Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BUKU-ENSIKLOPEDI-ISLAM-NUSANTARA-BUDAYA-FULL

BUKU-ENSIKLOPEDI-ISLAM-NUSANTARA-BUDAYA-FULL

Published by SMP Negeri 1 Reban, 2022-07-12 13:47:55

Description: BUKU-ENSIKLOPEDI-ISLAM-NUSANTARA-BUDAYA-FULL

Search

Read the Text Version

Midodareni Midodareni diambil dari kata midodari merupakan mustika adicara pada malam atau widodari yang berarti bidadari. Midodareni. Sejak malam Midodareni, kedua Di kalangan masyarakat Jawa, ada mempelai tidak lagi disebut sebagai calon mitos yang menyebutkan bahwa pada malam pengantin dalam tradisi penikahan Jawa. Midodareni, para bidadari dari kahyangan turun ke bumi dan bertandang ke rumah calon Hal ini didasarkan pada apa yang tertulis pengantin wanita untuk mempercantik dan dalam primbon kuna yang menyebutkan: mempersiapkannya agar menjadi bidadari “Ing bengi kebener Midodareni, iku wiwit jeneng yang sempurna bagi calon suaminya. penganten”. Oleh karena itu sorak sorai para kerabat pada malam Midodareni adalah Prosesi Midodareni dilaksanakan pada teriakan: “Lha kae pengantene teka”. Karenanya malam hari sebelum ijab-kabul dan acara sejak malam Midodareni, terutama setelah Panggih Pengantin. Selain disebut Midodareni, menerima Kancing Gelung, kedua mempelai prosesi ini juga terkadang disebut dengan sudah disebut sebagai pengantin, bukan istilah Maleman, atau lengkapnya Malem lagi calon pengantin. Mereka berdua adalah Midodareni. Ada juga yang menyebutnya mustika perhelatan yang ditunggu-tunggu, Pangarip-arip, sebagaimana disebutkan oleh yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai Rama Sudi Yatmana, dalam Upacara Penganten Penganten, kusumaning adicara ingkang dipun Tata Cara Kejawen. anti-anti. Alkisah, dewi Nawangwulan bersama para Suwardjoko percaya bahwa ada peran bidadari turun ke marcapada untuk memberi Wali Songo dalam proses Islamisasi tradisi doa restu kepada dewi Nawangsih yang akan pernikahan Jawa ini. Wali Songo tidak serta dipersuntingolehBondhanKejawan.Kesediaan merta mematikan tradisi Midodareni yang Dewi Nawangwulan untuk merias sendiri dewi sebenarnya sarat dengan mitos. Kedua Nawangsih ini disertai dengan syarat agar mempelai juga tetap diizinkan untuk disebut pihak pengantin pria mempersembahkan sebagai pengantin sejak prosesi Midodareni, Kembarmayang. Suwardjoko, dalam bukunya; tetapi belum diizinkan untuk tidur bersama Makna, Tata Cara dan Perlengkapan Pengantin sebelum akad nikah. Bahkan pengantin pria Adat Jawa, menyebut kisah-kisah ini hanyalah tidak disambut di dalam rumah pengantin dongeng atau mitos belaka. putri, melainkan di beranda depan saja dan belum diizinkan menemui pengantin putri. Malam Midodareni adalah malam Paes atau Pepaes, yang berarti berhias. Prosesi Midodareni ini didahului oleh Mengutip Kalinggo Honggopuro, Suwardjoko prosesi lain di mana kedua calon pengantin menyebutkan bahwa tradisi Paes ini bisa melakukan Jamas atau mandi keramas dilacak sejarahnya dari jaman Mataram. menggunakan air kembang setaman, yang disebut dengan prosesi siraman. Siraman Meskipun menurut hukum agama dan memiliki hubungan erat dengan Midodareni negara kedua mempelai belum bisa disebut dan menjadi syarat penting agar para bidadari sebagai pasangan suami isteri sebelum akad bersedia turun dari kahyangan untuk merestui nikah, namun tradisi Jawa sudah menyebut calon pengantin. keduanya sebagai Sri Pengantin, yang 292 | Ensiklopedi Islam Nusantara

merasuk dalam diri calon pengantin puteri. Agar hal itu terjwujud maka semua hal yang berkenaan dengan malam Midodareni harus serba ganjil dan belum genap atau belum lengkap. Karena apabila sudah genap dan lengkap, justru pada bidadari yang turun dan bertandang ke rumah calon pengantin akan kembali lagi ke Salah satu Prosesi Midodareni. kahyangan karena merasa sudah tidak ada Sumber: https://ikawidyan.wordpress.com/2011/12/06 yang perlu disempurnakan. Selain ada keharusan penggunaan Perlengkapan Prosesi Midodareni kembang setaman seperti mawar, melati, A. Keluarga pengantin putri bunga kanthil, dan kenanga, prosesi siraman • Angsul-angsul mengharuskan dipakainya air bersih dari • Kancing Gelung (Cundhuk Ukel) sumber mata air guna memurnikan dan • Naskah Catur Wedha menyucikan calon pengantin lahir dan • Ayam betina muda (dhere), lambang batin. Dengan demikian, para bidadaripun diharapkan akan bersedia turun dan pengantin putri memberikan doa restu serta memberikan aura • Tempat duduk pengantin pria dilapisi kecantikannya kepada calon pengantin. dengan klasa kalpa Prosesi Midodareni dilaksanakan pada B. Keluarga pengantin pria malam hari setelah sholat Maghrib. Terdapat • Cengkir gadhing dihias janur berupa tamsil tertentu pada penggunaan angka-angka ganjil dan serba tidak lengkap atau tidak clorot, sepasang genap pada laku adicara Midodareni. Bahkan • Kembarmayang, sepasang orang yang menyiramkan air pada proses • Ayam jantan muda (Jengger), lambang Siraman juga jumlahnya ganjil, biasanya tujuh atau sembilan orang. Paes atau riasan yang pengantin kakung digunakan pada malam Midodareni juga hanya • Paningset serta kelengkapan (abon- berupa alub-alub atau cengkorongannya saja. Busana yang digunakan juga sederhana, dengan aboning) paningset harapan bahwa para bidadarilah yang akan • Sanggan serta tanda asih (apa saja) menggenapkan atau menyempurnakannya. Urutan prosesi pada malam Midodareni: Pada malam yang sangat penting itu para bidadari diharapkan turun dan manjing Jonggolan atau menyatu dalam jiwa dan raga Sri Penganten yang disebut sebagai keadaan Jonggolan berarti pisowanan, di mana Hapsari Hangejawantah, yakni munculnya calon pengantin pria sowan atau hadir aura kebidadarian pengantin yang telah menghadap keluarga calon pengantin putri pecah pamor. Jika itu terjadi, artinya bidadari untuk memberitahu bahwa ia telah siap lahir yang turun dari kahyangan benar-benar telah batin mengikuti seluruh adicara dalam proses pernikahan. Prosesi ini juga disebut dengan nyantrik atau nyantri karena aslinya dalam tradisi Edisi Budaya | 293

Purna Jonggolan di lingkungan keraton, calon pada malam Midodareni, karena malam penganten pria tidak hanya sekedar berkunjung ini bukan merupakan perjamuan agung. dan menampakkan diri, melainkan langsung Sebagaimana disebutkan di atas, tata busana mondok atau nyantrik di kasatrian dan dipingit pada malam Midodareni justru dianjurkan di sebuah bangunan di lingkungan keluarga bersifat sederhana. Oleh karena itu dianjurkan calon istrinya. Adapun di luar keraton, calon menggunakan busana beskap landhung tanpa pengantin pria kembali pulang ke rumah keris. setelah adicara Midodareni, namun demikian, tetap disebut nyantrik. Tempat duduk pengantin pria pada adicara Jonggolan dilapisi dengan klasa kalpa. Hal Jonggolan atau nyantrik pada zaman ini didasarkan pada kawruh kraton. Adapun kuno dilakukan beberapa hari sebelum acara yang biasa (kaprah) terjadi di masyarakat, alas inti. Calon pengantin dititipkan (ngenger) di duduk pengantin pria adalah klasa bangka atau rumah calon mertuanya dan dipingit. Namun tilam lampus. seiring perkembangan zaman, nyantrik ini dilaksanakan bersamaan dengan acara Tumuruning Kembarmayang Midodareni. Kembar berarti serupa dan mayang Tata lahir dan simbol-simbol yang terdapat adalah bunga dari pohon pinang atau jambe. dalam Jonggolan pada adicara Midodareni Kembarmayang adalah dua buah hiasan yang memiliki beberapa makna, di antaranya: terbuat dari pokok/debok pisang, yang dihias dengan janur, aneka buah dan kembang • Menunjukkan bahwa semua persyaratan pancawarna serta bunga jambe. Meskipun yang diperlukan dalam pernikahan sudah penggunaan Kembarmayang adalah pada saat terpenuhi prosesi Panggih Pengantin, namun ia telah dibuat dan disimpan sejak malam Midodareni. • Pengantin kakung sudah siap lahir dan batin Kembarmayang juga memiliki beberapa nama lain seperti Sekar Mantyawarna, Sekar • Adanya sabdatama atau petuah untuk Adi Kalpataru, dan Klepu Dewadaru kaliyan pengantin Jayadaru. • Merupakan penilikan akhir terhadap Kembarmayang dipercaya sebagai hiasan kesiapsediaan segala hal yang diperlukan bunga dari para dewa yang dirangkai oleh untuk melangkah menuju adicara tujuh bidadari. Ia hanya merupakan pinjaman selanjutnya kepada pengantin pria untuk digunakan dalam pernikahan. Setelah selesai digunakan, ia harus Ada dua macam pakem busana yang dikembalikan kepada para dewa dengan cara dikenakan pengantin pria pada saat njonggol melarutkannya di sungai atau membuangnya atau sowan pada malam Midodareni. di perempatan jalan. Menurut tradisi Yogya, calon pengantin pria mengenakan busana kasatrian, yaitu Kembarmayang merupakan perlambang baju surjan, blangkon, kalung karset dan restu dan keberkahan dari Yang Maha Kuasa mengenakan keris. Adapun dalam tradisi kepada pengantin. Keberadaan mayang dalam Surakarta, pengantin pria mengenakan busana hiasan tersebut melambangkan pengantin pangeranan yaitu jas beskap, kalung karset, dan yang sedang memasuki dunia rumah tangga. mengenakan keris. Makna dan kiasan yang terkandung dalam Namun diperbolehkan juga tidak prosesi golek Kembarmayang adalah sebuah menggunakan pakem busana sebagaimana ibarat atau pasemon bahwa mewujudkan disebutkan di atas. Pengantin pria boleh segala macam cita-cita dan harapan haruslah menggunakan jas dan dasi pada saat diakukan dengan usaha, serta ada “harga” Jonggolan. Bahkan ada yang berpendapat yang harus dibayar; jer basuki mawa bea. bahwa sebaiknya pengantin pria dan para pendampingnya tidak mengenakan keris 294 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Adapun gotong-royong dan kerjasama dalam dunia para muda mudi yang sedang jatuh cinta. proses pembuatannya dan Tumuruning Kembarmayang melambangkan sikap tolong- Mugi kersoa angupadi tumuruning wahyu menolong (sambat sinambatan). Hal ini pula jodho ingkang awujud sekar mancawarna ugi menunjukkan bahwa perhelatan pernikahan sinebatKembarmayang, kinarya jangkeping tersebut didukung oleh sanak kadang dan bolo panggihing calon pinangantyan kekalih. rewang, serta diiringi doa kepada yang maha kuasa. Semoga bersedia mencari wahyu jodoh yang berwujud bunga warna-warni yang juga Nut carita duking nguni-uni disebut kembarmayang, untuk melengkapi Ila-ila ujaring pra kina pertemuan calon pengantin berdua. Gung pinundhi prapteng mangke Kembarmayang puniku Tumuruning Kembarmayang Rinatikna in widadari Minangka sung nugraha disebut juga dengan istilah “Miyosipun Satria linangkung Ingkang asung bekti darma Kembarmayang Saking Suwargo”, yakni Labuh labet mring hyang kang maha luwih Hambangun pala karma turunnya Kembarmayang dari surga. Istilah Terjemahan syair Jawa (tembang lainnya yang juga dipakai adalah “Panebusing dhandhang gula) di atas, sebagaimana ditulis oleh Meka Nitrit Kawasari adalah sebagai Kembarmayang”. berikut: Mitos Jawa menyebutkan bahwa Menurut cerita dahulu kala Kembarmayang merupakan pemberian dari Sang Hyang Jagad Giri Nata. Adapun yang Tata cara menurut kisang orang tua membawanya ke bumi adalah para bidadari, di antaranya; Prabasini, Irim irim, Tanjung Biru, Yang dilestarikan hingga kini Warsiki, Gagar Mayangm Leng Leng Sari, dan Leng Leng mandanu. Kembarmayang nan asri Dalam mitos Jawa juga disebutkan, Dirangkai oleh para bidadari Kembarmayang yang asli diturunkan oleh para dewa terbuat dari bunga pohon Kalpataru; Sebagai anugerah pohon yang tumbuh di surga dan buahnya menjadi santapan para dewa. Bagi pria pilihan nan gagah Saat ini Kembarmayang dibuat oleh para Yang akan melaksanakan darma bakti pemuda yang datang untuk rewang. Adapun aslinya dalam tradisi Jawa, yang bertugas Melaksanakan perintah ilahi membuat Kembarmayang adalah dua orang wanita dewasa, dari pihak pengantin pria, lalu Mengangkat seorang isteri dibuatkan sesajen dan didoakan pada acara “Slametan Midodareni” sebagai pepeling atau Sebagaimana setiap prosesi dan adicara pengingat bagi pengantin bahwa perkawinan lainnya dalam tradisi pernikahan Jawa, bukan hanya bertemunya raga, tetapi juga Kembarmayang sarat dengan makna dan perpaduan dua jiwa yang menyatu dalam kiasan. Ada banyak versi tafsir dan tamsil pada ikatan suci membangun sebuah keluarga. Kembarmayang dan proses pembuatan serta keberadaannya pada pernikahan adat Jawa, Prosesi Tumuruning Kembarmayang yang beredar di masyarakat. terdiri dari beberapa bagian yang dibawakan dalam adegan-adegan mirip adegan Terdapat tembang sinom yang pewayangan dan dipandu oleh seorang dalang. menggambarkan perjalanan Sang Sarayajati Adapun cerita yang dilakonkan adalah tentang menghadap kepada yang punya hajat. Tembang pencarian, penebusan, dan pemboyongan, Sekar Sinom diperuntukkan bagi anak muda. lalu dilanjutkan dengan prosesi penyerahan Ia berasal dari kata Si yang berarti “isih” atau Kembarmayang kepada pihak keluarga masih dan Nom yakni “enom” atau muda dan pengantin putri. memiliki sifat ramah yang melambangkan Edisi Budaya | 295

Dapukan atau pemeran dalam adegan- pengantin punya ketetapan hati dalam adegan tersebut adalah Saraya jati (seorang mengarungi samudera kehidupan berrumah ksatria yang ditugaskan untuk mencari tangga. Walang juga melambangkan kegesitan. Kembarmayang), Hamengku Gati (Sebagai ayah dari pengantin putri), dan Jati Wasesa Kembarmayang dalam pernikahan (seorang pandhita dari padepokan Sidodadi, Jawa merupakan “replika” dari Dewadaru tempat Kembarmayang disimpan). dan Jayadaru, yaitu bunga dari pohon Kalpataru. Ini merupakan perlambang Sekar mancawarna pada Kembarmayang harapan agar pengantin kelak dapat bahagia terdiri dari ron maneka warni atau ron apa- dalam kehidupan berrumahtangga seharum apa; melambangkan keaneka ragaman isi bunga Dewadaru dan Jayadaru, serta segera dunia dengan harapan agar pengantin kelak menghasilkan buah, yakni keturunan. dapat menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh lika liku. Lalu ada bunga kanthil Srah-srahan dan melati yang melambangkan keharuman dengan harapan semoga perilaku pengantin Adicara Tumuruning Kembarmayang kelak selalu harum seperti harumnya bunga kemudian dilanjutkan dengan prosesi srah- melati dan menjadi teladan sebagaimana srahan, yaitu penyerahan tanda kasih atau tali bunga kanthil. asih dari pihak pengantin pria kepada keluarga pengantin putri. Wujudnya berupa berbagai Keris-kerisan janur pada Kembarmayang macam perhiasan, barang mentah, dan barang merupakan perlambang pusaka yang dipakai jadi atau matang (raja peni, guru bakal, guru oleh laki-laki dan menjadi pengingat atas dadi). tanggungjawab seorang suami dalam hidup berumah tangga. Manuk-manukan janur Raja peni dan guru dadi dibawa di dalam atau burung menjadi pepeling agar pengantin sebuah kotak yang disebut dengan jodhang. mempunyai cita-cita yang tinggi setinggi Adapun guru bakal dibawa dengan dipikul. terbangnya burung. Nanas yang berada pada Apabila salah satu orang tua dari pengantin bagian atas Kembarmayang merupakan pria sudah meninggal, maka perangkat srah- lambang tingginya derajat. Nanas ini srahan ditambah dengan bendhe. diletakkan pada bagian paling atas sebelum payung-payungan. Harapannya pengantin Srah-srahan lengkap dalam pakem keraton agar selalu rukun, berdampingan dan tinggi Surakarta berupa: derajatnya. Adapun payung-payungan janur yang memayungi Kembarmayang - Paningset, yakni setagen, sesupe seser, melambangkan pengayoman. Pecut-pecutan sinung truntum, serta sindur janur sekawan yang berjumlah empat melambangkan sadherek sekawan atau empat - Perlengkapan, yakni tebu wulung, jeruk saudara yang merupakan pengingat bagi gulung, sedhah ayu, pisang ayu, dan sekul pengantin tentang keberadaan mereka di golong dunia mulai dari kelahiran sampai mati. - Pengiring, yakni raja peni (berupa aneka Peksi pada Kembarmayang melambangkan ragam perhiasan), guru bakal (berupa perjodohan serta harapan agar pengantin ternak, palawija dan sebagainya), guru segera mendapatkan keturunan. Urang dadi (berupa busana, makanan dan melambangkan harapan agar pengantin sebagainya) dalam menjalani hidup berumah tangga tidak kekurangan dan selalu tercukupi segala Catur Wedha kebutuhannya. Walang melambangkan harapan agar tidak dihantui rasa walangati/ Setelah semua tamu dari pihak pengantin sumelang yakni gundah gulana. Harapannya, pria duduk di tempat yang disediakan, ayah dari pengantin putri menghampiri pengantin pria dengan maksud wawansabda untuk memastikan terakhir kalinya bahwa pengantin pria benar-benar telah siap lahir batin 296 | Ensiklopedi Islam Nusantara

menghadapi prosesi pernikahan selanjutnya, penyerahan dhuwung atau keris yang disebut karena keesokan harinya adalah prosesi ijab- cundhuk Ukêl yang merupakan senjata kabul yang membuat ikatan kedua mempelai andalan kaum wanita. Pusaka ini diberikan sah menurut agama dan negara. kepada pengantin pria untuk melindungi isteri dan keluarganya kelak. Ayahanda pengantin putri lalu memberikan wejangan Catur Wedha (empat Kancing Gelung yang diserahkan terdiri norma) atau Catur Laksitatama (empat atas: perilaku utama). Hal ini perlu dilakukan agar ayahanda pengantin putri tidak ragu dan • Dhuwung, yaitu pusaka milik penganten khwatir lagi menyerahkan putrinya kepada putri pemberian ayahandanya berupa pria yang akan menikahinya. keris Cundhuk Ukêl. Pusaka ini sebenarnya hanya dititipkan kepada pengantin pria Setelah wejangan Catur Wedha ini, kedua untuk melindungi keluarganya kelak. pengantin dipingit di tempat masing-masing yang telah disediakan, atau disebut dengan • Ageman, yaitu busana agung yang akan prosesi nyantrik/nyantri. Pada saat nyantrik ini dikenakan pengantin pria pada waktu kedua mempelai dilarang saling bertemu. dhaup atau panggih penganten. Andrawina Adapun angsul-angsul adalah berbagai macam hadiah, bisa berupa makanan, kue dan Setelah acara wejangan Catur Wedha, lain-lainnya dari pihak keluarga pengantin para tamu dipersilahkan makan bersama putri kepada rombongan penganten pria. dan berramah tamah. Acara santap makan Angsul-angsul merupakan tanda tali asih bersama dan ramah tamah ini disebut juga antara dua keluarga yang berbesanan. dengan Kembul Bojana Andrawina. Adicara ini biasanya diisi pula dengan perkenalan anggota Apabila rangkaian acara Midodareni keluarga dari masing-masing pihak. sudah sampai pada penyerahan kancing Gelung dan Angsul-angsul, itu adalah pertanda Acara ini seharusnya dilakukan bahwa acara sudah akan berakhir. Hal ini juga ketika larut malam. Tuan rumah akan merupakan isyarat bahwa pengantin pria menghidangkan sekul asrep-asrepan. Yang dipersilakan segera meninggalkan rumah unik pada acara ini adalah mendahulukan calon mertua (katundhung) untuk kembali ke tamu wanita untuk makan. Hal ini dilakukan pondokan yang telah disediakan (sengkeran), sebagai penghormatan kepada para bidadari bagi yang disediakan tempat untuk nyantrik. sebagaimana dalam kisah pernikahan Jaka Atau pulang ke rumah bagi yang tidak tinggal Tarub dan dewi Nawangwulan. di pondokan untuk nyantrik. Para pimpinan rombongan pengantin pria harus tanggap dan Seluruh acara di atas dilakukan dengan segera mohon diri. sangat kihdmat dan tenang. Bahkan dalam berbicara pun para tamu dan tuan rumah Sejarah Dhuwung Cundhuk Ukêl hanya melakukannya dengan suara lirih atau bisik-bisik. Namun demikian pada zaman Dalam tradisi keraton-keraton Jawa, sekarang, acara ini dilaksanakan dengan para puteri dari permaisuri raja diberi pusaka meriah dan gegap gempita. Hidangan yang andalan berupa keris atau curiga, yang diberi disuguhkan juga bermacam-macam, terkadang nama Cundhuk Ukêl. Pusaka ini merupakan ditambah dengan hiburan tayuban. Waktu penanda bahwa wanita yang memilikinya pelaksanaanya pun tidak terlalu larut malam. adalah seorang puteri raja. Dhuwung Cundhuk Ukel ini merupakan pusaka yang diwariskan Kancing Gelung dan Angsul-angsul turun temurun kepada anak perempuan. Setelah selesai berramah-tamah dan Karena pusaka ini hanya untuk para puteri, memakan hidangan, pemangku hajat maka sosok penampakannya (dhapuran), juga kemudian menggelar prosesi penyerahan ferminin (mutreni). Bentuknya lebih kecil Kancing Gelung. Kancing gelung adalah dari umumnya keris. Angsar-nya juga bersifat Edisi Budaya | 297

kewanitaan, yakni ruruh, cinta asih, tenteram, majemukan adalah ungkapan syukur kepada dan tenang. Cundhuk Ukêl bukan merupakan Tuhan yang maha kuasa atas terlaksananya Dhuwung ageman (kelengkapan busana) acara dengan baik, serta doa semoga prosesi karena sosoknya yang kecil, bahkan terkadang acara berikutnya berjalan lancar dan baik, berbentuk mirip cundrik atau patrêm. nirbaya, nir-rubeda, tanpa ada halangan dan gangguan apapun. Pusaka inilah yang dititipkan kepada menantu (putra mantu) pada prosesi Selain berdoa, acara majemukan berupa penyerahan Kancing Gelung di malam makan bersama-sama hidangan berupa nasi Midodareni. Pasemon dan isyarat dari hal ini wuduk berlauk ingkung ayam sebagai lambang adalah pertanda bahwa ayahanda pengantin kebersamaan dan gotong royong, holopis kuntul puteri telah memberikan kepercayaan kepada baris, bekerja bersama-sama agar terlaksana pengantin pria untuk mempersunting seluruh hajat dengan sempurna. Selanjutnya puterinya, dan bahwa pria tersebut akan melekan atau wungon, yakni berjaga semalam melaksanakan pesan-pesan wejangan dalam suntuk, yang dilakukan oleh beberapa sesepuh Catur Wedha. sambil berdoa atas kelancaran dan keberkahan prosesi selanjutnya. Apabila dalam perjalanan rumah tangga kedua mempelai kelak ada halangan dan ketidak Meskipun secara keseluruhan prosesi cocokan sehingga menyebabkan perceraian, malam Midodareni ini berasal dari tradisi kuno maka Cunduk Ukêl harus dikembalikan kepada pra Islam, namun praktiknya hari ini rangkain keluarga wanita, karana ia hanya titipan, acara ini syarat dengan nilai-nilai dan ritual bukan pemberian. Oleh karena itu, apabila ada Islam. Acara Midodareni di kalangan orang seorang pria mengembalikan Cundhuk Ukel, Jawa Islam hari ini dimulai dengan bacaan ayat- itu artinya sebuah isyarat perceraian. ayat suci al-Quran dan selalu disertai dengan doa-doa Islami. Darori Amin, dalam Islam dan Majemukan Kebudayaan Jawa, menyebutkan bahwa malam Midodareni di kalangan orang Jawa Islam diisi Majemukan merupakan ritual penutup dengan bacaan-bacaan barzanji dan tahlilan. dari rangkaian malam Midodareni. Dilakukan larut malam ketika para tamu sudah [Ali Mashar] meninggalkan rumah pengantin putri. Inti dari Sumber Bacaan: H. M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000. K.P. Suwardjoko Proboadinagoro Warpani, Makna, Tata cara dan Perlengkapan Pengantin Adat Jawa, Kepel Press, Yogyakarta, 2015. Meka Nitrit Kawasari, Penggunaan Bahasa Jawa Pada Upacara Tumuruning Kembarmayang Sebagai Cermin Kearifan Budaya Jawa, dalam Jee Sun Nam (ed.), Language Maintenance and Shift III, Revised Edition, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, 2013. Rama Sudi Yatmana, Upacara Penganten Tata Cara Kejawen, CV Aneka Ilmu, Semarang, 2001. Suwarna Pringgawidagda, Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta , Kanisius, 2006. Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000. 298 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Mudik Mudik telah menjadi tradisi dimaksudkan untuk berinteraksi dengan orang masyarakat Indonesia yang pada yang masih hidup, tetapi juga berkomunikasi umumnya dikaitkan dengan dengan orang yang sudah meninggal di tempat perayaan hari lebaran. Kebiasaan ini bertumpu jasad terakhirnya bersemayam. pada semangat menjaga tradisi lama yang menjadi bagian penting masyarakat dalam Pengertian upaya mencari atau kembali ke jati diri. Dalam ritual tahunan ini, banyak hal muncul Secara etimologi, kata mudik berasal sebagai fenomena sosial dan keagamaan di dari kata “udik” yang berarti selatan/hulu, mana agama dan budaya melebur menjadi sebagai lawan kata dari ‘hilir’, yang bermakna satu tarikan nafas. Melalui kegiatan mudik, utara. Di kalangan masyarakat Betawi zaman masyarakat Muslim Indonesia memperagakan kolonial, suplai kebutuhan hasil bumi diambil ajaran silaturahmi bersama keluarga, kerabat, dari wilayah luar tembok kota di selatan. Para handai taulan serta sahabat. Dalam suasana petani dan pedagang melakukan transaksi lebaran, masyarakat secara sistemik bermaaf- melalui sungai dari utara dan kembali ke maafan, update perkembangan lingkungan selatan. Dari aktivitas ini kemudian muncul sekitar, serta terhubung dengan masa lalu. istilah hilir mudik yang berarti bolak-balik. Satu hal yang juga penting adalah bahwa kepulangan ke kampung halaman tidak hanya Mudik juga dimaknai ‘menuju udik’ atau pulang ke kampung halaman. Kata ‘udik’ Suasana Para Pemudik di Stasiun Kereta. Sumber http://news.okezone.com Edisi Budaya | 299

Mudik bareng yang diselenggarakan PBNU. Dalam mudik oleh keluarga kerajaan. Sejak masuknya Islam, bersama tersebut, sebanyak 35 bus disiapkan untuk mudik dilakukan menjelang Lebaran. memberangkatkan sekitar 1750 pemudik ke berbagai wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur Beberapa ahli berpendapat bahwa tradisi mudik muncul karena masyarakat Indonesia Sumber: Tribunnews.com adalah keturunan Melanesia yang berasal dari Yunan, Cina. Sebuah masyarakat yang dikenal biasanya merujuk pada persepsi desa atau sebagai pengembara. Mereka menyebar ke kampung tempat asal kelahiran seseorang. berbagai tempat untuk mencari sumber Ketika seseorang hidup dan berkarir di kota, ada penghidupan. Pada bulan-bulan yang dianggap tuntutan kultural untuk kembali ke ‘kampung baik, mereka akan mengunjungi keluarga di halaman’ di mana komunitas primordialnya daerah asal. Biasanya mereka pulang untuk berada. Kepulangan seseorang ke kampung melakukan ritual kepercayaan atau keagamaan. halaman pada umumnya dilakukan dalam rangka merayakan lebaran atau hari libur Tradisi mudik tidak hanya erat kaitannya lainnya. Konsep kampung halaman menjadi dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga erat dasar pijakan yang dikaitkan dengan konsep kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan silaturahmi, ziarah kubur dan nostalgia. manusia. Paling tidak ada tiga dimensi yang dapat kita amati dalam tradisi mudik. Pertama, Sejarah mudik memiliki dimensi spiritual-kultural. Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang Tradisi mudik merupakan kebiasaan dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa. masyarakat petani Jawa yang dikenal sejak Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar zaman Majapahit. Kebiasaan ini awalnya Kayam (2002) bahwa tradisi mudik terkait bertujuan untuk mengunjungi kuburan orang- dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi orang yang telah meninggal dan memanjatkan tanah kelahiran untuk berziarah ke makam doa bersama untuk memohon keselamatan para leluhur. kepada dewa-dewa kahyangan. Aktivitas ini dilakukan setahun sekali, yang belakangan Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, dikenal dengan sebutan ‘nyekar’. Pada masa ini, kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan mudik menjadi tradisi yang dilakukan 300 | Ensiklopedi Islam Nusantara

kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula ibadah puasa yang dilakukan selama satu bulan ikatan batin antara yang hidup dan yang mati penuh. Spiritual-vertikal manusia ditempuh tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa dengan ibadah dan akan sempurna jika di jasad. Oleh karena itu, mereka menganggap dilanjutkan pada kesalehan sosial-horizontal. bahwa berziarah dan mendoakan leluhur Silaturahim menjadi wujud konkret dalam adalah kewajiban. Karena itu muncullah hal ini. Mudik seharusnya dimaknai dengan tradisi berziarah dalam kurun waktu tertentu menyambung hubungan spiritual dengan meskipun dipisahkan oleh kondisi geografis. para leluhur dan menyambut tali silaturahim Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi dengan keluarga, saudara, kerabat, dan berziarah inilah yang kemudian berdialektika sahabat. Bukan untuk kepentingan prestise dengan kultur masyarakat yang kemudian sosial ataupun kepentingan material lainnya. melahirkan tradisi mudik. Dari sini tampak bahwa fenomena mudik Dalam catatan Umar Kayam, mudik mengimplikasikan suatu heteronomi kultural. sejatinya tradisi lama yang pernah menghilang. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik Sejak Islam datang, mulai terkikisnya budaya antara situasi dan nilai-nilai baru dengan yang syirik, ziarah menemukan momentum saat lama. Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri hari Lebaran. Apalagi kultur Jawa yang bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan kemudian diterima oleh kalangan Islam berumah di kota. Di sisi lain, mereka sangat tradisional menghasilkan akulturasi budaya terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya. yang harmoni. Perlahan ziarah kubur yang dianggap sebagai syirik dapat diterima oleh Hal ini berarti bahwa tradisi mudik kalangan tradisional dengan disisipi ajaran memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat agama. Mudik pun menjadi salah satu tradisi dikendalikan oleh masa silamnya. Kepulangan spiritual bagi masyarakat untuk melakukan para pemudik ke desanya merupakan simbol ziarah ke makam leluhur. romantisme masyarakat kita. Tantangannya terletak pada pengalaman bahwa romantisme Said Aqiel Siradj (2006) menegaskan bahwa cenderung lebih bersifat reaktif ketimbang makna tradisi Lebaran sebenarnya menyemai kreatif. Mudik berarti terhubung kembali spirit spiritual-vertikal. Dalam arti orang- dengan jejaring tradisional dan menghidupkan orang yang merayakan harus kembali pada ritual atau kenangan masa lalu. kefitrian (kesucian) jati diri kemanusiannya sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan [Hamdani] Sumber Bacaan Marcoes, Lies, dkk, Kembali Ke Jati Diri: Ramadhan dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban, Bandung: Mizan, 2013. Edisi Budaya | 301

Mukena (Rukoh, Talakuang, Telekung) Makna Kata Mekeno, tanpa mekeno, biasanya anak rambut akan muncul di sekitar kepala. Padahal rambut Mukena, telekung atau rukoh adalah itu adalah aurat. Mekeno biasanya selembar baju atau kain panjang penutup kain yang berbentuk segitiga atau kain handuk aurat perempuan ketika shalat. tipis memanjang, fungsinya untuk deleman Sebutan mukena lebih didengar untuk orang (orang sekarang memakainya juga kalau Jakarta dan sekitarnya. Nama-nama di atas memakai jilbab baik sebagai penambah asesori menunjukkan suatu bentuk pakaian yang maupun agar rambut tidak keluar dari garis khusus dipakai untuk sholat. Dalam konteks jilbab) jadi mekeno adalah pasangannya rukoh. Indonesia dan negara-negara sekitarnya, Mekeno Kata mekeno inilah yang kemudian pakaian itu membedakan dari pakaian dari pembicaraan-pembicaraan dihubungkan sehari-hari. Di Indonesia terutama, hanya berasal dari kata bahasa Arab miqna’ah (‫)ﻣﻘﻨﻌﺔ‬ dalam kira-kira lima tahun terakhir ini, ada yang artinya tutup kepala. kelompok-kelompok perempuan yang sudah merasa cukup dengan pakaian muslimah yang Mukena popular di wilayah Melayu, sehari-hari dipakai sekaligus pakaian untuk tak heran negara-negara jiran pun sholat. Perubahan ini mengikuti trend busana mengenakannya. Pakaian ini pun disebut muslimah Indonesia yang sama sekali berbeda dengan cara yang hampir sama, Talakuang, pada abad-abad awal Islam masuknya Islam ke meski di sana sini terdapat sedikit perubahan. Indonesia sampai pengaruh revolusi Iran pada Orang – orang Sumatra, yang identik dengan tahun 1979. Dampak revolusi itu membuat kaum Melayu, menyebutnya Talakuang, itu cara menutup aurat perempuan Indonesia di Sumbar. Namun untuk Sumatra Utara, mirip dengan perempuan-perempuan Iran khususnya Tapanuli Selatan telekung biasanya menutup tubuhnya. Kendatipun begitu pasar dinamakan “ Talokung” dan lebih populer di model dan industri mukena tak ada matinya. kalangan masyarakat pedesaan. Masih sama- sama Sumatra, Orang Palembang, Sumsel Orang Jawa umumnya menyebut kain menyebut mukena dengan Telkum. Nyaris penutup aurat untuk shalat itu rukoh. Tak serupa, orang-orang di NTB menyebutnya pasti darimana atau asal kata apa rukoh itu, Telekung. mungkin juga kata rukuk, satu gerakan tubuh yang hanya dilakukan dalam sholat. Rukoh, Namun bagaimana bentuk mukena umumnya berbentuk panjang, bersambung pada kaum Melayu di atas, menurut sumber kainnya dari kepala sampai menutup kaki, informasi orang Sumatra sendiri, mukena yang kiranya kalau dia sujud, tidak kelihatan pocong (terusan, orang Cirebon menyebutnya kakinya. Mirip pocong, kalau orang melihatnya mukena rekening) tak popular dan asing. Sejak pertama kali. dulu hingga kini mukena itu potongan; atas dan bawah, bukan terusan. Seperti berikut ini; Dalam Bahasa Jawa, kata rukoh turun menurun digunakan. Entah darimana akar Aurat Tubuh Perempuan dan Konsepsi katanya. Namun sebenarnya orang Jawa yang Fikih hendak sholat mengenakan rukoh tidak cukup. Karena rukoh itu ada pasangannya yaitu Ketertutupan perempuan banyak dilihat 302 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Gambar; butik bordir Kudus. menggerus cara bermukena dalam sholat. Memang belum ada satu survey yang pasti Sumber: butikbordir.com bahwa perkembangan model terbaru pakaian muslim itu telah meminggirkan penggunaan sebagai pembatasan aksesnya pada publik. jilbab dalam shalat. Namun, seiring meroketnya Jika sejenak ke negara-negara teluk, pakaian perkembangan busana muslim bahkan produk perempuan sehari-hari mereka adalah seperti Indonesia telah menjadi trendsetter dunia mukena bahkan melebihnya, sebab niqab atau busana, mukena pun didesain tak kalah burqah telah menutup semua bagian wajah dan modisnya. Bukan hanya soal bentuknya tapi hanya menyisakan dua bola mata sebagai alat juga asesorisnya, bahannya sampai nuansa penting. etnik dan tokoh public figure favourite, biasanya artis. Jadi mukena kini, sangatlah modis. Jika Akbar S. Ahmed dalam Discovering Islam menyatakan setelah kecemerlangan Dulu kala, sejak mukena ada sampai era perempuan di awal-awal Islam, seperti 90-an, mukena semuanya model terusan, eksistensi di antara istri nabi yakni; Khadijah dijahit dari kain bahan putih polos, terbuat dan Aisyah, berikutnya ada Fatimah, Rabiah dari bahan kafan (orang Jawa menyebutnya al-Adawiyah dan lain-lain di negeri Islam, mori) . Modelnya seperti pocong kata orang- maka sekarang ini keadaan telah jauh orang , karena selain bersambung dari kepala berubah. Menurutnya, pembatasan akses sampai menjulur menutupi kaki juga selalu perempuan dimulai dari penutupan tubuhnya. berwarna putih. Sederhana, tanpa hiasan atau Sekarang perempuan jauh tertinggal peran warna lain. Bahannya adem tanpa campuran dan kedudukannya dibanding pada masa sintetis sehingga mudah sekali lecek. Mukena awal Islam, lihatlah bagaimana Anwar Al- inilah nampaknya yang selalu diingat orang Sadat memenjarakan Nawa el-Saadawi karena karena lama bertahan dan dipakai sebagian kekritisan tulisannya. Perempuan pada masa besar masyarakat Indonesia. Bahwa mukena kini mundur jauh ke belakang dan seperti itu putih dan lurus (terusan), nampaknya budak yang hidupnya ditentukan laki-laki. membumi di sebagian ingatan penduduk kita dan kemanapun mereka pergi. Bagaimana Indonesia? Benarkah demikian, Indonesia barangkali adalah Kalau dilihat dari perjalanan sejarahnya, pengecualian. Kalau menyimak perkembangan masuknya Islam di Indonesia dengan segala model busana muslimah Indonesia dari waktu keunikannya, maka mukena atau rukoh ke waktu, ketertutupan tubuh perempuan merupakan bagian tak terpisahkan dari sepertinya dignity. Ketertutupannya konskuensi atau dampak dari cara ber- menunjukkan identitasnya dan di banyak Islam di Indonesia. Dengan pakaian sehari- tempat itu tidak menghalanginya beraktifitas. hari perempuan Indonesia yang sudah Fashion baru itu lalu sedikit demi sedikit ada, nampaknya para muballigh kita ingin mengenalkan Islam secara bertahap dan tanpa gejolak. Maka dimulailah dengan mengajarkan tata cara ibadah dengan segala syaratnya. Inovasi dan strategi inilah yang kemudian melahirkan mukena, sebagai pakaian khusus sholat. Dualisme pakaian, antara di dalam dan di luar sholat ini, telah melahirkan keunikan sendiri. Namun, lambat laun kita mereka berubah Indonesia: berkebaya, kain berkerudung. Ataupun baju kurung. Penyebaran Islam yang berlangsung damai, telah mencoba mengakomodasi budaya- budaya Indonesia yang ada namun tetap dalam Edisi Budaya | 303

bingkai bingkai prinsip ajaran Islam. hitung-hitungan ekonomi dan mengikuti pola model. Memang Walisongo dan banyak penyebar Islam yang lain, banyak melakukan penyesuain Banyak yang dibuat dengan simplifikasi dan strategi dakwah yang jitu di Indonesia. bahan, sehingga mukena mengabaikan Mereka tidak memboyong budaya Arab atau konsep aurat. Akibatnya banyak mukena yang negara-negara yang telah dahulu berislam. mini padahal yang mengenakan orangnya Walhasil kita lihat Indonesia hari ini. jumbo, sehingga kaki kelihatan ketiika sujud, punggung juga, karena minimnya dan Tapi tahukah kita, bahwa sejarah mukena pendeknya potongan atas. Jadi konsep seluruh dan mungkin bagi mereka yang belajar tubuh kecuali wajah dan telapak tangan secara sederhana tentang Islam, menjadikan tereduksi. Wajah yang menurut Imam Syafii mukena sangat membekas. Sebagaimana tidak termasuk dagu, malah dilonggarkan orang-orang Jawa generasi tempo dulu yang dalam pemakain-pemakain model baru. dibawa ke Suriname dan masih menganggap Telapak tangan melebar. Tak heran kalau hasil bahwa shalat itu menghadap ke Barat bukan salah satu musyawarah keagamaan di Pesantren kiblat. Maka, begitupun dengan mukena, Lirboyo, semacam bahtsul masail tidak pernah mendengar tentang tenaga kerja merekomendasikan mukena potonagn atas tenaga kerja wanita kita yang menjadi buruh bawah dan memberi gambaran cara memakai migran? Mereka merantau ke negeri seberang, mukena yang benar. Alasannya mukena utamanya negara-negara yang berpenduduk potong bawah mengandung potensi – potensi etnis China seperti Hongkong dan Taiwan terbukanya aurat. Ketika sujud karena banyak beserta mukena putihnya. Apa yang terjadi? yang ukurannya minim, dan baju atau kaos Orang China sangat takut dengan warna pemakai pendek, sering kelihatan. Belum lagi putih sehingga ketika mereka lihat mukena kaki waktu sujud dan tangan yang digerakkan mereka kaget dan ketakutan. Menurut cerita waktu takbir juga sering kelihatan. Semua itu para buruh migran itu, lalu mereka dilarang tidak sesuai dengan prinsip syarat menutup mengenaknnya. Sebab warna putih itu bagi aurat. Nampaknya ada kepentingan bisnis mereka menyeramkan yang tidak bertemu dengan ketentuan syariat. Walaupun banyak juga mukena yang didesain Dengan pengajaran yang menekankan tepat sesuai kaidah dan tentu saja harganya bahwa mukeno adalah pakaian sholat, tidak bisa minimalis. Untuk memperjelas apa pengalaman sadar, seperti di kampung dan yang dimaksud ditutup dan terbuka dalam terutama generasi 70an, mengendapkan cara fiqih, banyak pesantren melalui websitenya berpikir kalau sholat harus dengan mukeno memberi contoh bagaimana penggunaan .Padahal esensi sholat itu menutup aurat. mukena yang maksimal, maksimal ala fiqih. Tak mengejutkan kemudian bahwa sering berkembang desain mukena ini, Bagaimana pun fenomena mukena amatlah unik, karena mengingatkan akan Ini rukoh atau rukuh klasik ( versi lama) pergerakan sejarah sebuah bangsa, agama dan sebagaian masih menggunakannya, dan juga perkembangan mode. Jika nanti sekarang mengalami modifikasi disana sini perempuan –perempuan ini ketemua dalam sehingga kelihatan tetap modis dan trendy. sebuah melting pot dunia: haji kita akan melihat warna warni hamba bermunajat Namun seiring dengan berkembangnya kepada Tuhannya, bukankah mukena adalah industri mukena dan lahirnya desainer- wasilah belaka? desainer yang kreatif, konsep aurat yang menjadi prinsip utama shalat tergerus karena [Ala’i Nadjib] Sumber Bacaan Ishom Yusqi dkk, Islam Nusantara (Jakarta: Pustaka STAINU) Jakarta, 2015 Akbar S Ahmad, Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Society, London;Routledge.1996 Wawancara dengan informan dari daerah daerah. 304 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Muktabar(ah) Sesuatu yang dapat dijadikan argumen kata ta’nis atau jamak taksir, maka disebut al- / penjelasan. Dalam tradisi NU, istilah mu’tabarah, seperti al-kutub al-mu’tabarah dan muktabar atau muktabarah ini dikenal al-tariqah al-mu’tabarah. dalam dua hal; pertama, kitab-kitab yang disebut dengan istilah al-kutubul mu’tabarah Dalam tarekat, disebut muktabarah itu (kitab-kitab muktabarah); dan kedua, adalah tarekat yang bersambung sanadnya tarekat, dengan nama al-tariqat al-mu’tabarah kepada Rasulullah Muhammad Saw. Nabi (tarekat muktabarah). Setiap kelompok atau Muhammad Saw. sendiri menerima dari organisasi Islam di dunia, disadari atau tidak, Malaikat Jibril As, dan malaikat Jibril As. dari sesungguhnya menggunakan juga istilah Allah Swt. Organisasi tarekat di NU, disebut muktabarah ini, hanya saja tidak disebut secara Jam’iyyah Ahl at-Tariqah al-Mu’tabarah al- eksplisit. Rujukan-rujukan terhadap buku Nahdliyyah (JATMAN). Berbeda dengan al- bacaan, tokoh panutan, dan aliran pemikiran kutub al-mu’tabarah tidak menggunakan al- tertentu selalu menggunakan kriteria tertentu nahdliyah. berdasarkan kesepakatan kelompok atau organisasinya. Batasan-batasan dengan Batasan Muktabarah muktabarah ini sesungguhnya lumrah dan lazim adanya untuk menghindari friksi dalam Seperti disebut dalam Kamus Istilah organisasi atau kelompok tersebut. Keagamaan (2015) istilah muktbarah ini terkait pada dua hal, yaitu aliran dalam tarekat Asal Usul Muktabarah dan kitab-kitab standar yang diakui dan isinya dianggap tidak menyimpang dari prinsip Dalam kamus Al-Munawwir karya Kyai ajaran Islam. Seperti disebut dalam beberapa Warson, kata al-mu’tabar diartikan yang kitab dan aliran dalam agama Islam, kalau berhak, layak dihormati, yang dianggap, tidak selektif memang dapat menyesatkan diperhitungkan dan dipertimbangkan. Oleh atau menjerumuskan umat. karena kata al-mu’tabar disandingkan dengan Jika kitab dan aliran dalam Islam tidak masuk kategori muktabar(ah), bukan berarti aliran dan kitab itu tidak boleh diikuti atan menjadi bacaan. Sebab, istilah muktabar(ah) hanya untuk pembatasan spesifik bagi kelompok-kelompok terbatas. Diakui atau tidak, sebenarnya, setiap kelompok atau organisasi keagamaan itu telah membatasi diri dari kitab-kitab yang diakui sebagai bacaannya. Bagi kelompok tertentu, misalnya, kitab fiqh karya orang Syi’ah tidak boleh dibaca, sekalipun kelompok ini tidak pernah menggunakan istilah muktabar(ah). Edisi Budaya | 305

Sejarah Kata Muktabarah Desember 1983. Adapun tarekat muktabarah nahdliyah sendiri diputuskan pada Muktamar Oraginasasi kelompok agama di Indonesia NU ke-26 di Semarang, 5-11 Juni 1979. yang secara khusus menyebut istilah kitab- Saat itu, KH. Sahal Mahfudh sebagai salah seorang pemimpin sidang pada kitab muktabar(ah) dan tarekat muktabarah Muktamar tersebut pernah menentang pendapat terkait dengan kitab-kitab mu’tabar adalah Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu tersebut. Pertama, kriteria muktabar yang mengunggulkan pendapat imam tertentu organisasi Islam tertua di Indonesia tersebut, dan merendahkan pendapat yang imam lain, sudah menyalahi kaidah al-ijtihad la yunqadhu menyepakati pengistilahan tersebut melalui bi al-ijtihad. Kedua, semestinya gunakan kaidah khudz ma shafa wa da’ ma kadara mekanisme organisasi, (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh). Namun, para kyai pada saat itu, lebih menggunakan sikap syaddan li adz-dzari’ah (preventif), supaya umat tidak terjerumus, maka kitab-kitab seperti yang mengkritik tawassul, praktik tarekat, antara lain Ibnu Taimiyyah atau Ibnul Qayyim sebaiknya dilarang. Ketiga, perlu dihindari fanatisme bermadzhab, juga kitab-kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan sunni. Keempat, perlu tetap dipertimbangkan latar budaya masyarakat bisa diterima oleh semua komunitas yang majemuk. Masa Depan Term Muktabarah Istilah muktabar(ah) adalah istilah seperti Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Muktamar NU tingkat Pengurus Besarnya, PBNU. Kitab-kitab Muktabarah di NU disebut dengan Al- kutub al-mu’tabarah fi masa’il al-diniyyah, yaitu kitab-kitab ‘ala al-mazhab al-arba’ah. Demikian disebut dalam hasil keputusan Munas Alim Ulama PBNU di Situbondo, 21 Habib Luthfi bin Yahya, dalam Musyawarah Nasional Jatman 2015 di Kalimantan Timur 306 | Ensiklopedi Islam Nusantara

yang netral, dan setiap kelompok organisasi termasuk tarekat tua di Indonesia adalah di keagamaana juga berhak menggunakannya antaratarekatyangmuktabarah.Perkembangan di manapun. Secara fitrah, setiap orang/ tarekat muktabarah di Indonesia mutakhir kelompok dengan sendirinya akan memilih memang hanya melalui JATMAN PBNU saja, dan menentukan jenis kitab-kitab apa saja yang terlihat eksistensinya. Kharisma Ketua yang sesuai dengan diri/kelompok tersebut. Umumnya KH. Habib Muhammad Luthfi bin Yahya di JATMAN sungguh sangat memesona Bagi kitab-kitab Muktabarah di NU selalu bagi para pengikut tarekat. Dalam JATMAN mengacu pada Imam Mazhab, jika berkaitan sudah ada cerita/kategori tentang muktabarah dengan fikih Islam, yakni Imam Malik, Imam atau tidak. Akhirnya, dengan JATMAN, silsilah Syafi’i, Imam. Hanafi, dan Imam Hanbali, serta tarekat dan ajarannya semakin berkembang para pengikutnya, seperti dalam sebutannya, pesat lagi di Indonesia. Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah. [Mahrus el-Mawa] Adapun dalam tarekat sendiri, sekurangnya, tarekat Syatariyah misalnya, Sumber Bacaan El-Mawa, Mahrus, dkk. Kamus Istilah Keagamaan: (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu). Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khasanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2015 Ni’am, Syamsun. Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011 Masyhuri, Aziz. (editor). Permasalahan Thariqah: Hasil Kesepakatan Muktamar & Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama’, Surabaya: Khalista, 2006, cet. II. Masyhuri, Aziz. Enskiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, Surabaya: Imtiyaz, 2011. Mulyati, Sri(et.al.), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004 Tim PW LTN NU Jatim, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (192602004), Jawa Timur: Khalista, 2007. Cet. III. Edisi Budaya | 307

Munggah Molo Omah atau dalam bahasa Jawa omah, berhubungan dengan alam “yang lain”. adalah bagian dari ruang budaya Sesajian dalam hal ini dapat dilihat sebagai yang paling diakrabi manusia media berkomunikasi dengan Sang Pencipta dalam meniti kehidupan. Bagian dari adat Jagad Raya ini (Purwadi, 2005: 103). Maka nusantara yang dikemas dalam adat religi tradisi Munggah Molo perlu dipahami dalam dan budaya telah melahirkan berbagai ritual konteks kosmologi Islam Jawa sebagai warisan yang mencerminkan kedalaman batin dari Islam nusantara. warganya. Hal ini juga tercermin dalam prosesi omah-omah (mendirikan rumah), yang Pelacakan Makna dan Perkembangannya salah satu tahapannya adalah ritual munggah molo, yakni tahapan setelah buka pendemena Munggah molo adalah ritual selamatan (pondasi), saat kayu-kayu penyangga akan yang mengiringi dinaikkannya atap tertinggi dinaikkan. dari rumah yaitu bagian atas/atap (bubungan rumah) yang sedang dibangun. Ritual adat Munggah molo menjadi salah satu wujud ini diselenggarakan ketika bagian-bagian upacara tradisional khususnya di Jawa. Orang bangunan yang mengelilingi rumah atau Jawa tidak ingin kehilangan momentum dinding sudah berdiri tegak dan berbagai atas suatu peristiwa atau momen yang ragam kayu penyangga genting dan joglo sangat penting bagian dari hidupnya yang di pencu siap untuk di pasang (Said, 2012: 90); dalamnya sarat simbol dan makna yang patut Ula, 2010; 4). jadi tuntunan. Simbol memiliki peranan yang penting dalam sebuah upacara atau ritual Jawa Ritual munggah molo sering disebut bagi umat Islam. Bahkan ritual-ritual dalam dengan munggah kayu (menaikkan kayu molo). tradisi Jawa tersebut bisa berfungsi sebagai Dari bahasa Jawa munggah berarti “naik”. alat penghubung antar sesama manusia juga Dalam tradisi munggah molo, naik disini bisa befungsi sebagai penghubung antar berkaitan dengan menaikan tiang tertinggi manusia dengan benda dan antar dunia nyata untuk atap rumah yang sering disebut sebagai dengan dunia gaib (Purwadi, 2005: 126). ”blandar”. Simbol dari kata ”munggah” dalam upacara munggah molo adalah peningkatan Apalagi dalam ritual Munggah Molo kualitas makna hidup seseorang, yakni juga sarat dengan simbol-simbol dalam calon pemilik rumah sekeluarga. Sementara perlengkapan upacara, yang diwujudkan bahasa Jawa molo diambil dari kata ”polo dalam bentuk sarana material khas Jawa (kepolo)” yang berarti kepala. Ada juga yang yang tak terpisahkan dari sebuah tradisi mengartikan juga sebagai ”otak”. Sementara upacara tersebut. Kesalahan atau kekurangan molo sendiri diartikan sebagai bagian tertinggi perlengkapan dalam suatu ritual Jawa dari sebuah rumah. Seperti disebutkan tadi, dianggap kurang sempurnanya suatu proses kata molo berasal dari kata polo yang berarti upacara yang berdampak pada maksud dan ”otak” merupakan bagian anatomi tubuh yang tujuan penyelenggaraan upacara tidak tercapai paling atas dan terpenting sehingga manusia secara utuh. Sebagai makhluk spiritual, bisa memiliki kemampuan berpikir yang manusia selalu berusaha mencari jalan untuk 308 | Ensiklopedi Islam Nusantara

membedakannya dengan makhluk lain (Ula, Prosesi Pemasangan Uba Rampe 2010: 7). Demikian juga molo dalam konstruksi Munggah Molo rumah adalah bagian yang inti atau pusat yang perlu diperhatikan karena akan terkait dengan Gambar 2 (Sumber: dwialfirohmatin.web.unej.ac.id/): kekokohan sebuah rumah. Baik kokoh secar lahir maupun batin. adalah pendidikan di rumah (keluarga) Namun berbeda ketika zaman seudah berubah, tentu Rumah yang kokoh secara lahir adalah ada pergeseran dan penyesuaian akan terjadi. ketika konstruksi bangunan mengguanakan bahan bangunan terpilih, termasuk ketika Maka agar keberadaan rumah tersebut menggukan kayu, bukan sembarang kayu, nantinya biar benar-benar mampu membawa kalau perlu kayu jati, dalam pengertian keberkahan dan menaikkan derajat sosial “sejati” yang dianggap bermutu tinggi. Ibarat dan spiritual dalam hidup bermasyarakat, peribahasa “tak ada rotan, akar pun jadi”. maka dianggap perlu melakukan ritual Artinya tidak harus dipaksakan, kalaupun munggah molo yang substansinya adalah beaya tidak bisa mencukupi, sehingga tidak bisa sebuah kesadaran transendental dengan menggunakan kayu jati, prinsip menggunakan berdoa penuh ikhlas agar impian dan harapan kayu terpilih selain jati yang tumbuh dari segera tercapai. Kalaupun kemudian dalam kebun atau pekarangan juga dimungkinkan. prakteknya memanfaatkan ubo rampe (barang- Zaman kuno sudah kebiasaan ketika ingin barang khusus), itu hanyalah sebagai wujud membangun rumah, biasanya kayu-kayu yang cara komunikas kepada Sang Pencipta dengan dipergunakan adalah dari pekarangan sendiri menjadikan ubo rampe sebagai bahasa simbolik yang ditanam oleh nenek moyangnya. Dimana dalam sistem komunikasi khas Jawa. ada penebangan pohon karena misalnya untuk pembangunan, maka dibarengi dengan Maka perlu dipahami dengan ngelmu menanam pahon lain sebagai tambal sulam rasa. Ngelmu rasa yang paling tinggi adalah dari pohon yang ditebangi. Ini adalah wujud rasa tauhid, yakni ilmu tentang keEsaan menjaga keseimbangan lingkungan. Tuhan, suatu proses kepada penemuan kepada kegaiban Tuhan (Endraswara, 2016: 132). Sementara rumah yang kokoh secara batin Dalam tasawuf sering disebut ma’rifatullah adalah rumah yang mampu berfungsi sebagai atau manunggaling kawuli ing Gusti dalam media pemagangan kultural atas nilai-nilai sufisme Jawa (Endraswara, 2016: 230). Maka Islam yang dipentaskan dalam relasi sosial antar ritual munggah molo dalam pengertian itu, anggota keluar dan lingkungan sekelilingnya. dapat dipahami sebagai jalan ma’rifat dalam Menjadikan rumah sebagai madrasah (tempat mementaskan rumah hunian yang sedang belajar) bagi anggota keluarga dan masyarakat didirikan tersebut agar benar-benar menjadi sekitar. Maka ada sebagian orang Jawa yang media kasampurnan, menuju tatanan hidup menyebut omah atau rumah sebagai pondokan. keluarga yang lebih sempurna. Sekelompok orang Jawa kuno yang menyebut omah sebagai pondokan benar-benar berfungsi sebagai wahana pewarisan nilai-nilai budi pekerti yang adiluhing yang dipegang teguh oleh para leluhurnya. Bahkan mereka sudah merasa cukup mencerdaskan putra-putrinya di pondokan alias di rumah saja, sehingga tak merasa penting menyekolahkan putra- putrinya ke sekolah formal (Said, 2012). Pola pondokan seperti ini ketika sudah benar-benar bisa berfungsi sebagai pendidikan keluarga yang kokoh, tidak perlu lagi sekolah formal. Apalagi pendidikan pertaman dan utama Edisi Budaya | 309

Aneka Ubo Rampe dan Pesan Simbolik Ingkung ayam jago dan tumpeng Begitu dalamnya makna omah-omah, Gambar 3 (Sumber: gedangsari.com) maka proses mendirikan omah itu laksana punya gawe besar sehingga setiap tahapan ayam jago juga sarat dengan pesan, agar proses mendirikan atau membangun rumah dalam berumah tangga siap menjaga ada ritual dengan prosesi dan pesan tertentu. kesetiaan atau rukun hingga akhir hayat. Beberapa peralatan (ubo rampe) munggah molo Hal ini tentu tidak seperti ayam jago yang dalam mendirikan rumah itu antara lain: berganti-ganti pasangan, bahkan ketika bobon pasangannya sedang angkrem, (a) Klebet (bendera) warna merah putih si jago tega-teganya mencari babon lain sebagai wujud kesadaran kebangsaan untuk memenuhi nafsu syahwatnya. dalam membangun rumah tangga adalah Maka nafsu kejagoan seperti itu harus bagian dari keluarga besar Indonesia. diikat atau dikendalikan agar dalam Warna merah menunjukkan perlunya mengarungi bahtera rumah tangga di keberanian dalam mengambil keputusan rumah baru tersebut penuh dengan berumah tangga dengan tetap pada jalan harmoni sebagai bagian dari falsafah yang benar yang disimbolkan dengan hidup Jawa (Endraswara, 2016: 38). warna putih. (e) Tumpeng dengan tujuh lauk-pauk: Tumpeng (b) Tebu beserta daunnya yang bermakna yaitu penyajian nasi beserta lauk-pauknya anteping kalbu, yaitu kuatnya niat dan dalam bentuk kerucut seperti gunung. terbebas dari keraguan bahwa samudara Olahan nasi untuk tumpeng umumnya kehidupan harus segera dilalui dengan berupa nasi kuning, meskipun sering penuh optimisme meskipun ancaman juga menggunakan nasi putih biasa badai tetap ada. atau nasi uduk. Penyajian tumpeng biasanya di atas tampah (wadah bundar (c) Anak pisang satu batang, sebagai simbol tradisional dari anyaman bambu) dan tunas yang mudah tumbuh-berkembang. dialasi daun pisang. Tumpeng merupakan Karena itu diharapkan rumah tersebut akronim dalam bahasa Jawa : yen metu menjadi saran menumbuhkembangkan kudu sing mempeng (bila keluar harus generasi yang baik antara lain adanya dengan sungguh-sungguh). Disamping fungsi peturon. itu tumpeng juga mirip gunung merapi yang banyak ditemukan di Jawa. Dalam (d) Setandan pisang raja yang sebagian sudah kosmologi Jawa, puncak gunung sebagai matang; sebagai perlambang pentingnya sudut tertinggi adalah simbol kesadaran kepemimpinan (raja) yang tegas dalam spiritual, sementara dua sudut bawah keluarga yang harus dipatuhi oleh segenap adalah relasi manusia dengan alam yang anggota keluarga selagi pada jalur jalan tunduk kepada Sang Pencipta. Sedangkan yang benar. (e) Padi dua unting (ikat): sebagai perlambang kemakmuran agar mendapatkan kemurahan rizki dari Yang Maha Memberi Rizki sehingga terpenuhi sandang pangan. (f) Ingkung. Ingkung adalah salah satu ubo rampe dalam ritual Jawa yakni berupa ayam jago kampung yang dimasak utuh dan diberi bumbu opor, kelapa dan daun salam. Ingkung ada yang memaknai “ingkar” (mengingkari atau menjauhi). Artinya mengingkari dan menjauhi sifat- sifat sombong sok jagoan. Keberadaan 310 | Ensiklopedi Islam Nusantara

tujuh lauk mengambil makna angka tujuh melimpah kepada segenap keluarga lain di yang dalam bahasa Jawa disebut pitu rumah (Ula, 2010: 5). sebagai sebuah harapan akan pitulungane Gusti Allah. Makna tersebut dalam Islam Sementara pada pagi harinya perlengkapan Jawa sering diambil dari QS. Al Isra: yang lain seperti pisang raja, seonggok padi 80: “Ya Tuhan, masukanlah aku dengan yang sudah menguning dan seikat tebu, sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah kesemuanya diikat dan digantungkan pada aku dengan sebenar-benarnya keluar serta kayu blandar. Dalam hal ini blandar-nya dihias jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku dengan ubo rampe tersebut, lalu dinaikkan dan yang memberikan pertolongan” (Pustaka dipasang pada posisinya. Sementara di tengah- Ilmu Sunni Salafiyah, 2015: 934). Mak tengah kayu tersebut dibungkus dengan kain berbagai kegiatan yang menggunakan merah putih (seperti bendera Indonesia) tumpeng, termasuk tradisi munggah molo, sebagai wujud kesadaran bagian dari keluarga juga bagian dari slametan yang disebut Indonesia. tumpengan. Warna putihnya sebagai simbol kesucian (g) Paku emas: Emas ada logam mulia. Paku dan sekaligus kebajikan yang senantiasa emas kuno dulu bukan sembarang orang harus diperjuangkan dalam meniti hidup yang membuat, tetapi seorang empu di rumah yang sedang dibangun tersebut. yang memiliki kemuliaan budi pekerta Sehingga di rumah tersebut nantinnya bukan (Ula, 2010: 6). Sebagaimana sifat emas sekedar tempat untuk tidur (istirahat), tetapi juga yang mulia juga melambangkan budi sebagai wahana dalam memperjuangkan perkerti manusia yang luhur, bijak, serta kebajikan sehingga rumah benar-benar bisa jujur. meneduhkan bagi keluarga dan mampu menfasilitasi terajutnya kebahagian di dunia Makna Proses Upacara Munggah Molo dan akhiratnya. Sehingga rumah menjadi surga bagi penghuninya. Prosesi Munggah Molo biasanya dilaksanankan pada hari yang dianggap baik Sementara seikat padi yang juga turut oleh orang pinter. Maka penentuan hari juga diikatkan pada kayu menandakan sebuah konsultasi dengan para sesepuh di kampung harapan agar rumah tersebut nantinya tersebut. Pelaksanaannya biasanya malam memperlancar bagi penghuninya dalam hari dengan mengundang mengundang para mencari nafkah (golek pangupa jiwa) sebagai tetangga sekitar rumah, termasuk para tukang prasarat dalam mempertahankan hidup, yang mengerjakan membuat rumah, serta sehingga penghuninya tidak akan kekurangan tidak lupa para sesepuh, atau Kiai kampung pangan dan selelu dalam kecukupan. Maka sebagai ”kidung” yang berarti ”kiai ndunga” ketika padi disandingkan dengan merah putih, atau kiai berdoa. hal ini menjadi sebuah visi berhuni yang Kalau jaman dahulu kidung diisi dengan Suasana doa bersama dalam Ritual Munggah Kayu kidung (lagu) dan puji-pujian, sekarang biasanya diisi dengan tahlilan, solawatan, Gambar 1 (Sumber: dwialfirohmatin.web.unej.ac.id/) atau manaqiban. Manaqiban yang biasa dibaca adalah manaqiban Syekh Abdul Qodir Jailani dengan seperangkat ayam ingkung dan ubo rampenya. Setelah doa selesai salah seorang memotong-motong ayam yang kemudian dimasukan ke piring atau bungkusan daun pisang. Sebagian biasanya dinikmati di tempat, dan ketika pulang juga tetap dibawakan bagian untuk keluarga di rumah. Agar berkahnya juga Edisi Budaya | 311

saling melengkapi bahwa rizki (pangan) yang atau menanamkan benih-benih (simbol pohon didapatkan nantinya hendak diorientasikan tebu dan tunas pisang) kabajikan (putih) meski pada penegakan kebajikan (putih) meski hambatan dan rintangan akan menghadang dengan butuh semangat perjuangan yang sehingga butuh kobaran api perjuangan membara (merah). (simbol warna merah). Sementara pohon tebu segar yang masih Yang tidak lupa adalah ada pemasangan berakar dan berdaun serta anak pisang yang paku emas, pada kayu blandar. Dalam istilah turut dikat pada kayu juga sebagai penanda Jawa ”blandar” juga dipahami sebagai bos atau bahwa pendirian rumah disadarai dengan juragan yang sangat berperan bagi anggota tekad yang kuat (anteping kalbu, dilambangkan anak buahnya. Sebagaimana fungsi blandar tebu) dan sekaligus isyarat awal penanaman dalam rumah juga penyangga utama yang bibit positif (hal-hal yang baik) bagai tebu berhubungan dengan kekokohan bagian- yang berakar dan berdaun sehingga tinggal bagian rumah sehingga kuat secara lahir dan menancapkan pada lahan yang sudah batin (Said, 2012). Kayu ini biasanya lebih disiapkan. Rumah adalah sebagai lahan besar dari kayu yang lainnya, karena menjadi (wahana) atau dalam bahasa Jawa sebagai tumpuan dari kayu-kayu yang lainnya. kawah candradimuka bagi generasi bangsa Pemasangan paku emas di blandar sebagai agar mampu menumbuhkan kader-kader yang lambang kemuliaan agar rumah tersebut bervisi merah putih. menjadi hunian dan sebagai pusat pemagangan kultural bagi anggota keluarganya agar Kombinasi wujud tebu yang berdaun dan “terpaku” nilai-niai moral yang baik menuju berakar, seikat padi dan dan kain merah putih pribadi yang berkahlak mulia sebagai sifat adalah ekspresi simbolik dalam ritual munggah emas yang mulia. Itulah bagian dari upaya kayu agar penghuninya selalu ingat visi memperkuat dimensi batin dari rumah itu. hidup dalam berhuni di rumah bahwa hidup Sehingga sempurnalah rumah yang dihuni bukanlah untuk makan saja, tetapi makan diharapkan menjadi pusat pemagangan adalah sekedar untuk mempertahankan hidup. kultural dalam dimensi lahir maupun batin. Sementara kehidupan yang bernilai tersebut harus diorientasikan untuk menumbuhkan [Nur Said] Sumber Bacaan Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta: Cakrawala Purwadi. (2005). Upacara tradisional Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah. (2015), Kumpulan Tanya Jawab Keagamaan, Jogja: PISS-KTB. Said, Nur, (2012b). “Strategi Saminisme Dalam Membendung Bencana Perlawanan Komunitas Sedulur Sikep terhadap Rencana Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo Pati,” dalam Agama, Budaya dan Bencana, Kajian Integratif, Ilmu, Agama dan Budaya, Bandung: Mizan. Said, Nur. (2012). Tradisi Pendidikan Karakter dalam Keluarga, Tafsir Sosial Rumah Adat Kudus. Kudus: Brillian Media Utama. Ula, Miftahul. (2010). “Tradisi Munggah Molo Dalam Perspektif Antropolagi Linguistik”, dalam Jurnal Penelitian, Volume 7, Nomor 2, Nopember 2010 312 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Muqoddaman Muqoddaman adalah sebuah tradisi sanah, dan perpisahan. Sehingga, sekalipun pembacaan Al-Quran di daerah sebagai sebuah istilah itu independen, tetapi Jawa bagian tengah, terutama dalam praktik di masyarakat selalu ada di Yogyakarta. Tradisi ini serupa dengan kegiatan lain. Oleh karena itu cakupan istilah khataman atau khatmil Qur’an, yaitu muqaddaman tidak dapat dipisahkan dengan pembacaan Al-Qur’an hingga (khatam) 30 juz, aktifitas lainnya. baik bin nadhar (membaca) maupun bil gaib (hafalan). Dalam membaca atau menghafal Al- Konteks Muqaddaman Qur’an tersebut, seringkali juga didengarkan oleh umat Islam lainnya yang hadir. Oleh Sebagaimana penjelasan kata karena itu, muqaddaman, selain serupa dengan khataman Al-Qur’an, juga seringkali disebut muqaddaman sebelum ini, maka definisi dengan Semaan Al-Qur’an. Bagi umat Islam yang tidak ikut dalam muqaddaman, maka muqaddaman sesungguhnya tidak dapat dia hanya menyimak (semaan) Al-Qur’an saja. Pelaksanaan muqaddaman ini selalu dilakukan dilepaskan dari the living Qur’an. Umat Islam di awal sebelum acara-acara lain yang ikut serta, seperti mujahadah, halal bihalal, dan membaca Indonesia pada dasarnya berharap Al-Qur’an shalawat.Waktu pelaksanaan itulah seringkali sebagai pembeda dengan tradisi serupa, itu dapat diamalkan isi dan ajarannya dalam seperti tadarus, khataman, dan semaan. kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Arti Muqaddaman Muqaddaman sebagai tradisi pembacaan Al- Dalam kamus A Dictionary of Modern Written Arabic, disebutkan muqaddaman Qur’an secara kolektif sebelum acara atau diartikan in advance dan beforehand. Kedua kata tersebut bermakna sama, yaitu sebelum acara kegiatan dapat menjadi pintu masuk umat dimulai.Secara sosiologis, kata muqaddaman ini menjadi tradisi baru bagi umat Islam di Islam dapat mengamalkan isi kandungannya. Indonesia setelah tradisi-tradisi sebelumnya dalam pembacaan Al-Qur’an. Istilah selama Sebagai contoh kasus, kegiatan ini untuk tradisi pembacaan Al-Qur’an dengan muqaddaman di MAN Wonokromo Bantul bersama-sama masih terbatas dengan istilah Yogyakarta. Kegiatan muqaddaman ini tadarus, semaan, dan khataman. dilaksanakan oleh seluruh sivitas akademik MAN Wonokromo. Seperti diberitakan oleh Istilahmuqaddamandalampelaksanaannya selalui menjadi awal kegiatan-kegiatan yang menyertainya, seperti dies natalis, akhirus Edisi Budaya | 313

Bacaan Al-Quran akan mampu melembutkan hati. Siswa yang berhati lembut akan lebih mudah untuk diajak dan diarahkan ke jalan kebaikan.” website Kemenag Bantul, pemaknaan dan Sejarah Muqaddaman tujuan muqaddaman sebagai berikut: Tradisi muqaddman, sekalipun termasuk “Muqaddaman adalah kegiatan membaca tradisi baru tetapi bukan tradisi yang baru al-Quran secara bersama-sama, satu orang sama sekali. Sebab, tradisi serupa sebenarnya satu juz, hingga khatam 30 juz dalam satu sudah ada, seperti khataman al-Qur’an, waktu. Pagi itu, lantunan Al-Quran gemuruh, tadarus dan semaan Al-Qur’an. Muqaddaman menggema, membahana di kampus MAN tersebut menjadi tradisi menarik bagi umat Wonokromo. Setiap siswa dan guru seolah Islam di Yogyakarta, karena meramu istilahnya berburu penuh semangat untuk segera dengan menyertakan khataman dan semaan mengkhatamkan Al-Quran satu juz. Siswa Al-Qur’an. yang mampu khatam lebih cepat segera membantu teman lain yang masih kurang. Sekitar akhir tahun 1980an di Yogyakarta, Alhasil dalam waktu 45 menit siswa telah majlis Zikrul Ghafilin bimbingan KH. Hamim berhasil menyelesaikan bacaannya.” Jazuli (Gus Miek), kyai dari Pesantren Lirboyo Kediri, selalu mengadakan mujahadah secara “Kegiatan muqaddaman ini bertujuan rutin setiap bulan sekali. Dalam rangkaian untuk mendekatkan anak terhadap Al-Quran, mujahadah tersebut, semaan dan khataman Al- semakin mencintai Al-Quran, dan berakhlak Qur’an selalu menjadi kegiatan pembukanya. baik melalui barokahnya Al-Quran. Semangat Muqaddaman menjadi sejarah baru bagi kebersamaan turut memotivasi siswa untuk warga Yogyakarta, terutama kelas ekonomi lebih sering mengaji dan mengkaji Al-Quran. menengah muslimnya. Sebab, pada acara tersebut inisiatornya dimulai dari keluarga keraton Yogyakarta. Muqaddaman ini selaras dengan semaan Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an, dan tadarrus Al-Qur’an secara berjamaah/kelompok. Oleh karena itu, dengan istilah-istilah serupa tersebut, muqaddaman akan lebih fleksibel lagi. Belakangan, muqaddaman diselenggarakan di sekolah dan kampus perguruan tinggi. [Mahrus el-Mawa] 314 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Mursyid Sebutan untuk seorang guru pembimbing Perbedaan kata mursyid dalam tasawuf dengan dalam dunia tarekat yang telah mursyid dalam bahasa Arab yang biasa adalah memperoleh izin dan ijazah dari guru jika mursyid dalam tasawuf, selain menjadi mursyid di atasnya yang terus bersambung guru, juga menjadi pembimbing di dunia sampai kepada guru mursyid shahibut untuk menuju kehidupan akherat yang abadi. tarekat yang muasal dari Rasulullah Saw. Sehingga, antara mursyid dan murid, akan untuk mentalqinkan dzikir/wirid tarekat terjalin hubungan bukan sekadar guru-siswa, kepada orang-orang yang datang meminta tetapi juga pembimbing sipiritual. bimbingannya (murid). Setiap tarekat mempunyai sebutan sendiri, seperti dalam Sisi lain Term Mursyid tarekat Tijaniyyah dengan sebutan muqaddam. Sanad mursyid ini sejajar disamakan dengan Kehadiran mursyid atau guru sangat wali Allah yang harus sampai kepada Rasulullah penting bagi seorang murid dalam laku Saw. Oleh karena itu mursyid mempunyai tarekat. Murid artinya orang yang telah kedudukan penting dalam tarekat. Mursyid membulatkan kemauan untuk memasuki bukan sekadar guru biasa, seperti guru pada jalan. Pada saat itulah murid perlu seorang sekolah atau madrasah saja, sebab bukan pemandu yang menuntunnya melalui hanya mengajarkan ilmu dhahir, ilmu duniawi, berbagai persinggahan dan menunjukkan arah tetapi juga ilmu batin dan ilmu ukhrawi yang tujuannya. Terdapat beberapa sebutan mulia diperolehnya. Mursyid ini juga mempunyai yang diberikan kepada mursyid ini antara lain silsilah kemursyidan hingga Rasulullah Saw. nasik, ‘abid, imam, syaikh, sa’adah. Nasik adalah Dalam konteks Islam Nusantara, mursyid di orang yang sudah bisa mengerjakan mayoritas sini berkaitan dengan tasawuf dan tarekat. perintah agama. ‘Abid adalah orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadah. Imam Arti Leksikal Mursyid adalah orang yang ahli memimpin tidak saja dalam segala bentuk ibadah syari’ah, tetapi Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia, Al- juga dalam masalah ‘aqidah/keyakinan. Syaikh Munawwir, karya Kyai Warson, kata mursyid adalah orang yang menjadi sesepuh atau yang berarti penunjuk, pemimpin, pengajar, dan dituakan dari suatu perkumpulan. Sa’adah instruktur. Keempat arti leksikal tersebut adalah penghulu atau orang yang dihormati adalah makna lain dari seorang guru atau dan diberi kekuasaan penuh. syaikh. Dalam kamus Arab-Inggris, mursyid juga diartikan leader, guide to the right way, Dalam kitab Tanwirul Qulub fi Mu’amalat adviser, spiritual guide, informer, grand master. ‘Allam al-Guyub, mursyid/syaikh adalah orang Secara leksikal kata mursyid dijelaskan pula yang sudah mencapai maqam rijal al-kamal; sebagai orang yang menunjukkan ke jalan yang seorang yang sudah mencapai sempurna suluk/ benar, guru agama, seperti dijelaskan dalam lakunya dalam syariat dan hakikat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’. Seorang mursyid diakui keabsahannya itu sebenarnya Selain istilah mursyid ini, digunakan tidak boleh dari seorang yang bodoh, yang juga dengan istilah syaikh dan muqaddam. hanya ingin menduduki jabatan itu karena Edisi Budaya | 315

didorong hawa nafsu belaka. 6. Mampu menjaga jarak pergaulan, seperti dalam bercengkerama dan bersenda gurau Seorang mursyid juga boleh melarang dengan para muridnya. Hal itu berkait sebagian muridnya untuk menerima bai’at erat dengan bimbingan kepada muridnya dari mursyid lainnya, jika dalam melarang itu dalam beribadah kepada Allah Swt. untuk mengarahkan kepada kemaslahatan dengan amalan-amalan yang baik seorang murid. Dalam istilah lainnya, mursyid tidak boleh lengah dalam membimbing 7. Mengusahakan agar segala perkataannya murid-muridnya kepada apa yang menjadikan bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, kebaikan bagi diri mereka. Seorang mursyid terutama kata-kata yang dapat memberi tidak boleh mengajarkan dan memba’iat para pengaruh batin muridnya. murid tanpa mengajarakan ilmu-ilmu syariat, jika sebagian murid masih dalam keadaan 8. Bijaksana, lapang dada, dan ikhlas. bodoh, dan di tempat itu tidak ada orang yang mengajar dia tentang ilmu-ilmu syariat. 9. Memberikan petunjuk-petunjuk Artinya, ilmu syariat menjadi ilmu yang harus menyatu pada seorang mursyid. tertentu dan pada kesempatan tertentu Pentingnya Mursyid memperbaiki ahwal para muridnya Tidak ada satupun tarekat dalam ilmu 10. Memberikan perhatian yang khusus pada tasawuf tanpa seorang guru mursyid. Ada kebahagiaan rohani yang sewaktu-waktu tanggung jawab berat bagi seorang mursyid dapat timbul pada diri muridnya yang kepada muridnya. Seorang murid tidak dapat masih dalam bimbingan dan pengajaran menjalankan ajaran-ajaran tarekat, tanpa bimbingan seorang mursyid. Oleh karena itu, 11. Menjaga para murid supaya tidak takabbur seorang mursyid harus memiliki kriteria dan karena telah memperoleh wirid-wirid adab sebagai berikut: yang istimewa 1. Alim dan ahli di dalam memberikan irsyad 12. Mencegah para murid banyak makan, kepada muridnya dalam masalah syari’ah/ karena hal itu dapat memperlambat fiqh, dan tauhid/aqidah dengan sebenar- tercapainya latihan-latihan ruhani yang benarnya, sehingga tidak ada keraguan dia berikan kepada mereka. dari seorang murid 13. Tidak memalingkan muka ketika 2. Arifdengansegalasifatkesempurnaanhati, ada seorang atau beberapa muridnya etika, dan segala penyakitnya sehingga menemuinya. mengetahui cara menyembuhkannya kembali dan memperbaiki seperti semula Mursyid dan Konteks Saat ini 3. Bersifat belas kasih dan lemah lembut Dengan memahami istilah mursyid seperti terhadap semua orang Islam, terutama di atas, semestinya budaya baru tentang kepada mereka yang menjadi muridnya. belajar agama melalui searching di internet (mbah goegle) dan komunikasi melalui media 4. Mampu menyimpan rahasia para sosial yang berisi berbagi pengetahuan Islam muridnya, tidak membuka aib mereka di yang kadang tidak jelas sumbernya, haruslah depan khalayak. diakhiri. Sebab, belajar agama tanpa guru akan dapat menyesatkan pemahaman diri sendiri. 5. Mampu menjaga amanah para muridnya, seperti tidak menggunakan harta benda Pentinngya guru agama, seperti dalam mereka dalam bentuk dan kesempatan istilah mursyid ini harus menjadi pelajaran apapun serta tidak menginginkan apa bagi keilmuan di luar tarekat. Pada dasarnya, yang ada pada mereka belajar tarekat dalam Islam juga belajar agama secara umum. Sebab, tahapan-tahapan seorang mursyid dalam memberikan ilmu agamanya juga berangkat dari tauhid dan fikih, sebelum 316 | Ensiklopedi Islam Nusantara

kepada ajaran tarekat atau tasawuf (sufisme) Bidang akidah-akidah tauhid juga meliputi dalam Islam. tentang etika bermasyarakat, etika beragama, keyakinan terhadap Allah Swt., sifat-sifat- Dalam kitab Jami’ al-Ushul fi al-Awliya’ Nya, percaya kepada ketentuan yang belum disebutkan bahwa syarat mursyid adalah terjadi ataupun yang sudah terjadi. Semua ‘alim, orang yang ahli pengetahuan terhadap pengetahuan agama itu seorang murid akan kebutuhan murid, baik dalam bidang fikih, dituntun atau dibimbing oleh seorang mursyid. akidah-akidah tauhid, supaya murid tidak ragu-ragu sehingga benar-benar dapat Ketika persoalan akidah dan fikih memahaminya. Dengan demikian, dalam dianggap selesai, maka seorang mursyid akan tarekat, para murid tidak mungkin belajar meningkatkan pembelajaran ilmu keagamaan sendiri, tanpa bimbingan seorang mursyid. para muridnya melalui zikir-zikir untuk Bidang fikih adalah pengetahuan agama terkait lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan cara melaksanakan ibadah shalat, Pembelajaran zikir ini juga bertahap, sekalipun menunaikan zakat, pergi haji ke baitullah, bergantung dengan tarekat apa yang dipilih. hubungan manusia dengan manusia lain, dst. [Mahrus el-Mawa] Sumber Bacaan Jatim, Tim PW LTN NU. Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (192602004), Jawa Timur: Khalista, 2007. Cet. III. Munawwir, Ahmad Warson Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 cet. XIV Masyhuri, Aziz. (editor). Permasalahan Thariqah: Hasil Kesepakatan Muktamar & Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama’, Surabaya: Khalista, 2006, cet. II. _____. Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf. Surabaya: Imtiyaz, 2011 An-Naqsyabandi, Ahmad Mustafa al-Kamsykhanawi. Jami’ al-Usul fi al-Awliya’. Surabaya: Haramain, t.tt. Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. Penterj. Sapardi Djoko Dmono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009, cet. III. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic Arabic-English. Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah ‘Arabi- Inklizi. Beirut: Maktabah Lubnan, 1961. Edisi Budaya | 317

318 | Ensiklopedi Islam Nusantara

N Nazham Ngabsahi Ngelmu Ngrasul Nyadran



Nazham Secara umum, bentuk karya sastra tersusun itu iramanya menjadi terpola. di berbagai bangsa dan kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua jenis: Bertolak dari penggunaan kata naẓm prosa dan puisi. Meskipun demikian, dalam dalam tradisi kesusastraan Arab, Ya‘qūb (2010: kesusastraan Arab, kategorisasi mengenai apa 447) mendefinisikan naẓm sebagai ungkapan yang dapat dinilai sebagai puisi tampaknya berwazan dan bersajak. Ungkapan tersebut menyisakan persoalan tersendiri mengingat disusun dengan cara menjaga aspek metrum keberadaan dua bentuk ungkapan puitik dan keselarasan bunyinya. Sejalan dengan yang menurut konvensi kesusastraan Arab akar etimologis kata naẓm, yakni merangkai tampak serupa, namun tidak sama, yakni permata, Ya‘qūb mengibaratkan keteraturan naẓm dan syi‘r. Satu hal yang menarik, ungkapan dalam metrum dan keselarasan kedua istilah tersebut seringkali digunakan bunyi itu bagaikan untaian butiran kalung secara bergantian dalam setiap pembahasan permata (2010: 447). mengenai pembagian jenis ungkapan (kalām) yang berlaku dalam kebudayaan Arab. Dalam Jika diperhatikan, pengertian naẓm membagi jenis ungkapan tersebut, sebagian di atas tampak memperlihatkan sifat ahli menggunakan istilah na£r (prosa) yang umum yang dimiliki oleh ungkapan yang dihadapkan pada istilah naẓm (puisi), dan berbentuk naẓm, dalam arti mencakup semua sebagian yang lain menggunakan istilah na£r ungkapan yang berwazan dan bersajak tanpa yang dihadapkan pada istilah syi‘r. Oleh karena mempertimbangkan muatan isinya. Akan itu, dalam batas tertentu, tumpang-tindih tetapi, jika melihat konvensi yang berlaku dalam penggunaan kedua istilah tersebut dalam tradisi kesusastraan Arab, sifat umum memang tidak dapat dihindari. yang dimiliki naẓm tersebut ternyata tidak mutlak. Sebab, untuk ungkapan tertentu yang Secara etimologis, naẓm merupakan juga terikat oleh wazn dan sajak, kalangan bentuk maṣdar (nomina verba) dari kata kerja penyair dan kritikus sastra Arab tradisional naẓama, yang berarti mengatur atau merangkai justru menyebutnya sebagai syi‘r. permata. Adapun secara terminologis, menurut at-Tūnj, kata naẓm memiliki dua pengertian. Tidak berbeda dengan berbagai bangsa Pertama, sebagai istilah umum, kata naẓm lain di dunia, bangsa Arab sudah lama berarti menyusun kata dan kalimat dalam mengenal tradisi kesusastraan, baik dalam keteraturan makna dan signifikasinya. Kedua, genre prosa maupun puisi. Dari kedua genre sebagai istilah dalam kesusastraan Arab, kata sastra tersebut, puisi Arab yang dikenal dengan naẓm berarti penyusunan puitik; dalam arti istilah syi‘r merupakan genre sastra tertua yang menyusun kata-kata sesuai dengan pola puitik menempati kedudukan yang sangat penting tertentu. Pola puitik tersebut secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari orang Arab. Ibnu diikuti oleh pengarangnya menyangkut Khaldūn, seorang ahli sejarah kebudayaan kaidah-kaidah tertentu mengenai urutan Arab, menggambarkan kedudukan syi‘r kata dengan memperhatikan satuan irama dalam kehidupan orang Arab sebagai dīwān dan ketentuan rimanya. Dengan demikian, (buku catatan) yang berisi perbendaharaan jika kaidah-kaidah itu diikuti, ungkapan yang pengetahuan orang Arab. Melalui syi‘r orang Arab merekam berbagai peristiwa penting yang Edisi Budaya | 321

terjadi dalam kehidupannya serta memberikan syi‘r seperti yang diberikan oleh Ibnu Sina di penilaian terhadap peristiwa-peritiwa itu. pihaklain,membuatIbnuKhaldūnmemberikan pengertian dan batasan syi‘r yang tampaknya Secara etimologis, kata syi‘r merupakan mampu menyarikan berbagai pengertian syi‘r bentuk maṣdar (nomina verba) dari kata kerja yang diberikan oleh para kritikus sastra Arab sya‘ara, yang berarti mengetahui, merasa, sebelumnya. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldūn dan mengarang sebuah syi‘r. Adapun secara (t.t.:669) memberikan pengertian syi‘r sebagai terminologis, syi‘r tampaknya memperoleh ungkapan yang balīg yang didasarkan atas pengertian yang berbeda-beda di kalangan metafora dan sifat-sifat rinci yang unsur- ahli sastra Arab. Ibnu Qudāmah, misalnya, unsurnya bersesuaian dalam hal pola irama mendefinisikan syi‘r sebagai ungkapan yang dan persajakannya dan yang sesuai dengan berpola dan bersajak yang menunjukan stilistika Arab. suatu makna. Sejalan dengan pengertian syi‘r tersebut, Ibnu Qudāmah menjelaskan unsur- Jika dicermati, sepintas pengertian syi‘r unsur formal dari sebuah syi‘r, yakni lafal, yang diberikan oleh Ibnu Khaldūn di atas tidak makna, wazn (pola irama), dan qafiyah (sajak). secara lugas memasukkan imajinasi sebagai Dengan ketentuan dan batasan tersebut, salah satu unsur syi‘r. Akan tetapi, dengan berbagai ungkapan yang tidak berwazan dan memasukkan sifat balīg yang didasarkan atas tidak bersajak dengan sendirinya tidak dapat metafora yang susuai dengan stilistika Arab, dimasukkan sebagai syi‘r. secara tidak langsung Ibnu Khaldūn telah memasukkan imajinasi sebagai bagian dari Tidak banyak berbeda dengan Ibnu unsur syi‘r. Sebab, dalam perspektif retorika Qudāmah, Ibnu Rasyīq memberi batasan dan stilistika Arab, ungkapan-ungkapan bahwa syi‘r itu terdiri atas lafal, makna, metaforik merupakan perangkat bahasa wazn, dan qafiyah, di samping keharusan yang imajinatif (Syaraf dan Khafājī, 1987: adanya unsur niat. Menurut Ibnu Rasyīq, 26). Dengan demikian, dalam banyak hal, niat menjadi unsur penting bagi syi‘r karena pengertian syi‘r yang diberikan oleh Ibnu banyak ungkapan yang berpola dan bersajak Khaldūn tersebut tampak sesuai dengan serta mengandung makna, namun tidak dapat pengertian syi‘r yang diberikan oleh Ibnu Sīnā. disebut sebagai syi‘r; dalam hal ini, menurut Ibnu Rasyīq, adalah beberapa ayat Alquran dan Melihat berbagai pengertian syi‘r yang Hadis Nabi saw. diberikan oleh para kritikus Sastra Arab klasik di atas, beberapa kritikus sastra Arab modern, Semua pengertian dan batasan syi‘r di atas, seperti asy-Syāyib (1964: 298), Amīn (1967: 79), baik dari Ibnu Qudāmah maupun Ibnu Rasyīq, dan Farūkh (1981: 41) memberikan batasan tampak memperlihatkan penekanannya hanya bahwa tolok ukur syi‘r —di samping batasan- pada aspek formal syi‘r. Meskipun batasan syi‘r batasan formal— adalah kemampuannya yang diberikan oleh Ibnu Rasyīq di atas sudah dalam menggugah perasaan (emosi). Dengan mencakup aspek makna, akan tetapi batasan batasan tersebut, berbagai ungkapan yang makna yang dimaksud masih menyisakan berpola, bersajak, dan bermakna yang kering persoalan. Sebab, batasan makna seperti dari unsur emosi tidak dapat disebut sebagai itu dengan sendirinya dapat memasukkan syi‘r. Sebaliknya, berbagai ungkapan tersebut berbagai bentuk ungkapan yang mengandung disebut sebagai naẓm (asy-Syāyib: 1964: 298; ajaran ilmiah, seperti ilmu mengenai tata Amīn: 1967: 80; Farūkh, 1981: 41). Dengan bahasa, fikih, dan lain sebagainya ke dalam demikian, menurut ketiga kritikus tersebut, kategori syi‘r dengan syarat disusun dalam faktor pembeda antara syi‘r dan naẓm dalam ungkapan yang berpola dan bersajak. tradisi kesusastraan Arab tradisional adalah emosi. Kecenderungan formal dari pengertian dan batasan syi‘r yang diberikan oleh kritikus Tidak dapat dimungkiri, pembedaan sastra Arab semacam Ibnu Qudāmah dan Ibnu terhadap naẓm dan syi‘r yang dibuat oleh Rasyīq di satu pihak, dan keumuman cakupan para kritikus sastra Arab modern di atas jelas 322 | Ensiklopedi Islam Nusantara

sesuai dengan kenyataan yang berlaku dalam irama) tertentu dan qāfiyah (sajak). Dengan tradisi kritik sastra Arab klasik di satu pihak demikian, wazn dan qāfiyah merupakan dua dan tradisi penulisan kitab-kitab ilmiah di unsur terpenting yang membangun struktur dunia Arab-Islam di pihak lain. Dalam konteks puisi Arab tradisional. Tanpa adanya wazn dan tradisi kritik sastra Arab, meskipun pada qāfiyah, suatu ungkapan tidak dapat disebut tataran teoritis ada perbedaan pandangan sebagai puisi, namun sebagai prosa. mengeni pengertian dan batasan syi‘r di kalangan kritikus sastra Arab klasik, akan Dalam sistem prosodi Arab, wazn adalah tetapi, menurut Ibnu Khaldūn, pada tataran pola irama yang diikuti oleh penyair dalam praktis para kritikus sastra Arab klasik itu tidak merangkai kata demi kata dalam bait-bait mudah menilai semua jenis ungkapan yang puisi sehingga menciptakan keindahan berwazan dan bersajak sebagai syi‘r. Dalam hal akibat adanya keserasian, keselarasan, dan itu, menurut Ibnu Khaldūn (t.t.:669), naẓm kesimbangan rangkaian kata-kata yang karya al-Ma‘arrī dan al-Mutanabbī yang secara digunakan dalam puisi. Pola irama tersebut formal sebenarnya juga terikat pada sistem disusun atas dasar satuan-satuan irama yang prosodi puisi Arab sedikit pun tidak dapat disebut dengan taf ‘īlah dalam setiap bait puisi. dinilai sebagai syi‘r oleh para kritikus sastra Dalam tradisi perpuisian Arab tradisional, Arab klasik. Sementara itu, dalam konteks dikenal ada sepuluh satuan irama: fa‘ūlun, tradisi penulisan kitab-kitab ilmiah, seringkali mafā‘īlun, mufā‘latun, fā‘i lātun, fā‘ilun, fā‘ilātun, para pengarang kitab-kitab ilmiah itu terlihat mustaf ‘ilun, mutafā‘iilun, maf ‘ūlātun, dan secara sadar menyebut karya-karya ilmiahnya mustaf ‘ilun. yang ditulis dengan mengikuti kaidah prosodi Arab sebagai naẓm atau manẓūmah, bukan syi‘r. Satuan-satuan irama di atas yang diatur dengan pola tertentu menyangkut tinggi- Muatan ilmiah dalam naẓm di satu pihak rendahnya irama dalam puisi pada gilirannya dan keterikatan naẓm dengan kaidah-kaidah membentuk baḥr (metrum). Penamaan tinggi- prosodi sebagaimana yang berlaku dalam rendah pola irama dalam puisi Arab tradisional penulisan syi‘r Arab di pihak lain, membuat sebagai baḥr, yang secara harfiah berarti laut, beberapa kritikus sastra Arab, seperti ¬aif itu karena irama puisi Arab menyerupai tinggi- (1987: 318), Haddārah (1963:254) dan ar- rendahnya gelombang laut. Dengan demikian, Rāfi‘ī (1997:137) tetap memasukkan naẓm baḥr dalam puisi Arab tidak lain adalah pola sebagai bagian khazanah syi‘r Arab. Menurut irama yang terbentuk akibat keteraturan para kritikus tersebut, naẓm ilmiah merupakan satuan-satuan irama sesuai dengan tinggi- puisi didaktis (asy-syi‘r at-ta‘līmī) dalam tradisi rendahnya irama itu sendiri. Dalam tradisi kesusastraan Arab-Islam. Dalam konteks ini, perpuisisan Arab tradisional, baḥr atau naẓm ilmiah dimaksudkan untuk mengajarkan metrum yang berlaku jumlahnya mencapai 16: kepada manusia mengenai berbagai ilmu aţ-ţawīl, al-madīd, al-basīţ, al-wāfir, al-kāmil, pengetahuan dengan tujuan mempermudah al-hazj, ar-rajz, ar-ramal, as-sarī‘, al-munsariḥ, untuk dihafal. al-khafīf, al-mu«āri‘, al-muqta«ib, al-mujta££, al- mutaqārib, dan al-mutadārik. Berdasarkan uraian mengenai pengertian syi‘r dan naẓm di atas, dapat disimpulkan Dari sekian banyak baḥr yang berlaku bahwa perbedaan di antara syi‘r dan naẓm dalam perpuisisan Arab, tampaknya hanyalah terletak pada aspek isi: jika unsur baḥr rajaz merupakan baḥr yang paling yang dominan adalah emosi, maka disebut mudah penyusunannya dan paling sedikit dengan syi‘r, sedangkan jika unsur yang kesusaiannya dengan suasana perasaan. Oleh dominan adalah muatan ilmiah, maka karena itu, baḥr rajaz lebih sering digunakan disebut dengan naẓm. Adapun jika dilihat dari dalam naẓm yang unsur ilmiahnya dominan, aspek bentuk, baik syi‘r dan naẓm tampak atau yang dikenal dengan asy-syi‘r at-ta‘līmī. memperlihatkan adanya kesamaan, yakni sebagai ungkapan yang terikat oleh wazn (pola Secara historis, dari sekian banyak baḥr yang pernah berkembang dalam tradisi Edisi Budaya | 323

perpuisian Arab tradisional, baḥr rajaz yang digunakan berbeda. Rajaz dengan pola merupakan baḥr tertua, bahkan kemunculan persajakan ini dikenal dengan rajaz muzdawij baḥr tersebut seiring dengan kelahiran puisi (Anīs, 1965: 133-138). Arab itu sendiri. Meskipun demikian, dalam perkembangannya baḥr rajaz mengalami Selain wazn, sebagaimana dikemukakan di pembaharuan berkaitan dengan pola irama atas, unsur terpenting lain yang membangun dan rima bunyinya. Dalam hal itu, para struktur puisi adalah qāfiyah. Di kalangan penyair keturunan pada periode ‘Abbāsiyah ahli prosodi puisi Arab, qāfiyah merupakan memainkan peran penting dalam proses unit suara yang terletak di akhir bait puisi pembaharuan baḥr rajaz tersebut (Anīs, 1965: yang harus diulang di setiap bait puisi (‘Atīq, 127). 1987: 134). Oleh karena itu, jika huruf akhir yang terdapat pada syaţr kedua permulaan Sebagai baḥr tertua, dengan segala qaṣīdah berupa huruf nūn, misalnya, maka karakteristik yang dimilinya, baḥr rajaz semua huruf terakhir syaţr kedua di semua menempati kedudukan yang sangat penting bait qaṣīdah juga harus berupa huruf nūn. dalam kesustraan Arab, yang tidak terbatas Kesamaan huruf akhir bait qaṣīdah tersebut sebagai sarana ekspresi puitik, namun juga tidak hanya dalam segi jenisnya, namun juga sebagai sarana merekam berbagai pengetahuan segi hidup dan matinya huruf, termasuk jenis yang ada pada masa-masa pra Islam. Oleh harakatnya. Jika huruf akhir bait qaṣīdah karena itu, seiring dengan kemajuan dunia berupa nūn mati, maka semua bait qaṣīdah juga keilmuan Islam, tidak mengherankan jika baḥr harus diakhiri dengan huruf nūn mati. Jika rajaz menjadi pilihan utama para ilmuwan akhir bait qaṣīdah berupa huruf hidup dengan muslim untuk menazamkan berbagai disiplin harakat tertentu, maka semua akhir bait harus ilmu pengetahuan. diakhiri dengan huruf hidup dengan harakat yang sama dengan harakat huruf akhir bait Dari segi pola irama, ada tiga variasi yang terdapat di permulaan qaṣīdah. Dengan pola irama baḥr rajaz. Pertama, rajaz tāmm, demikian, pembahasan qāfiyah dalam puisi yaitu rajaz yang satuan iramanya ada enam: Arab selalu berpusat pada huruf dengan mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun – berbagai kondisinya (‘Atīq1987: 135). mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun. Kedua, rajaz mukhtaṣar, dalam hal ini ada tiga jenis. Dalam prosodi Arab, qāfiyah terbentuk Rajaz majzū’, yaitu rajaz yang satuan iramanya dari huruf dasar yang yang menjadi pusat ada empat: mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun – qāfiyah itu sendiri. Dalam koteks ini, ada enam mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun, kedua, rajaz masyţūr, huruf yang dapat dijadikan pusat qāfiyah: rawī, yaitu rajaz yang satuan iramanya ada tiga: waṣal, khurūj, radif, ta’sīs, dan dakhīl. Rawī mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun – mustaf ‘ilun, dan adalah huruf shahih selain huruf huruf ha yang rajaz manhūk, rajaz yang satuan iramanya ada terletak di akhir bait puisi; waṣal adalah huruf dua: mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun (‘Atīq, 1987: 72). layyin yang timbul akibat pemanjangan harakat rawī; khurūj merupakan huruf mad yang muncul Dilihat dari segi pola persajakan, rajaz akibat pemanjangan harakat ha waṣal; radf mengenal tiga pola persajakan. ada tiga jenis. merupakan huruf mad yang terletak setelah Pertama, pola persajakan seperti kebanyakan rawī; ta’sīs merupakan huruf alif sebelum rawī puisi yang menggunakan baḥr selain rajaz, yang dipisah oleh satu huruf; dakhīl merupakan dalam arti hanya bait pertama yang setiap huruf hidup yang memisahkan ta’sīs dan rawī akhir bagian bait sajaknya sama, sementara (al-Baḥrāwī, 1993: 86). Dari keenam huruf bait-bait berikutnya hanya tiap syatr kedua tersebut, rawī merupakan huruf qāfiyah yang yang terikat oleh sajak. Kedua, rajaz yang terpenting. Sebab, rawī merupakan huruf setiap syaţr di setiap bait puisi terikat oleh yang dijadikan dasar bangunan qaṣīdah dan satu sajak. Ketiga, pola persajakan yang sekaligus dasar penamaan qaṣīdah. Oleh mengikat setiap syaţr bait puisi dengan qāfiyah karena itu, jika rawī dalam satu qaṣīdah berupa yang sama, namun di setiap bait puisi qāfiyah huruf nūn, misalnya, maka qaṣīdah itu disebut 324 | Ensiklopedi Islam Nusantara

dengan qaṣīdah nūniyyah (Syaraf dan Khafājī, tradisi sastra yang berasal dari bangsa-bangsa 1987:234). tersebut sedikit-banyak membawa pengaruh terhadap kesusastraan Arab. Haddārah (1963: Dalam sejarah perkembangan 354), misalnya, berasumsi bahwa orang Arab baru mengenal jenis syi‘r ini seiring dengan kesusastraan Arab, perkembangan asy-syi‘r at- masuknya berbagai pemikiran pada masa ‘Abbāsiyyah. Menurut Haddārah (1963:355), ta‘līmī itu seiring dengan kemajuan kehidupan dari berbagai kemungkinan adanya pengaruh dari luar, kebudayaan India tampaknya yang intelektual di dunia Arab-Islam. Akan tetapi, lebih memungkinkan membawa pengaruh terhadap kemunculan puisi didaktis tersebut yang menjadi pertanyaannya adalah kapan dalam tradisi kesusastraan Arab. Menurut Haddārah, pengaruh kesusastraan India asy-syi‘r at-ta‘līmī tersebut muncul dalam itu lebih dimungkinkan karena, pertama, orang Arab sudah lama mengenal tradisi tradisi kususastraan Arab, dan apakah puisi kesusastraan India, dan kedua, adanya kesamaan karakteristik antara kesusastraan didaktis tersebut memiliki akar dari tradisi Arab dan kesusastraan India, yakni kuatnya unsur mitologis dalam kedua tradisi sastra kesusastraan lain? tersebut. Selain itu, menurut Haddārah (1963:356), faktor lain yang juga memperkuat Tidak dapat dimungkiri, seiring perluasan kemungkinan tersebut adalah hubungan kekuasaan Arab-Islam, kontak kebudayaan antara Arab dan India yang semakin dipererat antara bangsa Arab dan bangsa lain memang oleh tradisi keilmuan India di bidang astronomi tidak dapat dihindari. Sebagai konsekuensinya, dan hisab, di samping juga oleh banyaknya kontak kebudayaan itu menimbulkan penyair keturunan yang berasal dari India pengaruh yang besar terhadap perkembangan sebagai dampak dari proses asimilasi rasial kebudayaan bangsa Arab. Berbagai bangsa antara India dan Arab. yang menjalin kontak kebudayaan dengan bangsa Arab, seperti Persia, Yunani, dan India, Berbeda dengan Haddārah, ¬aif (t.t.: merupakan bangsa yang memiliki peradaban 190; 1994: 246) justru berpendapat bahwa yang sangat tua. Oleh karena itu, masuknya asy-syi‘r at-ta‘līmī merupakan jenis puisi yang beberapa unsur kebudayaan dari bangsa- diciptakan oleh para penyair ‘Abbāsiyyah. bangsa tersebut ke dalam kebudayaan Arab Pendapat ¬aif tersebut didasarkan atas bukti dengan sendirinya meruapakan suatu hal yang banyaknya puisi-puisi yang diciptakan oleh alami. Bangsa Yunani, misalnya, di samping sejumlah penyair ‘Abbāsiyyah mengenai terkenal dengan tradisi filsafatnya, ia juga berbagai ilmu pengetahuan, kisah, berita, dan dikenal memiliki tradisi sastra yang sangat biografi para tokoh. tua, termasuk di dalamnya sastra didaktis. Setidak-tidaknya, pada abad ke-8 SM di Meskipun pada awalnya ¬aif menetapkan Yunani telah ada puisi didaktis yang mengenai bahwa kemunculan asy-syi‘r at-ta‘līmī itu sejarah dewa-dewa dan berbagai pengetahuan pada masa ‘Abbāsiyyah, akan tetapi dalam yang menyangkut teknologi pertanian pada studinya yang lain, ¬aif mencoba menelusuri masa-masa tersebut (Haddārah, 1963: 355). akar kemunculan asy-syi‘r at-ta‘līmī pada masa Sementara bangsa Persia, suatu bangsa ‘Abbāsiyah tersebut. Melalui penelitiannya yang paling erat dalam menjalin hubungan terhadap teks-teks puisi pada masa Dinasti dengan bangsa Arab, terutama pada periode Amawiyyah, ¬aif menyimpulkan bahwa asy- ‘Abbāsiyyah, juga dikenal kuat dengan tradisi syi‘r at-ta‘līmī sudah muncul pada awal abad sastranya, bahkan tidak sedikit karya sastra pertama hijriah, dan tepatnya pada akhir Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Dinasti Amawiyyah, yang murni berasal dari Arab pada periode ‘Abbāsiyyah (Haddārah, tradisi kesusastraan Arab. Dalam konteks ini, 1963: 91). Adapun India, tidak banyak berbeda dengan Persia dan Yunani, juga telah mengenal puisi didaktis yang mengandung muatan ilmu pengetahuan tentang ilmu hitung dan astronomi (Haddārah, 1963: 355). Melihat kenyataan adanya kontak kebudayaan antara bangsa Arab dengan bangsa- bangsa lain di atas, bukan sesuatu yang aneh jika Edisi Budaya | 325

¬aif mendasarkan argumennya atas temuan oleh para ilmuwan dalam bentuk puisi yang bahwa pada akhir Dinasti Amawiyyah telah dikenal dengan sebagai manẓūmah atau naẓm. ada beberapa matn tentang bahasa yang ditulis oleh Ru’bah, seorang ahli bahasa, dalam bentuk Pertumbuhan dan perkembangan nazam naẓm dengan metrum rajaz. Menurut ¬aif pada masa Abbasiyah yang berkaitan erat (1987: 317-318), kemampuan Ru’bah dalam dengan perkembangan lembaga penddidikan menyusun matn kebahasaan dalam bentuk Islam mengingat fungsinya sebagai sarana puisi tersebut membuat kalangan linguis pada menyampaikan ilmu pengetahuan yang masa Amawiyyah, seperti Abul Faraj, Abu ‘Amr ditandai dengan banyaknya materi ilmu bin ‘Ala’, dan Yūnus menghormatinya. pengetahuan yang ditulis dalam bentuk nazam tampaknya juga terjadi di kawasan Nusantara. Bertolak dari temuan di atas, ¬aif (1987: Dalam konteks ini, nazam juga digunakan 319) melihat bahwa sejumlah teks yang untuk sebagai sarana menyampaikan ilmu disusun oleh Ru’bah itu merupakan matn pengetahuan yang diajarkan di berbagai tentang bahasa dalam bentuk puisi yang tidak lembaga pendidikan Islam di Nusantara. Oleh untuk mengungkapkan kebutuhan emosional karena itu, tidak mengherankan jika lembaga- dan rasional penyairnya, tetapi justru untuk lembaga pendidikan Islam di Nusantara, memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh seperti pesantren, dayah, dan surau, juga lembaga pendidikan dan pengajaran bahasa. menggunakan kitab-kitab dalam bentuk Dengan demikian, menurut, ¬aif, matan-matan nazam sebagai materi kajiannya sampai berbentuk rajaz itu, atau yang disebut sebagai sekarang. Kitab-kitab berbentuk nazam urjūzah, merupakan asy-syi‘r at-ta‘līmī pertama tersebut mencakup kitab-kitab mengenai yang ditulis dalam bahasa Arab. Lebih jauh lagi akidah, syariah, dan ilmu alat serta balagah ¬aif (1987:323) menyimpulkan bahwa urjūzah (retorika). Kitab-kitab berbentuk nazam yang ditulis oleh Ru’bah pada masa Dinasti tersebut biasanya dihafalkan oleh para Amawiyyah itulah yang menginspirasi penyair- santri, dan pada momen tertentu diadakan penyair ‘Abbāsiyyah dalam menazamkan puisi pembacaan nazam secara masal sehingga didaktisnya. dikenal dengan nazaman. Secara historis, perkembangan asy-syi‘r Hal yang menarik,ulama-ulama at-ta‘līmī yang pesat pada masa ‘Abbāsiyyah itu Nusantara tidak hanya menggunakan kitab- bukanlah tanpa sebab, namun juga didukung kitab berbentuk nazam untuk diajarkan di oleh situasi kehidupan sosial intelektual pada pesantrennya, tetapi sebagian di antaranya periode ‘Abbāsiyyah. Sebab, seiring dengan juga mampu mengarang kitab sendiri dalam kemajuan kehidupan sosial-intelektual bentuk nazam, yang sebagian ditulis dalam yang dicapai oleh umat Islam pada periode bahasa Arab dan sebagian lain ditulis dalam ‘Abbāsiyyah, berbagai lembaga pendidikan bahasa lokal. Dalam konteks Aceh, nazam yang mengkaji dan mengembangkan berbagai disebut sebagai nalam yang ditulis dalam ilmu pengetahuan pun bermunculan (¬aif, bahasa Melayu dengan fungsi yang sama t.t.:98-108). Dalam situasi seperti itu, dengan fungsi nazam di dunia Arab-Islam, kebutuhan terhadap adanya metode yang yakni sebagai media menyampaikan ilmu efektif untuk kepentingan pengajaran pengetahuan agama. Ilmu-ilmu pengetahuan mengenai berbagai ilmu pengetahuan menjadi yang ditlis dalam bentuk nalam untuk terasa mendesak. Oleh karena itu, sejalan diajarkan di pesantren-pesantren di Aceh dengan kedudukan puisi dalam kehidupan lainnya juga mencakup akidah, syariah, dan orang Arab yang memang sangat penting, syi‘ir akhlak. Sementara itu, untuk kawasan Jawa, menjadi salah satu alat untuk menyampaikan nazam tetap disebut dengan nazam, meskipun pengajaran kepada pelajar Haddārah (1963: bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa, 356). Dengan demikian, tidak mengherankan dengan fungsi yang sama dengan nazam Arab. jika pada periode ‘Abbāsiyyah berbagai ilmu Sejauh sumber-sumber tekstual yang ada, pengetahuan sebagian di antaranya ditulis Kiai Ahmad ar-Rifai Kalisalak (1786-1870) 326 | Ensiklopedi Islam Nusantara

dapat disebut sebagai kiai pesantren Jawa nazam melalui pengajaran ilmu arudh sebagai yang pertama kali mengarang kitab berbentuk ilmu yang mengkaji prosodi puisi Arab dan nazam dalam bahasa Jawa, yang dikenal balaghah sebagai ilmu yang, antara lain, sebagai kitab tarajjumah. membahas stilistika Arab. Di samping faktor talenta, berbekal ilmu-ilmu tersebut tidak Kemampuan ulama Nusantara dalam mengherankan jika ulama Nusantara mampu mengarang kitab dalam bentuk nazam tentu mengarang kitab berbentuk nazam, baik dalam tidak dapat dilepaskan dari materi pengajian bahasa Arab maupun maupun bahasa lokal. dan pengkajian di pesantren yang memang membekali para santri kemampuan mengarang [Adib M Islam] Sumber Bacaan Ibnu Khaldūn. al-Muqaddimah, t.t., hlm. 662-668; as-Sāyib, Ushul an-Naqd al-Adabi, 1964, hlm. 41; Farūkh, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 1981, hlm. 44. At-Tunji, al-Mu’jam al-Mufassal fil Adabi, 1993, At-Tunji, al-Mu’jam al-Mufassal fil Adabi, 1993,. Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufassal fil ‘Arudh wa al-Qafiyah , 2010, Braginsky, On the Qasida and Cognate the Potry in the Malay-Indonesian World, 1996,. A. Teeuw, Indonesia antara Kelisanan dan Keberakasaraan. 1994, hlm. 50-51 Braginsky, Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-9, 1988, Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusatraan Melayu Klasik, 2011, Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, 1988,; Muzakka, Singir sebagai Karya Sastra Jawa, 2002, Edisi Budaya | 327

Ngabsahi Ngesahi, ngabsahi atau maknani Biasanya kiai akan menerjemahkan kitab adalah tiga istilah berbeda dengan secara perlahan, kata demi kata sesuai satu maksud yang sama. Ketiganya dengan aturan gramatikal bahasa Arab. Untuk merupakan istilah yang digunakan di pesantren selanjutnya menerangkan secara bebas isi Jawa untuk menandai tata cara pemberian kandungan itu menggunakan bahasa daerah makna terhadap teks berbahasa Arab dalam masing-masing. Sementara itu santri dengan kitab kuning (lihat entri kitab kuning) dengan seksama menyimak dan memperhatikan menggunakan bahasa lokal masing-masing keterangan kiai dan mencatatnya sesuai daerah. Di pesantren sunda istilah ini disebut dengan apa yang disampaikan. Dari sistem dengan ngalogat. bandongan ini diharapkan santri memahami kandungan teks secara menyeluruh, kata Dalam praktinya ngabsahi merupakan demi kata serta memiliki kepekaan praktis kegiatan seorang santri memberi makna dan terhadap kaidah-kaidah gramatikal bahasa keterangan dalam kitab kuning yang berbahasa Arab. Dalam kesempatan ini kegiatan maknani Arab berdasarkan pada keterangan seorang dapat diartikan dengan membubuhkan makna kiai dengan menggunakan bahasa lokal demi oleh santri terhadap teks bahasa Arab sesuai mendapatkan pemahaman yang sempurna. keterangan yang diperoleh dari kiai sekaligus Dalam proses ngabsahi selalu mengandaikan belajar menerapkan kaidah gramatikal bahas dua pihak yang saling aktif antara kiai yang Arab secara langsung. memberikan keterangan secara ferbal dan santri sebagai pendengar yang aktif menyerap Tradisi ngabsahi ataupun maknani lengkap dan merubah keterangan tersebut menjadi dengan rumus dan kodenya ini merupakan bentuk tulisan yang diletakkan di bawah warisan turun temurun dari para leluhur di teks Arab dengan menggunakan rumus dan lingkungan pesantren semenjak zaman Sunan kode tertentu yang telah disesuaikan dengan Ampel mendirikan pesantren di Surabaya pada kaedah gramatikal bahasa Arab. Tulisan inilah abad ke 16 M hingga menyebar ke seluruh yang kemudian disebut dengan makna gandul pelosok negeri. Saifuddin Zuhri (1987:32) atau makna jenggot, artinya makna lokal yang menjelaskan betapa hal ini mempersatukan ditulis bergelantungan di bawah teks Arab pola berpikir para santri dari Jawa Timur, sebagaimana rambut jenggot yang menempel Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, Nusa pada dagu. Tenggara Barat, Sumatera, Sulawesi, hingga maluku semua menggunakan sistem yang Dengan demikian ngabsahi (juga maknani seragam. Tentunya disertai fariasi kelokalan ataupun ngalogat) berhubungan erat dengan yang berbeda-beda. sistem pembelajaran di pesantren yang disebut dengan bandongan. Bandongan adalah Rumus dan kode ini telah dicetak dan sistem pengajaran dengan mengumpulkan tersebar luas di pesantren, sebagaimana yang sejumlah santri untuk mendengarkan telah dilakukan oleh penerbit dan toko kitab seorang kiai membaca, menerjemahkan, Al-Hidayah Tulung agung (lihat gambar 1). menerangkan dan mengulas isi kitab-kitab Secara ringkas di terangkan di sini adalah berbahasa Arab (lihat entri bandongan). sebagai berikut: 328 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Para santri sedang ngabsahi hingga di luar gedung. Huruf ‫ ﻡ‬: menunjukkan kata utawi artinya Huruf ‫ ﺵ‬: menunjukkan kata bermula (kedudukan gramatikalnya mubtada’) kelakuan artinya kelakuan (kedudukannya Sya’n) Huruf ‫ ﺥ‬: menunjukkan kata iku artinya itu (kedudukannya khobar) Huruf ‫ ﻣﻂ‬: menunjukkan kata kelawan artinya dengan (kedudukannya maful mutlak) Huruf ‫ ﺝ‬: menunjukkan kata mongko artinya maka (kedudukannya jawab) Huruf ‫ ﰎ‬: menunjukkan kata apane artinya apanya (kedudukannya tamyiz) Huruf ‫ ﺣﺎ‬: menunjukkan kata hale atau tingkahe artinya halnya (kedudukannya Huruf ‫ ﻅ‬: menunjukkan kata hal) ingdalem artinya pada (kedudukannya zhorof) Huruf ‫ ﻉ‬: menunjukkan kata kerono Huruf ‫ ﻧﻒ‬: menunjukkan kata ora artinya karena (kedudukannya ta’lil) artinya tidak (kedudukannya nafiyah) Huruf ‫ ﻍ‬: menunjukkan kata senajan Huruf ‫ ﺱ‬: menunjukkan kata jalaran artinya walaupun (kedudukannya ghoyah) artinya karena (kedudukannya sababiah) Huruf ‫ ﻓﺎ‬: menunjukkan kata sopo artinya Huruf ‫ ﺹ‬: menunjukkan kata kang siapa (kedudukannya fail aqil) atau sing artinya yang (kedudukannya shifat) Huruf ‫ ﻑ‬: menunjukkan kata opo artinya Huruf ‫ ﺑﺎ‬: menunjukkan kata bayane apa (kedudukannya fail ghoiru aqil) (artinya kondisinya (kedudukannya bayan) Huruf ‫ ﻣﻒ‬: menunjukkan kata ing Selain berfungsi untuk menunjukkan artinya pada (kedudukannya maful bih) posisi gramatikal dalam bahasa Arab, rumus di atas juga sangat membantu para santri Huruf ‫ ﻧﻒ‬: menunjukkan kata sopo, meringkas tulisan. Mengingat ketersediaan opo, siapa artinya apa (kedudukannya naibul fail) Edisi Budaya | 329

ruang yang sangat sempit dan keterangan bisa dipungkiri bahwa pesantren memiliki yang sangat luas. Karena itulah untuk tradisi pemahaman teks yang sangat kuat. mempermudah penulisan digunakan alat Teks berbahasa Arab yang terdapat dalam tulis dengan ujung yang sangat runcing yang kitab kuning menjadi fokus utama santri dapat menghasilkan tulisan sekecil mungkin. dan kiai. Teks menjadi objek paling penting Untuk keperluan ini, para santri zaman dahulu untuk dikaji. Karena teks menyimpan makna biasanya menggunakan pen tutul. Yaitu sejenis dan pengetahuan yang mengatur hidup pena dengan ujung sangat runcing yang terbuat seorang muslim dengan sesama manusia dan dari kuningan atau besi dengan tintanya yang menuntunnya menuju Allah swt. terpisah. Namun sekarang ini para santri dapat menggunakan bolpoin modern dengan ujung Hingga kini tradisi ngesahi, ngabsahi, tinta sangat runcing sesuai dengan ukuran maknani ataupun ngalogat masih tetap ada yang dikehendaki (lihat gambar 1). di pesantren. tentunya dengan berbagai perubahan sistem dan tatacara serta media. Hal Dengan demikian ngabsahi menjadi ini menjadi bukti betapa tingginya kecintaan wahana peralihan sebuah pengetahuan dari orang pesantren dengan ilmu pengetahuan kiai kepada santri. Kiai yang telah memiliki serta pentingnya dokumentasi terhadap kecakapan dalam memahami teks Arab medium pengetahuan baik itu berupa naskah, berusaha menularkan pemahamannya karya dan juga orang-orang yang terlibat di kepada santri. Sebagaimana dahulu ia dalamnya. mendapatkannya dari kiainya. Dalam hal tidak [Ulil Hadrawi] Sumber Bacaan Saifuddin Zuhri, 1983. Berangkat dari Pesantren. Ahmad Hifni Al-Manduri. Tanpa tahun. Kaifiyat Al-Ma’ani bi Al-Ikhtishar. Tulungagung: Toko Kitab Al-Hidayah. Martin van Bruinessen, 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS 330 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Ngelmu Ngelmu merupakan turunan dari diklasifikasikan dalam lima kategori pokok. kata Arab ilmu. Berbeda dengan Bagi orang Jawa, masyarakat dibagi ke dalam pengertian ilmu dalam bahasa Arab lima bagian berdasarkan empat arah mata yang menunjukkkan pengetahuan dalam angin dan titik pusatnya. Lima bagian itu arti umum, ngelmu merupakan pengetahuan merupakan lima kategori pokok dalam asas mengenai hal-hal yang gaib dan kekuatan- asosiasi prelogik. Klasifikasi berdasarkan kekuatan supranatural. Dalam kebudayaan arah mata angin dan titik pusatnya tersebut Jawa, ngelmu merupakan bagian dari sistem meresap dalam jiwa orang Jawa. Oleh karena religi. Dilhat dari cara melakukannya, ngelmu itu, ada anggapan bahwa ada kaitan yang memerlukan sikap tertentu dalam menghadapi erat antara berbagai gejala yang tampak yang kekuatan-kekuatan gaib, sehingga berbeda terjadi secara bersamaan karena adanya dengan religi. Jika dalam upacara religi kemiripan bentuk dan warna, meskipun orang yang melakukannya mengambil sikap berbeda satu dengan lainnya dalam prinsip penyerahan diri secara total kepada Tuhan dan fungsinya. Oleh karena itu, dalam praktik dan melakukan permohonan kepada-Nya agar ngelmu gaib, dapat dipahami bahwa sebuah segala hajat terkabu, maka dalam ngelmu orang nasi tumpeng dan gunung memiliki kaitan yang mengamalkannya berusaha mencapai yang erat karena kemiripan bentuknya; padi suatu tujuan dengan cara aktif, yakni dengan yang sudah masak yang warnanya kekuning- cara menganggap bahwa ia mampu melakukan kuningan memiliki kaitan erat dengan emas manipulasi dan pengendalian berbagai daun karena kesamaan warnya. kekuatan gaib. Dalam praktiknya, sang pelaku atau pengamal mengunakan mantra-mantra Dasar berpikir prelogik orang Jawa dapat tertentu mencapai tujuannya. menjadikan orang yang buta huruf meyakini bahwa tindakan-tindakan yang mirip atau Dalam kebudayaan Jawa, diyakini ada serupa dengan sendirinya memiliki kaitan hubungan yang saling berkaitan antara sebab-akibat. Oleh karena itu, tindakan berbagai unsur dalam alam, lingkungan sosial, meniru sesuatu merupakan cara untuk dan spiritualitas manusia. Untuk menjalin mencapai keadaaan yang diharapkan; dalam hubungan dengan alam dan lingkungannya, hal ini berbagai upacara ilmu gaib yang sifatnya orang yang menjalankan ngelmu harus meniru seringkali dilakukan oleh orang Jawa. berpegang pada sistem klasifikasi simbolik Bagi orang Jawa, ada keyakinan bahwa dalam yang dimiliknya berdasarkan asas asosiasi tubuh tertentu manusia, binatang, tumbuh- prelogik.; dalam hal ini berbagai hal yang tumbuhan, benda-benda keramat, seperti terdapat dalam lingkungan sosail dan budaya, pusaka dan jimat, ada kekuatan-kekuatan sakti seperti organ tubuh, sifat-sifat kepribadian, (kasekten). Selain itu, kekuatan-kekuatan sakti kondisi perasaan, hari-hari pasaran, makanan juga dapat dipancarkan melalui suara-suara dan minuman, keselamatan, pekerjaaan, atau bunyi-bunyian tertentu yang memiliki planet dan benda-benda runag angkasa sifat gaib, seperti japa mantra, dan bahkan lainnya, serta makhluk-makhluk gaib lainnya melalui kutukan (sepata). Edisi Budaya | 331

Dalam pandangan orang Jawa, kekuatan- positif, yang dgunakan untuk kebaikan kekuatan sakti itu bisa mengandung aspek masyarakat luas. Meskipun demikian, ngelmu positif dan bisa juga mengandung aspek gaib protektif juga mengandung unsur-unsur negatif. Meskipun demikian, ada juga kekuatan yang sifatnya pribadi sebagai private magic, sakti yang memang khusus positif, seperti seperti kebiasaan memelihara binatang, pulung, wahyu, dan ndaru, dan kekuatan sakti memelihara benda-benda pusaka, dan yang memang khusus negatif, seperti guntur perhiasan, dan batu-batuan yang berkhasiat. dan teluh braja. Lebih dari itu, ngelmu mengeni penyembuhan dan pengobatan merupakan yang pengetahuan Dilihat dari penggunaannya, dalam terpenting. kebudayaan Jawa ngelmu gaib mempunyai empat fungsi dan tujuan yang berbeda-beda: Berbeda dengan ilmu gaib produktif menghasilkan sesuatu, melindungi sesuatu, dan protektif yang sifatnya positif, ilmu gaib menyakiti atau menghancurkan sesuatu, desktruktif sifatnya negatif karena dapat dan meramal masa depan. Oleh karena itu, membahayakan dan merugikan orang lain. berdasarkan empat fungsi tersebut, ngelmu Biasanya pelaku ngelmu gaib desktruktif gaib dalam kebudayaan Jawa dapat dibedakan adalah para dukun, sementara yang menjadi menjadi empat jenis: ilmu gaib produktif, ilmu korbannnya adalah saingan dan musuh, gaib protektif, ilmu gaib destruktif, dan ilmu tetangga atau sahabat yang dianggap gaib peramal masa depan. mengancam kepentingan pelaku atau pengguna jasa ngelmu gaib desktruktif. Ilmu gaib produktif merupakan ngelmu yamh dimaksudkan untuk menghasilkan Ilmu meramal dalam kebudayaan sesuatu yang positif, seperti untuk kesuburan, Jawa disebut sebagai ilmu petangan. Pelaku panen yang lebih baik, dan mendatangkan ilmu gaib jenis ini adalah dukun yang memiliki hujan. Untuk memenuhi tujuan tersebut, kemampuan khusus untuk meramal masa ngelmu gaib produktif tersebut diadakan depan seseorang melalui teknik-teknik yang melalui upacara religiomagis secara kolektif sifatnya universal, seperti melalui perhitungan dengan mekanisme yang melibatkan teknik- berdasarkan hubungan antarbintang, letak teknik yang didasarkan atas asosiasi pikiran tulang-belulang yang berserakan, jatuhnya primitif, keyakinan terhadap kasekten dan usus ayam yang ditaburkan, pengamatan energi gaib yang timbul akibat pembacaan terhadap arah terbang dan suara burung. mantra tertentu. Biasanya para peramal Jawa itu menggunakan buku pegangan yang dikenal dengan primbon. Sebagaimana halnya ngelmu gaib produktif, ngelmu gaib protektif juga bersifat [Adib M Islam] Sumber Bacaan: Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 1984, hlm. 411 332 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Ngrasul Secara bahasa Ngrasul berasal dari kata ingkung; Jawa, ayam bekakak; Melayu), lampu Ngrasuk (asal katanya “rasuk” misalnya senthir dan lain-lain serta bersedekah (selawat) “ia dirasuki bangsa halus” yang artinya berupa sejumlah uang koin yang diletakkan di “ia diikuti makhluk halus”) dan Rasul yakni dalam mangkok berisi air. Nabi Muhammad SAW. Ngrasul termasuk jenis ritual dalam kategori niat dan do’a, seperti Ngrasul merupakan bagian dari tradisi halnya tolak balak/tolak bilahi, dan sebagainya. Kenduri (Kanduri; Persia) yaitu upacara makan bersama yang dihadiri handai taulan, saudara, Sebagai contoh Ngrasul untuk “niatan tetangga dan kerabat, yang diantara mereka selamatan” bagi seseorang yang memiliki wuku terdapat pemimpin doa dari unsure kiai, ustadz, Warigagung, Pahang, dan Matkal. Wuku sendiri tokoh masyarakat, atau orang yang dituakan. adalah nama sebuah kesatuan waktu dalam Permohonan doa yang dipanjatkan bertujuan 7 hari yang terdiri dari 30 pekan (wuku). Ide meminta keselamatan dan dikabulkannya dasar perhitungan wuku ialah bertemunya suatu permintaan yang diinginkan. Perbedaan dua hari dalam system pancawara (pasar) dan Ngrasul dengan Kenduri pada umumnya saptawara (pekan) menjadi satu, misalnya adalah pada aspek do’a khusus yang dibacakan, Sabtu-pon dalam wuku Wugu. Niat atau hajat yang dipanjatkan, tempat yang digunakan, dan seperangkat uga-rampe Wuku digunakan di Jawa dan Bali sebagai atau seperangkat barang dan makanan yang perlambang dari sifat-sifat manusia yang dikeluarkan. dilahirkan pada hari-hari tertentu, seperti halnya horoskop atau perbintangan. Menurut Ngrasul dapat dipandang sebagai kepercayaan tradisional Jawa dan Bali orang pemahaman dan pengamalan sinkretisme yang lahir pada hari dan pasaran tertentu dan beragama orang-orang di Pulau Jawa jatuh pada wuku tertentu pula, ia terdapat sesudah berpindah agama dari Hindu ke hari nahasnya. Agar diberikan keselamatan, Islam. Ritual ini masih dipraktikkan sampai orang-orang yang punya wuku Warigagung, sekarang di daerah-daerah se pulau Jawa. Pahang, dan Matkal perlu diruwat dengan Misalnya di Tretep Temanggung Jawa Tengah mengeluarkan seperangkat uga-rampe atau dengan sebutan Mule Ngrasul yang berarti seperangkat barang dan makanan yang sudah “Memulai mengikuti Rasulullah”. Di kalangan ditentukan, dan selawat (sedekah berupa uang) masyarakat Betawi juga dikenal Ngrasul yang yang juga telah ditentukan, dengan bacaan dilaksanakan pada saat akan mengadakan do’a khusus berupa Ngrasul. hajatan dan dilakukan di tempat penyimpanan bahan pokok untuk resepsi. Jadi, Ngrasul adalah upacara ritual dengan mantra dan do’a-do’a khusus yang tujuannya Sebagai warisan budaya, nilai-nilai memohon keselamatan melalui perantaraan yang lama tetap dijunjung tinggi akan Rasul yakni Nabi Muhammad SAW dengan tetapi medianya digantikan sesuai dengan seperangkat uga-rampe berupa bunga, nasi kepercayaan yang baru. Dalam hal ini, tumpeng, nasi Golong (dikepal sehingga memohon keselamatan melalui perantara membentuk bulat) daging ayam utuh (ayam Rasulullah Saw dengan cara Ngrasul adalah cara “islamisasi” meminta perlindungan dari Edisi Budaya | 333

“ruh leluhur” yang masih tetap dipertahankan. masa hidupnya akan mengambang dan sirna Hanya saja penyebutan nama-nama leluhur terbawa arus kematian. dalam Ngrasul diniatkan untuk kirim doa kepada leluhur, bukan meminta sesuatu Ayam Ingkung yakni ayam utuh yang kepada orang yang sudah meninggal dunia. tidak dipotong-potong yang dibentuk seperti posisi perempuan yang sedang sujud. Dari Begitu pula penggunaan perangkat kata “Ingsun manekung” (aku berdoa dengan ritual, seperti nasi tumpeng, nasi golong/sega khidmat), Ingkung ditandai sebagai ungkapan asahan/ambeng, ayam Ingkung, Pisang Raja seseorang yang bermunajat kepada Allah sesisir, uang selawat, bunga wewangian, dan dengan penuh harap dan rendah hati. lain-lain sebagai islamisasi menu hidangan Kenduri keperpayaan agama sebelumnya, Sedangkan sesisir Pisang Raja berwarna yakni berupa daging (mamsa), ikan (matsya), kuning dimaknai kemuliaan hidup dapat minuman keras (madya), layanan seksual terealisasi jika manusia selalu dekat dengan (maithuna) dan Samadhi (mudra) atau biasa Allah Swt., seperti berdekatannya buah pisang disebut Panca Makara. satu dengan lainnya. Adapun selawat berupa uang koin yang ditaruh didalam mangkok Nasi tumpeng dalam kepercayaan berisi air mengandung filosofi bahwa materi orang Hindu dilambangkan sebagi gunung dunia yang disimbolkan dengan uang koin Mahameru tempat suci para Dewa dan harus diperoleh dengan cara yang bersih dan Brahmana. Tapi dalam kepercayaan orang halal sebagaimana air yang ada dalam wadah Islam digambarkan sebagai dua telapak tangan mangkok. yang merapat untuk memohon kepada Allah Yang Maha Esa. Dari bahan dasar nasi putih Secara umum, berdasarkan bentuk ritual dimaknai keikhlasan dan kesucian manusia dan materi yang digunakannya tampak ada yang berhajat kepada Allah. kaitan dengan apa yang diajarkan Rasulullah Saw terutama mengenai bersedekah dan Nasi golong/sega asahan (ambeng) yaitu berbagi kepada orang lain. Oleh sebab itu ritual nasi yang dikemas berbentuk bulat. Sesuai ini disebut Ngrasul dengan maksud mengikuti nama ambeng (ngambang), ini mencerminkan ajaran Nabi Muhammad Saw. kehidupan manusia sesudah meninggal dunia bahwa hasrat dan keinginan sewaktu [Ishom Saha] Sumber Bacaan Abimanyu, Petir, Mistik Kejawen, Yogjakarta: Palapa, 2014 Bidiono, Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogjakarta: Haninidita Graha Widia, 2005 Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981 Jamil, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gema Media, 2002 Sutardjo, Imam, Kajian Budaya Jawa, Surakarta: Jurusan Sastra Daerah UNS, 2010 Pranowo, “Menyingkap Tradisi Besar dan Tradisi Kecil” dalam Majalah Pesantren, No. 3 Vol. 4, 1987 334 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Nyadran Nyadran adalah suatu sistem tradisi sesaji menempati posisi yang sangat penting. yang kompleks dan mengandung berbagai unsur ritual yang dianggap Dalam kultur Jawa, nyadran atau sadran penting menurut pengetahuan turun temurun berkaitan erat dengan tradisi mengunjungi dari suatu masyarakat yang meliputi sesaji, makam leluhur atau sanak saudara menjelang do’a, makan bersama dan prosesi. Bentuk ritual datangnya bulan Ramadhan, yaitu bulan yang dilaksanakan sangat tergantung pada ruwah atau sya’ban dalam kalender hijriah. latar belakang budaya dan sejarah komunitas Pada sebagian komunitas masyarakat, nyadran yang bersangkutan. Di sejumlah daerah berpusat pada aktivitas ziarah kubur, yang pesisir, nyadran cenderung berbentuk sedekah merupakan ritual berupa penghormatan atau pesta laut atau persembahan kurban, kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan sedangkan di daerah pedalaman, nyadran doa selamatan. hadir dalam ritual mengunjungi makam atau kuburan para leluhur. Seiring dengan gelombang Islamisasi di tanah Jawa, nyadran seringkali dikaitkan Dalam tradisi nyadaran, terlihat dengan kata sodrun, yang dalam bahasa Arab transformasi budaya lama ke dalam bentuk berarti dada atau hati. Pemahaman ini boleh dan pemaknaan budaya baru dimana pengaruh jadi berhubungan dengan upaya masyarakat Islam baik secara perlahan maupun singkat Muslim untuk membersihkan hati menjelang meresap ke dalam entitas kultural yang terus bulan Ramadhan. Nyadran juga sering menerus mencari bentuknya. dikaitkan dengan istilah nadzar, yaitu janji yang diikrarkan dan harus dipenuhi. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan atau Asal Usul kepercayaan. Makna lain dari nyadran adalah sadran, berasal dari kata ‘sudra’ sehingga Dalam sejumlah literatur, tradisi nyadran nyadran berarti menyudra atau menjadi sudra dianggap berasal dari tradisi Hindu-Budha. atau berkumpul dengan orang-orang awam. Hal Zoetmulder memperkirakan bahwa nyadran ini mencerminkan nilai-nilai kultural bahwa muncul sejak zaman Majapahit ketika berbaur dengan orang-orang kelas bawah masyarakat melakukan upacara mengenang menjadi anjuran agama yang dilembagakan wafatnya Tribuana Tungga Dewi, penguasa dalam ritual rakyat yang mengkondisikan ketiga Kerajaan Majapahit, pada tahun 1352 suasana komunal yang mencairkan perbedaan M. Penelusuran lebih awal menemukan bahwa kelas dan status sosial. Dalam bahasa Jawa, nyadran telah dipraktekkan pada zaman nyadran diduga berasal dari kata sadran yang Majapahit dengan istilah craddha. Praktek ini artinya sesaji. Karena dalam pelaksanaannya, diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1284 Edisi Budaya | 335

M. Ritual craddha menggunakan puji-pujian Unsur do’a dalam tradisi nyadran menjadi dan sesaji dalam prosesinya. Masyarakat penanda Islamisasi budaya lokal karena do’a pada saat itu percaya bahwa para leluhur yang dipanjatkan menggunakan do’a cara yang telah meninggal, dapat mempengaruhi agama Islam dengan berbahasa Arab. Selain itu, kehidupan anak cucu atau keturunannya, seringkali bacaan ayat Al-Qur’an dan kalimat- mengganggu ataupun berhubungan dengan kalimat thoyyibah dilantunkan melengkapi sanak keluarganya. ritual do’a. Sebagian orang mempraktekkan tahlil, yaitu formula bacaan tertentu yang Ritual nyadran tetap menjadi tradisi terdiri atas pujian, shalawat dan bacaan- masyarakat Jawa setelah Walisongo melakukan bacaan tertentu dari ayat Al-Qur’an. dakwah Islam di nusantara. Strategi khas walisongo yang akomodatif terhadap budaya Sebagian masyarakat melakukan prosesi lokal tidak serta merta menghapus budaya mandi yang dikenal dengan sebutan padusan. nyadran yang pada dasarnya berbasis Ritual ini dimaksudkan untuk membersihkan pemujaan roh. Para pendakwah sufi tersebut diri baik aspek lahir maupun batin. Aktivitas merubah dan menyelaraskan praktek agama mandi ini biasanya dilakukan di sumber- lama dengan ajaran Islam. Untuk itu, jalan sumber air yang disakralkan. kompromi budaya dilakukan dalam rangka menarik simpatik masyarakat lokal yang masih Nyadran yang dipusatkan pada acara kuat memegang teguh tradisi sambil pelan- kurban kepala kerbau atau sedekah laut pelan mengisinya dengan pemaknaan yang memiliki variasi ritual yang agak berbeda sesuai dengan ajaran Islam serta unsur-unsur dengan nyadran mengunjungi makam. Tetapi ritualnya seperti pembacaan ayat Al-Qur’an, unsur do’a dan pemaknaan yang lebih Islami tahlil dan do’a. Makna nyadran mengalami tetap menjadi bukti Islamisasi budaya yang pergeseran dari praktik pemujaan kepada sudah berlangsung selama berabad-abad. roh leluhur menjadi ritual penghargaan dan penghormatan kepada leluhur yang dianggap Praktik nyadran di Cirebon, misalnya, berjasa dalam proses pembentukan masyarakat merupakan paket ritual yang terpusat pada atau penyebaran agama Islam. Nyadran dalam aktivitas sedekah laut di sejumlah titik muara perkembangannya dilaksanakan menjelang sungai yang didahului dengan arak-arakan Ramadhan. Ritual tahunan ini juga dipahami atau dikenal dengan ider-ideran (parade tokoh sebagai bentuk interaksi manusia dengan dan hewan lokal). Sedekah laut yang disajikan leluhurnya, sekaligus dengan Sang Maha dalam sebuah joli (usungan) berisi kepala Pencipta. kerbau dan aneka makanan untuk dihanyutkan dan ditenggelamkan di kedalaman tertentu di Bentuk Ritual lepas pantai. Persembahan tersebut dibawa dengan sebuah perahu yang dikawal oleh Sebagai bagian dari budaya masyarakat ratusan perahu lain yang dihias dan dilengkapi Jawa, nyadran diselenggarakan dengan dengan bendera merah putih. Upacara melibatkan banyak orang dan cenderung pelepasan sesajen ini didahului oleh lantunan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. adzan dan do’a yang menggunakan Bahasa Nyadran yang berpusat pada ziarah kubur atau Arab. makam para leluhur biasanya diikuti dengan ritual lain seperti kegiatan membersihkan Parade rakyat yang diselenggarakan makam, menabur bunga atau wangi-wangian, terkait dengan nyadran berisi iring-iringan dan makan bersama (manganan). Sebagian model dan ikon tokoh lokal serta tiruan atau masyarakat memeriahkan tradisi nyadran boneka (ogoh-ogoh) aneka hewan laut yang dengan berbagai kenduri, pawai atau kirab dan mencerminkan kehidupan masyarakat pesisir. pementasan seni tradisional seperti gamelan, Dalam parade ini, ditampilkan berbagai tokoh tayuban dan wayang. yang terkait dengan sejarah pembentukan Islam di Cirebon sebagai bentuk perayaan sekaligus edukasi untuk masyarakat. Iring- 336 | Ensiklopedi Islam Nusantara

iringan berjalan mulai dari Pasambangan Jati Misalnya saja dalam penyelenggaraan atau Bukit Amparan menuju ke arah utara kenduri, besik (membersihkan makam ke Desa Sirnabaya. Dalam perkembangan leluhur), penyediaan sesaji, makanan atau terakhir, ider-ideran dimulai dari Komplek perlengkapan ritual. Sudah menjadi tradisi Makam Sunan Gunung Jati menuju arah masyarakat pada umumnya bahwa ritual yang selatan hingga bunderan Krucuk Kota Cirebon mereka selenggarakan menjadi sarana untuk dan kembali ke tempat semula. saling bahu membahu dalam mewujudkan kepentingan bersama. Aspek voluntarisme Bentuk nyadran yang berisi persembahan dan solidaritas masih kuat bersemayam dalam kepala kerbau dengan cara melarung juga diri masyarakat nusantara. Sehingga mereka dilakukan oleh komunitas lain di Jawa. Seperti dengan senang hati melakukan kegiatan halnya yang dilakukan masyarakat Ngantru, komunal yang dalam pandangan masyarakat Trenggalek, Jawa Timur. Pelaksanaan ritualnya menjadi kegiatan yang membahagiakan. terdiri dari sejumlah hal seperti penyembelihan kerbau, penyediaan sesajen, penyelenggaraan Aspek nyadran yang berorientasi tahlil massal, pawai tradisional, makan pada komunikasi dengan arwah leluhur bersama dan upacara ruwatan dengan merefleksikan gagasan penghormatan menyelenggarakan pagelaran wayang kulit. kepada orang-orang yang telah berjasa Unsur-unsur ritual dalam nyadran satu daerah dan berkontribusi besar dalam kehidupan dengan daerah lainnya memiliki sejumlah masyarakat. Sikap mental yang masih persamaan sekaligus perbedaan. mengingat dan tidak melupakan peran orang-orang tertentu di masa lalu Aspek Sosial Nyadran menunjukkan keluhuran budi antar generasi yang dilembagakan dalam tradisi tahunan Meskipun nyadran pada awalnya yang terus menerus dipertahankan. Nilai merupakan tradisi nenek moyang yang berbasis kultural ini menjadi sesuatu yang berharga pemujaan arwah melalui persembahan dan dalam penanaman nilai-nilai edukatif dan pembacaan mantera, ritual tradisional ini pembentukan karakter bangsa. Dengan dalam perkembangannya bergeser dengan berlangsungnya tradisi nyadran, penghargaan pemaknaan yang berbeda. Kehadiran Islam sosial kepada seseorang tidak hanya pada telah memalingkan pandangan teologis waktu mereka masih hidup, tetapi juga setelah masyarakat sehingga komunikasi orang- mereka meninggalkan dunia yang fana. orang yang hidup dengan orang yang sudah meninggal ditujukan kepada Allah swt, Sang Aspek komunalisme yang muncul dari Pencipta dan Pemberi rizki. Walaupun pada unsur-unsur nyadran seperti do’a bersama, sebagian kasus tertentu belum sepenuhnya makan bersama, tradisi ruwatan dengan terislamisasi, pemaknaan tradisi secara gamelan dan wayang kulit serta parade lebih Islami pelan-pelan telah menunjukkan rakyat menjadi penanda kohesifitas sosial tanda-tanda yang positif. Terlebih lagi, tradisi yang penting bagi upaya menjaga persatuan nyadran ini memiliki dampak sosial yang dan ketahanan sosial suatu masyarakat. cukup signifikan terhadap pelestarian budaya Dengan pelaksanaan nyadran, masyarakat yang bersifat meneguhkan jati diri sebagai saling berinteraksi, berkolaborasi, dan saling masyarakat yang komunal. memberi sehingga kegiatan tersebut berfungsi memperkokoh sendi-sendi pergaulan dan Berbagai jenis tradisi nyadran hubungan kemasyarakatan dalam bingkai menunjukkan kecenderungan mobilisasi kearifan lokal. massa yang bersifat saling membantu dengan pola kerjasama yang telah mengakar Penyediaan makanan khas atau kuliner dalam budaya masyarakat dan hampir lokal dalam kenduri atau slametan yang menjadi berlangsung secara mekanik dalam gerakan bagian tradisi nyadran seringkali menyiratkan yang dikenal dengan gotong royong. makna filosofis yang memberikan nilai edukatif dan ikhtiar menciptakan keselarasan. Edisi Budaya | 337

Keberadaan tumpeng (nasi berbentuk gunung), berarti permohonan ampun jika melakukan misalnya, melambangkan sebuah pengharapan kesalahan. Kemenyan merupakan sarana kepada Tuhan agar permohonan terkabul. permohonan pada waktu berdoa. Bunga, Ingkung (ayam yang dimasak utuh) bermakna melambangkan keharuman do’a yang keluar kepolosan manusia ketika masih bayi yang dari hati yang tulus. Seluruh gagasan filosofis belum mempunyai kesalahan. Pisang raja tersebut bermuara pada upaya mewujudkan melambangkan suatu harapan supaya kelak keselarasan manusia dengan Tuhan dan alam hidup bahagia. Kombinasi unsur ketan, kolak, semesta. dan apem, merupakan satu-kesatuan yang [Hamdani] Sumber Bacaan Kastolani dan Abdullah Yusof, “Relasi Islam Dan Budaya Lokal Studi Tentang Tradisi Nyadran di Desa Sumogawe Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang,” Kontemplasi, Vol. 04, No. 01, Agustus 2016. Partokusumo, Karkono Kamajaya, Kebudayaan Jawa, perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta : Ikatan Penerbit Indonesia, 1995. Purwadi, Sejarah Walisongo, Yogyakarta: Ragam Media, 2009. Subarman, Munir, “Pergumulan Islam Dengan Budaya Lokal di Cirebon (Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Upacara Nadran di Desa Astana, Sirnabaya, Mertasinga, Kecamatan Cirebon Utara)”, Holistik, Vol. 15, No. 02, 2014. Suyitno, Widiyanto Tri, 2001, Jalan Membebaskan Leluhur dari Alam Menderita, Yogyakarta:Vihara Karangjati. Zoetmulder, Petrus Josephus, Kalangwan: a survey of old Javanese Literature, 1974. 338 | Ensiklopedi Islam Nusantara

O Omah-Omah



Omah-Omah Salah satu fase kehidupan sebagai penanda makna omah tereproduksi sehingga kesempurnaan seseorang dalam bersosial meneguhkan kesadaran bahwa omah adalah adalah omah-omah (berumah tangga) ruang yang paling diakrabi oleh setiap yang ditandai dengan proses pernikahan keluarga. Maka salah satu penanda seseorang (mantènan). Bagi orang Jawa dan bisa jadi yang sudah berumah tangga (omah-omah) dalam berbagai suku bangsa di nusantara, dianggap mulai mapan harus memenuhi omah-omah atau mantènan (berumah tangga) trilogi kebutuhan dasar yang meliputi sandang, adalah klimaks dari trilogi ritus kehidupan pangan dan papan (kebutuhan pakaian, pangan, yang meliputi, metu, mantèn, mati, atau lahir, dan tempat tinggal). Di sinilah omah begitu nikah, mati (Santoso, 2000: 118; Said, 2012: urgen bagi setiap orang yang menginginkan 1). kesempurnaan minimal dalam berumah tangga (omah-omah). Penelusuran Istilah Omah Makna dan Kontekstualisasi Omah Istilah omah-omah dari bahasa Jawa omah. Kata omah sendiri merupakan bagian Dalam kehidupan keluarga, omah (rumah) dari bahasa Jawa tingkat terendah, ngoko, tidak sekedar sebagai tempat “omah-omah” yang dengannya biasanya orang-orang Jawa (berumah tangga) dan berlindung dari panas berpikir dan mengekpresikan secara spontan dan dingin, tetapi omah merupakan suatu tentang tempat tinggal. Dari kata omah konsep orang Jawa dalam mengaktualisasikan berkembang dalam menunjukkan makna diri baik secara pribadi maupun sosial sehingga terkait kerumahtanggaan, seperti ngomahakè mencerminkan konsep budaya berhuni (Said, (membuat kerasan atau menjinakkan), 2012: 2). Mendirikan rumah dalam tradisi ngomah-ngomahakè (menikahkan), omah-omah Jawa memerlukan persiapan lahir maupun (berumah tangga), pomahan (pekarangan batin secara matang. Maka orang Jawa bilang, rumah), somah (rumah tangga), sèmah “tiyang ngedegake griya punika kados dene (pasangan satu rumah). tiyang gadhah damel mantu” (orang mendirikan rumah itu bagai orang yang akan punya gawe Omah juga menunjukkan hubungan besar), karenanya didahului dengan perhelatan dengan kata dalam suku lain misalnya Bahasa ritual sebagai wujud kesadaran sosial dan Melayu Polenisaia Barat yang memiliki kata transendensi diri yang tinggi agar menemukan rumah, Bahasa Bali, Roti, Rindi dan Tetum kemapanan dalam bertempat tinggal (Said, memakai kata uma, bahasa Sawu menyebutnya 2012: 1). amu, Aton um, Ema umar, Babar em, Buru huma, dan Nuaulu numa. Kata-kata tersebut Kemapanan dalam bertempat tinggal diambil dari akar kata Austronesia yang ini akan memungkinkan seseorang memiliki bermakna suatu kelompok sosial yang bersatu kontrol teritorial sehingga dengan leluasa dan mengklaim beberapa jenis asal-usul dan mendefinisikan keberadaan dan status ritual yang sama (Fox, 1993: 10). seseorang atau kelompoknya. Kesadaran diri dan ruang saling mengejawantahkan Dari beberapa bahasa itulah kemudian Edisi Budaya | 341


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook