingkungan desa dan dunia mereka terancam. Mereka sebenarnya peduli terhadap pelestarian lingkungan. Tapi, mereka tidak tahu bagaimana caranya, karena seluruh waktu dan energi mereka habis difokuskan untuk menuai hasil panen yang cukup demi mempertahankan basis kelangsungan hidup keluarga. Maka disinilah pentingnya makna kehadiran seorang pendamping desa yang benar-benar mengerti akan derap nadi dan roda kehidupan ekonomi petani sawit. Pendamping yang tidak terjebak pada tataran teknis administratif prosedural belaka, tapi pendamping yang nyata-nyata memahami dan menjalani akan kredo pendampingan, “Datanglah kepada rakyat. Hidup bersama rakyat. Berencana bersama rakyat. Mulailah apa yang dimiliki rakyat. Ajarlah dengan contoh. Belajarlah dengan bekerja. Bukan pameran, melainkan suatu sistem. Bukan pendekatan cerai berai, melainkan mengubah. Bukan pertolongan, melainkan pembebasan”. Kesadaran masyarakat desa terhadap masalah lingkungan 489
Berguru Pada Desa hidup adalah modal awal yang sangat besar jika pendamping desa mau mendorong petani, pemerintah desa, dan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan tindakan nyata dalam pelestarian lingkungan. Program sertifikasi yurisdiksional untuk kelapa sawit yang didasarkan pada Prinsip dan Kriteria Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah sebuah program yang saat ini dijalankan pemerintah dan perlu dukungan semua pihak, termasuk para pendamping desa, karena hal ini juga sejalan dengan PermendesaPDTT No. 3/2015 tentang pendampingan desa, dimana substansinya adalah usaha melestarikan lingkungan, membangun desa yang berdaulat dan mandiri, dengan menjaga adat istiadat dan kewenangan lokal desa berasaskan rekognisi dan subsidiaritas. Selain munculnya kesadaran dan motivasi petani untuk melindungi lingkungan dalam melaksanakan program serti fik asi yurisdiksional, pemerintah daerah dan berbagai instansi terkait juga sangat mendukung program ini. Penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B) yang sebelumnya memerlukan biaya ratusan ribu rupiah per hektar, kini telah digratiskan oleh pemerintah. Perkebunan kelapa sawit swasta di sekitar desa juga membantu masyarakat melalui pelatihan praktik agronomi yang baik dalam budidaya kelapa sawit. Pada akhirnya petani sadar akan pentingnya menjaga zona penyangga antara tanah pertanian dengan sungai. Kelapa sawit yang sudah ditanam di sepanjang muara sungai tidak akan diberi pupuk dan dilakukan penyemprotan, tapi dibiarkan tumbuh sebagai vegetasi alami sepanjang sungai. Petani pun mengorganisir diri sendiri untuk menciptakan platform untuk belajar dan bertukar informasi. Mereka bekerja berdasarkan sistem dialog dan konsensus, melalui pengendalian internal untuk memantau kepatuhan dengan tujuan kolektif. 490
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan Saya sadari dari kasus di lapangan, bahwa apa yang dianggap rusak oleh pihak lain tidak selalu harus dikucilkan dan ditinggalkan, tapi dengan bekerja bersama-sama, hal yang rusak bisa diperbaiki. Sebagai dikatakan oleh salah satu teman, “Keseragaman merupakan salah satu bentuk penghapusan ayat-ayat Tuhan yang tidak tertulis, namun perlu untuk melucuti ideologi yang harus dilaksanakan dan dijalani”. Sawit yang Sustainable Dalam pandangan saya, membangun peradaban sawit di desa agar tetap sustainable didasari pada tiga aspek; pembangunan ekonomi, pemberdayaan sosial dan perlindungan lingkungan. Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena ketiganya menimbulkan hubungan sebab-akibat (causality). Aspek yang satu akan mengakibatkan aspek yang lainnya terpengaruh. Hubungan antara ekonomi dan sosial diharapkan dapat menciptakan hubungan yang adil (equitable). Hubungan antara ekonomi dan lingkungan diharapkan dapat terus berjalan (viable). Sedangkan hubungan antara sosial dan lingkungan bertujuan agar dapat terus bertahan (bearable). Ketiga aspek tersebut (ekonomi, sosial dan lingkungan) akan menciptakan kondisi berkelanjutan (sustainable). Penerapan prinsip pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan harus menjadi landasan utama dalam operasional pembangunan kebun sawit di desa. Untuk itu sebelum membangun kebun sawit, seorang petani dan juga pendamping desa perlu mengetahui business process pembangunan kebun sawit agar mampu menciptakan iklim yang berkelanjutan. Business process pembangunan perkebunan sawit itu meliputi: identifikasi potensi, sosialisasi di forum Musdes, pemetaan dan kajian sustainability, pemenuhan kelengkapan dokumen 491
Berguru Pada Desa dan perizinan, pembentukan kelembagaan ekonomi petani, menjalin kemitraan dengan pihak ketiga, pengajuan biaya pembangunan kebun, dan proses pembangunan perkebunan sawit itu sendiri. Masing-masing tahapan coba saya paparkan secara rinci atas pengalaman saya di lapangan, agar menjadi bahan ajar bagi siapapun, termasuk pendamping desa dan tenaga ahli pemberdayaan, dalam usaha membangun desa demi menuju desa yang maju, berdaulat dan mandiri, sehingga Nawacita “Membangun Indonesia dari pinggiran” tidak sebatas ada di atas angan. Identifikasi Potensi dan Kajian Sustainability Langkah pertama yang mesti dilakukan dalam membangun kebun sawit agar sustainable adalah melakukan identifikasi potensi lahan yang ada di desa tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar lahan yang akan dibangun kebun sawit memenuhi kriteria kesesuaian lahan (suitable) dari aspek teknis, terjamin dari aspek legal, dan kondusif secara sosial. Lahan petani di desa yang direncanakan menjadi areal budidaya sawit harus berada di area yang tepat, tidak masuk dalam kawasan hutan, moratorium, gambut, sesuai rencana tata ruang wilayah, tidak dalam sengketa, dan layak untuk tanaman sawit, baik dari aspek agroklimat, kelerengan tanah, maupun kelas tanah. Identifikasi potensi lahan dilakukan melalui survei tanah (land evaluation), dengan cara mengamati sifat dan fisik tanah yang sesuai untuk budidaya sawit dan aman secara legalitas. Tentu bagi petani proses identifikasi lahan berikut aturan lainnya sangat memusingkan. Untuk itu pendamping desa dibutuhkan perannya untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat, baik Dinas perkebunan (DISBUN), Dinas 492
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Pekerjaan Umum, Cipta Karya dan Tata Ruang (PUCKTR), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), disamping dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD). Informasi global yang didapat dari pemerintah daerah tersebut menjadi bekal bagi pendamping desa dalam menentukan langkah selanjutnya. Pendamping desa bersama tim desa dan perwakilan masyarakat berusaha menggambarkan kondisi objektif lahan di seluruh desa dengan paramater pembatas: Fungsi Ekologis Gambut (FEG), Kawasan Hidrologis Gambut (KHG), Satuan Kawasan Hutan dan Perairan (peta SKHP), Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB), Peta Batas Legal Konsesi Perkebunan Inti/Plasma perusahaan, Sempadan Sungai, Peta Land System dan Land Suitability (LSS), dan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selain itu, pemetaan sosial perlu dilakukan untuk mengetahui respon masyarakat atas konsep pembangunan kebun sawit yang sustainable. Proses ini dilakukan oleh pendamping melalui serangkaian dialog dan konsultasi dengan berbagai pihak, baik petani, tokoh masyarakat, tokoh agama, komunitas adat, lembaga ekonomi desa, pemerintah desa, pemerintah daerah, NGO, perguruan tinggi dan pemangku lainnya. Ada tiga aspek yang perlu dikaji dalam pemetaan sosial. Pertama, aspek sosiologis. Aspek ini untuk memberi gambaran atas culture budaya masyarakat, riwayat, potensi dan peta konflik di masyarakat, pola struktur masyarakat, peta ketokohan, peta kepemilikan lahan, persepsi dan ekspektasi masyarakat, serta peta resistensi dan akomodatif masyarakat jika di desa tersebut dibangun kebun sawit. Kedua, aspek demografi. Aspek ini terkait kondisi wilayah, 493
Berguru Pada Desa pemerintahan daerah, pemerintahan desa, komposisi penduduk, agama, suku bangsa, mata pencaharian, dan lain-lain. Tujuan akhir dari demografi adalah terpetakan kondisi masyarakat secara riil. Ketiga, aspek ekonomi, untuk menggambarkan kondisi ekonomi dan keuangan masyarakat, sumber penghidupan masyarakat, pola pertanian, produktifitas lahan pertanian, dan potensi sumber daya alam. Tujuan dari studi ekonomi adalah memetakan petani pemilik lahan dalam satu hamparan yang menjadi areal tepat untuk pembangunan kebun sawit. Disamping aspek tersebut, kajian sustainability yang meliputi kajian penguasaan lahan (Land Tenure Study), pemetaan partisipatif (Participatory Mapping), penilaian dampak sosial (Social Impact Asessment), Pengelolaan Nilai Konservasi Tinggi (NKT), Stok Karbon Tinggi (SKT), kebijakan gambut, dan pemenuhan ijin lingkungan (AMDAL, UKL-UPL & SPPL) juga harus dilakukan secara komprehensif. Penilaian atas aspek-aspek tersebut menjadi gambaran utuh bagi pendamping untuk menjadi bahan masukan dan rekomendasi kepada pemerintahan desa atas layak/tidaknya desa tersebut dijadikan sasaran pengembangan produk unggulan kawasan perdesaan (Prukades) dengan produk unggulan kelapa sawit. Bila hasil kajian menyatakan lahan tidak layak, maka inisiatif membangun kebun sawit di desa tersebut sebaiknya dihentikan. Tapi apabila hasil kajian menyatakan lahan tersebut layak dan dari segi sosial mendukung, maka proses pembangunan kebun sawit dapat dilanjutkan melalui sarana Musyawarah Desa (Musdes). 494
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan Sosialisasi Melalui Musdes Sosialisasi dalam forum Musyawarah Desa (Musdes) wajib dilakukan sebagai bentuk implementasi Undang-Undang Desa No. 6/2014 dan Permendesa No. 2/2015. Selain itu sosialisasi merupakan media untuk menerapkan unsur FPIC (Free Prior Inform Consent) atau PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Di Awal Tanpa Paksaan) sebelum kegiatan pembangunan kebun sawit dimulai. Sebagai sebuah prinsip pembangunan, FPIC memastikan bahwa proses pembangunan yang akan masuk ke desa harus mendapat persetujuan dari masyarakat atau komunitas setempat. Dalam hal ini masyarakat mempunyai hak untuk menyatakan menerima/menolak atas usulan pembangunan yang akan dilakukan di wilayahnya. Penerapan FPIC diharapkan dapat meminimalisir terjadinya konflik atas sumber daya alam di desa dan menjamin hak-hak masyarakat, disamping untuk memperlancar proses sertifikasi (ISPO, RSPO, dll) terhadap kebun sawit masyarakat di masa mendatang. Sosialisasi dalam forum Musdes merupakan tahapan awal pelibatan masyarakat untuk menyatakan persetujuan atas rencana pembangunan kebun sawit di wilayahnya. Untuk itu pendamping desa harus bisa memastikan bahwa proses Musdes dilakukan secara benar, tidak sebatas seremoni formalitas semu, dengan melibatkan semua unsur masyarakat yang ada, baik dari segi ketokohan maupun dari kelompok minoritas dan rentan. Sosialisasi dilakukan sebagai upaya untuk membahas tentang program, kebijakan, dan peraturan kepada masyarakat yang terkena dampak kebun sawit. Informasi yang disebarluaskan harus menyeluruh sesuai dengan tujuan, baik kebijakan 495
Berguru Pada Desa operasional, rencana kegiatan pada seluruh tahapan pra- operasi, panduan dan standar yang digunakan, lessons learned dari best practices dari kegiatan yang sama, dampak positif dan negatif dari kebun sawit, program community development, pola kemitraan dengan pihak ketiga, hak dan kewajiban, dan rencana pasca pembangunan kebun sawit. Legitimasi atas sosialisasi di forum Musdes tersebut dapat dilihat melalui persetujuan dari perwakilan masyarakat yang mereka tunjuk sendiri secara bebas, baik dari pemerintah desa, BPD, kepemimpinan adat, organisasi masyarakat adat, tokoh agama, pemerintah daerah, maupun dari kelompok minoritas (fakir miskin, petani yang tidak memiliki lahan, pendatang, etnis minoritas, pemakai lahan musiman, dll) dan kelompok rentan (perempuan, pemuda, orang tua, dll) yang terdampak langsung dan berada di desa tersebut. Pendataan, Pengukuran dan Pelembagaan Petani Pendataan petani merupakan komunikasi face to face yang dilakukan tim desa dan pendamping kepada petani untuk membuka kesadaran masyarakat atas pola pembangunan kebun sawit yang berkelanjutan. Aktivitas ini memegang peran kunci dalam business process pembangunan kebun sawit, karena berhasil/tidaknya gagasan tersebut, ditentukan oleh masif/tidaknya aktivitas pendataan yang dilakukan. Satu hal yang harus dipegang oleh pendamping dan menjadi prinsip dalam melakukan pendataan petani yaitu pola clustering yang merupakan strategi pengembangan lahan dengan pendekatan cluster (merapat, menyambung dan membesar) yang dikelola secara terintegrasi untuk memperoleh areal lahan yang optimal, biaya efisien dan beresiko rendah. 496
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan Apabila petani menyatakan setuju, maka tim desa mendata dan melengkapi dokumen yang diperlukan. Pemenuhan kelengkapan dokumen dilakukan dengan tujuan untuk mengamankan kepentingan petani atas lahannya agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari. Adapun dokumen yang harus tersedia untuk membangun kebun sawit yaitu: (1) dokumen lahan berupa alas hak/bukti kepemilikan lahan (SHM/SKT/SKGR/Girik), titik koordinat lahan dan Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya (STDB) dari Dinas Perkebunan, (2) Dokumen petani meliputi form pendaftaran, KTP suami-istri, Kartu keluarga, buku nikah dan buku tabungan. (3) Dokumen kelembagaan petani (Koperasi/ Gapoktan/BUMDesa) berupa legalitas pendirian dan legalitas usaha. (4) Dokumen kemitraan yang terdiri data CPCL dan perjanjian kemitraan tiga pihak yang diketahui pemerintah daerah setempat. Setelah petani mendaftar, pemerintah desa bersama pen damping desa memfasilitasi terbentuknya kelembagaan ekonomi bagi petani. Undang-Undang No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, mendorong ter bentuknya kelembagaan petani yang berbadan hukum sebagai lembaga yang melaksanakan kegiatan usaha tani, dibentuk oleh, dari, dan untuk petani, guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Kelembagaan petani tersebut dapat berupa Kelopok Tani (UU No. 19/2013), Koperasi (UU No. 25/1992), maupun BUMDesa (UU No. 6/2014). Kelompok Tani adalah kumpulan petani yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk mengembangkan usaha anggota. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang yang kegiatannya berasaskan kekeluargaan. 497
Berguru Pada Desa Sedangkan BUMDesa merupakan usaha desa yang dikelola pemerintah desa, sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Pengukuran lahan merupakan tahap lanjutan setelah petani mendaftarkan lahannya, melengkapi dokumen dan bergabung dalam kelembagaan petani. Pengukuran lahan harus memenuhi kaidah teknis pengukuran, sehingga lahan yang diukur dapat dipetakan baik letak, tata-batas, dan luasan, untuk menghindari terjadinya konflik sosial akibat sengketa kepemilikan lahan. Dalam proses pengukuran, tim desa dan petani harus membuat kesepakatan luasan dan tata batas antar pemilik lahan berdasarkan bukti kepemilikan lahan. Apabila petani tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, maka petani pemilik lahan bersama petani sempadan memasang patok/tanda batas di tiap sudut lahan yang dipetakan, sebagai pertanda persoalan tata batas sudah jelas. Sedangkan untuk lahan yang memiliki bukti kepemilikan lahan (SHM(SKT/SKGR/Girik), maka tim desa mengecek kesesuaian sketsa lahan dengan dokumen lahan sempadannya, mengecek patok BPN di lokasi lahan sebelum dilakukan pengukuran. Bila memungkinkan mencari informasi Buku Ukur dari BPN. Pengukuran lahan dilakukan oleh tim dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama petani pemilik lahan, petani sempadan, saksi penunjuk batas dan perwakilan desa, dengan merujuk pada ketentuan yang berlaku (PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah dan PermenATR/BPN No. 35/2016 tentang Percepatan Pendaftaran PTSL). Proses ini dimulai dengan melakukan pengukuran dari titik ikat tersebut secara berurutan ke patok berikutnya hingga kembali (temu gelang) ke patok awal. Selesai pengukuran, 498
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan dibuatkan berita acara pengukuran lahan yang ditandatangani tim pengukur, petani pemilik lahan, pemilik sempadan, saksi/perwakilan pemerintah desa. Data hasil pengukuran lahan diolah untuk dibuatkan peta persil lahan sesuai kaidah kartografi. Menyusun Anggaran Dalam rangka membangun kebun sawit perlu disusun rencana dan struktur pembiayaan, baik untuk biaya tanaman maupun non tanaman. Biaya tanaman dirancang untuk fasilitas sarana produksi dan operasional, baik berupa bibit, pupuk dan alat berat selama empat tahun atau saat tanaman belum menghasilkan (TBM). Sedangkan biaya non tanaman digunakan untuk memenuhi kelengkapan dokumen, baik berupa penyusunan perjanjian kemitraan, STDB, CPCL maupun izin lingkungan (SPPL/UKL-UPL). Biaya tanaman dan non tanaman ditetapkan dan disepakati oleh petani dan Kelembagaan Petani (Poktan/Gapoktan/ Koperasi/BUMDesa) sebelum pembangunan kebun sawit dilaksanakan. Kesepakatan itu dituangkan secara legal bentuk Perjanjian Kemitraan. Apabila terdapat kekurangan atas pembiayaan tersebut, maka petani melalui Lembaga Petani mengajukan kepada pihak ketiga (perusahaan, perbankan, dll) untuk memperoleh fasilitasi sarana kredit. Atas fasilitas tersebut, maka petani memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran kepada pihak ketiga sejak tanaman mulai menghasilkan (TM) dari hasil penjualan tandan buah segar (TBS). Membangun kebun sawit sudah barang tentu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Menurut Kementerian Pertanian, standar biaya pembangunan kebun sawit/hektar munbutuhkan 499
Berguru Pada Desa biaya sekitar 65 juta rupiah. Biaya tersebut digunakan selama empat tahun, mulai dari tahap pembangunan kebun sampai dengan tanaman menghasilkan (TM). Besarnya biaya tersebut sudah barang tentu memberatkan petani. Untuk itu peran dan kepedulian pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam hal ini sangat dibutuhkan. Melalui bantuan Kredit Usaha Ringan (KUR) yang disalurkan perbankan kiranya bisa membantu hambatan petani dalam urusan permodalan. Selain melalui KUR, dana BPDPKS merupakan terobosan baru dari pemerintah untuk membantu petani dalam membangun kebun sawit. Dana BPDPKS merupakan sejumlah uang yang dihimpun pemerintah untuk mendorong pengembangan perkebunan sawit, dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh petani maupun kelembagaan petani. Adapun tata cara pengajuan dana BPDPKS dilakukan oleh Kelembagaan Petani kepada Disbun Kabupaten. Lalu Disbun Kabupaten, Disbun Provinsi dan Dirjenbun akan melakukan verifikasi atas persyaratan yang diajukan. Apabila memenuhi, maka Dirjenbun menetapkan rekomendasi teknis ke BPDPKS untuk dicairkan dana bantuan pembangunan kebun sawit sebesar 25 juta/hektare. Membangun Kemitraan Selain membangun kebun sawit secara mandiri oleh petani melalui bantuan dana BPDPKS, petani juga dapat menjalin kerjasama dengan pihak ketiga (swasta/BUMN) melalui pola kemitraan. Pola kemitraan ini sudah diatur dalam Undang-Undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil, Peraturan Pemerintah No. 44/1997 tentang Kemitraan, Permentan No. 7/2019 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, dan dijabarkan lebih 500
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan detail dalam Kepdirjenbun No. 208/2019 tentang Pedoman teknis Peremajaan Kelapa sawit. Pola kemitraan dengan pihak swasta/BUMN dilakukan jika petani ingin membangun kebun sawit, tetapi memiliki kendala pada masalah permodalan dan penguasaan terhadap teknis pengelolaan agronomi yang baik. Pertama, kemitraan dengan sistem bangun-serahkan (Build on Transfer, BOT). Lahan tetap milik petani dan tidak ada transaksi lahan dari petani ke pihak swasta atau BUMN. Kebun sawit milik petani dibangun oleh swasta atau BUMN dengan kredit bersubsidi perbankan (subsidi kredit dibiayai dari Dana Desa) dan langsung diserahkan kepada petani. Pengelolaan dan pemeliharaan kebun sawit dilakukan oleh petani itu sendiri dengan bimbingan swasta atau BUMN. Sedangkan hasilnya berupa TBS dapat dijual kepada pabrik kelapa sawit (PKS) swasta atau BUMN yang ada disekitarnya. Dalam jangka panjang kerjasama kemitraan antar masyarakat dapat juga memiliki PKS sendiri sehingga output yang dijual adalah crude palm oil (CPO). Kedua, pola saham kebun sawit. Petani yang memiliki lahan bekerjasama dengan swasta atau BUMN untuk mengembangkan kebun sawit termasuk PKS. Petani ikut memiliki saham berupa lahan (inbreeng) sedangkan mitra (swasta, BUMN) menyediakan modal untuk bangun kebun sawit dan PKS. Wakil petani yang tergabung dalam kelembagaan petani ikut dalam dewan komisaris dan direksi. Petani ikut sebagai tenaga kerja dalam pemeliharaan kebun maupun operasional PKS sesuai kompetensinya. Kedua pola kemitraan sawit tersebut memiliki keunggulan. Petani tidak kehilangan lahannya dan swasta/BUMN juga tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk 501
Berguru Pada Desa memperoleh lahan. Petani ikut menikmati ‘kue ekonomi’ baik berupa upah individu sebagai tenaga kerja yang cukup membiayai kehidupannya setiap bulan. Selain itu petani juga menikmati pendapatan berupa deviden (pola saham) atau keuntungan (pola BOT) yang dapat di distribusikan baik untuk kepentingan bersama maupun secara individu petani anggota kelembagaan petani. Namun perlu diingat, bahwa petani dan lembaga petani dalam menjalin kerjasama dengan swasta/BUMN harus dituangkan dalam perjanjian kemitraan sebagai kontrak tertulis yang dibuat antara tiga pihak, dimana swasta/BUMN memfasilitasi kemitraan melalui pembinaan dan pengembangan kepada petani, dan petani berhak untuk menerima program tersebut sesuai kesepakatan yang dibuat. Subjek hukum dalam perjanjian kerjasama adalah swasta/BUMN, petani dan lembaga petani. Perjanjian kemitraan terjadi karena ada kata sepakat dari para pihak untuk melaksanakan kerjasama kemitraan. Perjanjian kemitraan dibuat sebagai pedoman dalam pelaksanaan kerjasama kemitraan atau penyelesaian sengketa apabila ada perselisihan antar pihak dalam perjanjian yang telah dibuat. Untuk itu perlu dibuat secara cermat dan teliti untuk dapat digunakan didalam prakteknya, dan juga perlu disimpan dengan baik sebagai dokumen untuk dijadikan bukti apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Dalam perjanjian kemitraan sekurang-kurangnya mengatur kegiatan usaha, hak dan kewajiban para pihak, bentuk kerjasama, jangka waktu, dan tata-cara penyelesaian perselisihan, agar pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian memenuhi janjinya, sehingga terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri yang memungkinkan untuk menunaikan prestasi. 502
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan Penanaman dan Pemeliharaan Setelah semua aktivitas (pemenuhan dokumen, kajian sustain ability, pendanaan, perizinan dan kerjasama kemitraan) dinyatakan selesai 100% maka proses penanaman dan pemeliharaan kebun sawit, baik untuk pembukaan lahan baru (new planting) maupun peremajaan sawit (replanting) bisa dilakukan. Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa pem bangunan kebun sawit dilakukan dengan teknik tumbang serempak dan harus menggunakan bibit unggul yang bersertifikat. Pembangunan, penanaman, dan pemeliharaan kebun sawit dapat dilakukan oleh petani secara mandiri melalui kelembagaan petani, maupun bekerja sama dengan perusahaan mitra. Sedangkan pendampingan dilakukan untuk membantu pengembangan kelembagaan petani, memperkuat kemitraan usaha dan kemitraan kerja dengan perusahaan mitra, maupun membantu menyelesaikan permasalahan teknis, administrasi, dan keuangan. Akhirnya… Pada titik akhir ini saya ingin menegaskan, bahwa membangun peradaban desa sawit yang berkelanjutan, bukan semata menjadi tanggung jawab satu pihak dan bukan berada di arus hulu saja. Semua pihak memiliki tanggung jawab dan harus mengambil peran sentral dalam membangun peradaban tersebut, baik dari petani sawit, lembaga petani, pemerintah desa, pemerintah daerah, pemerintah pusat, perbankan, perguruan tinggi, maupun pihak swasta. Petani sawit harus terus konsisten meningkatkan produktivitas dan pengelolaan kebun sawit yang sesuai standar agronomi, tanpa harus mencemari lingkungan sekitar. Kelembagaan 503
Berguru Pada Desa petani senantiasa meningkatkan kompetensinya dalam rangka memperkuat jaringan kerja dan usahanya. Kompetensi tersebut mencakup kompetensi hardskill/teknis dan kompetensi softskill yang didapatkan melalui pendidikan dan pelatihan (training). Pemerintah Desa dan pendamping desa berperan aktif dalam proses membangunkan kesadaran kolektif masyarakat dalam mewujudkan desa mandiri dan berdaulat yang bertumpu pada pengembangan sawit sebagai produk unggulan desa. Perusahaan swasta bergerak massif melalui CSR membantu petani sekitar dalam pembinaan dan bimbingan bududaya sawit yang sesuai standar agronomi melalui program kemitraan. Perguruan tinggi senantiasa memberikan inovasi terbaru atas hasil risetnya demi peningkatan kualitas dan taraf hidup masyarakat. Perbankan berperan aktif dalam pembiayaan melalui penyaluran kredit yang mudah, murah dan terjangkau oleh petani. Pemerintah daerah melalui Dinas Perkebunan, DLH, Diskop-UKM, DPMPTSP, DPMD saling bersinergi untuk memperlancar administratif dan proses perizinan kebun sawit. Pemerintah pusat lewat kebijakan yang ada di Kementeria Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, Kementeria Desa PDTT, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi & UKM, Kementerian ATR/BPN, BUMN, dan BPDPKS saling bersinergi meningkatan produk tivitas, mengembangan hilirisasi dan penguatan ekosistem tata kelola, sehingga menghasilkan industri kelapa sawit nasional yang berdaya saing dan efisien (manfaat ekonomi), bermanfaat bagi sosial dan terjangkau/affordable (manfaat sosial) serta melestarikan lingkungan dan biodiversitas (manfaat lingkungan). 504
Membangun Peradapan Desa Sawit Berkelanjutan Jika kolaborasi hangat itu terjadi, saya berkeyakinan bahwa industri kelapa sawit akan dianggap sebagai sebuah industri yang konstruktif dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat global. Itu saja! 505
EPILOG Emansipasi Pendampingan Desa Arie Sujito1 Banyak hal menarik sekaligus unik dari cerita pendampi ngan desa. Apa yang telah disajikan dalam bab-bab sebelumnya, berisi narasi lokal dan berbagai pengalaman dari observasi maupun pelibatan praksis, tentu dapat dipelajari dan ditemukan makna apa yg ada didalamnya. Mulai dari urusan teknis administratif yang, selalu berulang—kadang begitu melelahkan dan membosankan. Sebutlah misalnya kesibukan mereka untuk mengelola tumpukan formulir, mengumpulkan lembaran kuitansi, menyertakan daftar pre sensi, serta mengumpulkan file dokumen kegiatan yang itu- itu saja. Kadang begitu monoton. Disela itu, yang agak menghibur adalah, mendisplay dokumen tasi berisi foto dan video kegiatan yang, dalam beberapa hal, melahirkan romantisme para pendamping. Seorang pendamping desa dalam suatu pertemuan menceritakan, entah menarik atau tidak, membuka-buka file foto dan video 1 Sosiolog Universitas Gadjah Mada, peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE), aktivis sosial yang terlibat dalam meny- usun Naskah Akademik dan RUU Desa. 506
Emansipasi Pendampingan Desa kegiatan desa lalu memajangnya dalam tautan media sosial, adalah cara menghibur diri dalam kesibukan menemani desa. Bahkan, ada pula urusan tidak penting namun menyedot energi emosi baper (terbawa perasaan). Cerita tentang konflik sifatnya personal, semacam kecemburuan soal akses dan kesempatan kegiatan tertentu, atau persaingan narsis, dan bahkan dalam berseliweran informasi dalam komunitas media sosial perbedaan pandangan kadang berdampak ketegangan. Muncul perselisihan paham, misinformasi, dan sejenisnya antar pendamping, dengan perangkat desa, dengan warga. Dari gambaran itulah, wajarlah jikalau persepsi tentang pendamping desa, dalam beberapa hal, kadang kurang mengenakkan. Apakah ceritanya hanya berkutat itu saja? Ternyata tidak. Uraian empirik, abstraksi dan analisis sederhana yang disampaian pada bagian-bagian sebelumnya dalam buku ini memberi pesan penting betapa kaya dan berlimpah makna dari cerita pendampingan desa. Dari situlah tulisan penutup ini akan berpijak. Tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan pendampingan desa begitu menggairahkan dan menantang. Pendampingan tidak hanya semata urusan teknis, ketrampilan dan olah otot. Namun, didalamnya juga bertaut dengan pengetahuan, abstraksi dan berteori, metodologi dan turunannya sampai dengan metode dalam mempengaruhi masyarakat, corak advokatif agar terjadi perubahan kebijakan di berbagai level berlangsung sedemikian rupa. Disitulah, pendampingan desa tidak luput berlangsung persinggungan diskursus dan ideologi. Dalam bahasa populair di komunitas para aktivis, pendampingan desa adalah kerja politik, pengorganisasian, pertaruhan komitmen, bahkan wujud uji nyali dalam menghadapi tantangan transformasi desa. 507
Berguru Pada Desa Kuncinya menggerakkan partisipasi Kita bisa menyusun dalam daftar panjang berkenaan dengan syarat, tugas, fungsi dan tanggung jawab dari pendamping desa. Namun yang perlu dicatat, seorang pendamping desa harus mampu menggerakkan partisipasi. Kemam puan ini memerlukan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengorganisir warga dan membangun engagement, apakah berbasis isu, sektor maupun teritorial. Artinya, kecanggihan kemampuan teknokratik, atau segudang skill dan technicality akan bermakna jika seorang pendamping mampu menumbuhkan kesadaran kolektif warga desa. Jika itu diinterpretasikan secara lebih, penggerak partisipasi adalah agen perubahan nyata bagi desa. Pesan ini penting ditegaskan, sebagaimana diisyaratkan dalam UU No. 6 tentang Desa, bahwa pendampingan itu bagian dari strategi menggerakkan dan menumbuhkan energi dan perspektif baru melihat desa dan masa depannya. Dalam semesta pembicaraan ini relevan kiranya mengaitkan penguatan partisipasi warga dengan demokrasi sebagai modalitas penting dan berharga untuk mendorong ter wujudnya pemerintahan desa yang responsif dan warga negara yang kritis. Itulah yang dicita-citakan dengan demokrasi emansipatorik. Sebagaimana digambarkan dalam buku ini, bahwa warga desa makin menguat kehendak untuk berperan aktif dalam proses politik dan kegiatan sosial ekonomi. Lembaga organisasi komunitas lokal dan forum-forum kewargaan makin banyak. Dapat diambil contoh misalnya, kehadiran parlemen warga komunitas, telah menjadi harapan baru bahkan impian yang ditunggu sebagai saluran efektif atas aspirasi warga dalam pembangunan di aras lokal desa. Fungsi legislasi, 508
Emansipasi Pendampingan Desa kontrol formal, dan pemberdayaan (empowering) masyarakat telah dikerjakan. Misalnya, merumuskan program kerja, penetapan penganggaran keuangan serta prioritas pelaksanaan pembangunan telah dilakukan dengan cara koordinasi dan konsultasi pemerintah (kelurahan/ desa) dengan masyarakat melalui lembaga parlemen. Termasuk penyusunan peraturan desa (Sutoro dkk, 2014). Fakta demikian merupakan per ubahan mendasar tata politik di tingkat bawah. Karena itulah, jika keyakinan kita bahwa kunci keberhasilan tranformasi desa tertumpu pada partisipasi warga, maka penguatan demokrasi desa menjadi keniscayaan. Itulah bagian penting dari UU Desa, dengan semangat utamanya pada pengakuan Desa sebagai subyek. Dengan demikian, frase atau konsep demokratisasi Desa berarti upaya menggerakkan demokrasi dalam kekhasan Desa itu sendiri. Demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan dalam semangat pengakuan keunikan dan kekhasan tradisi Desa. Jika langkah konkrit dan praksis ditempuh, sekadar alternatif sebagaimana pengalaman sejauh ini, maka memperkuat kembali forum-forum komunitas penghimpun partisipasi begitu relevan. Karena disitulah para agencies penggerak perubahan terbangun, yakni para pemuda kreator, organiser dan inov ator. Misalnya kelompok perempuan penggerak aktivitas komunitasnya; enterpreneur baru masyarakat. Disitulah para pendamping desa berproses untuk menemukenali aktor dalam arena dimana partisipasi berlangsung.2 Lalu bagaimana caranya? 2 Arie Sujito, (Makalah) “Refleksi atas evaluasi 5 tahun Implementasi UU Desa, Rural Corner, PSPK-UGM, Juli 2019. Pemahaman atas semua ini mendorong kita meyakini bahwa tidak mungkin menggunakan pendekatan yang sama (generik) dalam pendamp- ingan desa. Dengan demikian pendampingan adalah perspektif yang unik, kontekstual, berakar dan berbaur secara organik bersama komunitas desa. Dengan demikian mengenai pendampingan tidak mungkin dibuat rumus tunggal dan umum. Pendekatan pendamp- ingan bertumpu pada problem, kebutuhan dan orientasi desa sebagai subjek perubahan. 509
Berguru Pada Desa Langkah konkritnya adalah, perlunya mengidentifikasi dan pemetaan aktor-aktor potensial di komunitas; basis sektoral maupun territorial, reaktivasi arena-arena baru partisipasi di komunitas, pemetaan isu dan prioritas agenda pembaharuan desa. Dalam bahasa sederhana, perubahan konteks sosial membutuhkan pendekatan baru dalam memanfaatkan aktor dan agencies, yang kenyataannya menjadi faktor penentu berpengaruh pada transformasi desa. Misalnya, manfaatkan kecenderungan isu yang diminati dan pendekatan yang membuat daya tarik anak muda desa. Demikian pula pemetaan kapasitas dan potensi anak muda dan pegiat komunitas dikaitkan dengan agenda strategis pembangunan di tingkat desa. Para agen perubahan desa ini dapat berperan sebagai fasilitator, administrator, kreator seni, inovasi teknologi alternatif, pengembangan animasi dan publikasi, pengembangan jari ngan dan media literasi, pertanian, pendidikan komunitas, ekonomi produktif dan enterpreneurship, dst. Dengan konteks demikian, jangan lagi memperlukan desa secara keliru. Jika dulu era feodalisasi politik yang menjadi bagian strategi jaman orde baru mengeksploitasi desa, pola itu harus ditinggalkan sejak spirit reformasi dan transformasi desa tumbuh berkembang. Kenyataan saat ini adalah, fasilitasi dan supervisi desa dengan terobosan oleh keberanian pemimpinnya, atau agen-agen perubahan sebagaimana dijelaskan di atas telah berdampak pada desa, dimana mereka makin tumbuh menjadi subjek mambangun peradabannya secara bermartabat. Perlunya Pendekatan Baru Pada sebuah tulisan reflektif dalam buku A. Muqowam dkk (2017), saya menyampaikan perlunya meninggalkan 510
Emansipasi Pendampingan Desa paradigma lama model robot, menjadi pendekatan baru yang saya sebut dengan pendampingan organik. Berbagai cerita berkaitan dengan kinerja pendampingan desa tentu ada khabar baik, banyak juga kisah buruk.3 Perkembangan desa selama hampir lima tahun berjalan misalnya, pengalaman desa menunjukkan betapa kehadiran pendamping desa sangat diperlukan. Bahkan dianggap berkontribusi positif membantu memudahkan penataan administrasi, pelaporan serta keuangan desa (IRE, 2016). Kesulitan yang dialami Desa, misalnya terkait dengan penyusunan RPJMDes, RKPDes, APBDes sampai dengan pertanyaan seputar peraturan desa (perdes) larinya ke pendamping desa, terbantu sebagian oleh karena peran pendamping desa. Diantaranya adalah menerjemahkan berbagai peraturan dari atas sampai bawah, kedalam langkah-langkah konkrit sehingga menjadi pemandu desa dalam memecahkan masalah. Termasuk juga para pendamping itu memfasilitasi pelibatan warga, terutama sektoral seperti kelompok tani, karang taruna, ibu PKK dan seterusnya saat merumuskan program-program desa. Peran konkrit yang demikian terutama dirasakan oleh desa-desa yang tergolong masih terbelakang, dengan segala keterbatasan yang dialaminya.4 Bagian cerita ini bisa ditilik kembali bab- bab a sebelumnya yang mengurai narasi lokal pengalaman unik berbagai bentuk. Kita memang harus realistis dan tidak menutup atas atas kenyataan di tengah masyarakat desa bahwa tidak sedikit ditemukan cerita-cerita miring mengenai pendamping desa. Pada sebuah pertemuan training kapasitas untuk perangkat desa, beberapa peserta curhat, mereka menyampaikan bahwa 3 A.Muqowam dkk, Kembali ke Mandat, Hasil Pengawasan Komite I DPD RI atas Pelaksa naan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, DPD RI, 2017. 4 Ibid. 511
Berguru Pada Desa banyak pendamping tidak mampu menjalankan tugasnya sesuai harapan. Jika dilacak, misalnya pada saat awal rekruitmen sampai berjalannya waktu pendampingan muncul masalah. Kinerja pendampingan yang buruk, juga karena distorsi di lapangan terjadi, dimana para pendamping tidak jarang mengalami penolakan oleh pemerintah desa maupun masyarakat. Problem itu diantaranya, menyangkut buruknya kapasitas pendamping yang dinilai tidak mampu berperan menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Akhirya, mari menyadari dengan refleksi dari buku ini menegaskan bahwa masa depan desa jika dikaitkan dengan implementasi UU Desa sangat dipengaruhi bagaimana paradigma dan pemikiran berdialog dengan realitas empirik yang ada saat ini. Sekali lagi, pendampingan desa sebagai salah satu faktor penting, maka konstruksi pendampingan jangan sampe terjebak dengan urusan teknis administratif semata. Para pendamping teruslah mendorong agar desa berinisiatif memaknai regulasi itu secara emansipatorik. Substansi soal demokrasi desa, tata pemerintahan yang baik, penataan aset dan sumberdaya agraria, penguatan ekonomi desa, bahkan soal keadilan ekologi harus mendapatkan porsi pembicaraan yang berimbang. Karena itulah, mari memaknai kerja pendampingan desa bukan berkutat pada jebakan perselisihan teknis administratif, yang ujung-ujungnya sekadar “menakut-nakuti desa”. Energinya habis untuk membahas hal-hal teknis instrumental yang menjemukan itu. Sejak awal UU Desa dirancang bukan untuk mempersulit desa, namun harus membantu dan memperkuat kebangkitan desa dari keterpurukan. Jika pendampingan desa menumpukan pada spirit emansipasi, maka kembalikan desa sebagai subjek pembaruan, bukan menjadi arena eksploitasi baru. Itulah titik tolak kebangkitan desa. 512
Emansipasi Pendampingan Desa 513
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 487
- 488
- 489
- 490
- 491
- 492
- 493
- 494
- 495
- 496
- 497
- 498
- 499
- 500
- 501
- 502
- 503
- 504
- 505
- 506
- 507
- 508
- 509
- 510
- 511
- 512
- 513
- 514
- 515
- 516
- 517
- 518
- 519
- 520
- 521
- 522
- 523
- 524
- 525
- 526
- 527
- 528
- 529
- 530
- 531
- 532
- 533
- 534
- 535
- 536
- 537
- 538
- 539
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 500
- 501 - 539
Pages: