Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BUKU-ENSIKLOPEDI-ISLAM-NUSANTARA-BUDAYA-FULL

BUKU-ENSIKLOPEDI-ISLAM-NUSANTARA-BUDAYA-FULL

Published by SMP Negeri 1 Reban, 2022-07-12 13:47:55

Description: BUKU-ENSIKLOPEDI-ISLAM-NUSANTARA-BUDAYA-FULL

Search

Read the Text Version

Khalîfah Khalîfah adalah gelar yang diberikan perkembangannya sebutan ini diganti menjadi untuk pemimpin umat Islam setelah “Khalifatu Rasûlillah” (pengganti Rasul/ wafatnya Nabi Muhammad Saw (570– Nabi Allah) yang kemudian menjadi sebutan 632). Kata “Khalifah” (‫ﺧﻠﻴﻔﺔ‬/Khalîfah) sendiri standar untuk menggantikan “Khalîfatullah”. secara etimologis dapat diterjemahkan sebagai Meskipun demikian, beberapa akademisi “pengganti” atau “perwakilan”. memilih untuk menyebut “Khalîfah” sebagai pemimpin umat Islam tersebut. Kata lain yang satu akar dengan khalîfah adalah al-khalfu yang berarti punggung. Selain disebut khalifah, pemimpin Islam Karena punggung berada di belakang, maka juga kerap disebut sebagai Amîr al-Mu’minîn bahasa Arabnya belakang (tempat) adalah (‫ )ﺃﻣﻴﺮ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ‬yang berarti “pemimpin orang khalfu atau khalfa sebagai lawan amâma/al- yang beriman”, atau “pemimpin orang-orang amâm yang berarti depan atau di depan. Orang mukmin”, yang kadang-kadang disingkat yang tempatnya di depan disebut al-Imîm. menjadi “Amîr”. Pemimpin umat Islam juga Kemudian generasi penerus dari generasi dikenal dengan sebutan sulthân (‫ )ﺳﻠﻄﺎﻥ‬yang sebelumnya disebut khalfun atau khalafun. berarti penguasa atau pemimpin. (Lihat surat Maryam ayat 59). Jika ditilik secara genealogis, kebutuhan Dari kata khalafa ini kemudian terbentuk manusia terhadap seorang penguasa/ kata khilâfah yang secara bahasa berarti pemimpin memang inheren dalam kehidupan representasi/keterwakilan. Dengan demikian mereka. Karena itu, salah satu tujuan utama khilâfah dapat diartikan sebagai pemantulan penciptaan manusia (Adam) adalah untuk atau keterpantulan suatu sifat, sikap, dan mengemban tugas kepemimpinan/khilâfah di perilaku pihak lain ke dalam atau pada sesuatu muka bumi sebagai keberlanjutan tugas-tugas yang lain karena posisinya yang lebih rendah ketuhanan. Hal ini dapat dibaca dari firman atau lebih belakang baik secara waktu maupun Allah dalam surat Al-Baqarah [2]: 30: tempat. “Dan (ingatlah) tatkala Rabbmu berkata Dengan demikian, khalifah adalah kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak seseorang yang bisa memantulkan atau menjadikan di bumi seorang khalifah’. Mereka memerankan sikap, sifat, dan perilaku pihak berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan lain ke dalam perilakunya karena dia lebih padanya orang yang merusak di dalamnya dan rendah atau terbelakang. Bisa dikatakan juga menumpahkan darah, padahal kami bertasbih khalifah adalah agency of Allah atau Rasulullah. dengan memuji Engkau dan memuliakan Maka tolak ukur kekhalifahan sejatinya Engkau?’. Dia berkata: ‘Sesungguhnya Aku lebih adalah sejauh mana dia menjadi representasi mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. pihak yang dijadikan sebagai al-amâm atau al- Al-Baqarah [2]: 30) imâm. Namun demikian kata khalifah dalam terminologi politik Islam (siyâsah syar’îyah) Ayat ini menunjukkan bahwa Allah lebih dipahami sebagai pemimpin umat Islam. menjadikan manusia (Adam) sebagai khalifah (pengganti) di muka bumi, ia menggantikan Pada awalnya, para pemimpin umat Islam makhluk sebelumnya (jin) yang berbuat ini disebut sebagai “Khalîfatullah” yang berarti kerusakan dan tidak istiqamah (dalam perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada mengerjakan perintah Allah). Perkataan 192 | Ensiklopedi Islam Nusantara

“malaikat” ini adalah bukti umat, baik urusan negara bahwa sudah ada kaum yang maupun urusan agama. melakukan kerusakan di muka Mekanisme pemilihan khalifah bumi, mereka masih menghuni dilakukan baik dengan pemilu bumi sehingga malaikat langsung ataupun keterwakilan berkata sesuai apa yang sedang melalui majelis Syura yang terjadi di muka bumi. Atau disebut Ahlul Halli wal ‘Aqdi bisa juga kaum tersebut telah yakni para ahli ilmu (khususnya keluar dari bumi, dan malaikat keagamaan) dan mengerti menceritakan kelakuan permasalahan umat. Sedangkan mereka di muka bumi dahulu. mekanisme pengangkatannya Hingga kemudian Allah Swt dilakukan dengan cara bai’at mengabarkan kepada mereka yang merupakan perjanjian bahwa Dia lebih mengetahui Sultan Malikus Shaleh setia antara Khalifah dengan apa yang tidak diketahui oleh umat. malaikat. Bahwasanya khalifah Kaum muslim yang terdiri dari berbagai yang menggantikan mereka akan mengelola etnis dengan latar belakang budaya yang bumi dengan syari’at dan agama Allah, berbeda dipersatukan ke dalam satu institusi menyebarkan dakwah tauhid, mengikhlaskan yang disebut umat. Umat Islam dipimpin oleh peribadatan dan beriman kepada-Nya. seorang khalifah yang dianggap sebagai penerus Demikian juga anak keturunan Adam kepemimpinan Rasulullah Saw. Ini berarti yang kemudian menjadi para Nabi, para Rasul, bahwa seorang khalifah merupakan pimpinan orang-orang pilihan, ulama yang shalih, dan negara dan sekaligus sebagai pemimpin agama. hamba-hamba yang ikhlas. Mereka inilah yang Mengenai hal ini Ibn Khaldun menyatakan mewujudkan peribadatan pada Allah semata, bahwa “Kekhalifahan itu pada hakekatnya mengelola dan memakmurkan bumi dengan adalah pelimpahan kekuasaan dari peletak syariat dan agama-Nya, mengerjakan perintah- Syari’at (Allah) untuk memelihara agama dan Nya, dan mencegah apa yang dilarang-Nya. mengatur dunia,” (Ibn Khaldun, 1999:163 dan Inilah apa yang diupayakan para Nabi, para Abu Zahrah, 1996:19) Rasul, ulama yang shalih, dan hamba yang Sampai runtuhnya pemerintahan dinasti ikhlas. Setelah nampak ketetapan Allah dalam Umayyah yang berpusat di Damaskus, hal ini, para malaikat memahami bahwa seluruh dunia Islam mengakui satu penobatan Adam (manusia) sebagai khalifah khilafah (kekhalifahan). Akan tetapi mulai (wakil Allah di muka bumi) adalah kebaikan pemerintahan Bani Abbas, kekhalifahan di yang agung. Tugas ke-khalifah-an Adam ini dunia Islam sudah tidak tunggal lagi. Artinya, kemudian diwariskan kepada para nabi hingga khilafah sebagai lambang kesatuan dunia Islam sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam catatan sejarah, kepemimpinan Islam terspektakuler pasca wafatnya baginda Muhammad Saw adalah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Kemudian setelah itu kekhalifahan secara berturut-turut dipegang oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Kesultanan Utsmaniyah, dan beberapa kekhalifahan kecil. Di tangan mereka akhirnya Islam berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, Mesir, bahkan Asia Tengah, Asia Timur termasuk Nusantara. Khalifah berperan sebagai pemimpin Sultan Iskandar Muda Edisi Budaya | 193

seluruhnya, sudah tidak ada lagi. sejak awal-awal periode Islam. Dalam catatan Fase kedua dari periode pertengahan Azra, pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya sejarah Islam (tahun 1500-1800 M) muncul Jambi yang bernama Srindravarman mengirim tiga kesatuan politik (khilafah) di dunia Islam. surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz Wujud tiga kesatuan politik tersebut adalah tiga dari Khilafah Bani Umayyah. Sang Raja kerajaan besar, yaitu: kerajaan Usmani, Safawi meminta dikirimi dai yang bisa menjelaskan dan Mughal (Nasution, 1994:13). Meskipun Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni dunia Islam waktu itu terbagi ke dalam tiga tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang kerajaan besar, akan tetapi masyarakat di tiga semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi kerajaan besar itu masih menganggap khalîfah pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. yang memimpin mereka adalah pemimpin (Azra, 2005). agama dan negara –lebih tepat disebut pemimpin Sebagian pengemban dakwah Islam juga Islam. Disamping itu wilayah kekuasaan masing- merupakan utusan langsung yang dikirim oleh masing kerajaan yang masih bersifat lintas etnis Khalifah melalui amilnya. Tahun 808H/1404M dan lintas budaya mengakibatkan kesadaran adalah awal kali ulama utusan Khalifah bernegara yang dilandasi oleh sentimen ras atau Muhammad I ke Pulau Jawa (yang kelak suku bangsa belum muncul. dikenal dengan nama Walisongo). Dalam bernegara mereka Setiap periode ada utusan yang masih dilandasi oleh sentimen- tetap dan ada pula yang diganti. sentimen keagamaan. Pengiriman ini dilakukan selama Pendaratan Napoleon lima periode. (Rahimsyah, t.th., di Mesir (tahun 1798), 6). merupakan titik permulaan Bernard Lewis (2004) terbukanya pandangan orang menyebutkan bahwa pada tahun Islam, khususnya di Mesir 1563 penguasa Muslim di Aceh terhadap dunia luar. Napoleon mengirim seorang utusan ke datang ke Mesir bukan Istanbul untuk meminta bantuan hanya dalam rangka politik melawan Portugis. Dikirimlah 19 kolonialnya, tetapi ia juga Sultan Hasanuddin, Raja Gowa kapal perang dan sejumlah kapal Sulawesi Selatan memperkenalkan kemajuan- lainnya pengangkut persenjataan kemajuan materi, gaya hidup, dan persediaan; sekalipun hanya dan sistem nilai Barat, serta ide-ide yang satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. baru dalam pandangan masyarakat Mesir Hubungan ini tampak pula dalam (Nasution, 1994:13 dan Ushama, 1995:4). penganugerahan gelar-gelar kehormatan Salah satu ide yang dikenalkan adalah ide seperti sultan (‫ )ﺳﻠﻄﺎﻥ‬dan khalifatullah. Ketika pratiotisme dan nasionalisme yang berbasis kesultanan Samudra Pasai resmi menjadi pada cinta tanah air dan bangsa. Maka sejak kesultanan Islam, misalnya, Syarif Makkah awal abad ke-19 M dunia Islam sudah mulai (Gubernur Hijaz) memberi Meurah Silu gelar mengenal sistem negara bangsa (nation Sultan di Kesultanan Samudra Pasai pada tahun state), dan secara resmi sistem khilafah telah 1261 M. Lalu Abdul Qadir dari Kesultanan berubah seiring dengan digantinya sistem Banten, pada tahun 1048 H (1638 M) kekhalifahan Turki Utsmani dengan sistem dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud pemeritahan sekuler di masa pemerintahan Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah Kemal Attaturk pada tahun 1024 M. Semenjak saat itu. Sementara Pangeran Rangsang dari itulah, secara resmi bangsa-bangsa Islam tidak Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan lagi menyebut pemimpin mereka dengan dari Syarif Makkah tahun 1051 H (1641 M) khalifah, tapi dengan nama-nama lain seperti dengan gelar, Sultan Abdullah Muhammad amîr (pemimpin) atau sulthân (raja/penguasa). Maulana Matarami. (Tjandrasasmita, 2002). Dalam konteks Nusantara, hubungan Khusus pada kasus Mataram, sebenarnya Nusantara dengan Khilafah Islam pun terjalin gelar kehormatan bagi raja-raja Mataram 194 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Sultan Agung Mataram Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Mataram menjadi Kesultanan kadangkala disebut panembahan, sultan, Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, gelar dan sunan. Raja terbesar Mataram, Sultan Khalifatullah digunakan oleh sultan-sultan Agung menggunakan gelar sultan. Untuk Yogyakarta sedangkan raja-raja Surakarta melegitimasi kekuasaanya, dia mengirim memakai gelar sunan. utusan ke Mekah untuk meminta gelar sultan pada 1641. Dia mengikuti jejak Sultan Sementara sebutan gelar secara lengkap Banten, Pangeran Ratu yang menjadi raja Jawa untuk raja-raja Surakarta adalah Sampeyan pertama yang mendapatkan gelar sultan dari Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Mekah, sehingga namanya menjadi Sultan Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir. Sayidin Panatagama. Sementara sebutan untuk raja keraton Yogyakarta adalah Sampeyan Raja-raja Mataram berikutnya, Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Amangkurat I sampai III menggunakan gelar Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Sunan. Sedangkan Amangkurat IV (1719- Senopati berarti sultanlah penguasa yang sah di dunia fana ini. Ing Alogo artinya raja 1724) menjadi yang pertama menggunakan mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian dan peperangan, atau sebagai gelar Khalifatullah. Menurut Denys Lombard panglima tertinggi saat perang. Abdur Rahman Sayyidin Panatagama, berarti sultan dianggap dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, gelar sebagai penata, pemuka dan pelindung agama. Dan Khalifatullah sebagai wakil Allah di dunia. khalifatullah (dari kata khalifah yang berarti Menurut ahli sejarah, gelar yang disandang oleh Sultan Mataram dan Yogyakarta sejatinya wakil) menegaskan perubahan konsep lama mengungkapkan konsep keselarasan antara urusan politik, sosial dan agama. Hanya Raja Jawa, dari perwujudan dewa menjadi saja dalam perkembangan terakhir, Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda wakil Allah di dunia. Raja pada 30 April 2015 yang menghilangkan gelar Khalifatullah. Dengan dikeluarkannya sabda tersebut, gelar khalifah secara resmi tidak lagi disematkan kepada raja keraton Yogyakarta. [M. Ulinnuha] Sumber Bacaan Abu Zahrah, Imam Muhammad. Tarikh al-Madzâhib al-Islâmiyah, (terj) Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996). Alfian, Teuku Ibrahim. Islam dan Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta, (Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia, 2005) Arifin, Hadi. Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, (PT. Madani Press, 2005). Azra, Ayzumardi. Jaringan Ulama Nusantara, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet. II. Bernard Lewis, Apa Yang Salah? Sebab-sebab Runtuhnya Khilafah dan Kemunduran Umat Islam (Terj.), (Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004) Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (LP3ES, 1991), Cet VI. Ibrahim, Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam, (terj.) H.A. Bahauddin, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Jilid II, Cet. I. Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedia Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1996). Rahimsyah, Kisah Wali Songo, (Surabaya: Karya Agung, t.th.) Tjandrasasmita, Uka. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). Ushama, Thameem. Hasan al-Banna: Vision & Mission, (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1995). Edisi Budaya | 195

Khataman Istilah khataman berasal dari bahasa Arab, dari panitia. Mereka yang tidak memiliki khatama – yakhtimu – khatman – khitaaman, undangan, biasanya tidak diperkenankan berarti menamatkan atau menyelesaikan. mengikuti tahtiman jenis bil ghaib. Pendek Kata ini telah terserap dalam bahasa Indonesia: kata, tahtiman bil ghaib diperuntukan bagi khatam – mengkhataman – khataman. Kamus kalangan tertentu. Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan khatam sebagai tamat dan khataman diartikan Sedangkan khataman yang sering terihat, sebagai upacara selesai menamatkan bacaaan terutama pada bulan Ramadhan, adalah Al-Qur’an. tahtiman bin nadhar. Artinya, menghatamkan Al Qur’an dengan nadhar/melihat teks-teks Sebagian daerah di nusantara pada mushaf Al-Qur’an. Tidak ada persyaratan menggunakan sebutan tahtiman/takhtiman khusus untuk melaksanakan tahtiman bin untuk menggantikan istilah khataman. nadhar. Tidak harus hafal tiga puluh juz terlebih Tahtiman artinya proses mengkhatamkan Al- dahulu. Asalkan mau dan mampu, siapapun Qur’an. Kedua kata ini pada dasarnya sama. boleh mengikuti tahtiman bin nadhar. Tahtiman mencerminkan proses yang sedang dijalankan, sedangkan khataman adalah Syarat paling dasar adalah lancar ilmu kondisi terakhir ketika seseorang sudah tajwid/tata cara membaca Al- Qur’an. Namun menamatkan membaca Al-Qur’an. itu bukan syarat ketat. Mereka yang belum lancar tajwid juga tidak dilarang mengikuti Khataman diselenggarakan setelah tamat tahtiman bin nadhar. Cakupan tahtiman bin membaca seluruh isi Al-Quran, yang terdiri nadhar lebih luas dan berlaku umum. 114 surat, dari Al Fatihah, surat pembuka, sampai An-Nas, surat penutup. Sebagian Perbedaan tahtiman bin nadhar dan bil pesantren menggunakan istilah tahtiman ghaib hanya terletak pada cara membaca dan dibanding khataman. Terutama pada sejumlah kekhususan peserta. Sistem pembagian ayat pesantren khusus untuk hafalan (tahfidz) Al- relatif sama. Setiap orang yang mengikuti Qur’an. Pesantren tersebut membagi tahtiman khataman dibagi dalam beberapa kelompok. menjadi dua jenis: tahtiman bil ghaib dan Masing-masing kelompok terdiri dari dua tahtiman bin nadhar. puluh, tiga puluh, bahkan bisa empat puluh orang. Pada setiap kelompok, masing-masing Dikatakan tahtiman bil ghaib bila anggota membaca satu juz atau beberapa ayat seseorang menghatamkan seluruh isi Al Quran tergantung kesepakatan. tanpa melihat teks. Orang tersebut sudah hafal dan biasa disebut hafidz/hafidzah. Tahtiman Umumnya setiap peserta membaca jenis ini biasanya tidak dihadiri banyak orang. satu juz. Dari tiga puluh peserta, masing- Bukan karena orang lain tidak mau hadir, masing mendapatkan satu juz. Ketika namun karena peserta khataman terdiri seseorang mendapat bagian membaca, orang orang-orang yang sudah hafal tiga puluh juz lain menyimak/mendengarkan bacaannya. dan jumlahnya terbatas. Tujuannya antara lain untuk mengorksi bila ada bacaan keliru. Ini penting karena Bagi yang belum hafal 30 juz, biasanya perbedaan panjang nada di Al-Qur’an bisa hanya bisa bergabung bila menerima undangan memengaruhi arti kata. 196 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Khataman biasanya dilaksanakan sehari Misalnya, khataman pada momentum penuh. Dimulai setelah shalat subuh dan khitananan anak. Pada malam sebelum anak berakhir menjelang shalat maghrib. Sistem dikhitan, seringkali diadakan khataman. pembagian jatah siapa membaca dan siapa Biasanya yang dibaca hanya juz ke-30, juz menyimak biasanya tidak begitu berlaku bila ‘amma. Bahkan ada yang lebih singkat, hanya sudah memasuki waktu akhir. Misalnya, ketika membaca 22 surat pendek paling akhir, sudah jam 14.00 tapi bacaan baru sampai juz dimulai dari Ad Duha (surat ke-93) sampai An- ke-20, sistem harus diubah. Nas (surat ke-114). Masing-masing orang tidak harus Jumlah surat yang dibaca biasanya menyimak terlebih dahulu untuk mendapatkan tergantung capaian belajar ngaji seorang giliran bacaan. Pembacaan dilakukan secara anak. Bila kadarnya sudah lulus TPA (Taman paralel. Ketika ada yang masih membaca juz 20 Pendidikan Al-Qur’an), biasanya ia akan jam 14.00, peserta yang lain dibagi membaca membaca juz ‘amma sendiri. Bila belum sampai juz 21 dan seterusnya. Ketika nanti orang yang TPA, ia akan membaca dari surat Ad Duha. Bila kebagian juz 20 selesai membaca, dilanjutkan kemampuan baca Al-Qur’an, masih di bawah mulai tengah-tengah atau ayat terakhir juz 21 dari dua hal di atas, pembacaan khataman yang sedang dibaca. Begitu seterusnya. dilakukan oleh seorang ustadz atau tokoh setempat. Bila sudah demikian, khataman bisa selesai sebelum shalat ashar. Pembaca pada Khataman Al Qur’an untuk khitanan jam-jam terakhir biasanya orang yang sudah anak tidak hanya berisi pembacaan Al-Quran. rutin mengikuti khataman. Sehingga, tingkat Biasanya dirangkai dengan membaca dzikir kelancaran bacaannya tidak diragukan. dan shalawat lalu ditutup dengan doa. Sebelum para tamu undangan khataman pulang ke Khataman Lintas Daerah rumah masing-masing, mereka menikmati jamuan makanan dan minuman dari tuan Tradisi khataman di Aceh dinamai rumah. kenduri peutamat daruih. Peutamat artinya menamatkan dan daruih artinya bergantian. Khataman yang paling banyak Bila digabungkan, maksudnya adalah diselenggarakan adalah dalam rangka mengkhatamkan Al-Quran dengan ganti- memperingati khatamnya santri belajar gantian antara satu orang dengan orang lain. membaca Al Quran. Tahap akhir pembelajaran Masing-masing mendapatkan bagiannya. Bagi Al Quran setelah jilid enam adalah membaca Al yang tidak membaca, wajib menyimak bacaan. Quran dari juz awal sampai juz ketiga puluh. Masyarakat Gayo menamai tradisi ini sebagai Santri yang sudah melewati tahap ini akan tamat ndarus, artinya menamatkan tadarus diwisuda. Wisuda inilah yang dinamakan (membaca Al-Qur’an). khataman. Bila khataman di Jawa umumnya Metode pembacaan Al Qurannya dilaksanakan pada pagi hari dan ditutup bermacam-macam, seperti Iqro’, Qiraati, menjelang maghrib, di Aceh berbeda. Peutamat Ummi, dan metode yang lain. Berbagai metode dilakukan di meunasah, pusat keagamaan tersebut terdiri dari enam jilid. Jilid enam warga Aceh, setelah shalat tarawih dan menandakan bahwa seorang siswa sudah selesai ketika memasuki waktu sahur. Warga bisa mengaji Al Quran dengan lancar. Kecuali berbondong-bondong menuju meunasah untuk Qiraati, jilid enam saja tidak cukup untuk melangsungkan kenduri peutamat daruih. mengatakan seorang sudah lancar membaca Kenduri ini dihadiri hampir semua warga Al Quran. Setelah jilid enam, anak akan kampung. menggenapkan dengan ujian-ujian lain sampai lulus. Bila sudah lulus, anak tersebut akan Khataman Al-Quran tidak selalu berarti mendapatkan sertifikat. menghatamkan bacaan seluruh isi Al-Qur’an. Sebelum wisuda berlangsung, biasanya Edisi Budaya | 197

seorang guru ngaji akan mendatangi rumah kelompok. Setiap kelompok menamatkan satu orang tua murid. Guru ngaji tersebut juz. Tiap kelompok terdiri dari sepuluh santri: menyampaikan kepada orang tua bahwa 8 yunior dan 2 senior. Muqaddiman biasanya anaknya telah lulus mengaji. Setelah itu, orang dilakukan sekali setahun ketika penutupan tua akan memberitahukan kepada sekeliling atau perpisahan para santri. rumahnya. Dalam satu kali wisuda, terdapat beberapa anak yang mengikuti khataman Al Momentum Khataman Quran. Khataman dilaksanakan pada beberapa Di Jawa, salah satu menu makanan momentum penting seperti malam Nuzulul khas khataman anak adalah ingkung, yaitu Quran. Usai khataman dari pagi, warga biasanya ayam jantan yang dimasak utuh, kemudian mengadakan buka bersama di masjid. Setiap dibagi-bagikan kepada tamu undangan dan rumah membuat masakan dan disuguhkan ke warga sekitar, sebagai wujud syukur kepada masjid untuk disantap bersama-sama. Allah SWT, karena anaknya sudah mampu membaca Al Quran dengan baik. Ingkung akan Khataman di Banyuwangi Jawa Timur dipotong-potong langsung dengan tangan dilaksanakan setiap Ahad pahing. Usai shalat dan dibagi merata sesuai jumlah tamu. Inilah subuh, beberapa sesepuh kampung mulai yang paling unik dari ingkung. Orang yang membaca Al-Quran. Biasanya, kegiatan ini membagikan ingkung bisa piawai membagi selesai setelah shalat Ashar. Dari subuh sampai secara proporsional. ashar, setiap orang membaca Al-Quran sambil memegang mikrofon sehingga terdengar Prosesi khataman untuk mensyukuri warga sekitar. Tiap daerah memilih hari belajar anak di kalangan suku Mandar, berbeda untuk jadwal khataman. Dalam satu Sulawesi Barat, dan Bugis, Sulawesi Selatan, kabupaten, jadwal tiap kecamatan berbeda. dengan nama Mappatammag Koroang atau bahasa bugisnya Mappanre temme. Di Kalimantan Selatan, khataman diberi nama Batamat. Sama-sama dalam Pada acara Mappatammag, diselenggarakan rangka khatamnya anak membaca Al-Quran. Sayyang Pattudu. Seremoni yang ditandai Konsepnya mirip khataman di Jawa. Hanya, atraksi seekor kuda yang diiringi rebana prosesinya yang berbeda. Kalau khataman dan pembacaan kalindaqdaq atau puisi khas digunakan untuk anak muda atau remaja yang mandar. Anak yang sudah khatam akan naik baru mengkhatamkan Al-Quran, Batamat kuda yang loncat-loncat tersebut. tidak. Batamat dilaksanakan antara lain ketika acara pernikahan oleh kedua mempelai. Beberapa daerah Kalimantan mengadakan khataman massal untuk beberapa murid Acara khataman sebelum akad nikah juga SMP dan SMA. Pemerintah Kota Samarinda dilaksanakan pada masyarakat Betawi. Acara menggelar khataman massal untuk SMA ini menandakan bahwa kedua calon pengantin sederajat. telah cukup bekal ilmu agamnaya sehingga dapat membentuk keluarga sakinah. Di Sulawesi Utara yang muslimnya minoritas pun, tradisi khataman ini tidak Selain pada hajatan pernikahan dan hilang. Ada kampung bernama Jaton (Jawa khitanan, khataman juga dilaksanakan untuk Tondano), berisi orang Jawa yang transmigrasi mendoakan orang-orang yang sudah wafat. dan menetap di dekat danau Tondano. Di sana, Terutama ulama dan tokoh masyarakat yang adat ambengan untuk memperingati anak berjasa penting. Seperti pada haul Maulana yang baru mengkhatamkan Al-Qur’an masih Malik Ibrahim di samping makamnya di Gresik, dilaksanakan. tiap tanggal 12 Robiul Awal. Biasanya, prosesi khataman khusus menggunakan tahtiman bil Selain khataman dan tahtiman, ada ghaib. Peserta khataman adalah para undangan istilah muqoddaman. Caraya, pembacaan Al- terbatas yang telah menghafalkan seluruh isi Qur’an dengan membagi menjadi beberapa 198 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Al-Qur’an. program ODOJ (one day one juz), program mengkhatamkan Al Quran tiga puluh juz Di Pati dan Jepara, khataman dilaksanakan selama sebulan. Setiap habis shalat, anggota pada haul Syaikh Ahmad Al Mutamakkin, tokoh ODOJ diminta membaca dua lembar Al- ulama setempat, tiap tanggal 6 Muharram. Quran. Dalam sehari, ia bisa membaca sepuluh Acara haul berlangsung sampai tanggal 10, halaman atau satu juz. Dalam tiga puluh hari, namun seperti pada haul-haul lainnya, prosesi ia sudah megkhatamkan tiga puluh juz. khataman Al Quran menjadi prosesi pertama. Kedua, program Nusantra Mengaji. Khataman juga diselenggarakan pada Gerakan ini mendorong setiap daerah syukuran kelahiran anak. Di Jawa namanya senusantara untuk mengkhatamkan Al-Quran neptonan. Tetangga diundang. Khataman serentak. Tercatat 2,4 juta orang terlibat dalam berisi bacaan tujuh surat: Al Mulk, Ar Rohman, gerakan ini. Al Farah, Al Kahfi, Maryam, Yusuf, dan Al Waqiah. Gerakan ini menggelar Safari Dakwah untuk menggelorakan khataman. Kampus- Di Pamekasan, Madura, tradisi Khataman kampus termasuk menjadi destinasi gerakan dilaksanakan pada hari kedua Rokat Tase’, ini. Mereka membuat program khataman pelarungan sesaji di laut pada bulan Muharam. Al-Qur’an secara online. Dirilis pula aplikasi Proses berlangsung selama tiga hari. Hari Nusantara Mengaji dengan program khataman pertama dilaksanakan pembacaan yasin dan melalui ponsel cerdas. Ada Infaq Sejuta Quran tahlil. Hari kedua khataman Al-Qur’an. Hari dan beasiswa bagi para hafidz. terakhir pelarungan sesaji ke tengah laut. Khataman juga memasuki ranah Pesantren-pesantren khusus penghafal bisnis. PT Buya Barokah menjual air minum Al-Qur’an melaksanakan khataman Al Quran dalam kemasan gelas yang sudah diberikan ketika shalat Tarawih. Dalam semalam khataman Al-Quran. Ide ini semula karena shalat tarawih, imam membaca satu juz al- banyaknya warga yang menyambangi seorang Quran. Dalam tiga puluh hari, imam sudah Kiai untuk minta air yang sudah didoakan agar menghatamkan Al Quran. Tradisi ini sudah berkah. Agar jamaah tetap bisa mendapatkan lama berlangsung antara lain di pesantren Al air yangtelah didoakan itu, PT Buya Barokah Munawwir Krapayak Yogyakarta. membuat bisnis ini. Nama produknya KH-Q (Khataman Quran). Produk ini lebih dikenal Inovasi Khataman dengan air doa. Perkembangan terbaru, ada dua [Asrori S Karni] fenomena unik yang menggambarkan inovasi menggerakkan khataman. Pertama, Daftar Pustaka Babcock, Tim G. 1989. Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity. Gadjahmada University Press. Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar. 1997. Raja Grafindo. Banjar. Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES. Dinas Pariwisata Kabupaten Pamekasan. 1992. Tradisi Roka Rase’. Pamekasan: Dinas Pariwisata. Fathurrahman, Aman. Pendalaman Ilmu Tafsir di PTAI Non Tafsir. Muhaimin, Abdul. tuntunan Ziarah Wali Songo. Jakarta: Ghalia Indonesia. Pratikno dkk. 1984. Upcara Kematian Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan KEbudayaan Ditektorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 1977. Saransi, Ahmad. 2003. Tradisi Masyarakat Islam di Sulawesi Selatan. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Tradisi Masyarakat dan Lamacca Press. Sigar, Edi. 2007. Buku Pintar Indonesia. Delapratasa. Simuh. 2003. Islam dan Pergumuln Budaya Jawa. Bandung: Teraju. Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol II No 2 Tahun 2005. IAIN Sunan Kalijaga. R Umi Basoroh. Pelembagaan Tradisi Membaca Al Quran Masyarakat Mlangi. Edisi Budaya | 199

Kiai Sejarah dan Arti Kata semua hal ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu atau seseorang yang memiliki kualitas Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas rata-rata. Seorang kiai, sebagaimana istilah “Kiai” bermakna sebutan bagi dikutip Ronald Alan Lukens-Bull (2004: 89), alim ulama (cerdik pandai dalam agama berkata bahwa secara etimologis, kiai berasal Islam). Sedangakan awal mula atau sejarah dari kata ‘iki wae’, yang bisa diartikan ‘orang munculnya istilah ini konon bermula dari yang dipilih’. Ini menunjukkan bahwa kiai keampuhan benda-benda kuno yang dimiliki adalah spesial karena mereka pilihan Allah para penguasa di Tanah Jawa (raja, senopati SWT. Akan tetapi, istilah ‘kiai’ bisa diterapkan atau para punggawa kerajaan). Benda berupa pula pada selain manusia. Beberapa pusaka pusaka mengandung kekuatan gaib yang keraton Jawa yang disebut pula kiai, termasuk dipercaya masyarakat dapat menentramkan keris (pisau panjang Jawa) dan kereta yang dan memulihkan kekuasaan dan ketenteraman dipakai keluarga-keluarga kerajaan. K.H. Kholil suatu daerah atau negara. Benda itu dapat Bisri (2004), menambahkan bahwa “kiai” menambah kekuatan kesaktian pemakaiannya adalah “sesuatu (atau segala sesuatu) yang (Sukamto, 1999: 84-85). istimewa. Bahkan besi dan sapi yang istimewa bisa bernama Kiai Pleret, Kiai Nogososro- Secara umum istilah “kiai” dipergunakan Sabukinten, Kiai Laburjagat, Kiai Slamet, dan untuk ketiga jenis gelar yang saling berbeda: lain-lain”. 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang- Namun pengertian Kiai yang paling barang yang dianggap keramat; semisal, luas dalam Indonesia modern adalah “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk pendiri dan pimpinan sebuah pesantren, sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton yang sebagai muslim “terpelajar” telah Yogyakarta. membaktikan hidupnya “demi Allah” serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran- 2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pada umumnya. pendidikan. Kadar semantik dari istilah Kiai di sini mencakup secara mutlak komponen 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat tradisional Jawa. Juga bila di sini berada dalam kepada seorang ahli agama Islam yang kesinambungan tradisional dan mencakup memiliki atau menjadi pemimpin arti sebagai sesepuh kerohanian masyarakat, pesantren dan mengajarkan kitab-kitab yang dianggap memiliki sesuatu kesaktian. Islam Klasik (Kitab Kuning) kepada Misalnya, ahli hikmah dan guru maupun para santrinya. Selain gelar Kiai, ia juga pimpinan (politik) di daerah yang berwibawa, sering disebut sebagai seorang alim yang memiliki legitimasi wewenangnya atau ulama yang menunjukkan sebuah berdasarkan kepercayaan penduduk. Dengan keluasan pengetahuan agama Islam yang demikian, jelaslah bahwa predikat “Kiai” dimilikinya. (Zamakhsyari Dhofier, 1982: berhubungan dengan sesuatu gelar, yang 93) menekankan pemuliaan dan pengakuan, yang Sementara istilah “kiai” dalam bahasa Jawa sering dipakai dalam banyak hal. “Kiai” adalah 200 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Wejangan KH. Mustofa Bisri kepada para santri di kediamannya Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang. Sumber: Tim Anjangsana Islam Nusantara 2017. diberikan secara suka rela kepada ahli Islam Karenanya julukan yang diberikan kepadanya pimpinan masyarakat setempat. (Ziemek, 131) adalah Kiai Teko atau Kendi. Para Kiai penceramah ini diibaratkan sebuah teko berisi Kiai adalah sebuah gelar kehormatan air, yang senantiasa memberikannya kepada yang disandang bagi seseorang yang memiliki setiap orang yang memerlukannya, dengan keluasan pemahaman dalam agama Islam. cara menuangkan air ke dalam gelas. Ceramah Di sisi lain, Kiai merupakan elemen penting yang disampaikan Kiai ini sebagai siraman bagi sebuah pondok-pondok pesantren di keagamaan kepada masyarakat. Sedangkan Indonesia. Sebab, kiai seringkali merupakan julukan Kiai yang memiliki lembaga pondok pendiri sebuah pesantren. Dimana sudah pesantren adalah Kiai Sumur. Keberadaan Kiai sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu ini berdiam diri di rumah (pondok pesantren), pesantren semata-mata bergantung pada dan masyarakat akan datang ke pondok kemampuan pribadi kiainya. pesantren berniat menjadi santri untuk mendapatkan pengetahuan agama. Ibarat Kiai dan pesantren adalah dua hal yang orang kehausan akan mengambil air dari hampir-hampir tidak bisa dipisahkan satu sama dalam sumur. Masyarakat yang memerlukan lainnya. Sebab, secara umum Kiai bukan hanya pengetahuan agama harus datang sendiri di orang yang memiliki keluasan pengetahuan tempat kediaman Kiai. (Sukamto, 1999: 85- agama. Melainkan juga orang yang sekaligus 86) memiliki lembaga pondok pesantren. Tetapi ada lagi sebutan Kiai yang ditujukan kepada Kompleksitas Istilah Kiai mereka yang memiliki pengetahuan luas tentang agama, namun tidak memiliki lembaga Istilah Kiai sebagian besar hanya berlaku pondok pesantren. Kiai yang terakhir ini di sebagian daerah Jawa Barat (Cirebon, mengajarkan pengetahuan agama dengan cara Indramayu, Subang), Jawa Tengah, Yogyakarta, berceramah dari desa ke desa, menyampaikan fatwa agama kepada masyarakat luas. Edisi Budaya | 201

dan Jawa Timur. Sedangkan untuk sejumlah kepada seorang ahli agama yang berusia masih daerah lainnya, istilah lain yang semisal Kiai cukup muda. Sebagaimana sebutan ustadz bagi dan lazim digunakan di daerah lainnya adalah santri-santri senior di pesantren yang diberi ajengan, tuan guru, anregurutta, syekh, buya, tugas khusus oleh Kiai untuk memberikan dan lain sebagainya. pengajian kepada santri junior. Sedangkan istilah ulama yang merupakan bentuk plural Lalu apa persyaratan seseorang untuk dari alim (orang yang mengerti agama) adalah menjadi seorang Kiai? Apakah untuk menjadi istilah yang terbilang cukup umum. seorang Kiai ada ukuran-ukuran tertentu? Aboebakar Atjeh menyebutkan beberapa faktor Di sisi lain, istilah “kiai” memiliki yang menyebabkan seseorang menjadi Kiai perbedaan yang mencolok dengan istilah besar, seperti: Pengetahuannya, kesalehannya, ulama. Menurut Horikhosi, perbedaan Kiai keturunannya dan Jumlah muridnya. dan ulama lebih pada fungsi sosialnya. Seorang Sedangkan menurut Karel A Steenbrink, ulama lebih berperan dalam komunitas dalam bukunya Pesantren, Madrasah, Sekolah, berskala kecil, seperti di pedesaan. Sedangkan Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, fungsi sosial Kiai lebih besar dari pada mengemukakan kriteria lain, yaitu: Prinsip ulama. Sedangkan fungsi sosial Kiai lebih keluarga, ortopraksi atau kesalihan seorang besar daripada ulama, karena ditopang oleh Kiai, pengabdiannya pada masyarakat, kekuatan-kekuatan karismatik. (Horikhoshi, prinsip interpretasi yang berwibawa 1976: 211) (pengetahuannya), dan prinsip wahyu, atau Kiai dalam posisinya sebagai perantara wahyu. Dari segi konsepsional, kiai dan ulama (Asep Saeful Muhtadi, 2004: 51) memiliki perbedaan yang cukup tajam. Sebutan Kiai lahir dari kesepakatan sosial yang sudah Jadi, untuk menjadi seorang Kiai, terlebih lazim di sebuah komunitas masyarakat yang dalam lingkungan masyarakat beragama, kemudian dalam perkembangan selanjutnya unsur-unsur tersebut di atas harus ada dalam istilah tersebut dinisbatkan kepada orang yang diri seseorang. Di mana modal sosial belum memiliki kapasitas pengetahuan keagamaan dianggap cukup bila tidak didukung dengan yang luas. Berbeda dengan istilah ulama, yang kemampuan keilmuan atau intelektualitasnya. lebih cenderung diambil dari surat al-Fathir Hal ini menunjukkan bahwa faktor keturunan ayat 68 dimana disebutkan redaksi: Innama hanyalah bagian dari persyaratan saja. yakhsya Allah min ibadihil ulama, yang kemudian diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad SAW; Selain itu, secara umum Kiai dipandang al-Ulama’ waratsatul ambiya’. (Sukamto, 1999: sebagai sosok yang berakhlak mulia (al-akhlaq 87-88) al-karimah), baik dalam ukuran teologis seperti tersirat dalam kaidah-kaidah kewahyuan, Kiai dan Perubahan Sosial maupun dalam ukuran etika sosial, tempat seorang Kiai itu tinggal. Ukuran akhlak ini Para agamawan sejak dahulu sering penting bagi seorang Kiai, sebab dalam banyak dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan. hal dia menjadi panutan yang senantiasa Karena tidak ada kemajuan tanpa perubahan, diikuti oleh masyaraka secara tunduk. Dan, maka mudah saja tudingan jari diteruskan ukuran ini pula akan dengan sendirinya hilang kepada mereka sebagai pihak yang menentang jika sewaktu-waktu seorang Kiai dipandang perubahan. Tanpa harus menjadi apologetik, telah me”Langgar” etika tersebut. (Asep Saeful kita dapat merasakan sikap itu dalam Muhtadi, 53) ungkapan “harus ada kelompok dinamis yang akan memulai modernisasi, walaupun masih Di Indonesia sendiri, terdapat istilah- ada keberatan dari mereka mempertahankan istilah serupa Kiai yang disematkan oleh tradisi”. Modernisasi dihadapkan kepada masyarakat kepada seseorang yang memiliki tradisi, perubahan dipertentangkan dengan pengetahuan keagamaan seperti ulama dan “statusquo”, dinamika berhadapan pada ustadz. Sebutan ustadz biasanya disematkan 202 | Ensiklopedi Islam Nusantara

keadaan statis. (Abdurrahman Wahid, 1976) terhadap kekuasaan kolonial. (Manfred Ziemek, 1986: 91) Menurut Geertz, Kiai berperan sebagai cultural broker atau makelar budaya yang Kiai Kharismatik dan Regenerasi Kiai melakukan filter atau penyaringan atas arus informasi yang masuk ke dalam lingkungan Kenyataan bahwa nama dan pengaruh kaum santri, menularkan apa yang dianggap sebuah pesantren berkaitan erat dengan berguna dan membuang apa yang dianggap masing-masing Kiai, telah menunjukkan, merusak bagi mereka. Berbeda dengan Geertz, betapa kuatnya kecakapan dan pancaran Horikoshi menyatakan bahwa Kiai berperan kepribadian seorang pimpinan pesantren aktif dalam perubahan sosial. Ia bukan hanya menentukan kedudukan dan tingkat suatu melakukan penyaringan informasi, melainkan pesantren. Bila pada saat pendirian sebuah menawarkan agenda perubahan yang pesantren kepemimpinan dan kecakapan dianggapnya sesuai dengan kebutuhan nyata seorang Kiai menggerakkan massa merupakan masyarakat yang dipimpinnya. faktor menentukan, untuk mengajak penduduk sekitarnya bekerja dan turut serta Dengan merujuk pada hasil penelitiannya, dalam pembiayaan, selanjutnya seorang Kiai Horikoshi memperbaiki –bila tidak dikatakan sering dapat membangun peran strategisnya mengkritik- teori Geertz tentang peranan sebagai pimpinan masyakartak yang non Kiai sebagai makelar budaya. Bagi Geertz, formal melalui suatu komunikasi yang intensif peran Kiai sebagai penyaring informasi itu dengan penduduk. (Ziemek, 138) akan macet manakala arus informasi yang masuk begitu deras dan tidak mungkin bisa Kharisma Kiai didasarkan pada kekuatan disaring lagi oleh sang Kiai. Dalam keadaan spiritual dan kemampuan memberi berkah demikian, kiai akan kehilangan perananannya bagi para santrinya. Bahkan kuburan Kiai juga yang sekunder dan tidak kreatif, kiai akan dipercaya dapat memberikan berkah. Sikap mengalami kesenjangan budaya (cultural lag) inilah yang membedakan secara tajam antara dengan masyarakat sekitarnya. Sementara kaum modernis dan fundamentalis yang bagi Horikoshi kiai berperan kreatif dalam menganggap bahwa setelah mati seseorang perubahan sosial. Hal ini bukan karena kiai tidak mungkin lagi ada komunikasi, dan mencoba meredam akibat perubahan yang setiap usaha untuk berhubungan dengannya terjadi, melainkan justru karena sang kiai adalah syirik. Di sisi lain, kaum tradisionalis mempelopori perubahan sosial dengan caranya menganggapnya sebagai sebuah aspek integral sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan dari konsep wasilah, keperantaraan spiritual. informasi, melainkan menawarkan agenda (Martin, 2015: 88-89) perubahan masyarakat yang dipimpinnya. Ia bukan berperan karena menunda datangnya Pada titik ini, kepemimpinan seorang perubahan melalui proses penyaringan Kiai seperti tak tergantikan. Di satu sisi ia informasi, melainkan ia sepenunya berperan memimpin pesantrennya dengan mengabdikan karena ia mengerti bahwa perubahan sosial dirinya untuk mengajar para santri, di sisi lain adalah perkembangan yang tak terelakkan ia harus menjaga hubungan baiknya dengan lagi. (Wahid, 1976: xvi-xvii) masyarakat sekitar. Sentralitas peran seorang Kiai pun tidak bisa diwakili secara utuh oleh Dalam sejarah kemerdekaan Negara santri senior yang ditunjuk sebagai lurah atau Indonesia, Kiai memiliki peranan yang sangat bahkan putranya sekalipun. penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Menurut Ziemek, Kiai berperan sebagai Untuk menjadi seorang Kiai, seorang kelompok perantara antara agama dan budaya calon harus berusaha keras melalui jenjang selama perkembangan sejarah kolonial di yang bertahap. Pertama-tama, biasanya ia Indonesia telah mendapat peranan tambahan merupakan anggota keluarga Kiai. Setelah sebagai pimpinan perlawanan sosial budaya menyelesaikan pendidikan dan pelajarannya di Edisi Budaya | 203

pesantren, kiai pembimbingnya yang terakhir mendirikan, memimpin atau mengambil alih melatihnya mendirikan pesantrennya sendiri. suatu pesantren, pembinaan peran seorang Seringkali kiai pembimbing turut secara Kiai muda dibantu oleh faktor-faktor berikut: langsung dalam pendirian proyek pesantren baru, sebab kiai muda dianggap mempunyai 1. Berasal dari suatu keluarga Ulama/Kiai potensi untuk menjadi seorang alim yang baik terpandang di lingkungannya, agar dapat dan berfungsi sebagai penyaji santri senior. menggunakan kesetiaan kerabat dan (Dhofier, 97) masyarakat; Campur tangan kiai terhadap calon kiai 2. Sosialisasi dan pendidikan dalam biasanya tidak hanya sekadar dalam persoalan suatu pesantren terpandang, dengan pengetahuan, melainkan juga dalam urusan pengalaman dan latar belakang jodoh serta diberikan pendidikan khusus di pengetahuan untuk memimpin sebuah pesantren untuk mengembangkan bakan pesantren telah ditanamkan; kepemimpinannya. Cara-cara inilah yang dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ari, pemimpin 3. Kesiapan pribadi yang tinggi untuk Pesantren Tebuireng, kepada murid-muridnya bertugas, yakni kemauan untuk yang antara lain adalah Kiai Abdul Karim mengabdikan kehidupan pribadinya dei (pendiri pondok pesantren Lirboyo), Kiai tugasnya di pesantren; Jazuli (Ploso Kediri) dan Kiai Zubair pendiri Pesantren Reksosari Salatiga. (Dhofir, 98) 4. Karena tergolong dalam suatu keluarga Kiai (mungkin dengan perkawinan) Pengaruh Kiai tergantung pada kualitas biasanya sang Kiai muda termasuk elit pribadi, kemampuan, dan kedinamisannya, desa yang lebih mampu, kaya, dan dapat sehingga puteranya yang tidak memenuhi mengerahkan sebagian harta keluarga persyaratan yang diperlukan tidak dapat untuk pembangunan pesantren; menggantikan kedudukannya. Meninggalnya seorang kiai yang demikian biasanya menjadi 5. Sebagai pimpinan agama dan masyarakat pertanda berakhirnya fenomena kharismatik, ia harus mampu dengan daya dan sedikitnya masyarakat akan merasa meyakinkan dan potensi kharismatiknya sangat kehilangan pemimpin pemersatu dan (menggerakkan anggota warga lingkungan sekaligus kehilangan kekuatan attau daya bagi yang lebih miskin untuk bekerja kelangsungan hidupnya. (Horikoshi, 2) suka rela dalam swadaya masyarakat (gotong-royong) untuk membangun dan Pada titik ini, kaderisasi Kiai sebagai membiayai pesantren; pimpinan pondok pesantren adalah sesuatu yang sangat penting. Tongkat estafet 6. Mengumpulkan dana dan bantuan kepemimpinan Kiai biasanya diteruskan oleh (tanah wakaf) dari warga yang berpunya. putera, menantu, atau kerabatnya. Pada saat (Ziemek, 136-137) [Saifuddin Jazuli] Sumber Bacaan Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Radikal dan Akomodatif, Jakarta: LP3ES, 2004 Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Yogyakarta: Gading Publishing, 2015 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011 Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1999 Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1985 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981 204 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Kidung Genealogi Kidung doa sebagai sarana permintaan kepada Tuhan. (Widodo dkk., 2013: 36). Kidung secara terminologis diartikan sebagai karya sastra rakyat atau puisi Menurut Bambang Wiwoho, sebelum dalam bahasa Jawa kuno, berupa cerita Islam hadir di tanah Jawa, kidung merupakan romantikal dan cerita pelipur lara. Kidung susunan sastra yang ditembangkan oleh umumnya berbentuk tembang yang dapat orang - orang khusus (sakti) sebagai perantara dinyanyikan. Di antara kidung yang cukup permohonan kepada Sang Hyang Widi (Tuhan) populer dikenal adalah Kidung Rumeksa Ing sehingga estetika nuansa kidung sangat Wengi karya Sunan Kalijaga. Sebuah kidung identik dengan kesakralan dan mistis. Pada berbahasa Jawa Tengahan dalam bentuk zaman Wali Songo, keberadaan Kidung tetap tembang yang memiliki makna untuk menjaga di lestarikan, hanya saja nilai-nilai kidung atau merawat sesuatu di malam hari. Kidung di selaraskan dengan ajaran Islam tanpa Rumeksa Ing Wengi merupakan kidung mengurangi nilai kesakralan dan kemistisan wingit (keramat), berisi mantra ataupun doa sebagai bagian dari keindahan warisan sastra yang disusun sebagai doa perlindungan dan Jawa. Pada zaman Walisongo, kidung menjadi penyembuhan. Selain kidung Rumeksa Ing media berdakwah para wali secara halus tanpa Wengi dalam bahasa Jawa juga terdapat kidung menimbulkan gejolak sosial, menyusup dalam berbahasa Bali atau yang dikenal dengan adat budaya masyarakat Jawa waktu itu dalam kidung Bali. Kidung ini sering dinyanyikan menanamkan pemahaman keislaman, keesaan pada upacara Panca Yadnya. Beberapa kidung serta kekuasaan Tuhan, para malaikat, para Bali diantaranya Wargasari, Tantri, Nalat, nabi kepada masyarakat Jawa yang masih Alis Ijo, Bramara Sangupati. Kidung-kidung kental dengan nilai-nilai adat budaya lama tersebut digubah di Bali yang menceritakan termasuk agama Syiwa (Hindu – Budha). zaman sesudah Majapahit. (Sijito, 2006: 36) Munculnya kidung dalam sejarah Islam di Selaras dengan Holt (1967: 67), kidung Jawa tidak terlepas dari sejarah Islamisasi di merupakan karya sastra atau puisi Jawa tanah Jawa, karena kidung merupakan salah Kuno yang diadaptasi pada peristiwa sejarah. satu media dakwah selain diyakini sebagai Sedangkan menurut Wahyu Iryana, kidung doa mistis. Keberhasilan Islamisasi di Jawa adalah karya sastra sejenis pupuh, guguritan juga berkat peran para mubaligh tangguh yang memiliki makna mendalam dan biasanya yang terhimpun dalam suatu lembaga dakwah ditembangkan pada malam hari oleh pujangga, yang dikenal Wali Songo. Islamisasi yang maha guru, ataupun seorang ibu yang sedang terjadi secara damai dengan pendekatan yang memberi wejangan atau nasehat kepada anaknya. akomodatif dan fleksibel dalam memahami Dalam makna teologis, kidung merupakan kondisi sosio-kultural masyarakat Jawa rangkaian kata dari perpaduan sastra dan doa sehingga para wali menciptakan kidung sebagai sarana ritual yang disenandungkan sebagai alat dakwah dalam menyebarkan dengan titi nada tertentu. Disebut sastra sebab Islam (Sijito, 2006: 32). Seperti halnya berkaitan dengan tembang yang memiliki ciri Kidung Gunung Jati yang menjadi falsafah khas keindahan dan keteraturan sedangkan hidup masyarakat Cirebon. Menurut Wahyu Edisi Budaya | 205

Iryana, kidung tersebut kini diadopsi oleh dengan nama kidung rumeksa ing wengi para seniman sebagai produk budaya. Kidung (perlindungan di malam hari). Kidung tersebut diejawantahkan oleh para sinden dalam sebagai salah satu media dakwah Sunan Kalijaga pertunjukan wayang, selametan kelahiran, yang dituangkan dalam doa-doa berbahasa khitanan, dan pernikahan yang dilantunkan Jawa (mantra). Sunan Kalijaga juga menyusun dengan gitar dan seruling. Berikut adalah berbagai macam doa dalam bahasa Jawa untuk contoh kidung Gunung Jati sebagai pemaknaan berbagai kepentingan dan kegunaan masyarakat jati diri kelahiran manusia kemuka bumi. pada zamannya. Doa dalam bahasa Jawa berupa kidung atau mantra diyakini masyarakat saat Bismillah/purwaning wiwit/liwang liwung itu memiliki daya magis atau kekuatan gaib yang randu kurung/ gunung sembung/ gunung kuat bagi pengamalnya (Sidiq, 2008: 136) jati gunung amparan/ ingkang sejatining/ sejajare lawang sanga/kang jageni tamengana Menurut Chodjim (2003: 16), uraian- pasangan damar/ panggone lingging saking uraian dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi Sunan kursi gading gilang kencana. Kalijaga berkaitan dengan urusan-urusan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kidung ini Terjemahannya: Bismillah sebagai pembuka, mempunyai 45 bait tembang yang bermetrum belantara Gunung Sembung, Gunung Amparan dandhanggula, tetapi yang sering dilantunkan Jati, yang sejati sejajar pintu sembilan simbol para oleh orang Jawa adalah bait pertama sampai bait wali, sebagai cahaya penerang yang menduduki kelima. Dalam Kidung-nya ini Sunan Kalijaga singgasana kursi gading gilang kencana. memaparkan bahwa setiap hari manusia tidak bisa terlepas dari istirahat (tidur) khususnya Dinamika Kidung: Perpaduan Sastra, dimalam hari, namun malam merupakan tempat Doa, dan Dakwah berlindung yang baik bagi perbuatan jahat. Kelemahan di waktu malam ini sangat penting Sunan Kalijaga sebagai salah satu dari agar besoknya bisa melanjutkan kehidupan sembilan wali (Walisongo) yang berdakwah di di bumi. Ia menawarkan tata cara berdoa tanah Jawa menciptakan kidung yang terkenal keselamatan di malam hari karena keselamatan Sumber: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ 206 | Ensiklopedi Islam Nusantara

merupakan bagian pokok dari misi agama. Agama oleh Sunan Kalijaga dengan sangat puitis apa saja kurang memiliki makna bagi pemeluknya dan dianggap sakral oleh masyarakat Jawa jika tidak ada keselamatan yang bisa ditawarkan (Sakdullah, 2014: 13) kepada pemeluknya (Sakdullah, 2014: 5). Dimensi Teologis Kidung Kidung Rumeksa Ing Wengi ditulis oleh Sunan Kalijaga untuk menjembatani hal- Kidung sebagai karya sastra tidak hanya hal yang bersifat supranatural. Sebab, pada berdimensi seni tetapi juga berdimensi pada tahun-tahun awal perkembangan Islam aspek teologi. Kidung rumeksa ing wengi di Jawa bersifat sangat mistis yang pada ciptaan Sunan Kalijaga memiliki makna dasarnya merupakan kepercayaan pra-Islam teologis yang mendalam sebagaimana yang yang masih sangat dipengaruhi oleh paham tertulis dalam beberapa baitnya dibawah ini. animisme dan dinamisme. Kenyataan yang terjadi pada saat Sunan Kalijaga menyebarkan Ana kidung rumeksa ing wengi Islam adalah serangan dari lawan-lawannya teguh hayu luputa ing lara dengan menggunakan ilmu hitam (black luputa bilahi kabeh magic). Untuk membentengi diri dan para jim setan datan purun pengikutnya, Sunan Kalijaga menggubah paneluhan tan ana wani kidung tersebut yang berisi berbagai macam miwah panggawe ala mantra (doa) untuk menolak balak di malam gunaning wong luput hari seperti teluh, tenung, santet, dan lain-lain geni atemahan tirta (Sijito, 2006: 38) maling adoh tan ana ngarah mring mami guna duduk pan sirna Kidung Rumeksa Ing Wengi merupakan Sekehing lara pan samya bali sarana dakwah dalam bentuk tembang yang sekeh ngama pan sami miruda populer dan menjadi “kidung wingit” karena welas asih pandulune dipercaya membawa tuah seperti mantra sekehing braja luput sakti. Dakwah yang dirangkai menjadi sebuah kadi kapuk tibaning wesi tembang berisi sembilan bait dan seolah-olah sekehing wisa tawa sampai saat ini kidung tersebut abadi. Orang- sato galak tutut orang pedesaan masih banyak yang hafal dan kayu aeng lemah sangar mengamalkan syair kidung ini. Sebagai sarana songing landak guwaning mong lemah miring dakwah kepada anak cucu, nasehat dalam myang pakiponing merak bentuk tembang lebih langgeng dan awet dalam ingatan. Sepeninggal Sunan Kalijaga, Pagupakaning warak sakalir kidung ini menjadi milik rakyat, mereka nadyan arca myang segara asat dengan tulus membaca dan mengamalkannya temahan rahayu kabeh sebagai doa (Purwadi, 2003: 191-192). apan sariro ayu ingideran kang widadari Kidung Rumeksa Ing Wengi lebih dari reneksa malaikat sebuah karya sastra yang berupa simbol sekatahing rarasul verbal, namun juga menjadi media pendidikan pan dadi sarira tunggal dan juga alat dakwah Sunan Kalijaga saat ati Adam utekku baginda Esis itu. Kidung tersebut memiliki kandungan pangucapku ya Musa isi filosofis dan bermakna sangat mendalam serta memuat unsur-unsur teologis Islam yang Napasku Nabi Isa linuwih mencakup beberapa aspek kehidupan manusia Nabi Yakub pamyarsaningwang dan masih relevan sampai sekarang. Adapun Yusuf ing rupaku mangke unsur-unsur teologis yang terkandung dalam Nabi Daud swaraku Kidung tersebut mencakup tentang Tuhan, Jeng Sulaiman kasekten mami manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Semua unsur teologis tersebut dikemas Edisi Budaya | 207

Nabi Ibrahim nyawa Lamun arsa tulus nandur pari Idris ing rambutku puwasaa sawengi sadina Baginda Ali kulitingwang iderana galengane Abu Bakar getih daging Umar singgih wacanen kidung iki balung baginda Usman sekeh ngama sami abali yen sira lunga perang Sumsungingsun Fatimah linuwih wateken ing sekul Siti Aminah bajuning angga antuka tigang pukulan Ayub ing ususku mangke mungsuhira rep sarirep tan ana wani Nabi Nuh ing jejantung rahayu ing payudan Nabi Yunus ing otot mami netraku ya Muhammad Sing sapa reke bisa nglakoni panduluku Rasul amutiha lawan anawaa pinayungan Adam syara’ patang puluh dina bae sampun pepak sekatahing para Nabi lan tangi wektu subuh dadya sarira tunggal lan den sabar sukuring ati Insya Allah tinekan Wiji sawiji mulane dadi sukarsanireku apan pencar saisining jagad tumrap sanak rakyatira kasamadan dening date saking sawabng ngelmu pangiket mami kang maca kang angrungu duk aneng Kalijaga kang anurat kang anyimpeni dadi ayuning badan Terjemahannya: kinarya sesembur yen winacakna ing toya Ada nyanyian yang menjaga di malam kinarya dus rara tuwa gelis laki hari. Kukuh selamat terbebas dari penyakit. wong edan nuli waras Terbebas dari semua malapetaka. Jin setan Lamun ana wong kadendan kaki jahat pun tidak ada yang berani. Juga berbuat wong kabanda wong kabotan uatang jahat. Guna-guna pun tak ada yang berani. yogya wacanen den age Api dan juga air. Pencuri pun jauh tak ada nalika tengah dalu yang menuju padaku. Guna-guna sakti pun ping sawelas macanen singgih lenyap. Semua penyakitpun bersama-sama luwar saking kabanda kembali, Barbagai hama sama-sama habis, kang kadenda wurung Dipandang dengan kasih sayang, Semua aglis nuli sinahuran senjata lenyap, Seperti katuk jatuhnya besi, mring Hyang Sukma kang utang punika Semua racun menjadi hambar, Binatang buas singgih jinak, Kayu ajaib dan tanah angker, Lubang landak rumah manusia tanah miring, Dan 208 | Ensiklopedi Islam Nusantara

tempat merak berkipu. Tempat tinggal semua teologis tentang Tuhan, manusia, dan relasinya badak, Walaupun arca dan lautan kering, Pada dengan Tuhan. Persoalan teologis tersebut akhirnya semua selamat, Semuanya sejahtera, dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi Dikelilingi bidadari, Dijaga oleh Malaikat, masyarakat Jawa dalam menghadapi datangnya Semua rasul menyatu menjadi berbadan beragam tantangan zaman. Pertama, Tuhan. tunggal, Hati Adam, otakku Baginda Sis, Iman kepada Allah menjadikan landasan yang Bibirku Musa Napasku Nabi Isa as, Nabi Yakub kuat bagi kehidupan setiap Muslim untuk mataku, Yusuf wajahku, Nabi Daud suaraku, mengarungi bahtera kehidupan yang penuh Nabi Sulaiman kasaktianku, Nabi Ibrahim dengan gelombang sehingga mereka tidak nyawaku, Idris di rambutku, Baginda Ali bimbang, tidak ragu-ragu menghadapi setiap kulitku, Abu Bakar darah, daging Umar, balung persoalan. Pikirannya cerah, hatinya terang baginda Usman. Sumsumku Fatimah yang dan tentram, mempunyai pendirian yang kuat mulia, Siti Aminah kekuatan badanku, Ayub serta mempunyai sikap optimis dalam hidup dalam ususku, Nabi Nuh di jejantung, Nabi sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran: “Yaitu Yunusdi ototku, Mataku Nabi Muhammad, orang-orang yang beriman dan hati mereka Wajahku Rasul, Dipayungi oleh syariat Adam, menjadi tentram dengan mengingat Allah. Sudah meliputi seluruh para Nabi, Menjadi Ingatlah Allah hanya dengan mengingat Allah satu dalam tubuhku. Kejadian dari biji-biji hati menjadi tentram.” (QS.al-Ra’d [13]:28). yang satu, kemudian berpencar keseluruh dunia, terimbas oleh Dzat-Nya, yang membaca Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. dan yang mendengarkan, yang menyalin dan Segala sesuatu mengenai Tuhan disebut ke- yang menyimpannya, menjadi keselamatan Tuhan-an. Iman kepada Allah merupakan badan, sebagai sarna pengusir, jika dibacakan dasar-dasar keselamatan manusia menurut dalam air, dipakai mandi perawan tua cepat al-Quran. Tanpa keimanan ini perbuatan bersuami. Orang gila cepat sembuh. Jika manusia menjadi sia-sia. Demikian pula ada orang didenda cucuku. Atau orang yang dinyatakan bahwa kekufuran menghapus terbelenggu keberatan hutang. Maka bacalah amal, sebagaimana syirik, ketiadaan iman, dengan segera. Di malam hari. Bacalah dengan pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah dan sungguh-sungguh sebelas kali. Maka tidak kehidupan yang berdasarkan kepentingan akan jadi didenda. Segera terbayarkan oleh duniawi semata. Sedemikian sentralnya posisi Tuhan. Karena Tuhanlah yang menjadikannya teologis dalam Islam, sehingga dengan hal berhutang. Yang sakit segera sembuh. tersebut diukur segala perbuatan manusia, baik dan buruknya. Allah pun memberikan Jika ingin bagus menanam padi. sarana kepada manusia untuk sampai kepada- Berpuasalah sehari semalam. Kelilingi Nya (Sakdullah, 2014: 5). pematangnya. Bacalah nyanyian itu. Semua hama kembali. Jika engkau pergi berperang. Dari kata-kata ‘ana Kidung rumeksa Bacakan kedalam nasi. Makanlah tiga suapan. ing wengi’ (ada nyanyian yang menjaga di Musuhmu tersihir tidak ada yang berani. malam hari), Sunan Kalijaga ingin mengajak Selamat di medan perang. Siapa saja yang dapat umat Islam saat itu untuk membaca dan melakukan puasa mutih dan minum air putih mengamalkan sungguh-sungguh Kidung-nya selama 40 hari. Dan bangun waktu subuh. ini demi keselamatan di malam hari. Sebab Bersabar dan bersyukur di hati. Insya Allah dengan cara inilah niscaya mereka akan tercapai semua cita-citamu. Dan semua sanak selamat dari berbagai macam kejahatan yang keluargamu. Dari daya kekuatan seperti yang berasal dari jin, setan, dan manusia yang mengikatku ketika di Kalijaga (Wiryapanitra, menggunakan ilmu hitam. Sunan Kalijaga 1979:12) menekankan pentingnya berjaga-jaga dari kejahatan di malam hari yang merupakan Menurut Sakdullah (2014: 5), dalam pemahaman Sunan Kalijaga atas surah al- Kidung Rumeksa Ing Wengi terdapat unsur-unsur Falaq dan an-Nas, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: Katakanlah: “Aku Edisi Budaya | 209

berlindung kepada Tuhan yang menguasai dapat dijadikan pedoman tekad sehingga subuh; dari kejahatan makhluk-Nya; dan dari pada siang harinya dapat mawas dan sadar kejahatan malam apabila telah gelap gulita; diri. Bila tujuannya tadi dapat tercapai dengan dan dari kejahatan wanita-wanita tukang Sang Sabda Kun maka tentu juga memiliki sihir yang menghembus pada buhul-buhul; daya kekuasaan seperti yang dijelaskan dalam dan kejahatan orang yang dengki apabila ia Kidung Rumeksa Ing Wengi (Sakdullah, 2014: dengki” (QS. al-Falaq [113]: 1-5). Katakanlah: 8-9). “Aku berlindung kepada Tuhan manusia; Raja manusia; Sembahan manusia; dari kejahatan Kedua, tentang manusia. Sunan Kalijaga (bisikan) setan yang biasa bersembunyi; Yang pun mengajarkan jati diri manusia kepada membisikkan (kejahatan) ke dalam dada masyarakat. Seperti juga pada do’a ajaran manusia; dari jin dan manusia” (QS. an-Nas tentang falsafah kehidupan yang dituangkan [114]: 1-6). Pada ayat ke-3 surat al-Falaq dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi. Ajaran disebutkan “dan dari kejahatan malam apabila Kidung Rumeksa Ing Wengi Sunan Kalijaga, telah gelap gulita”, yang mengisyaratkan bahwa lebih difokuskan kehidupan nyata menjadi biasanya malam memang menakutkan, karena manusia yang waspada. Sunan Kalijaga sering kali kejahatan dirancang dan terjadi mengajak untuk memahami perjalanan hidup dicelah kegelapannya, baik dari para pencuri, dan posisi seseorang dalam menghadapi perampok, pembunuh, maupun binatang hidup agar bisa menerima tugas atau kodrat buas, berbisa, atau serangga. Tentu, malam yang telah disetujui dengan suka rela dalam tidak selalu melahirkan kejahatan. Sebaliknya, mengemban tugas dengan hati yang lapang bahkan dalam al-Quran (QS. al-Muzzammil (Sakdullah, 2014: 10). [73]: 6) memuji malam sebagai saat yang terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah Sunan Kalijaga dalam Kidung Rumeksa Ing (Sakdullah, 2014: 9). Wengi juga memberikan warisan pengetahuan berharga yang terangkum dalam syair dibawah Dengan demikian, peringatan Sunan ini: Kalijaga agar berhati-hati di malam hari itu ada dua hal yang disampaikannya. Pertama, Songing landak guwaning wong lemah pada saat itu memang kejahatan sering terjadi miring, pada malam hari. Kedua, ia sesungguhnya Myang pakiponing merak tengah menafsirkan firman Allah dalam surat al-Falaq dan an-Nas tersebut secara implisit. Liang landak jadilah gua untuk orang Hal ini didasarkan pada bentuk-bentuk berlaku jahat kejahatan yang dikemukakannya sangat Dan tempat merak bermandi pasir. berkaitan dengan bentuk-bentuk kejahatan dalam kedua surat tersebut. Karena itu, Penggalan bait diatas merupakan makna tempat untuk berlindung yang sejati adalah kiasan yang ada dalam kidung Rumeksa kepada Allah, yang menguasai alam semesta Ing Wengi. Songing landak guwaning wong dan seluruh makhluk di dunia ini. Haruslah lemah miring, myang pakiponing merak. dipahami sebagai kiasan, adapun filosofis Wiryapanitra (1979) menjelaskan bahwa yang sesungguhnya itu adalah Sang Sabda makna filosofi sebenarnya adalah asal-usul Kun (Sang Guru Sejati atau Tuhan Yang Maha kejadian manusia. Sebagai perantaranya adalah Esa). Dialah yang menjaga malam artinya Sang laki-laki dan perempuan (bapak dan ibu). Guru Sejati tersebut akan membawa segala Adapun keterangan dari bapak ibu terlebur kepastian (takdir) manusia dan yang memiliki dalam perpaduan kama (persetubuhan dalam daya kuasa yang demikian besar itu. Maka sama bentuk mani/sperma, madi/ovum, wadi/rasa dengan orang yang sudah menguasai ilmu, bila malu pada laki-laki dan maningkem/rasa malu waktu malam selalu berdoa menunggu ilham pada perempuan). Di situlah Sang Maha Suci apa yang harus dilakukannya setiap harinya menciptakan makhluk (Sakdullah, 2014: 11). Ketiga, Hubungan Manusia dengan Tuhan. Dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi ini menunjukkan tentang teologis yang ketiga 210 | Ensiklopedi Islam Nusantara

yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, yang tersimpan di dalam rusuk. Tidak ada haltersebut tercermin pada potongan bait ke satupun musibah, penderitaan, ancaman delapan yang berbunyi sebagai berikut: dan kesengsaraan duniawi yang mampu menggeser kedua kakinya, sehingga ia bersedia Lan den sabar sukur ing Ati Widhi mengendorkan tali kesadaran yang mengikat Insya Allah tinekanan keteguhan dirinya itu. Kekuatan sabar, Sakarsanireku tawakkal, dan istiqamah seperti ini merupakan kekuatan yang jauh di atas kekuasaan Seperti dijelaskan diatas yakni setiap manusia sehingga para Rasul ataupun para perbuatan ditampakkan dengan sikap sabar, Nabi mampu menghadapi kesulitan dan syukur dan pasrah kepada Tuhan sehingga kejahatan tanpa mempergunakan kekuatan apabila ini dilakukan dengan sungguh- fisik ketika menaklukkannya. Kejahatan atau sungguh apa yang dicita-citakan dapat kesulitan dapat muncul di malam hari baik dikabulkan oleh Tuhan. Secara implisit kidung yang berasal dari kejahatan manusia, binatang ini mengajak untuk menguatkan tauhid dan sebagainya. Sehingga dengan menyakini seseorang kepada Tuhan mengingat sangat bahwa kekuatan Allah yang mampu membelah tidak mungkin seseorang syukur serta pasrah kegelapan malam dengan terangnya pagi maka kepada sesuatu yang tidak ia percayai. Kualitas akan lahir keyakinan bahwa Allah juga mampu keyakinan penuh terhadap Tuhan dengan menyingkirkan kejahatan dan kesulitan baik mengharap ampunan dan kemuliaan dari- kapanpun dan dimanapun akan muncul Nya bisa meningkatkan jiwa orang beriman pertolongan untuk menyingkirkan kesulitan kepada Tuhan itu sampai pada tingkat sabar, (Sakdullah, 2014: 12). teguh dan tawakkal kepada-Nya, dimana keteguhan hati bisa diibaratkan sebagai batu [Arik Dwijayanto & Dawam Multazam] Sumber Bacaan: Chodjim, Achmad. 2000. Mistik dan Ma’rifat Sunan Kalijaga, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca: Cornel UP. Iryana, Wahyu. 2015. Kidung Sunan Gunung Jati, Makalah tidak publikasikan. Purwadi, 2004. Dakwah Sunan Kalijaga: Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sakdullah, M. 2014. “Kidung Rumeksa Ing Wengi Karya Sunan Kalijaga Dalam Kajian Teologis,” Jurnal Teologia, Volume 25, Nomor 2, Juli-Desember. Sidiq, Achmad. 2008. “Kidung Rumeksa Ing Wengi: Studi Tentang Naskah Klasik Bemuansa Islam.” Jurnal Analisa Volume XV, No.01, Januari – April. Sijito, Riyanto. 2006. “Kidung Rumeksa Ing Wengi Karya Sunan Kalijaga Dalam Kajian Teologis.” Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo. Tanoyo, R. 1975. Kidungan Ingkang Djangkep. Solo: Sadu Budi. Widodo, Wahyu dkk. 2013. “Mantra Kidung Jawa: Perangkat Linguistik dan Kemanjuran.” Jurnal Transling Volume 1 Nomor 1, UNS. Wiryapanitra, R. 1979. “Serat Kidungan Kawedhar,” Jakarta: Depdikbud. Edisi Budaya | 211

Kupatan Kupatan” atau “Lebaran Kupat” Nusantara. Di Jawa makanan ini dikenal adalah salah satu tradisi Islam khas dengan nama kupat. Bahan dasar ketupat Nusantara yang dilakukan pada hari adalah beras yang kemudian dimasukkan ke ke-8 bulan Syawwal. Tradisi ini masih lestari dalam pembungkus berbentuk segi empat dan dilakukan turun temurun khususnya di yang terbuat dari anyaman daun kelapa (janur) kalangan masyarakat Jawa. yang masih muda. Setelah terbungkus rapat, ketupat kemudian dikukus hingga matang. Masyarakat Jawa memiliki dua kali Makanan ini jamak dijumpai saat perayaan tradisi lebaran, yaitu “lebaran idul fitri” yang lebaran Idul Fitri (1 Syawwal) dan lebaran dirayakan pada tanggal 1 Syawwal, dan lebaran ketupat (8 Syawwal). yang kedua adalah “lebaran ketupat” yang terjadi pada tanggal 8 Syawwal, yaitu setelah Di luar masyarakat Jawa, “ketupat” dikenal puasa sunnah Syawwal selama enam hari. Hari dengan nama yang berbeda-beda. Di Sunda, raya ketupat atau lebaran ketupat ini dikenal misalnya, makanan ini dikenal dengan nama juga dengan istilah “kupatan”. “kupat”, atau “tupat” (Betawi), “tipat” (Bali), “katupat” (Banjar), “patupat” (Kapampangan), Umumnya, masyarakat Jawa merayakan “katupa” (Makassar), “katupek” (Minang), hari raya “kupatan” ini dengan membuat ketupat dan berdoa bersama di mushola, Suasana halaman Masjid Al-Yahya di lingkungan masjid, atau lapangan terbuka. Setelah ritual Dukuhan RT 01 RW 03 Kelurahan Mlangsen Blora. berdoa bersama selesai, mereka pun makan ketupat bersama dengan aneka macam lauk Sumber: http://www.infoblora.com/ pauknya, seperti gulai, opor, rendang, dan aneka masakan lainnya. Setelah acara makan- makan bersama selesai, sebagian dari mereka ada yang berziarah ke makam keluarga yang sudah meninggal, atau saling kunjung dan bersilaturahim antar sanak famili dan kerabat yang masih hidup. Ada juga yang memeriahkan hari raya ketupat ini dengan menggelar karnaval dan festival rakyat. Di beberapa wilayah pesisir utara laut Jawa, sebagian masyarakat memeriahkan hari raya ini dengan festival laut. Suasana kehangatan, kebersamaan, silaturahim, saling memaafkan, saling berbagi, dan gotong royong terasa demikian sangat kuat terpancar dalam ritual tradisi “kupatan” ini. “Ketupat” adalah jenis kudapan khas 212 | Ensiklopedi Islam Nusantara

“ketopak” (Madura), “atupato” (Gorontalo), Kupat dan Menu lauknya. “topat” (Lombok), dan lain-lain. Sumber; http://mtsmaarifkarangan.blogspot.co.id/ Sebagaimana tradisi “kupatan” atau “lebaran kupat” di masyarakat Jawa, tradisi berhubungan dengan hak-hak Allah (habl min ini pun dikenal di pelbagai wilayah Nusantara Allâh) dan juga hak-hak manusia (habl min lainnya dengan nama yang berbeda-beda, dan al-nâs). Karena itulah, keberadaan “kupat” jenis ritual dan festival yang juga berbeda- jamak dijumpai saat hari raya lebaran yang beda. merupakan hari raya kembali pensucian diri dan momen saling memaaf-maafkan antar Ketupat bukan hanya sekedar makanan sesama. Ketupat seolah-olah manifestasi dari belaka. Lebih dari itu, ketupat juga memiliki ungkapan doa yang lazim dipanjatkan saat hari nilai filosofi yang sarat makna. Tradisi ketupat raya idul fitri, yaitu “kullu ‘âm wa nahnu ilâ Allâh erat kaitannya dengan sejarah awal penyebaran wa al-hasanât aqrab. Taqabbalallâhu minnâ wa agama Islam di Jawa yang dilakukan oleh Wali minkum” (semoga setiap tahun kita semakin Sanga, khususnya Sunan Kali Jaga. dekat dengan Allah dan kebaikan-kebaikan. Semoga Allah [memaafkan kita semua dan] Dalam proses islamisasi masyarakat menerima amal kita). Jawa, para Wali Sanga dikenal dengan metode dakwahnya yang sarat akan filosofi “Kupat” juga merupakan kependekan makna, kearifan lokal, dan simbol-simbol dari “laku papat” atau “empat tindakan” kebijaksanaan. Termasuk hal ini adalah usaha yang merupakan etape stasiun spiritual” Sunan Kali Jaga, salah satu anggota dewan (al-maqâmât al-rûhiyyah al-arba’ah), yaitu Wali Sanga, untuk menjadikan “ketupat” dan (1) lebaran, (2) luberan, (3) leburan, dan (4) “lebaran” sebagai salah satu sarana dakwah laburan. Islam. Tindakan pertama adalah “lebaran”, yang Orientalis H.J. de Graaf dalam “The berasal dari kata lebar (usai atau selesai). Di Malay Annals” menyatakan bahwa ketupat sini, lebaran menandakan sudah usai dan merupakan simbol perayaan hari raya Islam berakhirnya waktu menjalankan ibadah puasa pada masa Wali Sanga, tepatnya masa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. pemerintahan Kesultanan Demak yang berpusat di Jawa dan dipimpin Raden Patah Tindakan kedua adalah “luberan”, yang awal abad ke-16 M. berasal dari kata luber (meluap atau melimpah). Dalam hal ini luberan diartikan sebagai ajakan Dalam bahasa Jawa, “kupat” berasal untuk saling berbagi limpahan rezeki dengan dari asal kata “papat” atau empat, dan juga berzakat dan bersedekah untuk kaum miskin bentuknya yang “persegi empat”. Hal ini adalah simbol yang hendak mengarahkan kepada esensi rukun ajaran agama Islam yang keempat, yaitu puasa bulan Ramadhan. Kupat dalam bahasa Jawa juga konon merupakan kependekan dari kalimat “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”. Karena itu, saling berbagi dan memberi kupat di hari raya lebaran idul fitri dan lebaran ketupat adalah symbol atas pengakuan kesalahan dan kekurangan diri masing-masing terhadap Allah, terhadap keluarga, handai taulan, dan juga terhadap sesama. “Ketupat” adalah simbolisasi makna permohonan ampun dan maaf yang Edisi Budaya | 213

dan mereka yang berhak menerimanya. Shirât-alladzîn-a an’amta ‘alaihim ghair-il maghdhûbi ‘alaihim wa lâdh-dhâllîn”. Tindakan ketiga adalah “leburan”, yang berasal dari kata lebur (melebur atau Sebagian sumber menyatakan jika lebaran menghilangkan). Artinya mengakui kesalahan, ketupat pertama kali diperkenalkan oleh memohon maaf dan memberi maaf. Manusia Sunan Kalijaga dan Raden Patah saat masa dituntut untuk saling memaafkan antar satu pemerintahan Kesultanan Demak. Saat itu, sama lain. Dengan demikian, dosa-dosa dan beliau memperkenalkan dua lebaran kepada kesalahan pun menjadi lebur. masyarakat Jawa, yaitu lebaran (bada) idul fitri dan lebaran kupat. Adapun tindakan yang keempat adalah “laburan”, yang berasal dari kata labur, atau Lebaran Idul Fitri dilaksanakan pada kapur untuk memutihkan dinding rumah tanggal 1 Syawwal setelah umat Muslim dan menjernihkan air. Dalam hal ini, leburan melaksanakan ibadah puasa selama satu memaksudkan agar manusia selalu menjaga bulan penuh di bulan Ramadhan. Lebaran Idul kesucian lahir dan batinnya. Fitri dimaknai dengan prosesi pelaksanaan shalat id hingga tradisi saling kunjung dan Dibungkusnya ketupat dengan daun memaafkan sesama muslim. Setelah itu, beliau kelapa muda yang dianyam juga memiliki nilai menganjurkan masyarakat Muslim Jawa filosofi tersendiri. Dalam bahasa Jawa, daun generasi awal untuk kembali berpuasa sunnah kelapa muda pembungkus ketupat dikenal selama 6 hari, yaitu sejak 2 Syawwal hingga juga dengan nama “janur”. 7 Syawwal. Selepas menjalani puasa Sunnah selama enam hari itulah, dirayakan kembali Kata “janur” berasal dari bahasa Arab, “lebaran syawwal” atau “lebaran kupat”. yaitu “jâ’a nûr”, yang atinya “telah datang seberkas cahaya terang”. Filosofi makna yang Tradisi “lebaran kupat” ini pada gilirannya tersimpan di balik “janur” sebagai bungkus menyebar ke pelbagai pelosok Nusantara “kupat” adalah bahwa manusia senantiasa beriringan dengan menyebarnya agama mengharapkan datangnya cahaya petunjuk Islam di wilayah itu. Maka tidaklah heran dari Allah yang memberikan petunjuk dan jika tradisi “lebaran ketupat” ini pun akan membimbing mereka pada jalan kebenaran banyak dijumpai di wilayah-wilayah lain di yang diridhai oleh-Nya, bukan pada jalan yang luar masyarakat Muslim Jawa, tentu dengan tidak disukai oleh-Nya. istilah yang berbeda-beda dan dengan berbagai macam variasi ritual perayaan yang berbeda- “Janur” seakan-akan sebuah simbolisasi beda pula. atas harapan yang dipanjatkan umat Islam dan manifestasi atas do’a yang termaktub dalam [A Ginanjar Sya’ban] surat al-Fâtihah; “ihdinâ-s shirâth-al mustaqîm. 214 | Ensiklopedi Islam Nusantara

L Ladunni Lampu Cangkok/Colok, Langgar Lebaran



Ladunni Orang Islam Nusantara sudah lama yang artinya “hampir denganku, dekatku, di mengenal istilah Ladunni; atau yang sisiku”; (3) akronim dari kata lada tsanaiyah biasa dilafalkan orang Jawa dengan (tarkib majzi) atau hayyarah yang berarti Iladuni (menggabungkan kata ilmu dan mengherankan atau mengagumkan. ladunni). Kemampuan Iladuni di Jawa erat kaitannya dengan kemampuan meramalkan Sedangkan secara terminology ladunni kejadian yang akan datang dan belum merupakan istilah ahli tasawuf untuk diketahui oleh orang biasa yang disebut “tiyang menyebut ilmu intuitif tanpa proses belajar. petang iladuni palakiyah”. Orang yang memiliki Dalam kitab Al-Lujjain al-Daniy fi Dzikr Nubdat kemampuan Iladuni termasuk 3 (tiga) min Manaqib al-Quthb al-Rabbani Syekh Abd kelompok orang suci yang sangat dihormati al-Qadir al-Jailani, misalnya, ada kalimat; dan dijunjung tinggi di Jawa. wa afadh ‘alahim min buhur al-mawahib al- laduniyyat (semoga Allah SWT memberikan Hal ini seperti terdeskripsikan dalam kepada mereka samudra berupa ilmu berian Babad Tanah Jawi yang menuturkan nasehat berupa ilmu ladunni --yang aman dari keraguan Senopati kepada Pangeran Banowo di Keraton dan kekeliruan yang berbeda dari ilmu yang Pajang, yakni; (a) kalau memerlukan nasehat diperoleh melalui penggunaan nalar (nazhar) mengenai tata tertib negara, maka harus dan akal pikiran; peny.). Ilmu Ladunni disebut minta petunjuk kepada para Pandhita (Yen dika pula ilmu kasyf dan dzauq serta ilm al-mawhub pakewedan mranata Negara atakena dhateng merupakan ilmu para nabi dan para wali. Ilmu pandhita); (b) kalau ingin tahu mengenai ini “lawan” dari ilmu muktasab yakni ilmu yang ramalan waktu yang akan dating, maka harus diperoleh melalui proses pembelajaran. minta nasehat kepada ahli ilmu ladunni (Yen dika ajeng sumerep ingkang dereng kelampahan, Menurut Ibn ‘Arabi setiap ilmu yang atakena dhateng “tiyang petang iladuni diperoleh manusia sebetulnya bisa muncul palakiyah”); dan (c) kalau ingin mendapat spontan dari dalam jiwanya yang kemudian kekuatan gaib atau kesaktian, maka dapat muncul sedikit demi sedikit dan sebelumnya dicari pada orang-orang yang bertapa (yen dika masih bersifat global. Kemunculannya tak lain ajeng sumerep ing kesakten, atakena dhateng hanyalah pengingatan kembali ilmu fitri yang tiyang ahli tapa). diberikan Allah SWT sewaktu pengambilan janji. Boleh jadi manusia melupakannya, Secara etimologi, Ladunni berasal dari padahal ilmu itu tetap berada di kedalam akar kata; (1) Laduna-yaldunu-lad nah yang jiwanya dan tidak terhapus selama ia masih tersambung dengan ya’ nisbat yang berarti mau mengetahuinya (Al-Futuhat al-Makkiyah: “sesuatu yang terbilang lembut”; (2) ladun- II, 686; Mawaqi’ al-Nujum wa Mathali’ Ahl al- ladan-ludun (dzaraf) yang berakhiran nun Asrar wa ‘Ulum; 45). wiqayat dan ya’ nisbat --seperti dalam bait Al- Fiyah ibn Malik; “wa fi ladunni laduni qalla wafi” Pandangan serupa juga dikemukakan Al-Ghazali yang menyatakan: seluruh ilmu Edisi Budaya | 217

sebenarnya telah tersimpan dalam instink sufi) adalah kewajiban, karena orang yang manusia secara alami sehingga ilmu itu menempuh suluk sebelum mantap ilmunya ia bukanlah sesuatu yang baru dating dari luar. mudah terkena was-was dan kekeliruan (Ihya Ia telah tersimpan dalam jiwa semenjak di Ulum al-Din; I, 301). alam malakut dan baru muncul kemudian. Hal ini sama dengan air yang ada di dalam bumi, Sementara datangnya ilmu ladunni minyak goring di dalam kelapa, dan air mawar kepada seseorang, di antara para Sufi terdapat di dalam bunga mawar (Ihya Ulum al-Din; 147- perbedaan pendekatan. Menurut Ibn Arabi 148). dan para pengikutnya, bahwa ilmu ladunni tidak bisa diraih dengan usaha yang dilakukan Kemasyhuran ilmu ladunni di kalangan oleh manusia, karena ia merupakan pemberian ahli tasawwuf diduga didasarkan pada Ilahi yang diberikan kepada hamba yang perkataan Abu Yazid al-Busthami yang dikehendaki-Nya. mengkritik para ahli hadits; “Mereka (para ahli hadits) mengambil ilmu mati dari orang Ibn Arabi menuturkan pengalaman mati, sedangkan kita mengambil ilmu hidup pribadinya sebagai berikut: Sesungguhnya, dari Yang Maha Hidup dan tidak akan mati (al- dirinya tidak pernah berpikir sama sekali Muhyi). Ungkapan ini lalu diikuti oleh tokoh- meminta kepada al-Haqq untuk mengetahui tokoh sufi lainnya, seperti Al-Syibli yang salah satu ciptaan (kawn) atau suatu peristiwa dalam gubahan syairnya menyebutkan: “Ketika (haditsah). Tetapi yang dilakukannya adalah mereka menuntutku dengan ilmu tulis, tampak merelakan diri dan menyerahkan segala dari mereka ilmu yang janggal”. urusan jiwanya kepada-Nya, sampai Allah SWT memperlakukannya dalam perlakuan Ibn Arabi juga memiliki pandangan yang disenanginya. Ia tidak ingin diberikan sendiri tentang ilmu intuitif ini di tengah maqam tertentu oleh Allah yang lebih tinggi arus besar perkembangan ilmu eksoterik dan dari manusia lainnya, kerena ia memandang para tokohnya. Menurutnya, mereka adalah bahwa hal itu terjadi sebagai efek dari ibadah ulama lahiriah yang terhalang pandangannya yang betul-betul murni. dalam melihat ilmu yang sahih karena mereka mengambil ilmunya dari kitab-kitab dan lidah Selain itu pemilik ilmu ladunni hakekatnya para tokoh. Mereka, menurut Ibn Arabi, adalah ialah orang yang bukan mencarinya melainkan ahli ilmu kertas (Mawaqif Ibn ‘Arabi min Ahl al- datang sendiri kepadanya secara tiba-tiba Zhahir wa al-Falasifah, 54-55). Demikian juga sebab ilmu ini tidak mempunyai hakekat yang pernah dinisbatkan bahwa sebagian dari kaum dapat ditelusuri kembali (mustanad). Manusia sufi telah membuang kitab-kitabnya ke lautan yang mengalaminya tidak mengetahui dari atau menguburnya dengan keyakinan bahwa mana datangnya. Ilmu ini sangat lembut cara ini dapat menggapai wushul (sampai sehingga yang mengetahuinya hanyalah jiwa- kepada hakekat al-Haqq), sedangkan bersibuk jiwa dan lubuk hati kaum arif. Ilmu ladunni, diri dengan kitab-kitab setelah wushul adalah masih menurut Ibn Arabi, merupakan imbalan suatu kesalahan (Al-Shufiyyat wa al-‘Aql, 233). bagi tindakannya mengikuti jejak Rasulullah SAW dalam semua ucapan dan perilakunya; Sekalipun demikian, bukan berarti ulama dan bahwa kaum arif pemilik ilmu ini juga sufi menolak eksistensi akal dan ilmu muktasab senantiasa menapaki jejak para Nabi terdahulu karena para ulama sufi juga menjadi pakar (Al-Munqid min al-Dhalal, 137; Al-Khayal fi al- di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an, tafsir, hadits, Mazhab Muhyiddin ibn Arabi: 94-97). dan fiqh. Al-Ghazali juga mengomentari kalangan sufi yang mengatakan bahwa ilmu Adapun menurut Al-Ghazali dan para itu hijab (penghalang) sebagai kalangan yang pengikutnya, ilmu ladunni merupakan ilmu dungu karena kedunguan adalah hijab itu berian (al-mawhub) yang datang setelah sendiri. Ilmu adalah asal agama dan terjaga seseorang sampai pada titik wushul dan dari penyelewengan. Karena itu, mencari wishal serta ittishal. Wushul ialah titik dimana ilmu sebelum menuju pada suluk (praktik manusia berhasil menyingkap keindahan 218 | Ensiklopedi Islam Nusantara

al-Haqq yang menjadikannya larut dengan dengan musyahadah. Baik cara “laku” maupun keindahannya itu. Jika ia memandang dengan “lakon” apabila dilakukan terus-menerus akan mata batinnya maka tidak ada yang terlihat membuahkan manusia berilmu ladunni. kecuali Allah. Jika ia memandang menuruti kemauannya maka kemauan itu hanya tertuju Pemahaman tentang ilmu ladunni, baik kepada-Nya. dalam perspektif Ibn Arabi maupun Al-Ghazali, juga berkembang di Nusantara selaras dengan Di sinilah manusia mengalami musyahadah penyebaran Islam sufistik sejak awal mulanya. dengan al-Haqq, sehingga fisiknya bergerak Hamzah Fansuri, misalnya, memperoleh ilmu hanya untuk ibadah dan batinnya terbasuh ladunni dengan cara yang ditunjukkan Ibn menyucikan hatinya. Al-Ghazali menyebut Arabi. Dalam penggalan syair Asrar al-‘Arifin tahapan penyucian ini sebagai permulaan dinyatakan: “Hamzah fansuri sekalipun dhaif ”, (bidayah) sedangkan pamungkas (nihayah)-nya “Hakekatnya hamper pada Dzat al-Syarif ”. diri manusia menyesuaikan kemutlakan Allah “Sungguhpun habab (biuh, peny.) rupanya dan hanya terfokus kepada-Nya. Demikianlah khathif (kasar)”, Washilnya daim dengan Bahr yang dimaksud washul, menurut Al-Ghazali, al-Lathif ”. Sedangkan cara memperoleh ilmu sedangkan wishal adalah melihat (ru’yat) dan ladunni yang diajarkan Al-Ghazali seperti menyaksikan (musyahadah) dengan sanubari tampak dari kemahiran yang diperoleh Syekh (sir al-qalb) di dunia dan dengan mata kepala Mahfudz al-Tarmasi serta ulama Nusantara (ain al-ra’s) di akhirat, serta Wishal bukanlah lainnya yang berhasil menorehkan banyak berarti dzat manusia manunggal dengan kitab, konon, berkat diberi ilmu oleh Allah (ilm Dzat-Nya. Seseorang yang sudah sampai titik al-mawhub). wushul dan wishal berarti ia sudah ittishal yaitu sudah terbuka hatinya dan sudah bisa melihat Di dunia pesantren, ilmu ladunni juga macam-macam rahasia (Rawdhat al-Thalibin, sering dihubungkan dengan Nabi Khidhir 37-39). (khadhir, Khidhr, Khadhr) –disebut demikian karena beliau dijumpai duduk di atas gundukan Secara garis besar perbedaan antara tanah putih yang memancarkan warna dua ulama Sufi garda depan itu tentang hijau (khadhra’) dari arah punggung beliau. perolehan ilmu ladunni ialah: menurut Ibn Nama aslinya Abu al-Abbas Balya b. Mulkan. Arabi, bahwa ilmu ladunni merupakan milik Seseorang yang dapat berjumpa langsung ahl al-Haqq yakni orang-orang yang sampai ke dengan Nabi Khidir akan mendapatkan ilmu maqam persahabatan (maqam al-khullah) yang makrifat atau ilmu ladunni. memungkinkannya mengambil ilmu secara langsung dari Allah atau dari sumber yang Pengalaman ini, diantaranya, terjadi pada menjadi tempat pengambilan malaikat untuk Sunan Kalijaga. Seperti dikisahkan dalam Serat diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Ilmu Dewa Ruci, bahwa syekh Malaya atau Sunan Ladunni tidak dapat diraih oleh orang-orang Kalijaga semula bermaksud menunaikan yang masih mengikuti mazhab dan thariqah, ibadah haji dengan berlayar mengarungi melainkan mereka yang sudah mencapai samudra. Akan tetapi di tengah perjalanan ia Wahdat al-Wujud. Sedangkan menurut Al- terdampar di satu tempat dan bertemu dengan Ghazali, ilmu ladunni milik orang-orang yang Nabi Khidir. Di hadapan Nabi Khidir, tubuh telah sampai maqam ittishal dan muwashalah, Sunan Kalijaga menyusut menjadi kecil dan dimana ada kalanya dengan “laku” (thariq al- masuk ke dalam diri Nabi Khidir lewat telinga af ’al) yaitu dengan menampakkan (tajalli) kirinya. Sesudah Sunan Kalijaga berhasil perbuatan dan amal ibadahnya sesuai yang keluar dari dalam diri Nabi Khidir, ia mampu dikehendaki Allah. Adakalanya dengan menguasai ajaran-ajaran inti agama Islam dari “lakon” (thariq al-shifat) yaitu membangun mulai syariat, hakikat, dan makrifat. diri selalu rindu dengan Allah yang Maha Agung dan Maha Indah atau meningkatnya Ilmu Ladunni juga dipercai dapat menjadi diri yang kosong (fana) lalu diisi diperoleh orang-orang yang berhasil mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Diceritakan Edisi Budaya | 219

oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Syarh Marzuqi bertanya; “Wahai Rasulullah! Apakah Nur al-Dzalam, bahwa Syekh Marzuqi al-Makki nazam itu?” Rasulullah lalu membacakan pemilik nazam ‘Aqidat al-‘Awwam pada malam nazam yang bunyinya; “Abdau bismillahi war Jum’at di bulan Rajab tahun 1258 H. bertemui rahmani..” Syekh Marzuqi pun tiba-tiba dapat dengan Rasulullah SAW. Kemudia Nabi SAW menguntai bait demi bait nazam ‘Aqidat al- berketa kepadanya; “Bacalah nazam yang siapa ‘Awwam dalam mimpinya dengan disimak saja menghafalnya akan masuk surga dan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat beliau. akan mendapatkan tujuan yang setara dengan Wallahu A’lam. keagungan al-Qur’an dan Hadits!” Syekh [Ishom Saha] Sumber Bacaan Al-Bantani, Muhammad Nawawi, Syarh Nur al-Dhalam, Surabaya: Dar al-‘Ilm Al-Ghazali, Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Salikin, Beirut; Dar al-Fikr Al-Syarqawi, Al-Shufiyyah wa al-‘Aql: Dirasat Tahliliyyat Muqaranat li al-Ghazali wa Ibn Rusyd wa Ibn al-‘Arabi, Beirut: dar al-Jalal Al-Tarmizdi, al-Hakim, Ma’rifat al-Asrar, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1977 Hilal, Ibrahim, Al-Tashawwuf al-Islam bain al-Din wa al-Falsafah, Kairo: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1979 Mastuki dan M. Ishom el-Saha, Intelektualisme Pesantren, Jakarta Diva Pustaka, 2003 Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988 220 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Lampu Cangkok/Colok, Damar Malam, Malam Likuran Salah satu tradisi keagamaan (Islam) yang meramaikan malam ganjil di bulan Ramadan. unik-distingtif dan masih cukup bertahan di tengah gempuran arus modernisasi Di Cirebon misalnya, selepas maghrib adalah tradisi malam likuran di bulan Ramadan. anak-anak kecil usia 7 tahun hingga belasan Tradisi malam likuran yang dimaksud di keluar rumah sambil menyalakan “damar sini adalah sebuah tradisi masyarakat Islam malam” yang diletakkan di sudut-sudut rumah Indonesia dalam meramaikan bulan Ramadan sambil menyanyikan yel-yel: damar malam dengan cara menyalakan damar malam, lampu selikure (damar malam tanggal dua puluh satu cangkok/colok, tepatnya di malam ganjil di Ramadan) damar malam “telulikure” (damar sepertiga terakhir di bulan Ramadan. malam tanggal dua puluh tiga), dan seterusnya. Tidak diketahui secara persis kapan dan Kegiatan menyalakan damar malam siapa yang memulai tradisi malam likuran ini ini menjadi simbol bahwa puasa yang telah di Nusantara. Namun, uraian Hamka (1982) dijalani sudah beranjak ke setelah hari ke- mengenai penyalaan api di malam likuran 20. Tradisi tersebut akan terus berlangsung adalah simbol petunjuk hidayah Islam yang hingga selesainya bulan puasa, namun hanya diajarkan oleh Syekh ‘Ainul Yaqin atau yang dilakukan pada setiap malam tanggal ganjil lebih dikenal dengan Sunan Giri. Pelita-pelita saja: malam tanggal 21, 23, 25, 27, dan malam itu pada mulanya dipasang di Masjid Giri. tanggal 29. Syahdan, tradisi yang turun temurun itu sudah ada sejak Islam masuk Terlepas dari belum ditemukannya data- Cirebon. Setelah dinyalakan biasanya damar data sejarah terkait dengan awal mula tradisi malam tersebut akan diletakkan pada sudut likuran, yang pasti jika dilihat dari segi pelaku rumah atau sudut halaman rumah. yang merayakan tradisi ini adalah bagian dari tradisi masyarakat Islam. Di sisi lain, tradisi ini “Damar malam” adalah sejenis lentera dilakukan di sepertiga terakhir bulan Ramadan yang terbuat dari bilahan bambu yang sudah yang tujuannya adalah untuk menyemarakkan dilekati dengan ter atau lilin batik. “Damar malam-malam ganjil di mana dalam literatur- malam” harus dinyalakan dengan hati-hati. literatur Islam disebutkan bahwa di malam Bila gegabah, bahan malam yang terbakar akan tersebut malam yang kemuliaannya melebihi menetes dan bisa melukai kulit tangan. Tradisi seribu malam (lailatul qadar) turun ke muka menyalakan damar malam ini dilakukan bumi. sesudah berbuka puasa atau sesaat setelah Maghrib tiba. Damar malam itu akan padam Ragam Ekspresi Malam Likuran dengan sendirinya saat memasuki waktu salat tarawih, atau selepas Isya. Sebagai ekspresi keberislaman masyarakat Islam Nusantara, perayaan “malam likuran” Seorang bocah di Desa Tuk Cirebon sedang di satu daerah di Nusantara berbeda dengan menyalakan damar malam daerah lainnya. Kendati pun secara ekspresi perayaan berbeda-beda, pada hakikatnya Sedangkan di Wonogiri, sebagaimana tujuan perayaan “malam likuran” di beberapa dalam Sartono (2000:4), disebutkan bahwa daerah di Nusantara tidak berbeda; yakni tradisi perayaan di malam likuran di sana Edisi Budaya | 221

dilakukan dengan menaruh malam Lailatul Qadar”, sebuah ting (lampu kecil) mungkin itu yang ada di yang berbentuk rupa-rupa, benak mereka. Sedangkan, di seperti ikan, kapal, dan lain masjid-masjid yang dikelola sebagainya. Banyak suara keturunan Arab, diadakan gaduh yang disebabkan bunyi buka puasa bersama yang petasan yang disulut, dan diteruskan dengan shalat pada malam itu diadakan Tarawih. Acara ini sudah selametan. Pada salah satu berlangsung sejak masa “maleman” dipasang meja di kolonial. Namun, acaranya muka Krobongan dan ditaruh tidak pernah berubah hingga sesajen bagi para leluhur, kini. Seperti, malam 23 antara lain macam-macam Ramadhan di Masjid Empang masakan, juadah, wajik, Bogor, dua hari kemudian jenang, dan lain sebagainya. di Masjid Kwitang, Jakarta Baru maleman terakhir Pusat. Kemudian, berturut- makanan itu diambil (dilorod) untuk dimakan turut di Masjid Al-Hawi,Condet, Jakarta oleh keluarga. Timur, Masjid Luar Batang, Jakarta Utara, dan terakhir pada malam 27 Ramadhan di Masjid Sementara Nur Syam dalam penelitiannya Zawiyah, Pekojan, Jakarta Barat. di kawasan Pesisir Tuban mengatakan bahwa tradisi “malam likuran” dikenal dengan tradisi Tidak setiap daerah melakukan ekspresi colokan, yaitu kebiasaan membuat colok yang perayaan “maleman” di tanggal ganjil di terbuat dari kain yang ditalikan di kayu-kayu sepertiga terakhir bulan Ramadan. Di daerah kecil yang dicelupkan ke minyak tanah dan Tanda Hulu Daik Lingga Riau, menurut hasil ketika waktu magrib tiba dibakar di sudut- penelitian Fina Yuriani (2016: 6), tradisi sudut rumah. Sayangnya tradisi ini di beberapa di Daik Lingga, malam likuran secara rutin daerah sudah hilang dan diganti selamatan dilakukan oleh masyarakat hanya setahun biasa di rumah-rumah. (Nur Syam, 2005: 182) sekali dalam bulan Ramadhan yaitu tepatnya pada tanggal 27 Ramadhan. Malam 27 “Tradisi colokan” juga rutin dilakukan Ramadhan dianggap masyarakat Daik Lingga di desa Sambongrejo Bojonegoro. Di desa sebagai malam yang suci, masyarakat Daik tersebut tradisi likuran dengan cara membuat memasang pelita di sekeliling rumah mereka, lampu colok ini disebut dengan tradisi colokan pelita tersebut dipasang di tiap tiap jendela malam 9. Konon, tradisi ini merupakan bagian yang menggelilingi rumah, dipasang berderet dari memperingati orang atau keluarga yang mengikuti panjang jalan, serta dipasang ditiap telah meninggal. Di samping itu tradisi colokan tiap gerbang yang dibuat menyerupai masjid. adalah tradisi pungkasan atau mengakhiri Masyarakat mempercayai bahwa malam “Tujuh bulan puasa dengan menyalakan obor kecil di Likur” ini malam turunnya Lailatul Qadar. Jadi setiap sudut rumah. setiap rumah harus terang benderang, supaya Lailatul Qadar bisa masuk ke dalam rumah jika Tidak berbeda secara jauh dengan tradisi rumah kita terang. Kegiatan malam tujuh likur malam likuran di daerah lain seperti Cirebon, dilaksanakan dengan memasang pelita atau Bojonegoro, maupun Wonogiri, tradisi malam lebih dikenal dengan “lampu colok.” likuran di Bogor dan Jakarta juga diekspresikan dengan menerangi halaman-halaman rumah “Pelita (lampu colok)” adalah salah satu dengan lilin dan lampu minyak. Abah Alwi alat penerangan yang dipakai nenek moyang (2010) menuturkan bahwa para warga, dahulu pada saat listrik belum dikenal, lampu khususnya yang sudah tua, begadang semalam ini menggunakan bahan bakar minyak tanah suntuk sambil membaca kitab suci Alquran yang dibuat sedemikan rupa.sedangkan tradisi dan berzikir. “Insya Allah kita akan mendapati yang biasa dilakukan oleh pemuda - pemuda 222 | Ensiklopedi Islam Nusantara

setempat ialah membuat beberapa pintu gerbang Aspek Filosofis dan Sosial Malam Likuran sebagai kerangka untuk menyusun lampu- lampu tersebut. Susunan tersebut membentuk Tradisi “malem likuran” yang dilakukan berbagai macam formasi seperti memanjang, oleh hampir seluruh umat Islam di daerah- melingkar dan membentuk pola masjid yang daerah di Indonesia dengan beragam ekspresi dibuat dalam bentuk gerbang. Pemasangan dan tata cara pelaksanaannya menunjukkan “lampu colok” biasanya dimulai pada 21 hari kesamaan di satu titik, yakni dengan bulan ramadhan yang disebut malam Satu Likur menyalakan alat-alat penerang baik damar hingga pada malam 27 Ramadhan atau sering malam, lampu colok, maupun lampu pelita disebut dengan “Tujuh Likur.” di malam Ramadan, menunjukkan ekspresi keberislaman yang cukup tinggi masyarakat Malam “Tujuh Likur” di Daik dimeriahkan muslim Indonesia. dan dirayakan dengan bermacam-macam kegiatan seperti membuat makanan lalu Penyalaan alat penerang ini sebagaimana diantarkan di mesjid untuk dibacakan doa. dikatakan oleh Hamka merupakan simbol Setelah itu mereka beramai-ramai datang petunjuk Islam yang didakwahkan oleh Sunan bersilaturahmi dari gerbang ke gerbang Giri. Pelita mengandung makna melambangkan yang lain. Selain membuat makanan untuk jiwa yang terang kembali. Karena umat diantarkan di Mesjid, warga juga membuat Islam telah menjalankan ibadah puasa dan makanan untuk diletakkan di masing-masing meminta ampunan dosa. Di sisi lain, lampu gerbang. Karena disetiap gerbang juga ada atau damar yang dinyalakan di malam-malam acara doa selamat digerbang tersebut pada ganjil merupakan pertanda bahwa umat Islam malam Tujuh Likur. (Fina Yuriani: 2016, 6) Indonesia bersiap untuk melakukan ibadah di malam hari agar memperoleh malam lailatul Selain lampu pelita, perayaan malem qadar. likuran pada tanggal 27 Ramadan di Daik juga dirayakan dengan membuat gerbang yang Selain memiliki nilai filosofis dalam dibangun khusus pada Bulan Suci Ramadhan perayaan malem likuran, tradisi ini juga saja. Kegiatan dan antusiasme yang tinggi mengandung nilai-nilai sosial. Di beberapa telah nampak demi menyemarakkan malam daerah, seperti Lombok tradisi malem likuran turunnya Lailatul Qadar dengan cara membuat selain dilakukan dengan menyalakan lampu- gerbang-gerbang indah yang nantinya bakal lampu pelita, masyarakat secara bergiliran dihiasi dengan lampu-lampu pelita yang indah menghidangkan makanan untuk para kyai yang dikolaborasikan dengan ayat-ayat suci yang melaksanakan shalat tarawih di masjid Al-Quran. Pembuatan gerbang tersebut, telah kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan di lahirkan sejak dahulu kala sejak zaman 28 dirayakan dengan makan bersama oleh para sultan Lingga katanya, dan sampai saat ini kyai. Perayaan ini disebut sedekah maleman pintu gerbang yang lebih akrab dikenal dengan likuran (Harfin Zuhdi, 2014) gerbang Ramadhan telah menjadi ikon dalam menyambut bulan suci Ramadhan. [M Idris Mas’udi] Sumber Bacaan Fina Yuriani, Tradisi Malam Tujuh Likur: 27 Ramadhan Di Kampung Tanda Hulu Daik Lingga, Tanjung Pinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji, Skripsi, 2016 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982 Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Telu di Bayan Lombok: Dialektika antara Islam Normatif dan Kultural , Istinbath Jurnal Hukum Islam, Vol.13, No. 2, 2014 Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005 Sartono Kartodirdjo, Beberapa Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa, Makalah dalam Seminar Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa, 2010 http://kedungdawa.desa.id/berita-jelang-akhir-ramadan-cirebon-gelar-malam-selikuran.html http://www.suarabojonegoro.com/2014/07/tradisi-colok-malam-9-dibulan-ramadhan.html http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/ibrah/13/07/29/mqokdl-meramaikan-malammalam-likuran http://kabarlingga.com/gerbang-lampu-tujuh-likur-mulai-bermunculan-menjelang-ramadhan/ Edisi Budaya | 223

Langgar (Tajug/Surau/Mushalla) Langgar merupakan bangunan untuk digunakan oleh orang-orang Jawa. Di Sunda tempat peribadatan kelompok sebutannya Tajug; di Banten disebut Bale; masyarakat Muslim di sebuah dusun di Minang dikenal dengan Surau; di Sulawesi atau kampung. Biasanya tempat peribadatan disebut langgara, di Aceh disebut Dayah. sekelas langgar tidak dipergunakan untuk Masyarakat Gayo menyebutnya dengan Joyah shalat Jum’at karena 2 (dua) faktor. Pertama, yang sifat dan tujuannya serupa dengan faktor keyakinan agama. Dalam fiqh ditentukan apa yang di Aceh disebut Deah atau Dayah, untuk mendirikan shalat Jumat harus terdiri yakni bangunan tambahan dari Meunasah, laki-laki dewasa paling sedikit 40 orang yang khusus digunakan untuk ibadah atau di yang semuanya merupakan penduduk asli mana sebagian pengajaran agama diadakan (mustawthin). Selain itu dalam fiqh Syafi’iyyah oleh imam atau penggantinya. Belakangan di juga tidak diperbolehkan mengadakan kota-kota, masyarakat menyebutnya dengan ta’addud al-jumu’ah (memperbanyak kelompok Mushalla atau tempat mengerjakan shalat. jum’atan) dalam satu desa terkecuali karena desa itu dibelah sungai besar atau jalan besar. Dari sekian penyebutan tempat peribadatan umat Islam di luar mesjid, Kedua, faktor tekanan politik. Di masa “Langgar” dan “Tajug” seringkali dikonotasikan penjajahan Belanda sejak tahun 1903 negatif berdasarkan asal katanya. “Langgar” dikeluarkan perintah agar Bupati mendata dalam bahasa Jawa berarti bertubrukan jumlah tempat peribadatan yang digunakan atau bersalah-salahan. Begitupula “Tajuk” untuk melaksanakan shalat jum’at. Bahkan dalam bahasa Sunda berarti melawan atau pada tahun 1931, Bupati diperintahkan membangkang. Dipersepsikan bahwa warga untuk mengawasi tempat peribadatan yang masyarakat yang menetap di sekitar “Langgar” digunakan shalat jum’at. Akibatnya pada saat atau “Tajuk” tergolong pembangkang atau terjadi pertumbuhan penduduk dan diperlukan menyalahi keyakinan dan tradisi leluhur. tempat peribadatan baru maka hanya Dalam hal ini disebut “Langgar” sebab orang- dibolehkan pendirian tempat peribadatan orang Islam di Jawa pada mulanya dianggap selain mesjid. Masyarakat di sebuah dusun bertentangan dengan keyakinan dan praktik atau kampung yang sedang berkembang juga keagamaan Hindu-Budha. Hal yang sama tidak kekurangan akal. Mereka mengadakan juga terjadi pada peristilahan “Tajug” dalam pungutan derma untuk merintis didirikannya masyarakat Sunda, sebab orang-orang Belanda tempat peribadatan yang dimulai dari bentuk menganggap masyarakat di sekitar “Tajug” Langgar dan lama kelamaan dirubah menjadi sebagai pembangkang dan suka melawan. mesjid seiring perkembangan jaman. Jadi, antara mesjid dengan bangunan sejenis Namun demikian ada pula pandangan Langgar dalam sejarahnya tidak dapat lain, terutama seputar ““Langgar”” dan dipisahkan satu dengan lainnya. “Tajug,” bahwa pada dasarnya keduanya merupakan bangunan panggung berlantai Sebutan “Langgar” pada umumnya kayu yang atapnya berbentuk limas, yang 224 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Langgar Tinggi Pekojan Jakarta Sumber: http://www.panoramio.com/photo/76923079 dibedakan dengan model bangunan rumah dipersunting Dalem Waturenggong. Sekalipun tinggal di sekitarnya. Berdasarkan struktur pada akhirnya “Pura Langgar” ini tetap bangunan, Langgar dan Tajug dipahami sebagai dimanfaatkan sebagai tempat sembahyang “pertanda” karena memiliki ciri khusus. umat Hindu. “Langgar” di sini dari kata “Leger” Ada pula tradisi lisan di daerah Banyumas yang berarti “balok penyangga lantai” sebab yang menyebutkan asal usul penggunaan umumnya langgar berbentuk bangunan istilah “Langgar” dalam kaitannya dengan seni panggung yang lantainya ditopang dengan tari “Langgaran” yang konon diciptakan oleh kayu balok. Asal usul Langgar dari kata “leger” Sunan Kalijaga. Tarian atraktif “tubrukan” juga diperkuat dengan sejarah “Pelinggih yang menggambarkan treartikal peperangan Langgar” atau tempat duduk yang disangga ini konon pertamakalinya dimainkan sesudah balok penyangga lantai, yang sekarang dikenal para penari turun dari Langgar menuju “Pura langgar” di Desa Bunutin, Kabupaten pelataran Langgar. Dengan kata lain penamaan Bangli, Bali. tari “Langgaran” dikaitkan dengan lokasi awal dimainkannya pertunjukan tari, yakni Langgar. “Pura Langgar”” ini juga menjadi symbol “Turun dari Langgar” berarti “Langgar” itu harmonisasi antara Hindu dengan Islam. bangunan tinggi yang pada jaman dulu identik Untuk menghormati keturanan Jawa di Bali, dengan bangunan panggung. dibangun “Pura Langgar” setelah terjadi konflik antara Dalem Waturenggong di “Langgar” pada masa dulu sengaja dibuat Gelgel Bali dengan Kerajaan Blambangan, dalam konstruksi panggung berfungsi untuk akibat penolakan Raja Blambangan untuk menjaga kesucian, baik dari manusia maupun memberikan putrinya, Ayi Ayu Mas yang binatang. Hal ini sebagai suatu kearifan, sebab Edisi Budaya | 225

jika dipagar berarti tertutup untuk orang Di antara bangunan “Tajug” bersejarah yang ingin memasukinya. Sementara dengan ialah Tajug Pejlagrahan yang dibangun konstruksi panggung, masih memungkinkan Cakrabuana pada 1540 M dan terletak di Jl. orang-orang maupun binatang berdiam di Mayor Sastraatmaja, Kampung Grubukan, lorong/di bawah lantai “Langgar”, dengan Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. kondisi tetap terpelihara kesucian lantai Pangeran Cakrabuwana atau Mbah Kuwu langgar. . Cirebon, Uwa dari Sunan Gunung Jati membangun “Tajug” tersebut di pinggir laut “Langgar” yang dianggap bernilai untuk para nelayan dan masyarakat yang sejarah dan sampai sekarang masih berdiri memanfaatkannya sebagai tempat ibadah dan kokoh, diantaranya ialah; (a) Di Kauman, pengajian. Namun lama kelamaan kawasan Yogyakarta terdapat langgar bersejarah yang sekitarnya mengalami pendakalan sehingga menjadi saksi bisu berdirinya organisasi Islam Tajug Pejlagrahan kini berada di dataran. Tajug Muhammadiyah, yang kini dikenal sebagai Pejlagrahan terlebih dahulu berdiri, tepatnya Langgar KH. Ahmad Dahlan Kauman. (b) 100 tahun sebelum dibangunnya Mesjid Sang Langgar Tinggi di Pekojan Jakarta Barat. (c) Cipta Rasa Cirebon. Langgar Dalem Kudus yang dulunya menjadi kediaman Sunan Kudus sekaligus sebagai Secara garis besar, Langgar/ Langgara/ tempat mengajarkan ilmua agama kepada Tajug/Bale/Surau/Dayah/Joyah merupakan para santrinya. (d) Langgar Agung Mantiasih, bangunan suci selain mesjid yang digunakan Magelang, yang dulunya sempat dijadikan umat Islam untuk shalat lima waktu dan basis perjuangan Pangeran Diponegoro; serta transformasi agama serta pengembangan (e) Langgar Bafadhol di Surabaya. budaya Islam. Model dan fungsinya hanya bisa didapati di bumi Nusantara, sebab pada Sedangkan “Tajug” dapat disepadankan umumnya di dunia Islam hanya dikenal tempat dari asal kata “Tajuk” yang oleh para nelayan ibadah, yang disebut Mesjid. merupakan sebutan dari kili-kili (sepotong kayu) yang dipasang mencuar atau menganjur Di Indonesia, “Langgar” dan lainnya di tepi perahu. “Tajuk” juga bisa diartikan sengaja dibedakan dari mesjid dari sisi ruang sebagai Mahkota, patam, jamang (perhiasan dan ornamennya maupun fungsinya. Misalnya, kepala) hingga tampak lebih tinggi karena mesjid biasanya memiliki ruang serambi di menganjur ke atas. sebelah kanan-kiri dan depan sedangkan mushalla hanya memiliki satu ruang utama “Tajug” bisa juga berarti “menggunung” atau penambahan serambi kecil di depannya. atau “gundukan” misalnya dalam ungkapan Mesjid pada ruang mihrabnya terdiri 3 (tiga) “setajug padi” yang artinya padi segunduk. bilik; kanan (khutbah), tengah (imam), dan kiri “Tajug” merupakan bentuk atap arsitektur (ruang tunggu imam dan khatib), sementara tradisional yang sangat kuno dipakai tujuan “Langgar” dan lainnya hanya terdapat satu kramat. “Tajug” dulunya digunakan sebagai bilik untuk imam. tempat persembahyangan orang Hindu. Identifikasi ini berdasarkan nama asal kota Mesjid-mesjid tua biasanya terdapat Kudus, yang dulunya disebut kota Tajug karena bedug dan kenthongan sedangkan mushalla di kota ini pada mulanya terdapat banyak cukup dengan kenthongan saja. Mesjid bisa Tajug sebagai tempat peribadatan agama digunakan untuk I’tikaf dan shalat Jumat Hindu. Kota Tajug dulunya sudah memiliki sementara Mushalla tidak dipakai untuk kekeramatan tertentu dan dianggap kota ritual dan ibadah itu. Imam Mesjid umumnya suci oleh umat Hindu. Atas dasar itu Sunan disebut Kiai, sedangkan imam mushalla belum Kudus tidak menghilangkan kekeramatan tentu dipanggil Kiai. dan kesucian kota Tajuk, sehingga beliau mengganti namanya menjadi Kudus, yang Tidak digunakannya “Langgar” dan dalam bahasa Arab berarti suci. lainnya untuk shalat Jumat juga dapat dipahami bahwa umat Islam Indonesia itu 226 | Ensiklopedi Islam Nusantara

tertib, tidak hanya dalam peribadatanya Mesjid sementara Santri/Muda menjadi imam tetapi juga tempat ibadahnya. Selain karena Mushalla. Bahkan keberadaan “Langgar” pertimbangan teologis, bahwa tidak boleh dan lainnya di antara Mesjid juga dianggap mendirikan dua jumatan dalam satu kampung, mencerminkan hierarkhi kepemimpinan Islam terkandung pula pertimbangan sosiologis tempo dulu, sebab Mesjid imamnya merupakan yaitu menjunjung tinggi kekerabatan dan penghulu, sementara “Langgar” dan lainnya persaudaraan satu kampung dan desa. Sebab dipimpin oleh imam yang jabatan seharinya jika tiap-tiap “Langgar” dan lainnya digunakan menjadi modin, amil, atau lebe. Baik penghulu untuk shalat Jum’at maka akan menipis sebagai imam mesjid maupun modin, amil ikatan kekerabatan dan persaudaraan diantara atau lebe sebagai imam “Langgar” dan lainnya, mereka. selain mereka menangani keperdataan umat Islam juga melaksanakan kewajiban dakwah Selain itu keberadaan “Langgar” dan dan pendidikan di masing-masing tempat lainnya yang berdiri di sekitar mesjid peribadatan yang dikelolanya itu. menunjukkan adanya jaringan antara Kiai- Santri atau Tua-Muda. Kiai/Tua menjadi imam [Ishom Saha] Sumber Bacaan Anasom, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000 Feener, R. Michael dan Terenjit Sevea, Islamic Connections: Muslim Societies in South and Southeast Asia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009 Heuken, Adolf, SJ. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003 Hurgronje, C. Snouck, Tanah Gayo dan Penduduknya, Jakarta: INIS, 1996 Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976 Edisi Budaya | 227

Lebaran (Bodho/Riyoyo/Riyadi) Secara umum, “lebaran” merupakan selama sebulan berpuasa. peristilahan orang-orang Melayu untuk menyebut hari raya sehabis mengerjakan Istilah “Lebaran” juga dipakai oleh ibadah puasa (tanggal 1 Syawal), dan hari kalangan masyarakat Jawa secara khusus raya tanggal 10 Dzulhijjah atau yang disebut untuk menyebut Hari Raya Idul Fitri. Lebaran Lebaran Haji. Ada pula yang mengaitkan dalam bahasa Jawa berasal dari kata “lebar” Lebaran dengan kata “lébar” yang bermakna (bahasa Jawa halus) atau “bar” atau “bubar” luas dan tidak sempit. Dalam artian umat Islam (bahasa Jawa kasar) yang berarti selesai. yang merayakan Lebaran hati mereka lebar, Karena bahasa Jawa sering memberikan dapat menerima dan memaafkan kesalahan akhiran “an” maka disebutlah istilah “Lebaran”. orang lain, dan hati mereka riang bergembira Dikatakan demikian sebab umat Islam telah sesudah berhasil mengalahkan hawa nasfu menyelesaikan kewajiban menjalankan puasa sebulan penuh, dan mereka kembali menjalani Suasana Lebaran keluarga Jawa tahun 1925. (Foto: Majalah Kejawen 1925) 228 | Ensiklopedi Islam Nusantara

kehidupan yang normal serta dibolehkan memperoleh kemenangan dalam perang makan dan minum di siang hari. Badar, beliau justru mengingatkan para sahabatnya: “Kita kembali dari jihad kecil untuk Pada saat lebaran, orang Islam satu dengan menyongsong jihad yang lebih besar.” “Jihad yang lain biasa mengucapkan kalimat; “Minal kecil” ialah berperang menegakkan agama (al- ‘aidin wal faizin fi kulli ‘am wa antum bi khair” muqatalah li iqamat al-din), sementara jihad (selamat menjadi golongan orang-orang yang besar adalah memerangi diri dari segala hawa kembali dan bahagia. Semoga kalian dalam nafsu (mujahadat al-nafs). kebaikan selama setahun penuh). Kalimat ini merupakan ungkapan kegembiraan karena Puasa menjadi salah satu cara memerangi dapat menyelesaikan puasa dan kembali hawa nafsu dalam diri manusia, sehingga bagi menjalani hidup seperti sediakala. yang tuntas mengerjakannya layak diucapkan selamat dengan kalimat “Minal ‘aidin wal faizin”. Ucapan selamat sekaligus do’a yang Adapun penambahan kalimat fi kulli ‘am wa mengiringi tradisi lebaran ini hanya digunakan antum bi khair adalah do’a sekaligus peringatan di kalangan Muslim Nusantara dan Asia bahwa perang besar itu belum selesai dan Tenggara pada umumnya. Kalimat Minal ‘aidin harus diperjuangkan dalam setahun, hingga wal faizin sendiri pada mulanya merupakan bulan puasa berikutnya –begitu seterusnya ungkapan kegembiraan yang disampaikan sepanjang hayat! penduduk Madinah sewaktu pasukan Rasulullah kembali dari medan Perang Badar Selain istilah “Lebaran”, di kalangan dengan membawa kemenangan. Akan tetapi masyarakat Jawa juga terdapat istilah “Bhodo” ungkapan itu justru dipakai oleh masyarakat (dari Bahasa Arab, Ba’da yang berarti sesudah). Islam Nusantara untuk menyampaikan ucapan Bhodo sendiri dalam tradisi Jawa ada 3 (tiga) selamat lebaran. macam; yaitu (a) Bhodo Syawwal atau tanggal 1 Syawwal sesudah bulan Puasa; (b) Bhodo Kupat Bagi sebagian besar umat Islam di yaitu lebaran tanggal 8 Syawal yang biasa Nusantara ucapan Minal ‘aidin wal faizin tidak dirayakan Muslim Pesisir Jawa dengan berbagi dianggap menyalahi konteks dan konten. ketupat kepada sanak family dan tetangga; dan Alasannya pada saat Rasulullah menyaksikan (c) Bhodo Besar yaitu lebaran yang bertepatan luapan kegembiraan penduduk Madinah Ragam Tradisi lebaran Yang Sering Dilakukan Masyarakat Di Indonesia; bersalam-salama usai sholat idul fitri Edisi Budaya | 229

dengan 10 Dzulhijjah. Menu kuliner ini juga mengandung nilai filosofis, di mana Ketupat menjadi simbol Di samping istilah “Lebaran” dan pengakuan kesalahan, dan Lontong menjadi “Bhodho” masih terdapat lagi dalam tradisi symbol penerimaan maaf/kesalahan orang lain Jawa yaitu yang disebut perayaan Riyoyo (dari dengan sikap hati yang “lonjong” alias terbuka. kata “Ri” yang berarti “hari atau masa yang Sementara Opor dari bahan dasar santan sebentar” dan “Yokyo” yang mengandung kelapa dimaknai, bahwa sikap sombong, pengertian “sikap meluapkan”). Sebutan takabur, merasa tinggi –seperti buah kepala Riyoyo biasa digunakan oleh kalangan Jawa di pohon yang tinggi- harus ditanggalkan biasa. Sedangkan para priyayi/bangsawan karena nasib orang sombong tidak akan baik. biasa menggunakan istilah Riyadi (dari kata Seperti buah kelapa, “nasibnya” dijatuhkan “Ri” yang artinya “hari atau masa sebentar” dari atas, dikuliti, diparut dan diperas, dan dan kata “adi” yang berarti baik). begitu juga nasib orang-orang yang sombong. Oleh karena itu kuliner “Lebaran Syawalan” ini Pengertiannya Riyoyo/Riyadi adalah hari dianggap mengajarkan sikap yang seharusnya baik untuk mengutarakan dan meluapkan dimiliki setiap Muslim, yaitu rendah hati, isi hati. Oleh sebab itu untuk pengucapan jujur mengaku salah, dan terbuka mampu selamat lebaran biasanya orang Jawa lebih memaafkan kesalahan orang lain. memilih menggunakan kata Riyoyo atau Riyadi, misalnya “Sugeng Riyadi” atau Kedua, Lebaran Kupat/Ketupat. Disebut “Sugeng Riyoyo” daripada “Sugeng Bodho”. demikian karena berkaitan dengan kupat yaitu Sebagaimana umumnya masyarakat Indonesia barang berbentuk segitiga empat sejajar yang lebih memilih penggunaan kalimat “Selamat terbuat dari bahan dasar Janur, lontar atau Idul Fitri” daripada “Selamat Lebaran”. gebang, yang di dalamnya terisi beras/nasi. Kupat sendiri berasal dari kata “Ngaku Lepat” Berikut ini adalah tradisi dan ritual yang atau mengaku salah, sebagai simbol ketulusan berhubungan dengan Lebaran/Bodho/ Riyoyo/ hati untuk meminta maaf kepada orang lain Riyadi; atas kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Bhodo Kupat awalnya berkembang Pertama, Lebaran Syawalan atau perayaan di kalangan santri-santri (konon dimulai oleh Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawwal, Kiai Sholeh Darat Semarang) sebagai unjuk sesudah umat Islam mengerjakan Shalat Id. eksistensi budaya sub-culture santri. Sebab saat Sekalipun Idul Fitri jatuhnya hanya sehari di itu para priyayi Jawa rajin merayakan “Lebaran dalam setahun akan tetapi sebagian masyarakat Syawal” dengan berpegang penanggalan Indonesia masih ada yang mempertahankan kalender yang masih diperdebatkan, sekalipun perayaan Lebaran Syawwal selama sebulan mereka tidak menjalankan puasa Ramadhan. penuh. Dalam artian selama bulan Syawwal umat Islam masih memanfaatkannya untuk Dalam catatan Snouck Hurgonje, antara kegiatan-kegiatan, seperti; silaturahmi dan lain disebutkan: “Oleh karena itu, tidaklah halal bi halal. mengherankan jika permulaan puasa dan jatuhnya hari Lebaran setiap tahunnya Hal ini seperti terjadi di Betawi (misalnya dapat berbeda…. Juga di Jawa dan Sumatra Betawi Cengkareng, Kembangan, Cileduk), perbedaan itu terjadi setiap tahunnya. Memang di dimana masyarakat setempat bergantian di beberapa kabupaten di Jawa, di mana saling mengunjungi keluarga dari satu orang, mengenai soal Lebaran dengan terang- kampung ke kampung lain selama bulan terangan untuk mudahnya berpegangan Syawal dan menutupnya dengan pertemuan pada tanggal di penanggalan, tetapi hal ini seluruh keluarga besar di Kampung yang disebabkan kebanyakan pnduduk di situ ikut sudah ditentukan, atau disebut “Lebaran merayakan dengan rajin hari Lebaran. Tidak Betawi”, pada hari terakhir bulan Syawal. begitu menjadi soal apakah bupati yang tidak Dalam Lebaran ini juga ada menu khusus yang berpuasa menerima tamunya pada hari Selasa tidak didapati di bulan-bulan yang lain, yaitu Menu Ketupat/Lontong Opor. 230 | Ensiklopedi Islam Nusantara

atau Rabu, dan apakah sebagian penduduk luas di kalangan masyarakat pesisir Jawa. yang tidak berpuasa berpesta pora dalam pesta Bahkan tradisi merayakan lebaran Kupat rakyat di alun-alun pada hari Selasa atau Rabu. lebih semarak dibandingkan Lebaran Syawal, Tetapi orang menginsyafinya bahwa yang khususnya di daerah Pesisir Utara Jawa demikian itu tidaklah sesuai dengan hukum Tengah. Pada hari lebaran kupat setiap keluarga Islam. Mereka yang mematuhinya tetap masih memasak ketupat dengan aneka macam menu berpuasa satu hari lagi, apabila sesudah 29 hari masakan untuk diantarkan kepada saudara bulan baru betul-betul belum dapat dilihat.” dan kerabat yang diangap lebih tua. Selain itu menu ketupat ini juga untuk dihidangkan Untuk merubah kebiasaan priyayi dan kepada tamu-tamu yang berkunjung. sebagian umat Islam Jawa itulah, Kiai Sholeh Darat dalam Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah Ketiga, Lebaran Haji yang jatuh pada li Ahl al-Majalis al-Hukmiyyat wa al-Ifta’iyyat tanggal 1 Dzulhijjah. Orang Islam Nusantara (1883 M), menganjurkan santri-santrinya merayakan Lebaran Haji dengan cara berduyun- untuk membiasakan puasa sunnat 6 hari duyun ke mesjid atau lapangan terbuka syawal dan disudahi dengan Lebaran Kupat. untuk mengerjakan Shalat Id, menyembelih Puasa sunnah selama enam hari di bulan hewan kurban dan membagi daging kurban. Syawal diajarkan oleh Rasulullah Saw. Dalam Pada umumnya perayaan Lebaran Haji sebuah hadits, beliau bersabda: “Barang siapa tidak semeriah peyaraan Lebaran Syawalan, puasa Ramadhan kemudian meneruskannya terkecuali di kalangan etnis tertentu, seperti puasa enam hari di bulan Syawal maka ia seperti Madura. puasa setahun lamanya” (HR. Muslim). [Ishom Saha] “Tradisi lebaran” kupat telah berkembang Sumber Bacaan Anasom, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000 Bachtiar, Harsja, “The Religion of Java: a Commentary”, Madjalah Ilmu Sastra Indonsia. V 5 NI, 1973 Hurgronje, C. Snouck, “Penetapan Berakhirnya Bulan Puasa 1898” dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII, Jakarta: INIS, 1993 Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988 Edisi Budaya | 231

232 | Ensiklopedi Islam Nusantara

M Mahfuzhat Majelis Ta’lim Majzub Makan Bedulang Makna Gandul Manaqiban Manganan Mbangun Nikah Mandi Belimau Metik Meunasah Midodareni Mudik Mukena Muktabar(ah) Munggah Molo Muqoddaman Mursyid



Mahfuzhat Peribahasa adalah kalimat yang singkat allegori yang mengandung makna tertentu. namun bermakna alegoris (kiyasan) sehingga membutuhkan proses Sebelum datangnya Islam, perumpaan pemahaman tertentu dalam memahaminya. seluruhnya bersumber dari syair dan prosa Dalam bahasa Arab, peribahasa adalah bagian (natsr) Arab. Muhammad Taufiq Abu ‘Ali dari al-hikmah (kebijaksanaan). berpendapat bahwa perumpaan adalah sebuah bidang yang mengakar kuat dalam Bicara soal hikmah, terdapat sebuah hadis kebudayaan masyarakat Arab. Hampir setiap yang berbicara soal itu, al-Hikmatu Dhallaatun sisi kehidupan mereka, memiliki ungkapan- al-Mu’min, aynamaa tajiduhaa akhadzahaa ungkapan perumpaannya. Lewat media (hikmah adalah “barang hilang” seorang inilah, perumpaan menjadi sebuah sarana mukmin, maka dimanapun ia mendapati, menunjukkan kemurnian bahasa Arab lewat ambillah). Meski begitu, tidak ada pembatasan gaya bahasa perumpaan yang sastrawi. apakah hikmah haruslah sebuah kata mutiara atau peribahasa. Salah satu bentuk Setelah kedatangan Islam, al-Matsal penyampaian hikmah yang populer dikalangan tidak hanya bersumber dari syair Jahiliyah, masyarakat muslim dikenal dengan nama tapi juga Quran dan Hadis serta syair yang Mahfuzhat. Istilah ini sebenarnya tidak dikenal muncul sesudah kedatangan Islam. Dalam al- oleh penutur bahasa arab sendiri. Justu istilah Qur’an misalnya, tercatat Allah menyebutkan ini lahir dari umat muslimin di Indonesia. Ini beberapa kali ungkapkan kata al-matsal terbukti karena di masa kini masyarakat Timur secara eksplisit, lewat kata al-matsal dan Tengah menggunakan istilah mahfuzhat untuk matsalan. Tercatat, kata pertama hanya memaknai arsip, sehingga penggunaannya disebutkan sebanyak dua kali, dengan konteks dirangkai dengan kata al-watsaaiq. menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan Allah Swt. adalah sebuah model yang tertinggi Selain itu, dari sisi etimologi mahfuuzhaat kualitasnya (lahu al-matsal al-a’laa). Sementara adalah bentuk jama’ (plural) dari kata untuk kata kedua, disampaikan sebanyak 18 mahfuuzh, sebuah kata yang berbentuk objek kali, yang keseluruhannya bertujuan untuk (maf ’ul) dan berarti “diingat”. Dalam bahasa memberikan pelajaran, baik perumpaan yang Arab, istilah yang digunakan adalah al-matsal baik maupun yang buruk. (jamak: al-amtsaal). al-Matsal sudah dikenal sebagai bagian dari bidang sastra Arab. Dari Jawwad Ali dalam karyanya al-Mufasshal kata al-Matsal ini, - mungkin - dikenallah dalam fi Taarikh al-‘Arab fi al-Islam memasukkan al- bahasa Indonesia istilah perumpaan (Arab: al- Amtsal sebagai salah satu cabang keilmuan Mitsaal atau al-Matsal). Sesuai namanya, dalam yang dikenal masyarakat Arab. Ia bisa berupa bahasa Arab ada pula kata-kata yang modelnya hikmah, kisah-kisah lama yang bernuansa adalah perumpaan. Selain itu, kata ini secara mitologi (al-asaathir), atau cerita-cerita yang etimologi adalah bentuk masdar dari kata ma- memiliki ibrah. Menurutnya, Matsal tidak tsa-la yang berarti serupa. Dari sini kemudian selalu berbentuk natsr, dan tidak seluruhnya dimaknai perumpaan pada kalimat-kalimat pula disampaikan dalam bentuk syair. Sampai Edisi Budaya | 235

di sini, kita dapat menyimpulkan bahwa baik kertasnya berwarna kuning) dan tidak matsal, mahfuzhat, peribahasa, perumpaan, menerima ijazah formal dari negara, sementara seluruhnya adalah sama-sama bentuk pesantren modern adalah pesantren yang “bijak bestari” penuh yang bersumber dari berupaya menggabungkan antar kurikulum kebudayaan tertentu dan bertujuan untuk berbasis kitab klasik dengan kurikulum formal memberikan pelajaran kearifan bagi manusia. yang ditetapkan oleh negara Karena itulah, dalam mahfuzhat yang dikenal di Indonesia meski berasal dari bahasa Arab, Tetapi pembagian ini sesungguhnya akan ada yang tidak bersumber dari sumber- kurang akurat. Pasalnya, mahfuzhat justru sumber keislaman, seperti peribahasa para awalnya diajarkan di pesantren-pesantren yang filosof dari Barat dan sebagainya. para gurunya berlatar belakang pendidikan modern Mesir, yaitu Darul ‘Ulum. Sementara, Sejarah Mahfuzhat di Indonesia pesantren yang mengajarkan murni kitab- kitab klasik, adalah jaringan ulama yang Pada prinsipnya, setiap kebudayaan belajar ke Mekkah dan Madinah. Mereka yang pulang dari pendidikan modern di Mesir, memiliki bentuk-bentuk peribahasanya membuat sekolah-sekolah yang disebut Kulliyatu al-Mu’allimiin (Normal School). Dua masing-masing. Peribahasa adalah dari Tiga pendiri Pondok Modern Gontor, K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Zainuddin Fannanie manisfestasi kearifan sebuah institusi sosial, pernah belajar langsung ke Sumatera Barat di Kweekschool, dan ketika pulang membuat baik suku, adat, maupun bangsa. Indonesia, kurikulum yang dibentuk di Kulliyatu al- Mu’allimiin. Dari sinilah, Pondok Modern sebagai sebuah negara yang majemuk adat Gontor – dan sekolah yang memiliki relasi secara kelembagaan atau keguruan – dikenal istiadat dan agamanya – meski yang diakui sebagai Pondok Modern. negara hanyalah enam agama (Islam, Kristen Beberapa contoh Mahfuzhat yang terkenal di Indonesia ada yang bersumber dari al- Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Qur’an, Hadis, maupun syair atau prosa yang redaksi bernada Matsal. Mahfuzhat Kullu Konghuchu) – pada masing-masing institusi Ma’rufin Shadaqatun (segala hal baik adalah sedekah) misalnya, adalah sebuah hadis. sosial memiliki kearifannya masing-masing. Contoh lainnya adalah al-Yadu al-’Ulya Khairun min Yadi al-Suflaa (“Tangan diatas lebih baik Meski begitu, Indonesia juga menetapkan daripada tangan di bawah”). Redaksi ini juga peribahasa nasionalnya. Beberapa contoh berasal dari hadis, meski sebagian riwayatnya misalnyaperibahasa“adagula,adasemut”,“katak lemah. Ada juga yang berasal dari syair-syair dalam tempurung”. Peribahasa-peribahasa Arab. Peribahasa “Kullu Man Saara ‘ala al- ini umumnya berasal dari peribahasa yang Darbi Washala (Siapa yang meniti sebuah populer di masyarakat Melayu, dan tidak ada jalan (menuju satu tujuan) ia akan kesana. catatan yang pasti juga siapa yang pertama kali Mahfuzhat ini sebenarnya adalah potongan menyebutkan peribahasa itu. dari sebuah syair gubahan Ibn al-Wardi. Sejauh ini belum ditemukan pencatatan Dari beberapa contoh Mahfuzhat diatas, yang pasti sejak kapan berbagai mahfuzhat yang penting untuk dicatat adalah beberapa masuk dan populer di Indonesia. Tapi, melihat diantaranya sebenarnya diambil dari konteks istilah yang digunakan berbahasa arab, keseluruhan teks itu, meski tidak seluruhnya kemungkinan mahfuzhat dikembangkan oleh terambil dari konteks aslinya. Mahfuzhat masyarakat muslim Indonesia yang menerima tangan diatas lebih baik dari tangan di bawah pendidikan keagamaan dari Timur Tengah. misalnya sering dijadikan dalil bahwa mereka Tetapi, mereka yang belajar ke Timur Tengah tidak menerima model pendidikan yang seragam. Pada saat ini, Mahfuzhat menjadi bagian kurikulum pesantren yang bernuansa modern. Perbedaan antara pesantren modern dan tradisional di Indonesia pada awalnya diasosiasikan dengan mereka yang hanya mempelajari kitab klasik atau lazim disebut sebagai kitab kuning (karena kebanyakan 236 | Ensiklopedi Islam Nusantara

yang memiliki ekonomi lebih dan mampu “tangan di atas lebih baik daripada tangan di berbagi kepada yang miskin, lebih baik dari bawah”. mereka yang minta-minta. Tetapi, seperti yang telah disunting oleh Fu’ad ‘Abdu al- Ada juga Mahfuzhat yang memiliki Baaqi tentang hadis ini, justru menganjurkan kesamaan makna dengan peribahasa latin. orang untuk menahan diri dari meminta- Sebut saja al-‘Aqlu al-Saliim fi al-Jismi al- minta. Diantara hadis yang dikutip adalah Saliim. Peribahasa ini biasa diterjemahkan kisah Hakim bin Hizam yang sampai akhir dengan “di dalam tubuh yang sehat terdapat hayatnya, tidak pernah meminta-minta lagi jiwa yang kuat”. Peribahasa ini kemungkinan setelah terakhir kali diberikan sedikit uang besar adalah terjemahan dari peribahasa latin oleh Nabi Saw. Perlu dicatat, menurut riwayat yang biasa digunakan untuk “penyemangat” al-Bukhari, Hakim bin Hizham wafat di masa para olahragawan, Mens Sana in Corpore Sano. kekhalifan ‘Umar bin Khattab Ra. dan tidak Padahal, kata ini juga tercerabut dari konteks pernah meminta-minta lagi. Pesan Nabi Saw. lainnya. Redaksi kalimat yang masuk di dalam tersebut adalah “Duhai Hakim, harta ini begitu buku Proverbia Latina (Peribahasa Berbahasa manis kalau diterima. Mereka yang menerimanya Latin) ini adalah Orandum est ut sit Mens Sana dengan sikap murah tangan/dermawan, akan in Corpore Sano (hendaklah engkau berdoa agar diberkahi hartanya. Tapi yang menerima dengan ada jiwa sehat dalam tubuh yang sehat). Syair membanggakan diri kalau ia hebat dengan harta, ini digubah oleh seorang Penyair Romawi, harta itu tidak bakal berkah. Ia akan seperti orang Decimus Iunius Juvenalis. makan yang tidak pernah kenyang. Sementara, [Adib M Islam] Sumber Bacaan Khalil Hasan Noufal, Collocations in English and Arabic: A Comparative Study, English Language and Literature Studies; Vol. 2, No. 3; 2012, 2. Muhammad Taufiq Abu ‘Ali, al-Amtsal al-‘Arabiyyah wa al-‘Ashr al-Jaahilii, (Beirut: Dar al-Nafaais, 1988). Muhammad Jawwad ‘Ali, al-Mufasshal fii Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam, (Beirut: Dar al-Saaqi, 2001). Abu al-Shaikh al-Ashbihani, al-Amtsaal fi al-Hadits, (Bombay: al-Dar al-Salafiyyah, 1987). Ibn al-Mulaqqan Siraju al-Din al-Syafi’i, al-Badru al-Munir fi Takhrij al-Ahaadits wa al-Aatsar al-Waaqi’ah fi al- Syarh al-Kabiir, (Riyadh, Dar al-Hijrah, 2004). Muhammad Fu’ad ‘Abdu al-Baqi, al-Lu’lu wa al-Marjaan Fiima Ittafaqa ‘alaihi al-Syaikhaani (Kairo: Dar al-Hadits, 1987). Baha’u al-Diin al-‘Aamili, al-Kushkuul, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilimiyyah, 2004). Edisi Budaya | 237

Majelis Ta’lim Majelis taklim terdiri dari dua akar “tempat atau wadah umat untuk melaksanakan kata bahasa Arab yaitu majlis (‫ﻣﺠﻠﺲ‬ proses belajar mengajar tentang iman, Islam ) yang berarti tempat duduk, tempat dan ihsan, aqidah, syari’ah, akhlak, tauhid, sidang atau dewan, sedangkan ta’lim berarti fikih, tasawuf, surga dan neraka, pahala dan pengajaran (Kamus Al-Munawwir). Dalam dosa, ekonomi, zakat, infak, sadaqah dan bahasa Arab kata majelis adalah bentuk isim lain sebagainya”. Lain halnya dengan Arifin makan (kata tempat), kata kerjanya (‫ )ﺟﻠﺲ‬yang (1991 : 202) yang memaknai majelis ta’lim artinya tempat duduk, tempat sidang, dewan. dalam strategi pembinaan umat, merupakan Kata ta’lim dalam bahasa Arab merupakan wadah/wahana dakwah Islamiah yang murni masdar dari kata kerja ( ‫ﺗﻌﻠﻢ‬-‫ﻳﻌﻠﻢ‬-‫ ) ﻋﻠﻢ‬yang Instruksional keagamaan Islam. mempunyai arti pengajaran. Dalam Kamus Bahasa Indonesia pengertian majelis adalah Hasil Musyawarah Majelis Ta’lim se-DKI pertemuan atau perkumpulan orang banyak Jakarta tahun 1980, merumuskan pengertian atau bangunan tempat orang berkumpul. majelis ta’lim adalah lembaga pendidikan non Dari pengertian terminologi tentang majelis formal yang memiliki kurikulum tersendiri ta’lim di atas dapatlah dikatakan bahwa diselenggarakan secara berkala dan teratur majelis adalah tempat duduk melaksanakan diikuti oleh jamaah yang relatif banyak, yang pengajaran atau pengajian agama Islam. bertujuan untuk membina, mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara Jika digabungkan dua kata itu dan manusia dengan sesamanya, dan antara mengartikannya secara istilah, maka dapatlah manusia dengan lingkungannya, dalam rangka disimpulkan bahwasanya “majelis taklim” membina masyarakat yang bertaqwa kepada memiliki arti tempat berkumpulnya seseorang Allah SWT (Hasbullah, 1996 : 202). Dari untuk menuntut ilmu (khususnya ilmu agama) beberapa pengertian “majelis ta’lim” yang bersifat nonformal. telah dikemukakan di atas, selanjutnya dapat diberikan kesimpulan majelis ta’lim dapat Majelis ta’lim dapat diartikan sebagai diartikan sebagai sebuah lembaga pendidikan “tempat untuk melaksanakan pengakaran atau non formal, tempat berkumpul sekelompok pengajian Islam” (Baiquni, 1996 : 273). Secara orang/individu untuk membicarakan masalah bahasa (etimologi) majelis ta’lim berasal dari yang menyangkut kepentingan kelompok bahasa Arab, yang berasal dari dua kata majelis tersebut dan masyarakat pada umumnya. dan ta’lim. Menurut Munawir yang dikutip Sedangkan secara khusus majelis ta’lim berarti oleh Hasbullah (1996 : 95) menjelaskan, suatu tempat/wadah untuk berkumpul dan “majelis adalah tempat duduk, tempat melaksanakan pengajian yang membahas sidang. Sedangkan ta’lim diartikan dengan materi ke-Islaman secara menyeluruh. pengajaran”. Majelis taklim bersifat nonformal, namun Menurut istilah (terminologi) para walaupun demikian fungsi dari majelis taklim ahli pengertian majelis ta’lim sebagaimana itu sendiri sangatlah dirasa dalam masyarakat. menurut Saefudin (1996 : 45-46) adalah 238 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Tujuan dari fungsi Majlis Taklim antara lain Majelis Ta’lim menjadi ajang berkumpulnya Pertama, berfungsi sebagai tempat belajar, orang-orang yang berminat mendalami agama yang bertujuan menambah ilmu dan keyakinan Islam dan sarana berkomunikasi antar-sesama agama, yang akan mendorong pengalaman umat. Bahkan, dari Majelis Ta’limlah kemudian ajaran agama. Kedua, berfungsi sebagai muncul metode pengajaran yang lebih teratur, tempat kontak social, yang bertujuan menjaga terencana dan berkesinambungan, seperti silaturrahmi. Ketiga, berfungsi mewujudkan pondok pesantren dan madrasah. Para wali dan minat sosial yang bertujuan meningkatkan juru dakwah Islam pada awal perkembangan kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga Islam di Indonesia salah satu metode dakwah dan lingkungan jamaahnya (Tutty Alawiyah, yang mereka gunakan adalah majelis ta’lim. 1997). Oleh karena itu untuk Indonesia keberadaan majelis ta’lim merupakan lembaga pendidikan Sejarah dan Dasar Hukum Majelis Taklim non formal tertua (Aini, 2005 : 20). Majelis ta’lim merupakan lembaga Adalah ulama Nusantara dari Jakarta, pendidikan tertua dalam Islam, walaupun KH. Abdullah Syafi’ie (1910-1985) orang tidak disebut majelis ta’lim namun pengajian pertama yang memperkenalkan istilah majlis yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi ta’lim (sering ditulis “majelis taklim”). Ia yang dilakukan oleh para sahabat Nabi mengembangkan pengajian di Masjid Al- Muhammad SAW di rumah sahabat Arqam Barkah yang disebut dengan majlis ta’lim, baik dapat dianggap sebagai sebuah kegiatan untuk bapak-bapak maupun yang dikhusukan majelis ta’lim. Sejak zaman Rasulullah SAW untuk ibu-ibu. Akhirnya Istilah majlis ta’lim saat dakwah pertamanya yang bertempat di menjadi trade mark dari pengajian-pengajian rumah Arqom bin Al-Arqom. Di masa Islam KH. Abdullah Syafi’ie. Sebelum itu orang Mekkah, Nabi Muhammad SAW menyiarkan kalau mau menghadiri pengajian tidak pernah agama Islam secara sembunyi-sembunyi, dari menyebutnya pergi ke majlis ta’lim, tetapi lebih satu rumah ke rumah lain dan dari satu tempat suka menyebutnya mau pergi ke pengajian. ke tempat lain. Sedangkan di era Madinah, Penamaan majlis ta’lim akhirnya melahirkan Islam mulai diajarkan secara terbuka dan identitas tersendiri yang membedakan dengan diselenggarakan di masjid-masjid. Apa yang pengajian umum biasa, yaitu sifatnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu tetap dan berkesinambungan. Akhirnya mendakwahkan ajaran-ajaran Islam, baik di terbukti bahwa kegiatan yang bersifat majlis era Mekkah ataupun Madinah-adalah cikal ta’lim itu menjadi kebutuhan masyarakat bakal berkembangnya Majelis Ta’lim yang kita Islam, baik dikota-kota yang sibuk maupun di kenal saat ini. desa-desa yang terpencil. Pada periode Madinah, ketika Islam telah Apabila dilihat dari makna dan sejarah mempunyai kekuatan yang besar pelaksanaan berdirinya “majelis taklim” dalam masyarakat, pengajian dalam masyarakat meningkat bisa diketahui dan dimungkinkan lembaga lebih pesat lagi. Nabi Muhammad SAW aktif dakwah ini berfungsi sebagai tempat kegiatan berdakwah di masjid untuk memberikan belajar mengajar umat Islam, khususnya bagi pengajian kepada para sahabat. Cara dakwah kaum perempuan dalam rangka meningkatkan dalam bentuk pengajian seperti itu merupakan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman bagian kesuksesan keberhasilan Nabi ajaran Islam. Majelis taklim juga berfungsi Muhammad SAW menyebarluaskan Islam. sebagai lembaga pendidikan dan keterampilan bagi kaum perempuan dalam masyarakat yang Di awal masuknya Islam ke Indonesia, berhubungan, antara lain dengan masalah Majelis Ta’lim merupakan sarana yang paling pengembangan kepribadian serta pembinaan efektif untuk memperkenalkan sekaligus keluarga dan rumah tangga sakinah mawaddah mensyiarkan ajaran-ajaran Islam ke masyarakat warohmah. Melalui Majelis taklim inilah, sekitar. Dengan berbagai kreasi dan metode, diharapkan mereka menjaga kemuliaan dan Edisi Budaya | 239

kehormatan keluarga dan rumah tangganya. dan tradisi yang baik sehingga mampu Majelis taklim juga berfungsi sebagai wadah bertahan di tengah kompetisi lembaga- berkegiatan dan berkreativitas bagi kaum lembaga pendidikan keagamaan yang bersifat perempuan. Antara lain dalam berorganisasi, formal. Bedanya, kalau dulu Majelis Ta’lim bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. hanya sebatas tempat pengajian yang dikelola secara individual oleh seorang kyai yang “Majelis taklim” juga berfungsi sebagai merangkap sebagai penqajar sekaligus, maka pusat pembinaan dan pengembangan perkembangan kemudian Majelis Ta’lim telah kemampuan dan kualitas sumber daya menjelma menjadi lembaga atau institusi yang manusia dalam berbagai bidang seperti menyelenggarakan pengajaran atau pengajian dakwah, pendidikan sosial, dan politik yang agama Islam dan dikelola dengan cukup baik, sesuai dengan kodratnya. Majelis taklim juga oleh individu, kelompok perorangan, maupun diharapkan menjadi jaringan komunikasi, lembaga (organisasi). ukhuwah, dan silaturahim antar sesama kaum perempuan, antara lain dalam membangun Bahkan dalam system pendidikan masyarakat dan tatanan kehidupan yang nasional, majelis taklim dinyatakan sebagai Islami (Muhsin MK, 2009). lembaga pendidikan diniyah non-formal yang keberadaannya di akui dan diatur dalam Dalam prakteknya, “majelis taklim” Undang-undang nomor 20 tahun 2003 merupakan tempat pangajaran atau tentang sistem pendidikan nasional, Peraturan pendidikan agama Islam yang cukup fleksibel Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tantang dan tidak terikat oleh waktu. Majelis taklim standar nasional pendidikan, Peraturan bersifat terbuka terhadap segala usia, lapisan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang atau strata sosial, dan jenis kelamin. Waktu pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, penyelenggaraannya pun tidak terikat, Keputusan MA nomor 3 tahun 2006 tentang bisa pagi, siang, sore, atau malam. Tempat struktur departement agama tahun 2006. pengajarannya pun bisa dilakukan di rumah, masjid, mushalla, gedung Aula, halaman, dan “Majelis ta’lim” dalam pelaksanaan sebagainya. Selain itu majelis taklim memiliki programnya merupakan sebuah realisasi dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai lembaga kegiatan dakwah Islam, dengan dakwah dakwah dan lembaga pendidikan non-formal. tersebut diharapkan dapat menyebarlauaskan Fleksibelitas majelis taklim inilah yang ajaran Islam di muka bumi ini. Keberadaan menjadi kekuatan sehingga mampu bertahan majelis ta’lim diharapkan sebagai wadah untuk dan merupakan lembaga pendidikan Islam menciptakan terjalinnya ukhuwah Islamiyah, yang paling dekat dengan umat (masyarakat). yang pada akhirnya dapat memberikan “Majelis taklim” juga merupakan wahana kelapangan dalam hidup di dunia dan akhirat. interaksi dan komunikasi yang kuat antara Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah masyarakat awam dengan para mualim, dan Al-Mujadilah ayat 11 yang artinya: “Hai antara sesama anggota jamaah majelis taklim orang-orang yang beriman, apabila dikatakan tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu. Dengan kepadamu: berlapang-lapanglah dalam demikian majelis taklim menjadi lembaga majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah pendidikan keagamaan alternatif bagi mereka akan memberi kelapangan untukmu…” (Depag yang tidak memiliki cukup tenaga, waktu, RI, 1989: 910). dan kesempatan menimba ilmu agama dijalur pandidikan formal. Inilah yang menjadikan Kata majelis dalam ayat di atas dapat majlis taklim memiliki nilai karkteristik berarti duduk bersama. Asal mulanya duduk tersendiri dibanding lembaga-lembaga bersama mengelilingi Nabi karena hendak keagamaan lainnya. mendengar ajaran-ajaran dan hikmat yang akan beliau keluarkan. Makna berlapang- Meski telah melampaui beberapa fase lapang dalam ayat di atas juga mengandung perubahan zaman, eksistensi Majelis Ta’lim arti kita hendaknya melapangkan hati dalam cukup kuat dengan tetap memelihara pola menerima materi pengajian (Hamka, t.t : 26). 240 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Dasar pokok pelaksanaan program majelis dan mencegah dari yang mungkar melalui ta’lim adalah landasan yang bersumber dari pelaksanaan pengajian majelis ta’lim, 2) ajaran agama Islam. Syukir (t.t : 63) menulis: Mengajak umat manusia yang sudah memeluk “agama Islam adalah agama yang menganut agama Islam untuk meningkatkan taqwanya ajaran kitab Allah yakni Al-Quran dan Hadits kepada Allah SWT, 3) Membina mental Rasulullah SAW yang mana keduanya ini keagamaan umat Islam sebagai jamaah majelis, merupakan sumber utama ajaran Islam”. 4) Mengajak umat manusia yang belum beriman Secara operasional pelaksanaan program agar beriman kepada Allah SWT, 5) Mendidik majelis ta’lim berlandaskan kepada firman dan membina serta mengajarkan ajaran agama Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 104 Islam kepada jamaah, 6) Memperbaiki Akhlak yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara umat, melalui siraman rohani ceramah agama kamu segolongan umat yang menyeru kepada dalam setiap pengajian majelis ta’lim. kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang- Berdasarkan hal tersebut, majelis ta’lim orang yang beruntung” (Depag RI, 1989: 93). mempunyai kedudukan dan ketentuan sendiri dalam mengatur pelaksanaan pendidikan Dari firman Allah SWT di atas, jelas atau pun dakwah Islamiyah. Secara strategis bahwa sebagai dasar pokok pelaksanaan majelis ta’lim menjadi sarana dakwah majelis ta’lim adalah bersumber dari ajaran yang Islami dengan corak yang berperan Al-Quran dan Hadits. Dengan berpedoman serta dalam pembinaan dan peningkatan kepada dua sumber utama ini majelis ta’lim kualitas kehidupan umat Islam. Proses dalam kegiatannya diharapkan dapat menjadi penyadaran umat dalam rangka menghayati, sebuah organisasi dakwah Islam yang menyeru memahami, dan mengamalkan ajaran Islam kepada yang ma’ruf dan mencegah dari pada dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan kemungkaran. Lebih lanjut Hasbullah (1996 pribadi, lingkungan sosial budaya, dan alam : 201) menyebutkan tujuan majelis ta’lim sekitarnya.. Dengan demikian diharapkan adalah: “Menanamkan akhlak yang luhur umat Islam dapat menjadi umat yang benar- dan mulia serta meningkat kemajuan ilmu benar umat yang rahmatan lil’alamin. pengetahuan dan keterampilan jamaah, memberantas kebodohan umat Islam agar Keberadaan majelis ta’lim dipandang dapat memperoleh kehidupan yang bahagia efektif dan efisien dalam membantu kegiatan dan sejahtera yang diridhoi oelh Allah SWT” dakwah Islam, karena majelis ta’lim dapat mengumpulkan orang banyak dalam sebuah Berdasarkan kepada pendapat di atas, kegiatan pengajian dalam satu waktu untuk hakekat tujuan majelis ta’lim adalah agar membicarakan hal-hal keagamaan. Karena itu jamaah yang mengikutinya memperoleh kedudukan majelis ta’lim di tengah-tengah kehidupan yang bahagia dan sejahtera di masyarakat eksistensinya tidak diragukan lagi. dunia akhirat yang diridhoi oleh Allah SWT. Menanamkan akhlak yang luhur dan mulia Peranan majelis ta’lim dalam masyarakat telah diberikan penjelasan oleh Al-Quran, hal selain berkaitan dengan peranan dakwah Islam ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surah di antaranya adalah mengokohkan landasan Al-Ahzab ayat 21 artinya: “Sesungguhnya pada dan meningkatkan kualitas hidup manusia. (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Arifin (1991 : 120): “peranan majelis ta’lim (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat adalah mengokohkan landasan hidup manusia dan dia banyak menyebut Allah” (Depag RI, di bidang mental spiritual keagamaan Islam 1989: 670). dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya secara integral, lahiriyah dan batiniyah, Berdasarkan konsep di atas, dapat duniawi dan ukhrawi yang bersamaan, diberikan kesimpulan tujuan majelis ta’lim sesuai dengan ajaran Islam yaitu iman dan adalah sebagai berikut: 1) Melaksanakan takwa yang melandasi kehidupan di dunia kegiatan menyeru kepada yang ma’ruf dan segala bidang kegiatannya”. Sedangkan Edisi Budaya | 241


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook