Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BUKU-ENSIKLOPEDI-ISLAM-NUSANTARA-BUDAYA-FULL

BUKU-ENSIKLOPEDI-ISLAM-NUSANTARA-BUDAYA-FULL

Published by SMP Negeri 1 Reban, 2022-07-12 13:47:55

Description: BUKU-ENSIKLOPEDI-ISLAM-NUSANTARA-BUDAYA-FULL

Search

Read the Text Version

satu sama lain. Pengidentifikasian diri baik Posisi Sumur dan Kamar Mandi sebelah kiri Rumah Jawa individual maupun kelompok secara spasial melahirkan “konsep menghuni” (to dwell) Gambar 1 (Koleksi Nur Said): yang akan memungkinkan seseorang menjadi bagian dari suatu lingkungan dalam memaknai neraka katut yang melekat dalam tradisi Jawa sekelilingnya (Norberg-Schulz, 1985: 5-6). perlu dimaknai sebagai wujud kesetiaan pasangan mau dibawa pada jurang neraka Ini berarti bahwa omah juga merupakan atau jalan ke surga tergantung pada kemauan suatu kebudayaan yang terpentas melalui pasangan yang bersangkutan secara bersama. ruang. Interpretasi terhadap makna ruang dalam dialektika sosial inilah yang kemudian Hal ini juga selaras dengan tuturan bahasa turut mengkonstruk perilaku hingga Jawa lainnya, khususnya di lereng pegunungan membentuk suatu identitas budaya yang Kendeng Jawa Tengah yang menyebut unik dalam ruang sosial dalam suatu ‘budaya pasangan dalam berumah tangga sebagau berhuni’ atau berumah tangga (omah-omah). rukunan dari kata rukun (Said, 2012b). Rukun adalah suatu kondisi ketika keseimbangan Harapan besar omah-omah tak lain adalah sosial itu terjadi baik dalam berbangsa, membina keharmonisan dan dan kerukunan bermasyarakat maupun berkeluarga. dalam berumah tangga dengan pembagian Kerukunan hidup akan terjadi ketika masing- kerja yang harmonis antar pasangan. Itulah masing individu tanpa memandang jenis mengapa dalam tradisi Jawa, pasangan dalam kelamin, saling menghormati, sopan santun, rumah tangga disebut sèmah. Ini berarti bahwa saling menghargai agar rumah laksana surga siapapun yang sedang menjalankan aktivitas di (Endaswara, 2016: 38). luar rumah baik karena alasan bekerja, belajar, dakwah dan lainnya dimana suatu saat akan Untuk itu entitas omah dalam omah- menemukan sosok yang lebih indah, lebih omah setidaknya ada 5 (lima) hal mendasar cantik dan atau lebih tampan, maka tetap harus fungsional yang saling bersinergi yaitu ingat tempat kembali (mulih), ingat pasangan kamar duduk (palenggahan), pakiwan, pawon, (sèmah) yang di rumah agar kerukunan dalam pesholatan dan peturon. Pertama, palenggahan berumah tangga tetap terjaga. Suwargo nunut adalah tempat duduk. Duduk menunjukkan posisi tubuh dengan pandangan lurus dan 342 | Ensiklopedi Islam Nusantara

menghadap ke depan yang merupakan posisi Fungsi ketiga dari omah adalah sebagai ragawi yang diasumsikan menjalin komunikasi pawon (dapur). Pawon adalah ruang pemenuhan dengan yang lain. Tempat duduk (palenggahan) kebutuhan untuk olah-olah pangan sebagai yang dalam rumah tradisional Jawa sering bagian dari kebutuhan dasar setiap manusia. disebut dengan Jaga Satru merupakan ruang Maka omah harus memiliki pawon secara interaksi sosial secara formal dalam keluarga khusus agar setiap anggota keluarga dalam ketika menerima tamu dari pihak luar (Said, berumah tangga bisa terpenuh kebutuhan 2012: 58-59). Palenggahan dalam hal ini makanannya secara baik dan sehat. menjadi ruang kemapanan sementara dalam posisi relatif di dunia yang saling berkaitan Yang menarik dalam rumah adat Jawa, (Santoso, 2000: 205). posisi dapur pada umumnya terletak di sebelah kiri sejajar dengan pelanggahan (joglo satru) Maka dalam tutur sapa orang Jawa sering dan berdekatan dengan pakiwan, sumur dan terdengar: “Lengahipun wonten pundi?” (dimana kamar mandi. Hal ini berbeda dengan posisi Anda duduk?) berarti menanyakan keberadaan dapur pada rumah-rumah model sekarang tempat tinggal seseorang. Dalam pengertian yang umumnya posisinya di belakang. Salah yang lebih luas juga bermakna status sosial satu alasan mengapa dapur diposisikan di seseorang. Namun kedua makna tersebut sebelah kiri sejajar dengan palenggahan adalah dalam artian posisi kemapanan sementara, sebagai bentuk penghormatan kepada tamu karena suatu saat bisa saja berubah atau hijrah agar pintu masuk ke dapur tidak melawati jogo ke hunian yang lain. satru (ruang tamu) sehingga tidak mengganggu ketika ada tamu. Hal ini juga sebagai isyarat Fungsi kedua adalah pakiwan. Pakiwan dari bahwa urusan dapur juga dianggap penting bahasa Jawa kiwa (kiri). Dalam tradisi Jawa, kiri sejajar dengan urusan penerimaan tamu (kiwo) adalah sebagai lambang kemungkaran, (palenggahan) yang bisa disinggahi oleh kejahatan dan kekotoran. Sementara kanan anggota keluarga yang laki-laki maupun (têngên) melambangkan segala sesuatu perempuan. Jadi urusan pawon (dapur) tidak yang ma’rūf (baik), perilaku positif, amal semata-semata urusan kaum perempuan shaleh. Pakiwan dalam konteks omah Jawa semata tetapi harus menjadi urusan bersama dimaksudkan sebagai tempat pembersihan antara laki-laki dan perempuan dalam omah- diri dari segala yang jahat, mungkar, serta omah (berumah tangga). gangguan lain yang menyebabkan berbagai penyakit. Fungsi keempat dari omah adalah pashalatan, ruang untuk tempat bermunajat Orang ketika masuk omah harus dalam kepada Sang Pencipta sebagai wujud kesadaran keadaan suci dari segala kotoran, maka tempat sipiritual penghuninya. Sebagaimana telah pakiwan posisinya selalu di luar, depan rumah disinggung sebelumnya bahwa salah satu sebelah kiri sejajar dengan pawon (dapur). Hal misi omah-omah adalah membina kerukunan ini dimaksudkan agar ketika penghuni omah dalam tiga relasi sekaligus pertama adalah tersebut mau memasuki rumah tidak ada relasi dengan Allah, sesama manusia dan lagi berbagai bentuk gangguan dan kotoran, relasi dengan lingkungan. Kalau palenggahan karena sudah melakukan proses pensucian diri adalah lebih menonjolkan wujud bentuk (bebersih) sebelumnya (Said, 2012: 72). penghormatan kerukunan kepada sesama manusia, sementara pakiwan adalah wujud Yang termasuk pakiwan adalah sumur, membangun kerukunan dengan lingkungan kamar mandi, toilet dan padasan (tempat dengan menjaga sumur tetap sehat sehingga berwudlu). Sumur, kamar mandi dan toilet bisa untuk bebersih, maka pashalatan ruang adalah sarana membersihkan dari kotoran spasial dalam omah dalam membangun yang bersifat lahiriah, sementara padasan dan kerukunan dengan Allah, Sang Pencipta. kamar mandi juga berfungsi sebagai sarana pembesihan dari kotoran yang bersifat batiniah Maka dalam omah-omah perlu (hadas kecil dan hadas besar). mempersiapkan ruang atau tempat khusus Edisi Budaya | 343

pashalatan yang diatur sedemikian rupa agar tempat tidur bagi orang-orang yang para penghuninya betah untuk bermunajat dimuliakan. Namun pesarèyan juga bermakna kepada Allah. Islam memang memberi kuburan. Maka dalam bahasa Jawa sering kita kelonggaran sholat bisa dilakukan di manapun mendengar ketika sedang ada sanak saudara karena dalam kaidah Islam “setiap sejengkal yang meninggal muncul pertanyaan; “...dipun tanah bisa menjadi tempat bersujud (kullu ard} sarèaken wonten pundi?” (...akan dikubur di in masjidun)”. Dengan demikian, kesadaran mana? Maka dengan mengingat peturon dan omah-omah perlu dibarengi dengan kesadaran pesarèyan merupakan sebuah pesan bahwa menfungsikan rumah sebagai sebagai bagian omah-omah adalah momentum untuk selalu dari “sajadah panjang” untuk bersujud ingat sebuah ruang dimana kehidupan kepada Sang Khalik. Prinsip inilah yang itu berasal dan kemana kehidupan akan termanifestasikan dalam falsafah Jawa yang dilestarikan dan diakhiri (Endaswara, 2016: dikenal dengan eling sangkan paraning dumadi 46; Roqib, 2007: 52-53; Santoso, 2000: 206- (ingat asal dan tujuan hidup kepada Sang 207). Pencipta). Hal ini berarti bahwa omah-omah adalah Dengan demikian fungsi pashalatan bagian dari proses meneguhkan sikap mental dalam omah juga menunjukkan alam pikiran Jawa Islam dalam membangun keseimbangan dan perilaku makrifat Jawa yang dikenal juga hidup yang harmonis dalam hubungan sebagai manunggaling kawulo Gusti (kesatuan dengan Allah, sesama manusia, dan juga hamba dengan Tuhan), seuatu konsep sekaligus dengan lingkungannya agar tergapai pantheistik yang menganggap manusia dan kebahagian hidup di dunia dan akhirat jagad raya merupakan percikan/pancaran sebagaimana digambarkan dalam dunia cahaya Ilahi (Endaswara, 2016: 46; Roqib, tasawuf sebagai baitī jannatī (rumahku adalah 2007: 52-53). Maka dimanapan dan kapanpun surgaku). manusia menjalankan peran kehidupannya harus disadari bahwa kehadiran Ilahi akan Ritual Mendirikan Omah selalu terpancar jiwa dan raganya. Begitu dalamnya makna dalam omah- Fungsi kelima dari omah adalah peturon omah, maka proses mendirikan omah itu dari bahasa Jawa ngoko turu (tidur). Tidur yang laksana punya gawe besar sehingga setiap dalam wujud spasialnya berupa kamar tidur tahapan proses mendirikan atau membangun adalah sebuah kondisi posisi tubuh berbaring rumah ada ritual dengan prosesi dan pesan yang menunjukkan keadaan tubuh lebih tetap tertentu. Beberapa proses ritual dalam dan mapan. Dipan, kasur, bantal, guling, mendirikan rumah itu antara lain: selimut dan sejenisnya adalah ikon-ikon yang merujuk pada proses bermukim dalam jangka 1) Ritual Buka Tableg waktu permanen. Di peturon ini pula konotasi mendasar dalam kehidupan domestik dimana Ritual ini merupakan prosesi ritual proses generasi dan regenarasi pada tahap yang diselenggarakan sebelum penggalian awal terjadi. Peturon menjadi media ketika pandeman (pondasi) rumah yang akan pasangan suami dan istri (sèmah) melakukan dibangun. Hari pelaksanaan ritual Buka Tableg hubungan intim dalam situasi dan kondisi bukanlah sembarangan, tetapi merupakan hari paling rukun. Tanpa suasana kerukunan proses tertentu yang didapatkan dari “orang pintar” reproduksi tidak akan sehingga regenerasi yang biasanya adalah kiai sepuh yang dianggap gagal. Maka rukun agawe santoso (rukun akan memiliki kelebihan secara spiritual. mengantarkan kehidupan yang sentosa), demikian falsafah Jawa menegaskan. Ritual ini dilakukan dengan menggelar bancakan atau slametan yang biasanya diiringi Peturon dalam bahasa Jawa Krama juga dengan doa rasulan (doa dengan wasilah disebut pesarèyan. Pesarèyan merupakan Kanjeng Rasul Muhammad SAW) atau istilah yang terhormat untuk menunjukkan manaqiban (doa dengan wasilah Waliyyulah 344 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani) di tempat menjalankan peran sebagai khalifatullah yang akan didirikan rumah. Dalam acara agar bersama-sama tidak berbuat ini biasanya dengan mengundang saudara/ kerusakan tetapi senantiasa menjaga keluarga dan tetangga sebelah yang dipimpin bumi pertiwi tempat hidup manusia oleh kiai Langgar atau kiai kampung dengan sebagaimana kebersamaan menikmati maksud agar semua rencana pembangunan jajan pasar. rumah bisa berjalan lancar, tidak ada halangan serta mendapatkan kemudahan dalam e. Kembang setaman, yaitu bermacam- menyelesaikan rumah tersebut. Keterlibatan macam bunga (setaman) yang biasanya keluarga dan tetangga sebelah dalam bancakan terdiri dari lima macam kemudian Buka Tablek tersebut sebagai wujud kesadaran dicampur dalam air di baskom juga sebagai sosial calon pemilik rumah bahwa dirinya wujud persembahan kepada Yang Maha tidak bisa hidup tanpa orang lain, maka dalam Indah. Bunga adalah simbol keindahan mengawali pendirian rumah tersebut juga tak dengan harapan agar kehidupan yang lepas dari peran orang lain. akan dilalui melalui rumah tersebut bisa dinikmati dengan indah baik dalam Beberapa sarana upacara Buka Tableg keluarga, dengan tetangga maupun dalam tersebut antara lain: masyarakat yang lebih luas (Said, 2012: 89; Triyanto, 2001: 186-187). a. Bubur abang-putih (merah-putih) sebagai perlambang mengingatkan kejadian 2) Ritual Munggah Kayu (Tongcit) atau manusia yang terdiri dari darah merah Munggah Molo: dan darah putih. Ritual adat ini diselenggarakan ketika b. Ingkung ayam jantan, yaitu daging ayam bagian-bagian bangunan yang mengelilingi matang yang diikat masih utuh dengan rumah atau dinding sudah berdiri tegak dan dilengkapi air kuwah secukupnya dan baru berbagai ragam kayu penyangga genting diiris sesuai kebutuhan setelah dibacakan dan joglo pencu siap untuk di pasang. Ritual doa rasulan atau manaqiban. Hal ini Munggah Kayu adalah proses menjelang sebagai wujud penghormatan kepada penataan konstruksi rumah bagian atas/ Rasulullah Saw dan Waliyyullah, sebagai atap (bubungan rumah). Beberapa uba-rampe Sang Pencerah dari kegelapan menuju (perlengkapan) yang disiapkan dalam upacara dunia yang penuh hidayah-Nya. Munggah Kayu ini antara lain: c. Nasi tumpeng dan lauk-pauk secukupnya a. Klebet (bendera) warna merah putih yang dihias mengitari tumpeng dilengkapi sebagai wujud kesadaran kebangsaan kluban urap sayur alami dari kebun. dalam membangun rumah tangga adalah Tumpeng yang terbuat dari nasi kuning bagian dari keluarga besar Indonesia. dengan dibuat meninggi sebagai wujud Warna merah menunjukkan perlunya kepasrahan total kepada Dzat Yang keberanian dalam mengambil keputusan Maha Tinggi (Al’Aliy) dan pemberi rizki berumah tangga dengan tetap pada jalan (Al Rozaq). Sementara lauk-pauk dan yang benar yang disimbolkan dengan kluban urap sebagai pengingat pentingnya warna putih. menjaga kesimbangan lingkungan semesta alam baik dari dunia binatang b. Tebu beserta daunnya yang bermakna (fauna) maupun dunia tetumbuhan (flora). anteping kalbu, yaitu kuatnya niat dan terbebas dari keraguan bahwa samudara d. Jadah pasar, yaitu belanjaan jajan yang kehidupan harus segera dilalui dengan dibeli dari pasar tradisional. Hal ini penuh optimisme meskipun ancaman sebagai wujud persembahan kepada badai tetap ada. Dzat pemelihara tanah dan bumi (Rabbul’ālamīn), agar manusia sebagai c. Anak pisang satu batang, sebagai simbol penghuni bumi benar-benar bisa Edisi Budaya | 345

Prosesi Pemasangan Uba Rampe Munggah Kayu Indonesia. Gambar 3 (Sumber: http://dwialfirohmatin.web.unej.ac.id/): Warna putihnya sebagai simbol kesucian dan sekaligus kebajikan yang senantiasa tunas yang mudah tumbuh-berkembang. harus diperjuangkan dalam meniti hidup Karena itu diharapkan rumah tersebut di rumah yang sedang dibangun tersebut. menjadi saran menumbuhkembangkan Sehingga di rumah tersebut nantinnya bukan generasi yang baik antara lain adanya sekedar tempat untuk tidur (istirahat), tetapi fungsi peturon. sebagai wahana dalam memperjuangkan kebajikan sehingga rumah benar-benar bisa d. Setandan pisang raja yang sebagian sudah meneduhkan bagi keluarga dan mampu matang; sebagai perlambang pentingnya menfasilitasi terajutnya kebahagian di dunia kepemimpinan (raja) yang tegas dalam dan akhiratnya. Sehingga rumah menjadi keluarga yang harus dipatuhi oleh segenap surga bagi penghuninya. anggota keluarga selagi pada jalur jalan yang benar. Sementara seikat padi yang juga turut diikatkan pada kayu menandakan sebuah e. Padi dua unting (ikat): sebagai perlambang harapan agar rumah tersebut nantinya kemakmuran agar mendapatkan memperlancar bagi penghuninya dalam kemurahan rizki dari Yang Maha Memberi mencari nafkah (golek pangupa jiwa) sebagai Rizki sehingga terpenuhi sandang pangan. prasarat dalam mempertahankan hidup, sehingga penghuninya tidak akan kekurangan f. Ingkung dan seperangkat tumpeng (Said, pangan dan selelu dalam kecukupan. Maka 2012: 89-90). ketika padi disandingkan dengan merah putih, hal ini menjadi sebuah visi berhuni yang Setelah diadakan prosesi berdoa saling melengkapi bahwa rizki (pangan) yang seperlunya yang dipimpin oleh seorang kiai didapatkan nantinya hendak diorientasikan setempat bersama uba rampe ingkung dan pada penegakan kebajikan (putih) meski tumpeng seperangkat pada malam harinya, dengan butuh semangat perjuangan yang maka tumpeng dan ingkung tersebut akhirnya membara (merah). dibagi-bagi kepada khalayak yang hadir sebagai wujud sedekah dan kebersamaan . Sementara pohon tebu segar yang masih berakar dan berdaun serta anak pisang yang Sementara pada pagi harinya perlengkapan turut dikat pada kayu juga sebagai penanda yang lain seperti pisang raja, seonggok padi bahwa pendirian rumah disadarai dengan yang sudah menguning dan seikat tebu, tekad yang kuat (anteping kalbu=tebu) dan kesemuanya diikat dan digantungkan pada sekaligus isyarat awal penanaman bibit positif kayu blandar. Dalam hal ini blandar-nya dihias (hal-hal yang baik) bagai tebu yang berakar dengan ubo rampe tersebut, lalu dinaikkan dan dan berdaun sehingga tinggal menancapkan dipasang pada posisinya. Sementara di tengah- pada lahan yang sudah disiapkan. Rumah tengah kayu tersebut dibungkus dengan kain adalah sebagai lahan (wahana) atau dalam merah putih (seperti bendera Indonesia) bahasa Jawa sebagai kawah candradimuka bagi sebagai wujud kesadaran bagian dari keluarga generasi bangsa agar mampu menumbuhkan kader-kader yang bervisi merah putih. Kombinasi wujud tebu yang berdaun dan berakar, seikat padi dan dan kain merah putih adalah ekspresi simbolik dalam ritual munggah kayu agar penghuninya selalu ingat visi hidup dalam berhuni di rumah bahwa hidup bukanlah untuk makan saja, tetapi makan adalah sekedar untuk mempertahankan hidup. 346 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Sementara kehidupan yang bernilai tersebut mampu menempatkan diri sebagai “lampu harus diorientasikan untuk menumbuhkan penerang” sehingga selalu mencerahkan bagi atau menanamkan benih-benih (simbol pohon keluarganya sehingga terbangun keluarga yang tebu dan tunas pisang) kabajikan (putih) meski harmonis dan rukun. hambatan dan rintangan akan menghadang sehingga butuh kobaran api perjuangan Sementara tikar biasanya dibawa oleh (simbol warna merah). anak-anaknya yang turut serta mengikuti jejak ayah emaknya dalam mulai menghuni rumah 3) Ritual Ulih-ulihan baru. Dengan dibawanya tikar adalah sebagai ekspresi simbolik bahwa di rumah tersebutlah Ritual ini adalah sebagai ekspresi kesiapan para penghuninya siap menggelar pentas calon penghunia rumah ketika rumah yang kehidupan dengan penuh semangat dan dibangunnya sudah siap dihuni. Dalam ritual harapan. Anak-anak juga harus turut tut wuri Ulih-ulihan (dari kata bahasa Jawa mulih = handayani, mengikuti visi berhuni kedua orang pulang/kembali) ini calon penghuni diarak tuanya yang telah memiliki landasan yang (diantarkan) oleh sanak saudara, sahabat kuat. Maka rumah disamping sebagai tempat dan tetangga sebelah dari tempat asal (orang memulihkan (mulih) tenaga dan pikiran bagi tuannya) menuju rumah baru yang hendak keluarganya setelah seharian menjalankan dihuninya. Dalam tradisi ulih-ulihan ini semua rutinitas hidup, rumah juga dijadikan sebagai anggota keluarga yang akan menempati rumah “madrasah” (tempat belajar) untuk menemukan tersebut harus ikut bersama rombongan kesejatian hidup yang hakiki, dengan membawa sejumlah barang- barang sebagai ekspresi simbolik bagi calon Begitu semua sudah hadir di rumah yang penghuninya. Barang-barang tersebut antara baru tersebut, maka acara dilanjutkan dengan lain berupa; sapu lidi, lampu teplok, tikar dan do’a bersama dipimpin oleh seorang kyai bantal-guling. kampung dengan diikuti oleh para hadirin yang ada. Do’a yang dibacakan oleh kyai biasanya Begitu sampai di rumah yang akan berbahasa Arab yang isi doa biasanya berisi dihuni, calon penghuni langsung disambut harapan bersama agar calon penghuni tersebut oleh sebagian anggota keluarga lainnya yang diberkahi oleh Allah serta mendapatkan sudah terlebih dahulu di rumah tersebut. limpahan rahmat dan kasih sayang dari-Nya, Maka dengan ucapan salam; assalāmu’alaikum, sehingga keluarga dan generasi yang terbangun calon penghuni memasuki rumah. Di teras di rumah tersebut menjadi sosok keluarga rumah tersebut, sang ibu menyapukan sapu yang sakīnah (ketenangan), mawaddah (kasih) yang dibawanya dilantai sebagai ekapresi dan rahmah (sayang). Keluarga demikianlah simbolik pembersihan diri dari segala kotoran yang diidam-idamkan bersama sehingga baik lahir maupun batin karena rumah model dari keluarga yang seperti inilah diharapkan sekarang sumur sudah mulai banyak di dalam tercipta tatanan masyarakat yang sejahtera, rumah. Pada rumah tradisional Jawa, ekspresi damai dan penuh ampunan dariNya yang simbolik pembersihan diri dari segala kotoran dalam bahasa Al Qur’an disebut baldatun t} dilakukan dengan singgah di pakiwan, yakni ayyibatun warabbun ghafūr (QS. Saba: 15) kamar mandi dan padasan yang biasanya terletak dekat sumur di depan rumah sebelah Kearifan omah-omah sebagaiman terurai kiri. di atas menunjukkan bahwa dalam memahami keragaman bahasa simbolik dalam berbagai Begitu jiwa dan raga dianggap suci maka ritual pendirian omah membutuhkan kepala keluaga dengan membawa lampu teplok kepekaan olah rasa karena bahsanya masih sebagai simbol penerang kehidupan dalam semu (tersamar). Simbol dan ungkapan keluarga mula memasukan rumah. Dengan dalam tradisi Jawa Islam adalah manifestasi lampu teplok tersebut diharapkan kepala pikiran, kehendak dan rasa Jawa yang halus. keluarga harus selalu ingat bahwa dirinya harus Sebagaimana ungkapan yang populer Wong Edisi Budaya | 347

Jawa Ngone Semu. Ungkapan ini mengandung perenungan yang mendalam dan pembelajaran pengertian bahwa orang Jawa dalam kritis atas rahasia dibalik bahasa simbolik memandang realitas tak hanya menampilkan dalam kultur Jawa yang merupakan bagian wadhag (kasat mata), namun penuh dengan dari warisan budaya Islam nusantara. isyarat atau sasmita (Endaswara, 2016: 24). Untuk bisa memahaminya memerlukan [Nur Said] Sumber Bacaan Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta: Cakrawala. Fox, J.J., (1993). “Comparative Perspective on Austronesian Houses: An Introductory Essay”, dalam J.J. Fox (ed.), Inside Austronesian Houses: Perspectives on Domestic Designs for Living, Canberra: The Australian National University. Norberg-Schulz, Christian, The Concept of Dwelling: On the Way to Figurative Said, Nur. (2012). Tradisi Pendidikan Karakter dalam Keluarga, Tafsir Sosial Rumah Adat Kudus. Kudus: Brillian Media Utama. Said, Nur, (2012b). “Strategi Saminisme Dalam Membendung Bencana Perlawanan Komunitas Sedulur Sikep terhadap Rencana Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo Pati,” Agama, Budaya dan Bencana, Kajian Integratif, Ilmu, Agama dan Budaya, Bandung: Mizan. Santoso, Revianto Budi. (2000). Omah; Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000. Tjahyono, M.Arc., (2000). “Kata Pengantar”, dalam Revianto Budi Santoso, Omah; Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya Triyanto. (2001). Makna Ruang & Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus.Semarang: Kelompok Studi Mekar. 348 | Ensiklopedi Islam Nusantara

P Palastren, Pawestren Patitis Peci Pegon Pengajian Perang Ketupat Pesantren Petilasan Pribumisasi Islam Primbon Pupuh



Palastren, Pawestren Salah satu ruang yang paling diakrabi oleh waktu shalat z}uhur. Lalu menyebut “paistrian” umat Islam dalam menjalankan ritual menjadi Palastren atau Pawestren sebagai ibadah adalah masjid. Tidak banyak yang wujud pengetrapan dengan dialek penutur menyadari terutama dari kalangan outsider Jawa. bahwa di bagian ruang masjid nusantara terutama di Jawa, ada space khusus yang Genealogi dan Pisisi Palastren diperuntukkan bagi jamaah muslimah (kaum perempuan yang muslim) dalam menjalankan Palastren/Pawestren merupakan bagian berbagai aktivitas ibadah di masjid tersebut. dari bangunan utama masjid khas nusantara Di kalangan umat Islam terutama di Jawa terutama di Jawa dan tidak dapat dipisahkan ruang tersebut sering disebut sebagai Palastren dari bangunan utamanya itu sendiri. Pada atau sebagian ada yang menyebut Pawestren. masjid-masjid kuna di Indonesia posisi Dalam bahasa Sunda disebut pangwadonan, Palastren/Pawestren biasanya terletak di sementara dalam bahasa Jawa Cirebon disebut sebelah kiri atau sebelah selatan, sejajar paestren dan pewadonan (Pijper, 1987: 33: dengan ruang utama masjid. Namun ada Shohib, dkk., 2012: 15). juga Palastren/Pawestren pada masjid kuno yang letaknya di sebelah kanan atau utara Terjadinya perbedaan penyebutan dalam dari ruang utama masjid seperti di Masjid Al ruang ibadah kaum perempuan di masjid Aqsa, Menara Kudus. Hal ini berbeda dengan tersebut tak lepas dari keragaman dialek dalam masjid-masjid model sekarang yang sebagian berbagai kelompok penutur dari berbagai suku, memposisikan jamaah kaum perempuan ras dan bahasa. Apalagi nama Palastren atau terletak di belakang jamaah laki-laki yang Pawestren dalam berbagai masjid di nusantara hanya dipisahkan dengan satir atau hijab. seringkali tidak ditulis atau disebutkan dalam tata ruang yang ada, meskipun eksistensinya Di samping terdapat pada masjid, ada. Yang sering dimunculkan dalam bagan Palastren atau Pawestren juga sering terdapat penujuk masjid adalah “tempat wudlu wanita”, pada langgar (Jawa) atau musholla, yaitu pusat nama Pawestren atau Palastren hanya dalam kegiatan ritual shalat, pengajian keislaman dunia ingatan kaum muslimin nusantara. yang biasanya dibimbing oleh seorang kyai kampung. Langgar berbeda dengan masjid. Kata “Palastren” atau “Pawestren” Kalau Langgar biasanya sebagai pusat jamaah berasal dari kata dalam Bahasa Jawa “èstri” sholat dan ngaji para santri di kampung yang berarti istri atau perempuan yang terutama di Jawa, sementara masjid memiliki kemudian mendapatkan imbuhan “pa - an’ fungsi lebih luas, di samping pusat kegiatan yang menunjukan tempat sehingga menjadi ritual shalat, pengajian keislaman, kegiatan “paistrian” yang bermakna tempat untuk sosial budaya juga sebagai pusat ibadah Jum’at kaum perempuan. Karena pengaruh struktur bagi kaum laki-laki. bahasa setempat terutama bahasa Jawa, kata paistrian berubah menjadi “Palastren” atau Pada masjid-masjid kuna di nusantara, “pawestren” (kromo), pangwadonan (ngoko) terutama di Jawa, biasanya terdapat ruang (Felisiani, 2009: 17; Aryanti, 2006: 73). Hal Palastren/Pawestren yang meyatu dengan ini seperti sebagian orang Jawa menyebut kata bangunan utama masjid atau sebagian diberi “z}uhur” menjadi “lohur”, maksudnya adalah batas atau bangunan khusus yang didirikan Edisi Budaya | 351

di samping sebelah kiri atau di arah selatan dalam konstruksi Menata Kudus. ruang utama masjid. Palastren/Pawestren biasanya memiliki keempat dinding, kecuali Sementara dalam perkembangan pada beberapa pawestren yang tidak memiliki berikutnya ketika Islam sudah mengakar dinding pintu masuk seperti pada Palastren/ di Jawa, ada keinginan lebih kuat untuk pawestren Masjid Agung Demak dan pada menjadikan kebudayaan Jawa kembali sebagai Masjid Agung Cirebon. subyek sejarah baik melalui pendekatan kultural maupun struktural. Inilah yang Pada awalnya Palastren/Pawestren kemudian dikenal dengan “Jawanisasi Islam” dibangun tidak sekedar hanya sebagai ruang yang antara lain dilakukan oleh beberapa tambahan, tetapi juga menjadi sebuah Kesultanan Islam di Jawa seperti di Cirebon, ruang permanen dengan segala macam Demak, Surakarta dan juga Yogyakarta. kelengkapannya berupa jendela, ventilasi, ornamen yang terdapat di dalamnya dan yang Semangat utama “Jawanisasi Islam” terpenting adalah ada pintu penghubung adalah merevitalisasi kebudayaan Jawa dengan (akses) antara ruang utama masjid untuk mengakomodasi nilai-nilai ajaran Islam. jamaah laki-laki dengan Palastren/Pawestren, Sebagai konsekwensinya wajah Islam menjadi untuk jamaah perempuan. semakin kontekstual, yang tak lepas pengaruh dari bukan saja sosio kultur masyarakatnya, Kemunculan Palastren/Pawestren pada tetapi juga alam pikiran, atau pandangan dunia masjid-masjid kuno di Jawa membawa makna Jawa dan politik kebudayaan pada masanya dan keunikan tersendiri bagi umat Muslim di (Anashom, 2014). Demikian juga keberadaan Jawa. Keberadaanya tak lepas dari situasi dan Palastren/Pawestren merupakan wujud kondisi perempuan Jawa pada abad ke 15-20 akomodasi budaya antara proses “Islamisasi M dalam pengaruh struktur sosial, budaya dan Islam” pada satu sisi dan “Jawanisasi Islam” politik di suatu masa kerajaan atau kesultanan pada sisi lain sehingga menjadikan masjid Islam. nusantara menjadi khas. Pada masa periode kewalian abad ke 15– Sebagai sebuah perbandingan, beberapa 16, Walisongo memperkenalkan Islam dalam Palastren/Pawestren dalam berbagai Masjid upaya “Islamisasi Jawa” dengan pendekatan Agung pada Kerajaan Islam di Jawa dapat budaya Jawa yang kental sehingga populer diperhatikan dalam kisaran sejarah sebagai prinsip dakwah yang ramah, Arab digarap, berikut (Felisiani, 2009: 5): Jawa digawa (Said, 2005). Nilai-nilai Islam yang munculnya di Arab penting untuk digarap No Nama Masjid Tahun Tahun Pendirian atau diolah, namun perlu dibungkus dengan Pendirian Palastren/ budaya Jawa agar tidak terjadi kekagetan Pawestren budaya (culture shock). Maka muncul istilah Masjid “syahadatain” menjadi “sekaten” sementara Tidak diketahui dari sisi arsitektur bangunan memberi 1 Masjid Agung Demak 1466 M 1934 M toleransi akulturasi lintas budaya seperti Tidak diketahui 2 Masjid Agung Cirebon 1498 M Posisi Palastren di Sebelah Kiri Masjid Agung Demak 1556 M 3 Masjid Al Aqso 1549 M Tidak diketahui Gambar 1 (Koleksi Nur Said) Menara Kudus 1850 M 4 Masjid Agung Banten 1552-1570 M 1839 M 5 Masjid Agung 1589 M Mataram (Kota Gede) 6 Masjid Agung 1763 M Mataram (Surakarta) 7 Masjid Agung 1773 M Mataram (Yogyakarta) Dilihat dari sebaran tahun pendirian Palastren/Pawestren pada masjid-masjid Agung kerajaan Islam di Jawa, menunjukkan bahwa berdirinya tidak serta merta berbarengan dengan tahun berdirinya masjid. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran 352 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Palastren/Pawestren merupakan respon atas masjid yang berlantai dua palastren/pawestren perkembangan kebutuhan jamaah yang di biasanya berada di balkon atas bahkan tak dalamnya memberi ruang kepada kaum jarang dilengkapi dengan perangkat elektronik muslimah untuk menjalankan ibadah ritual di audiovisual yang canggih seperti di masjid masjid. Hal ini selaras dengan falsafah hidup Daarut Tauhiid, Bandung. orang Jawa yang mengedepankan nilai-nilai harmoni dan kerukunan baik dalam relasi Hal ini menunjukkan bahwa dinamika dengan Sang Khalik, makhluk maupun dengan perkembangan palastren/pawestren juga alam sekitar, termasuk kerukunan dalam dipengaruhi oleh perkembangan sosial, budaya, relasi gender (Endraswara, 2016: 38). Hal ini tren arsitektur dan juga teknologi informasi. sekaligus sebagai wujud “Jawanisasi Islam” dari Namun kehadirannya menunjukkan bahwa para pemangku Kesultanan Islam di Jawa yang keberadaan masjid tidak hanya dimonopoli mengembangkan masjid dan Palastren dengan untuk kaum laki-laki tetapi kaum perempuan alam pikiran atau pandangan dunia Jawa. juga memiliki ruang untuk memakmurkan masjid di nusantara. Maka dapat dipahami di sini bahwa Palastren/Pawestren pada masjid-masjid kuno Harmoni Gender Palastren berupa –dalam istilah arkeologi- disebut fitur, yaitu benda budaya yang tidak dapat Salah satu falsafah orang Jawa adalah dipindahkan karena mewujud dalam bangunan toleransi, kecenderungan sifat keterbukaan permanen warisan budaya Islam yang masih (savior vivre), yakni sikap lapang dada dilestarikan dan difungsikan hingga sekarang (Anderson, 2000: 1). Sikap lapang dada ini (Simanjuntak. 2008: 3). dalam tradisi Jawa sebagai ikhtiar untuk membangun kedamaian atau kerukunan. Dalam perkembangan berikutnya, selain Rukun adalah ketika kondisi dimana Palastren/Pawestren yang menyatu dengan keseimbangan sosial itu terjadi (Endaswara, masjid, adapula masjid wanita. Masjid 2016: 38). wanita ini didirikan sebagai satu bangunan yang utuh, menyerupai masjid tetapi lebih Hal ini berarti bahwa kerukunan kecil dan dikelola oleh kaum perempuan hidup akan terjadi ketika masing-masing khususnya untuk ibadah shalat dan pengajian individu tanpa memandang jenis kelamin, keislaman lainnya. Masjid wanita ini lebih saling menghormati, sopan santun, saling berkembangan di kalangan Muhammadiyah menghargai termasuk saling memberi dan mulai dibangun ketika organisasi Aisyiyah ruang dalam menjalankan ibadah di masjid. (perkumpulan wanita Muhammadiyah) lahir Kahadiran ruang spasial berupa Palastren/ di Yogyakarta dan mendirikan “Masjid Isteri” Pawestren di sejumlah masjid di Jawa adalah di Kauman pada tahun 1922/1923 M. Selain bagian dari manisfestasi dalam membangun di Yogyakarta “Masjid Istri” juga terdapat harmoni gender melalui tempat ibadah yang di Pengkolan, Garut dan sebuah langgar paling sakral yakni masjid. yang kemudian menjadi “masjid istri” di Karangkadjen, Yogyakarta yang didirikan pada Keberadaan Palastren/Pawestren di tahun 1927 M (Atmodjo, dkk, 1999: 8 dan masjid juga sekaligus wujud keterbukaan Aboebakar, 1955: 396; Felisiani, 2009: 17). Islam di nusantara khususnya di Jawa bahwa kaum muslimah juga memiliki akses untuk Pada perkembangan terkini khususnya memanfaatkan bagian dari masjid dalam masjid-masjid yang dibangun pada kisaran membangun pribadi bertaqwa (muttaqīn) akhir abad ke-20 atau setelah memasuki yang menjadi pembeda kemuliaan seoarang abad ke-21, sebagian besar posisi palastren/ manusia satu dengan yang lainnya, bukan pawestren tetap ada. Posisinya disejajarkan karena jenis kelaminnya (Qs. al-Hujurāt: 13). dengan ruang utama masjid, ada juga yang diposisikan di bagian belakang ruang utama Kesadaran bahwa Allah tidak membeda- masjid, namun hanya dipisahkan kain atau bedakan hambanya berdasarkan suku, ras, kayu pembatas semacam gebyok. Untuk bahasa maupun gender tampaknya disadari oleh para sesepuh Islam di nusantara sehingga Edisi Budaya | 353

merasa penting keberadaan ruangan khusus persegi dan sama panjang serta memiliki bagi perempuan, yakni berupa yakni Palastren/ ornamen yang relatif sama dengan yang ada di Pawestren yang belum pernah ada sebelumnya. dalam ruang utama masjid. Hal ini sebagai wujud apresiasi bahwa kaum perempuan mempunyai hak dalam hal Hal ini seperti terlihat pada Palastren/ ibadah dan memiliki ruangan umum (public Pawestren di Masjid Agung Demak dimana pada sphere) untuk aktualisasi ibadah kepada Allah tiang penyangganya terdapat ukiran sulur- (Felisiani, 2009: 69: Aryanti, 2006: 73). suluran. Sementara pada Palastren/Pawestren Masjid Agung Surakarta, terdapat beberapa Sebagaimana fungsi utama utama pintu penghubung menuju ruang utama Palastren/Pawestren baik yang terdapat di yang memilki ukiran motif sulur-suluran dan masjid maupun di langgar, disamping untuk kaligrafi nan indah (Felisiani, 2009: 70). menjalankan berbagai macam ibadah shalat, tadārus (membaca dan menelaah) al Qur’an, Hal ini sekaligus menegaskan bahwa belajar baca tulis Al Qur’an, juga untuk kaum perempuan Islam di nusantara diberi berbagai kegiatan pengajian keislaman lainnya keleluasaan melakukan ibadah di luar rumah khusus bagi kaum perempuan. Ini berarti dalam hal ini di Palastren/Pawestren sebagai kedudukan perempuan dalam lingkungan ruang publik yang terintegrasi dengan masjid. masjid di nusantara terutama pada zaman Dalam pelaksanaannya tentu dalam bingkai Kesultanan Islam tidak hanya selalu berada jalinan harmoni dalam keluarga sehingga di belakang laki-laki, namun mereka memilik komunikasi dengan anggota keluarga juga andil yang cukup besar dalam membangun tetap harus tetap terbangun dengan baik. keshalehan ritual maupun keshalehan sosial untuk kemaslahatan umat. Kalau masih ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa kaum perempuan Dalam perspektif lain juga dapat kiprahnya hanya di ruang domestik dipahamai bahwa keberadaan Palastren/ sebagaimana adigium yang bias gender; Pawestren yang sejajar dengan ruang utama sumur, kasur dan dapur, maka keberadaan masjid juga menyiratkan adanya keinginan Palastren/Pawestren menjadi saksi bisu bahwa untuk memperlakukan kaum perempuan kaum perempuan sejak zaman Kesultanan secara egaliter. Hal ini terlihat dari pembatas Islam justru memiliki ruang terbuka sebagai yang terbuat dari tembok atau kayu dan sarana dalam berkiprah di ruang publik dalam keberadaanya merupakan bagian dari ruang membangun keshalehan individual maupun utama masjid yang dibuktikan dengan -pada keshalehan sosial bersama kaum lelaki tentu umumnya Palastren/Pawestren- berbentuk sejauh tidak bertentangan dengan etika Islam. [Nur Said] Sumber Bacaan Aboebakar, (1955). Sejarah Masjid dan Amal Ibadah di Dalamnya, Banjarmasin: Fa. Toko Buku Adil. Anasom, HM. Drs. M.Hum, (2013). “Jawanisasi Islam dan Lahirnya Islam Sinkretik” dalam Majalah Ber-SUARA LAPMI Cabang Semarang Edisi XXVI Desember 2013fM/1435 H Anderson, Benedict R. O’G., (2000). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Yogyakarta: Qolam. Aryanti, Tutin. (2006). “Center vs the Periphery in Central Javanese Mosques Architecture”, dalam Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 34 No. 2 (Desember): 73-80. Atmodjo, Junus Satrio, Peny., (1999)., Masjid Kuno Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaa. Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta: Cakrawala. Felisiani, Thanti, (2009), “Pawestren Pada Masjid-Masjid Agung Kuno di Jawa: Pemaknaan Ruang Perempuan”, Skripsi, Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Arkeologi, Universitas Indonesia, Mawardi, Kholid: “Langgar: Institusi Kultural Muslim Pedesaan Jawa:, dalam IBDA’, Jurna Kebudayaan Islam, Vol. 12, No. 1, Januari - Juni 2014 Said, Nur. (2005). Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Brillian Media Utama. Shohib, Muhammad, Drs.H., MA.,dkk., (2012). Masjid Bersejarah di Jawa. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Simanjuntak, Truman Prof. Ris. Dr., APU., dkk [eds.]., (2008). Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasioanl, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 354 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Patitis Patitis dalam bahasa Jawa-Sansekerta Pantes dadi jujugane sadhengah wong kang berasal dari kata “titis” yang berarti; mbutuhake rembug kang prayoga”, artinya Pertama, tujuan, seperti bunyi salah sesungguhnya orang yang suka berbicara satu bait Serat Wedhatama yang dikarang Sri daripada mendengarkan biasanya yang Mangkunegowo “Patitis tetesing kawruh. Meruhi dibicarakan tak ada isinya. Sebaliknya yang marang kang momong” artinya Tujuan ajaran banyak mendengarkan, bicaranya sedikit tapi ilmu ini untuk memahami yang mengasuh diri jelas dan berisi (ia) layak dimintai pendapat (guru sejati/pancer). Patitis juga digunakan masyarakat yang membutuhkan masukan masyarakat Bali dalam arti “tujuan” misalnya yang baik. Keempat, husnul khatimah seperti “Ngerajengan, sahyang Agama, ninggilang tata kalimat Ranggawarsita dalam Serat Sabdojati prawerining meagama, ngerajengan kasukertan “Amung kurang wolung ari kang kadalu, tamating desa pkraman lan pawongan sekala niskala pati patitis, wus katon neng lokil makpul, sebagai patitis (tujuan) pembuatan awig-awig Angumpul ing madya ari, Amarengi Sri Budha (peraturan adat)”. Pon” artinya yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, (Aku) meninggal dunia secara husnul Kedua, tepat misalnya ungkapan khatimah, jelas tertulis di Lauhil Mahfudz, Mangkoenagoro IV dalam Serat Warayagnya Kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada “Wong kang bakal palakrama iku kudu migatekake hari Rabu Pon. marang kukum serta kudu migunakake nalar kang patitis sadurunge milih wong wadon” Berdasarkan pengertian di atas patitis artinya orang yang mau berumah tangga harus mengandung pengertian inti atau sesuatu memperhatikan hukum dan menggunakan yang mendalam (substansi) dari segala hal nalar yang tepat sebelum memilih jodoh. yang diharapkan di dalam kehidupan dunia. Begitu pula dalam karya Ranggawarsita yang Patitis juga dapat dipahami sebagai sesuatu menyubut kata patitis berarti “tepat”; “Ana yang tidak semata-mata lahiriyah yang tampak kang wus kadulu, suteng carik kadhinginan oleh mata, cocok dengan akal pikiran manusia, tuwuh, ngaku putus patrape kurang patitis, akan tetapi yang paling hakiki. Misalnya ajaran manut ngelmuning guying dul, amangeran yang mengajak manusia supaya tidak sekedar luncung bodhol” artinya sesuatu yang sudah memiliki ilmu tapi juga ngelmu dan tujuan terlihat, anak juru tulis yang berwatak terlalu berguru serta berilmu tidak sekedar menjadi maju, mengaku ahli (tetapi) tingkahnya manusia yang “bener” (benar) tetapi yang kurang tepat, mengikuti ilmunya santri yang terpenting menjadi manusia “panther” (lurus mengaku-aku, mendewakan badut keparat. dan sejajar dengan arahan). Ketiga, jelas, seperti bunyi salah satu Di samping itu Patitis juga bisa disama pitutur (ajaran) Ki Padmasusastra dalam artikan dengan maqashid dalam ajaran Islam, Serat Madubasa, “Yektine wong kang dhemen di mana segala sesuatu seharusnya tidak ngumbar cangkeme tinimbang kupinge adate dipandang dari sudut lahiriyahnya semata wicarane gabug. Suwalike sing akeh ngrungokake, tetapi yang terpenting adalah intisari atau wicarane sithik nanging patitis lan mentes. tujuan utama yang terkandung didalamnya. Edisi Budaya | 355

Sehingga dalam mempelajari Islam tidak denganlandasan taqwa. Mereka mempelajari hanya aspek Syariah saja melainkan juga aspek ilmu karena Allah Swt. Mereka mengamalkan hakikatnya. ilmu yang mereka pelajari untuk memperkokok ketaqwaan mereka. Oleh kerana itu Allah Swt Patitis dalam sinkritisme Jawa dipahami menganugerahkan kepada mereka berupa ilmu sebagai pusat orientasi kehidupan yang dan pengetahuan yang tidak mereka pelajari hendak dituju dan dicapai manusia. Jika sebelumnya, berupa ilmu-ilmu langka dan seseorang menginginkan hidup mulia di dunia isyarat-isyarat yang sangat rahasia.” maka segala perkatan dan perbuatannya harus tepat dan persis (titis) dengan isi hatinya. Di antara pengetahuan dan isyarat Jika ia ingin tujuan hidupnya berhasil maka yang rahasia itu ialah ia mengetahui kapan gunakanlah ilmu yang “titis” , tidak saja datangnya ajal dan di mana ia akan meninggal. “bener” tapi “panther” yang berorientasi Hal ini seperti yang dialami Ranggawarsita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk yang ia sebut dalam salah satu baitnya: mencapai ilmu yang “titis” (ngelmu) manusia tamating pati patitis, wus katon neng lokil makpul harus dapat memahami kehendak guru sejati yang berarti ia mengetahui terlebih dulu hari (pancer). Dengan memahami pancer manusia kematiannya secara husnul khatimah sesuai akan ditunjukkan jalan keluar dari kehidupan cacatan di lauhil mahfudz. dunia yang fana menuju kehidupan yang kekal (patitis/husnul khatimah). Dalam persepsi pengikutnya, Pujangga kenamaan Jawa itu dianggap sebagai orang Prinsip ini sejalan dengan prinsip hidup spesial (khas) yang titis dalam segala ucapannya kaum sufistik, sebagaimana dijelaskan karena dia sendiri merupakan tokoh yang Al-Ghazali. Menurutnya, para ahli sufi patitis dalam perkataan dan perbuatan. menyelesaikan persoalan hidup mereka [Ishom Saha] Sumber Bacaan Kamajaya, Lima Karya Pujangga Ranggawarsita, Jakarta: Balai Pustaka, 1991 Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988 Anasom, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000 356 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Peci (KOPIAH/SONGKOK) Peci merupakan alat penutup kepala penutup kepala berbentuk persegi yang dibuat bagi kaum laki-laki yang berciri khas dari bahan katun dan dikenakan dengan cara Nusantara yang terbuat dari kain, dilipat pada bagian tengah menjadi berbentuk bahan beludru atau bahan lain dan dibuat seegitiga. Kaffiyeh biasa dikenakan bersama meruncing kedua ujungnya. Sebutan lainnya dengan Taqiyah atau topi kecil berwarna putih adalah kopiah atau songkok. Sementara oleh yang dikenakan sebagai dalaman serta dengan masyarakat di belahan Dunia lain, kopiah atau cara memasang Igal atau tali berwarna hitam peci itu dikenal dengan nama Kufi, taqiyat, topi untuk menahan Kaffiyeh agar tidak lepas. fez/fezzi, tarboosh, songkok, dan lain-lain. Dengan kata lain pemadanan kata Kopiah dengan Kaffiyeh tidak menunjukkan bentuk Meskipun ketiganya berfungsi sebagai barang yang sama. Ada pula yang mengaitkan penutup kepala akan tetapi asal usulnya Kopiah dengan filosofi “Kosong di-Pyah” berbeda. Peci yang di jaman Belanda ditulis artinya kosong dibuang yang mengandung “Petje” berasal dari kata “pet” (topi) dan “je” makna kebodohan dan rasa dengki harus yang mengesankan “sesuatu yang kecil” di dibuang dari isi kepala manusia. mana biasa dikenakan oleh bangsa Melayu. Ada pula penjelasan yang mengidentikkan Sementara Songkok dalam bahasa Inggris Peci dengan topi fez atau fezzi yang berasal dikenal istilah skull cap atau batok kepala dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Kerajaan topi, sebutan oleh Inggris bagi penggunanya Turki Utsmani. di Timur Tengah. Di wilayah Indonesia atau Melayu yang sempat dijajah Inggris, kata Terdapat pula keterangan bahwa Peci tersebut mengalami metamorfosa pelafalan merupakan rintisan dari Sunan Kalijaga yakni menjadi skol kep menjadi song kep dan berupa Kuluk yang memiliki bentuk lebih akhirnya menjadi songkok. Ada pula yang sederhana daripada Mahkota dan disematkan menganggap Songkok dari singkatan “Kosong pada saat pengukuhan Raden Patah/Sultan dari Mangkok” yang artinya kepala ini seperti Fattah diangkat menjadi Sultan Demak. mangkok kosong yang harus diisi dengan ilmu Bahkan ada juga yang mengaitkan Peci dengan pengetahuan. tutup kepala yang dipakai Laksamana Ceng Ho. Dalam bahasa China, “Pe” artinya delapan Secara umum Peci, Kopiah, dan Songkok dan “Chi” artinya energi, sehingga Pechi menjadi identitas orang Islam yang pada merupakan alat untuk menutup bagian tubuh mulanya dikenalkan oleh para pedagang- yang bisa memancarkan energinya ke delapan pedagang Arab dan India. Sebab, masyarakat penjuru arah angin. pribumi dahulunya lebih mengenal ikat kepala, semacam blangkon. Akan tetapi, Sedangkan Kopiah diadopsi dari bahasa seperti biasanya, proses transformasi budaya Arab, Kaffiyeh atau Kufiya. Namun wujud luar kedalam budaya Nusantara selalu asli Kaffiyeh berbeda dengan kopiah. Di menghasilkan adapsi dan asimilasi yang unik; Timur Tengah, Kaffiyeh yang memiliki nama sehingga terciptalah Peci, Kopiah, dan Songkok lain Ghutra atau shemagh merupakan kain khas Nusantara. Edisi Budaya | 357

memakai Peci, Kopiah, dan Songkok berikut serban/surban. Mereka umumnya lebih suka memakai peci atau pengikat kepala sejenis blangkon. Kopiah/songkok biasa dikenakan para santri di pesantren. Di samping sebagai identitas, pemakaian Peci, Kopiah, dan Songkok oleh para haji dan Sumber: Tim Anjangsana Islam Nusantara 2017. santri juga menjadi perlambang kerendahan hati mereka. Sebab membuka kepala sama Sebagai identitas Muslim Nusantara, Peci, artinya seseorang bermaksud menunjukkan Kopiah, dan Songkok dikenakan khususnya kegagahannya, sedangkan menutup kepala para haji dan santri. Sementara kiai, ajengan, sama dengan menjaga marwahnya. Seseorang atau abuya dibedakan dengan penambahan yang menutupi kepalanya dengan Peci, Kopiah, atrubut berupa serban/surban yang dipakai dan Songkok berarti ia dapat memelihara pada saat-saat tertentu, misalnya sewaktu muru’ah-nya. shalat, pengajian, dan lainnya. Kebiasaan ini, menurut Snouck Hurgronje, dijadikan bukti Sekalipun demikian, dalam bahwa para haji di Indonesia tidak terpengaruh dengan cara berpakaian orang Arab karena perkembangannya, Peci, Kopiah, dan mereka sudah memiliki tradisi tersendiri. Orang-orang Indonesia sekembalinya pergi Songkok khas Nusantara juga dijadikan haji justru dianggap aneh jika kesehariannya sebagai simbol nasionalisme pada saat berhadapan dengan bangsa Eropa. Kiai Sholeh Darat memasukkan misi perlawanan kepada penjajah Hindia Belanda dalam Kitab Majum’at al-Syari’at al-Kifayat li ‘awam (1309 H/1892 M), dengan menganjurkan bangsa pribumi Islam mengenakan peci dan atribut lain yang bisa membedakannya dengan kaum penjajah. Ia mengingatkan: “Barangsiapa ikut-ikutan dengan sesuatu maka ia termasuk golongannya” (man syabbaha sya’an syubbiha ‘alaih). Sebab pada waktu itu banyak orang- Para tamu mengenakan Kopiah/Songkok saat sowan ke Gusmus (KH. Mustofa Bisiri), Rembang. Sumber: Tim Anjangsana Islam Nusantara 2017. 358 | Ensiklopedi Islam Nusantara

orang pribumi yang meniru gaya berbusana bermunculan tokoh-tokoh pejuang yang selalu orang-orang Eropa, seperti memakai pentolan, menggunakan Peci, Kopiah, dan Songkok jas, dasi, dan topi. Padahal sebagimana sebagai ikon nasionalisme, yang diantaranya disabdakan Rasulullah Saw: Laysa minna man adalah Soekarno. tasyabbah bi ghair minna (Tidak termasuk ummatku orang yang meniru golongan selain Pada pertemuan Jong Java di Surabaya aku). pada Juni 1921, Soekarno untuk pertamakali mengenalkan diri sebagai pemuda berpeci, Pandangan serupa juga dikemukakan sekalipun mulanya ia khawatir ditertawakan Sayyid Utsman al-Batawi --seorang mufti sahabat-sahabatnya. Ia berkata di hadapan Betawi- dalam Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah teman-teman seperjuangannya: “Kita li Ahl al-Majalis al-Hukmiyyat wa al-Ifta’iyyat memerlukan lambang daripada kepribadian (1883 M). Ia mengkritik pegawai-pegawai Indonesia. Peci dipakai oleh pekerja-pekerja bangsa pribumi di kantor-kantor pemerintah bangsa Melayu, dan itu asli kepunyaan rakyat Belanda yang mengenakan pakaian serupa kita.” yang dikenakan orang-orang Belanda. Orang- orang pribumi di kantor pemerintah saat Sampai sekarang, penggunaan Peci, itu melepas peci sebagai penutup kepala Kopiah, dan Songkok tidak dibatasi untuk dengan diganti topi dan mengenakan baju orang Islam dan tidak sekedar dipakai untuk berdasi agar dianggap sebagai bagian pegawai acara peribadatan saja. Peci, Kopiah, dan pemerintahan. Songkok juga dipakai dalam acara resmi seperti pertemuan-pertemuan kenegaraan Pengaruh fatwa ulama Indonesia ini oleh kalangan dan tokoh yang agamanya non- berpengaruh besar terhadap pemakaian Peci, Muslim sekalipun. Hal ini dikarenakan Peci, Kopiah, dan Songkok, serta blangkon. Sebab Kopiah, dan Songkok sudah menjadi identitas yang merasa menjadi orang pribumi akan nasional. menggunakannya, sekalipun mereka bukan santri ataupun sudah pergi haji. Dari situlah [Ishom Saha] Sumber Bacaan Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: Yayasan Bung Karno, 1987 Hurgronje, C. Snouck, “Politik Haji?” dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII, Jakarta: INIS, 1993 Rozan Yunos, “The Orign of the Songkok or Kopiah, dalam The Brunei Times, 23/09/2007 Utsman, Sayyid, Al-Qawanin al-Syar’yyah li Ahl al-Majalis al-Hukmiyyah wa al-Iftaiyyah, Batavia, 1891. Edisi Budaya | 359

Pegon Istilah Kata Aksara Nusantara seringkali dikaitkan dengan aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebelum berkembangnya Agama Islam di (KBBI), pegon artinya aksara Arab Nusantara dan sebelum kolonialisasi bangsa- yang digunakan untuk menulis bangsa Eropa di Nusantara. Berbagai macam bahasa Jawad dan Sunda atau tulisan yang media tulis dan alat tulis digunakan untuk tidak dibubuhi tanda-tanda baca (diakritik). menuliskan Aksara Nusantara. Media tulis Kromopawiro sebagaimana dikutip Ibnu untuk prasasti antara lain meliputi batu, kayu, Fihri mendefinisikan kata pegon berasal dari tanduk hewan, lempengan emas, lempengan bahasa Jawa, pego, yang memiliki arti “ora perak, tempengan tembaga, dan lempengan lumrah anggone ngucapake” (tidak lazim dalam perunggu; tulisan dibuat dengan alat tulis mengucapkan). Hal ini dapat kita telusuri berupa pahat. Media tulis untuk naskah antara dari banyaknya kata-kata Jawa yang ditulis lain meliputi daun lontar, daun nipah, janur dalam huruf atau tulisan Arab yang aneh bila kelapa, bilah bambu, kulit kayu, kertas lokal, diucapkan. Bahkan orang Arab sendiri tidak kertas impor, dan kain; tulisan dibuat dengan akan mudah membaca Arab Pegon ini. (Ibnu alat tulis berupa pisau atau pena dan tinta. Fihri, 2014) Secara periodik, perkembangan aksara Menurut Titik Pudjiastuti, Pegon Nusantara dapat ditelusuri berdasarkan adalah jenis aksara Arab yang dimodifikasi periodisasi sejarah kerajaan-kerajaan di sedemikian rupa dengan cara menambah Nusantara. Di masa Hindu-Budha, aksara tanda diakritik tertentu untuk menulis teks- Nusantara terdiri dari aksara Pallawa, Nagari, teks berbahasa Jawa. (Pudjiastuti, 2006: 44) Kawi, Malesung, Buda, Sunda Kuna, dan Sementara menurut Purwadi dalam kamus AKsara Proto-Sumatera. Begitu pula dengan Jawa-Indonesia (2003), pegon berarti tidak periode kerajaan-kerajaan Islam, aksara- biasa mengucapkan. Kata lain dari “pegon” aksara di Nusantara mengalami perkembangan yaitu gundhil berarti gundhul atau polos. dengan munculnya aksara pegon. Sedangkan “huruf Arab pegon” digunakan untuk menuliskan terjemahan maupun makna yang Pada titik ini, sejarah kemunculan tersurat di dalam kitab kuning (Lihat dalam istilah Arab Pegon tidak bisa dilepaskan dari entri Kitab Kuning) dengan menggunakan sejarah masuk dan berkembangnya Islam bahasa tertentu. di Nusantara. Beberapa orang mengatakan bahwa arab pegon telah muncul sekitar tahun Latar Belakang Munculnya Aksara Pegon 1400 M dan digagas oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Sebagian lain menisbatkan Aksara Nusantara merupakan beragam Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati aksara atau tulisan yang digunakan di sebagai penggagas awal arab pegon. (Ibnu Nusantara untuk secara khusus menuliskan Fihri, 2014: 40) bahasa daerah tertentu. Walaupun Abjad Arab dan Alfabet Latin juga seringkali digunakan Terlepas dari perdebatan siapa yang untuk menuliskan bahasa daerah, istilah pertama kali menciptakan aksara pegon, hal yang tentu tidak bisa dimungkiri adalah bahwa 360 | Ensiklopedi Islam Nusantara

kemunculan serta perkembangan aksara pegon penyakit, dan pembuatan wifiq atau memiliki hubungan yang erat dengan proses azimat (Noriah Ahmed, 2011). Di sejumlah dakwah atau syiar Islam. Hal ini bisa dibuktikan pesantren-pesantren tradisional, proses dengan munculnya karya-karya ulama pembelajaran kitab kuning yang juga sekaligus Nusantara dalam aksara pegon sebagai bentuk bagian dari proses pembelajaran bahasa Arab upaya dari penyebaran ajaran agama Islam. menggunakan bahasa dan aksara pegon dalam penyampaiannya. Mula-mula kitab kuning Pada abad ke-14 bangsa Aceh dan Melayu dibacakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa mengambil alih cara menulis bangsa Arab lokal (Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu) oleh bersama dengan proses Islamisasi terjadi, pada seorang Kiai, lalu para santri yang mengikuti masa tersebut bangsa ini menggunakan abjad pengajian ini memberikan makna dalam yang sama seperti yang dipakai oleh bangsa kitab yang sedang dipelajarinya ini dengan Arab dan para muslimin di beberapa tempat menggunakan aksara pegon. lainnya seperti tulisan Parsi di Iran dan Iraq (Semenanjung Arab) dan Urdu di India. Dapat Aksara pegon bukan hanya terbatas dimaklumi bahwa aksara Arab Jawi memainkan pada bentuk pemaknaan atau penerjemahan peranan penting dalam perjalanan tradisi kitab kuning berbahasa Arab, melainkan juga tulis-menulis di Nusantara selama berabad- digunakan sebagai aksara penulisan kitab-kitab abad, hal tersebut dapat dilihat bahwa aksara ulama Nusantara. Artinya, aksara pegon dalam Arab Jawi sudah ada di bumi Nusantara pada sejarah dan tradisi pesantren di nusantara abad ke-16. (Hermansyah, 2010) bukan sesuatu yang bersifat sekunder atau bahkan pelengkap atas pengajaran keislaman Namun, jika ukurannya adalah bukti di Nusantara. Melainkan sebagai sesuatu yang naskah dari karya-karya ulama Nusantara bersifat primer. Karya-karya ulama nusantara yang ditulis dalam aksara pegon, maka yang menggunakan aksara pegon baik dalam (berdasarkan wawancara Uka Tjandrasasmita) bentuk bahasa Jawa, Melayu, Sunda, dan karya Sunan Bonang atau Syekh al-Barri daerah-daerah lainnya sangat banyak. yang berjudul Wukuf Sunan Bonang adalah yang tertua. Karya yang ditulis pada abad 16 Menurut Saiful Umam (2015), Pegon ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan sebagai media untuk menulis juga sudah bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini digunakan paling tidak pada abad ke-17. Hal merupakan terjemahan sekaligus interpretasi ini dibuktikan dengan adanya manuskrip dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al- Mukhtashar Bafadhal yang diyakini ditulis pada Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, abad tersebut dan sekarang tersimpan di The Jawa Timur. Dalam karyanya, Sunan Bonang British Library. Dalam manuskrip tersebut, menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliyullah dan para ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan- kawan) seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara. Huruf atau aksara pegon bukan hanya digunakan sebagai salah satu sarana pengajaran dan transmisi keilmuan, melainkan juga digunakan wadah kelestarian hidup, mencari jodoh bagi pasangan yang hendak membangun rumah tangga, mengobati Edisi Budaya | 361

terdapat terjemahan antarbaris dan beberapa ahli-ahli di bidang lain yang menerapkannya catatan di bagian tepi yang ditulis dalam Pegon. bagi kajian sejarah, hukum, keagamaan dan Memang dalam bentuk kitab utuh karya lokal kebudayaan (Uka Tjandrasasmita, 2006: 1) sebagaimana contoh kitab Jawi di atas, kitab Pegon baru dijumpai pada abad ke-19, di mana Naskah tersebut ditulis oleh ulama-ulama Kiyai Ahmad Rifai Kalisalak (w. 1870) adalah Nusantara dengan berbagai disiplin ilmu orang yang sampai saat ini diketahui sebagai keislaman seperti tafsir, hadis, fikih, sejarah penulis pertama kitab Pegon. nabi dan rasul, tasawuf dan lain sebagainya. Bahkan, pada zaman penjajahan Belanda, Rumus Menulis dan Membaca Aksara sebelum tulisan latin diajarkan di sekolah- Pegon sekolah, seringkali aksara Arab dipergunakan dalam surat menyurat, bahkan dikampung- Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa aksara kampung pada umumnya sampai zaman pegon adalah aksara Arab yang telah dimodifikasi permulaan kemerdekaan, banyak sekali orang dengan sedemikian rupa dengan penambahan- yang masih buta aksara latin tetapi tidak penambahan titik diakritik pada huruf-huruf buta aksara Arab, karena mereka sekurang- tertentu, maka aksara pegon pun memiliki ciri kurangnya dapat membaca aksara Arab, baik dan cara baca tersendiri yang memiliki beberapa untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis perbedaan dengan cara menulis dan membaca surat dalam bahasa daerah dengan aksara huruf atau aksara Arab murni. Arab. (Juwairiyah Dahlan, 1992: 29) Dalam Penulisannya, Pegon yang berupa Usaha menyelamatkan naskah-naskah huruf vokal diwakili dengan huruf-huruf Nusantara baik dalam aksara Arab, Jawa, Pegon, yang dalam tulisan Arab berfungsi untuk maupun aksara lainnya terus dilakukan oleh memanjangkan bacaan huruf, yakni alif pemerintah, para ahli filologi, serta masyarakat (‫)ﺍ‬, wawu (‫ )ﻭ‬dan ya (‫)ﻱ‬. Sedangkan huruf pegiat naskah. Seperti diamanatkan dalam UUD konsonan ditulisan Arab Pegon diwakili oleh 1945, bahwa masyarakat bangsa dan Negara huruf-huruf hijaiyah yang mirip bunyinya, Republik Indonesia diwajibkan memelihara, seperti «n» dengan huruf nun, “m” dengan membina, dan mengembangkan kebudayaan mim dan lain-lain. yang berkesinambungan dan berkepribadian, terutama mencegah unsur-unsur budaya yang Misalnya kata makan dituliskan dengan negatif, baik dari dalam maupun luar. Untuk huruf mim, alif, kaf, alif dan nun menjadi ‫ﻣﺎﻛﺎﻥ‬ menggali nilai-nilai kebudayaan bangsa yang dan kata belajar dengan hurub ba, lam, alif, jim, berkepribadian itu naskah perul dipelajari dan alif, dan ra’ ‫ ﺑﻼﺟﺎﺭ‬. Selain huruf yang sudah ada dikomunikasikan, baik melalui bahasa daerah padanannya, untuk huruf yang tidak ada dalam abjad hijaiyyah seperti bunyi sengau “ng” atau dan huruf “c”, dipakai huruf tertentu dengan menambahkan titik tiga: Ng dengan ghoin (‫)ﻍ‬ titik tiga dan c dengan jim (‫ )ﺝ‬titik tiga. Naskah Pegon Nusantara (Naskah Tarjuman al-Mustafid, karya tafsir terlengkap pertama dengan huruf pegon melayu yang ditulis oleh Naskah-naskah yang ditulis dengan Syekh Abdurrauf al-Singkeli) menggunakan huruf pegon tak terhitung jumlahnya. Namun dari naskah atau manuskrip bangsa kita yang jumlahnya banyak dan isinya berlimpah informasi sesuai dengan zamannya itu baru sebagian kecil, bahkan mungkin masih jauh di bawah 10 persen, yang dikaji oleh ahlinya di bidang filologi maupun 362 | Ensiklopedi Islam Nusantara

atau nasipnal sehingga mudah diakses, dibaca, menilai bahwa Nazam Tarekat yang ditulis dan dimanfaatkan oleh masyarakat Dunia secara oleh Kiai Ahmad Rifai meskipun sifatnya umu dan lebih khusus masyarakat Indonesia . hanya sebagai puisi didaktis yang sarat dengan pengetahuan keislaman dari berbagai Aksara Pegon dan Perlawanan Terhadap aspeknya; akidah, syariat, dan tasawuf, hal Kolonial yang menarik, nazam Tarekat juga sarat dengan berbagai kritik tajam kepada penguasa Secara umum, sikap umat Islam dan kekuasaan masa kolonial. di Nusantara terhadap kolonialisme terbagi menjadi dua kubu: kooperatif dan Dengan demikian, nazam Tarekat konfrontatif. Perang Sabil di Aceh, Perang yang ditulis oleh Kiai Ahmad Rifai bukan Menteng di Palembang, Perang Diponegoro hanya sekadar puisi didaktis yang hendak di Jawa dan perlawanan-perlawanan serupa menyampaikan pengetahuan kepada terhadap kolonial yang terjadi di sejumlah pembacanya, sebagaimana umumnya nazam- daerah merupakan contoh dari sikap kaum nazam lain. Ia juga membawa fungsi sosial muslim yang mengambil bentuk konfrontatif tertentu berkaitan dengan situasi zaman (perlawanan fisik) terhadap kaum penjajah. penulisnya. Fungsi sosial yang dimaksud di sini akan nampak jelas terlihat pada pembahasan Selain sikap konfrontatif, sikap sebagian seputar tarekat. Dimana dijelaskan oleh Kiai umat Islam di Nusantara mengambil bentuk Ahmad Rifai bahwa Tarekat bukan semata-mata akomodatif-kooperatif terhadap penjajah. mengenai persoalan metode dan ritual tertentu Sikap ini sebagaimana tergambar pada untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi sejumlah tokoh yang mau bekerjasama dengan juga merngenai sikap terhadap persoalan sosial pemerintah kolonial. Konon, sikap akomodatif dan politik di zamannya. Menurut Kiai Ahmad ini tidak bisa dilepaskan dari strategi Rifai, tarekat yang benar adalah, antara lain, pemerintah kolonial dalam melanggengkan menjaga jarak dengan penguasa yang fasik. kekuasaanya atas nusantara. Model perlawanan yang dilakukan oleh Di sisi lain, terdapat sejumlah tokoh Kiai Ahmad Rifai terhadap pemerintah yang mengambil sikap perlawanan terhadap kolonial Belanda ini dianggap meresahkan cengkraman kolonialisme yang melanda mereka. Dalam catatan sejarah, setidaknya Nusantara dalam bentuk yang lain; menulis telah tiga kali Residen Pekalongan melaporkan karya-karya anti kolonial (perlawanan non kegiatan yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Rifai fisik). Salah satunya adalah Kiai Ahmad Rifai kepada Gubernur Jenderal Belanda Hindia Kalisalak (1786-1870 M)). Ia menulis sejumlah Belanda, yang berisikan permintaan agar Kiai karya yang isinya sarat muatan perlawanan Ahmad Rifai diasingkan dari Kalisalak. terhadap kaum penjajah. Dan salah satu karyanya adalah Nazam Tarekat. Sebuah karya Selain dalam kitab Nazam Tarekat, KH. nazam berbahasa Jawa yang berisi ajaran Ahmad Rifai Kalisalak juga menulis karya- Tarekat dan terdiri atas 4864 bait puisi. karya lain yang berisi tentang doktrin protes terhadap pemerintah kolonial beserta aparat Teks nazam Tarekat Kiai Ahmad Rifai ditulis feodal dan tradisionalnya dalam kitab- dalam bahasa Jawa dengan menggunakan kitabnya yang berjudul Tarikh, Nadzam aksara pegon. Melalui nazam Tarekat ini, Kiai Wikayah, Syarihul Iman, Bayan, Tafrikah, Ahmad Rifai mencurahkan pemikiran dan Abyanul Hawaij, Tasyrihatul Muhtaj dan Riyatul sikapnya terhadap kondisi sosial pada masanya. Himmah. (Ibnu Fihri, 15) Kitab ini terdiri dari 24 tanbih (semacam judul, arti tekstualnya peringatan). Standar Latinisasi Menggerogoti Aksara Pegon Adib Misbahul Islam dalam bukunya, Puisi Perlawanan dari Pesantren ; Nazam Tarekat Peradaban Nusantara lebih khusus Jawa Karya KH. Ahmad Rifai Kalisalak (2016: 15), yang sudah mengenal lebih dulu keberaksaraan Edisi Budaya | 363

juga menduduki posisi penting dalam yang lebih jelas dan lebih jauh. Seabad yang pengembangan tradisi keilmuan, khususnya lalu, menjelang tahun 1880 aksara Arab di lingkungan pesantren. Aksara pegon, yang masih digunakan luas untuk menuliskan digunakan di Pesantren Jawa sebagai aksara Bahasa Melayu dan beberapa bahasa setempat akademik memang sebenarnya menjadi (seperti Bahasa Aceh atau Minangkabau). Kini karakteristik aksara Pesisiran. Sebab, di daerah keadaan teah berubah sama sekali. Hampir pesisiran pulau Jawa inilah muncul pusat- semua yang dicetak di Jawa, ditulis dengan pusat keislaman seperti pondok pesantren aksara latin. Beberapa teks langka, terutama yang berfungsi sebagai tempat pendidikan yang bersifat keagamaan, yang beraksara Arab agama Islam. Di tempat itulah lahir peradaban masih diajarkan di Pesantren, untuk keperluan baru di Jawa; 1. aksara pesantren Jawa, yang membaca al-Quran, namun pengajaran aksara disebut pegon, 2. bahasa Jawa-Islam, yang Sunda dan Jawa dapat dikatakan berhenti. disebut sebagai bahasa Jawa-Kitabi, 3. teks- teks keagamaan Islam atau kesusastraan Secara garis besar mutasi itu terjadi Islam, yang oleh Poerbatjaraka disebut sebagai selama paro pertama abad ke-20 dan mulai sastra Pesantren. (Moch.Ali, 2007) dari Jawa, di mana penggunaan bahasa Arab tak pernah seluas di Sumatra atau di Pada akhir abad ke-20-an, aksara pegon Semenanjung. Setelah perdebatan panjang di mengalami kemunduran. Tepatnya sejak antara ahli bahasa, terutama A.A. Fokker dan tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda C. Spat, sistem trasnkripsi yang diusulkan secara pelan mulai menggantikannya dengan oleh Van Ophuysen diterima dan dinyatakan aksara latin. Di tengah gempuran sekolah- sebagai ejaan resmi pada tahun 1901. (Denys sekolah dan lembaga pendidikan modern, Lombar, 166) aksara pegon hingga kini masih diajarkan di pesantren-pesantren di Indonesia. Hal ini Kebijakan latinisasi ini pada gilirannya cukup untuk membuktikan bahwa aksara menggerus tradisi penggunaan aksara Pegon pegon masih menjadi salah satu aksara yang (di Jawa) atau aksara Jawi (Melayu). Dan digunakan oleh masyarakat Indonesia. sekarang, salah satu lembaga –bahkan bisa dikatakan satu-satunya lembaga- yang masih Denys Lombard dalam bukunya Nusa setia menggunakan dan mempertahankan Jawa: Silang Budaya (2005: 164-165) aksara pegon sebagai bagian dari proses mengatakan bahwa latinisasi tulisan yang pembelajaran adalah pesantren. digunakan secara merata membawa akibat [M Idris Mas’udi] Sumber Bacaan A.Khoirul Anam, Ensiklopedia NU, Jakarta: Matabangsa, 2012, cet. II Adib Misbachul Islam, Puisi Perlawanan Dari Pesantren; Nazam Tarekat Karya K.H. Ahmad ar-Rifai Kalisalak, Tangerang Selatan: TransPustaka, 2016, cet. I Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia, 2005, Cet. III Ibnu Fihri, Aksara Pegon Studi Tentang Simbol Perlawanan Islam di Jawa Pada Abad XVIII-XIX, Semarang: IAIN Walisongo, 2014, hal. 40 Islah Gusmian, Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca, Jurnal Tsaqafah, vol.6, no.1, April 2010 Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab, Surabaya, Penerbit Al-ikhlas, 1992,h. 29 Memed Sastrahadiprawira, Basa sareng Kasoesastran Soenda, Poestaka-Soenda (7 dan 8), hlm. 97-101. Moch.Ali, Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura Dalam Naskah Careta Qiyamat, Litera, Vol 6, Nomor 1, Januari 2007 Noriah Mohamed, Aksara Jawi; Makna dan Fungsi, Sari 19 (2011) hlm. 121 Uka Tjadrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Islam di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Balai Litbang dan Diklat Depag RI, 2006, cet.I Saiful Umam, Jawi dan Pegon, http://www.uinjkt.ac.id/id/jawi-dan-pegon/ http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/06/24/58687-abjad-arab-dalam-penulisan-bahasa- melayu https://sites.google.com/site/kurrotadzikra/home/jenis-jenis-naskah http://www.hermankhan.com/2010/11/punahnya-tradisi-penulisan-arab-jawi.html http://www.tokobukupesantren.com/2013/10/pegon-rahasia-sukses-belajar-tulisan.html 364 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Pengajian Pengajian berasal dari kata kaji yang kehidupannya. artinya pelajaran (agama, dan lain sebagainya); penyelidikan (tentang Sedangkan jamaah pengajian adalah sesuatu). Mendapat awalan peng- dan akhiran sekelompok atau gabungan dari beberapa –an menjadi pengajian yang berarti kegiatan orang (Muslim) yang menyelenggarakan suatu untuk melakukan pengajaran (agama Islam), kegiatan pembelajaran ilmu agama Islam yang menanamkan norma agama melalui dakwah; di pimpin oleh seorang dai melalui berbagai pembacaan Al-Quran. media, seperti ceramah-ceramah agama yang diadakan di rumah-rumah, masjid, Pengertian secara terminologis adalah perpustakaan dan sebagainya. Adapun sumber penyelenggaraan atau kegiatan belajar agama ajaran utamanya adalah Al-Qur’an, Hadits dan Islam yang berlangsung dalam kehidupan berbagai kitab karya ulama dari segala disiplin masyarakat yang dibimbing atau diberikan oleh ilmu. seorang guru ngaji (dai) terhadap beberapa orang. Kegiatan tersebut diselenggarakan Dalam pengajian, dilaksanakan sebuah dalam waktu dan tempat tertentu, dengan sistem pengajaran atau penyampaian ilmu tujuan agar orang-orang yang mengikuti berasaskan ajaran Islam. Pengajian ini dapat mengerti, memahami, dan kemudian lebih banyak didominasi oleh unsur-unsur mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam keislaman, sehingga bisa dikatakan bahwa yang menjadi tujuan dari pengajian yaitu Edisi Budaya | 365

membentuk kepribadian seseorang yang kualitas hidupnya secara integral. Baik lahiriah menjadi insan kamil yang berpola takwa. dan batiniah, duniawi dan ukhrawiah secara bersamaan (simultan), sesuai tuntunan ajaran Diadakan kegiatan keagamaan seperti agama Islam yaitu iman dan taqwa yang pengajian mempunyai tujuan yang berbeda- melandasi kehidupan duniawi dalam segala beda sesuai dengan realitas orang yang bidang kegiatannya. Fungsi demikian sejalan memaknai atau mengartikannya. Tuty dengan pedomana pembangunan nasional. Alawiyah merumuskan tujuan pengajian dilihat dari segi fungsinya. Pertama, Sebagai Dalam Islam, tujuan hidup umat tempat belajar, maka tujuan pengajian adalah manusia tidak sebatas untuk mencapai menambah ilmu dan keyakinan agama Islam kebahagiaan kehidupan dunia semata, yang akan mendorong pengalaman ajaran namun juga pencapaian kebahagiaan agama akhirat. Islam merupakan pencerah yang membawa keseimbangan dalam kehidupan Kedua, ebagai kontak sosial, maka dunia dan akhirat, yakni Habluminallah dan pengajian mempunyai tujuan sebagai tempat Hablumminannas. Islam memberi penghargaan silaturahmi. Ketiga, ebagai sarana mewujudkan bagi orang-orang yang mau belajar dan minat sosial, maka tujuannya adalah mengajarkan Al Qur’an seperti tertuang dalam meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan hadits Nabi SAW sebagai berikut: rumah tangga serta lingkungan jamaahnya. “Sebaik-baik kamu adalah orang yang Selain itu, juga ikut menentukan mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya.” dalam membangkitkan sikap patriotisme (HR. Bukhori dan Muslim) dan nasionalisme sebagai modal mencapai kemerdekaan Indonesia. Lembaga seperti Dilihat dari segi tujuan, pengajian pengajian ini telah ikut serta menunjang termasuk sarana dakwah Islamiyah yang secara tercapainya tujuan pendidikan nasional. self standing dan self disciplined mengatur dan Dilihat dari bentuk dan sifat pendidikannya, melaksanakan berbagai kegiatan berdasarkan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut musyawarah mufakat untuk kelancaran ada yang berbentuk langgar, surau, dan pelaksanaan pengajian sesuai dengan tuntutan rangkang. pesertanya. Dilihat dari aspek sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia sampai sekarang, Secara strategis, pengajian menjadi banyak terdapat lembaga pendidikan Islam tujuan, sarana dakwah dan tabligh yang memegang peranan sangat penting dalam berperan sentral pada pembinaan dan penyebaran ajaran Islam di Indonesia. peningkatan kualitas hidup umat agama Islam sesuai tuntunan ajaran agama. Majelis ini Pengajian merupakan bentuk lembaga menyadarkan umat Islam untuk memahami nonformal yang fleksibel dan merupakan dan mengamalkan agamanya yang kontekstual lembaga pendidikan yang amat besar di lingkungan hidup sosial budaya dan alam peranannya dalam menyebarkan risalah Islam, sekitar masing-masing, menjadikan umat serta merupakan lembaga pendidikan yang Islam sebagai ummatan wasathan yang berorientasi pada konsep dan pandangan meneladani kelompok umat lain. pendidikan secara Islam. Untuk tujuan itu, maka pemimpinnya Materi pengajian harus berperan sebagai penunjuk jalan ke arah pencerahan sikap hidup Islami Materi dakwah merupakan faktor yang yang membawa kepada kesehatan mental cukup penting dalam menentukan berhasil rohaniah dan kesadaran fungsional selaku atau tidaknya palaksanaan pengajian. Materi khalifah dibuminya sendiri. Mengokohkan yang tidak pas dengan kondisi masyarakat landasan hidup manusia muslim Indonesia adakalanya kurang diminati oleh jamaah, pada khususnya di bidang mental spiritual sehingga akan melahirkan rasa enggan untuk keagamaan Islam dalam upaya meningkatkan 366 | Ensiklopedi Islam Nusantara

mengikuti pengajian. pemberian nasehat dengan mengungkapkan sebab akibat atau baik buruknya suatu Materi yang dipelajari dalam pengajian perbuatan dilakukan, baik itu melalui mencakup pembacaan Al Quran dan Tajwidnya penuturan kisah-kisah keadaan umat pada serta tafsirnya, fiqih serta apa saja yang masa lalu, melalui pemberian peringatan dibutuhkan para jamaah misalnya masalah atau kabar gembira (ancaman/janji), melalui kewajiban ibu rumah tangga, undang-undang pelukisan, gambaran surga atau neraka, melalui perkawinan, dan lain-lain. pengungkapan perumpamaan-perumpamaan. Penambahan dan pengembangan materi Ketiga, dialog yang baik. Metode ini dapat saja terjadi di pengajian melihat semakin dilaksanakan dengan cara berdialog atau majunya zaman dan semakin kompleks bertukar pikiran karena adanya kontradiksi permasalahan yang sedang aktual dan butuh keyakinan dengan dakwah, baik perbedaan penanganan yang tepat di masyarakat. Wujud pemikiran dengan dakwah atau karena arah program yang tepat dan aktual sesuai dengan dakwah yang berlawanan dengan akidah kebutuhan jamaah itu sendiri merupakan atau keyakinan mereka. Jadi metode ini suatu langkah yang baik agar pengajian tidak dilaksanakan dalam rangka menjernihkan terkesan kolot dan terbelakang. Pengajian permasalahan dengan cara pertukaran salah satu struktur kegiatan dakwah yang argumen sebagai pemecahan masalah tentunya berperan penting dalam mencerdaskan umat, dilandasi dengan dasar-dasar tertentu. maka selain pelaksanaan secara teratur dan periodik, juga harus mampu membawa Ibu rumah tangga dan pengajian jamaahnya ke arah yang lebih baik dalam bersikap dan berperilaku di tengah kehidupan Pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat. bersama antara individu dan masyarakat, dan dilaksanakan secara sadar baik dari pihak Metode pengajian pendidik maupun pihak terdidik. Kesadaran itu dibutuhkan untuk mencapai kedewasaan Dalam berdakwah dan melakukan dan kematangan berpikir. Jalan menuju pengajian, memerlukan cara atau metode agar kematangan itu dapat dilalui berbagai cara, materi yang dibawakan menarik dan tidak antara lain melalui proses pendidikan formal, monoton. Di tengah penyampaian materi, juga informal dan non-formal. perlu diselipkan humor-humor terkini untuk menyegarkan suasana. Apalagi pengaruh pendidikan agama yang memiliki peran yang sangat besar dalam Metode sebagai salah satu faktor yang pembentukan perilaku manusia. Dengan perlu dipikirkan dan diupayakan secara cermat pendidikan agama yang kuat, maka akan dan teliti. Metode yang tidak jelas atau tidak terbentuk generasi yang mampu bertahan pas dalam penyampaiannya akan berimbas dalam perubahan zaman yang kian dinamis. pada para jamaah, sehingga disini perlu Pendidikan agama inilah yang harus dilakukan langkah-langkah kreatif terkait ditanamkan kepada para ibu-ibu rumah dengan penerapan metode. Metode yang dapat tangga agar tidak terpengaruh oleh pergaulan diterapkan dalam pengajian antara lain yaitu: dilingkungan yang dapat menjerumuskannya. Pertama, Hikmah. Metode ini merupakan Islam sebagai agama yang menjadi metode dakwah dari seorang dai sebagai pedoman hidup bagi manusia mencakup refleksi dari kemampuannya dalam seluruh kehidupan manusia. Di samping melaksanakan dakwah dengan jitu karena sebagai pedoman hidup, Islam menurut pengetahuanya yang tuntas lagi tepat tentang para pemeluknya juga sebagai ajaran yang liku-liku dakwah. harus didakwahkan dan memberikan pemahaman berbagai ajaran yang terkandung Kedua, mauidzah khasanah atau nasehat yang baik. Metode ini diterapkan dengan Edisi Budaya | 367

di dalamnya. Sarana yang dapat dilakukan kegiatan yang bernuansa Islami mendapat dalam mentransformasikan nilai-nilai agama perhatian dan dukungan dari masyarakat, tersebut antara lain melalui aktivitas pengajian sehingga tercipta insan-insan yang memiliki yang berfungsi memberikan pemahaman keseimbangan antara potensi intelektual dan tentang nilai-nilai ajaran tersebut. mental spiritual dalam upaya menghadapi perubahan zaman yang semakin global dan Usaha keaktifan mengikuti pengajian maju. dalam membina ibu-ibu rumah tangga sering dilakukan di luar pendidikan formal yang Tak jarang dari aktivitas pengajian yang secara otomatis telah mendukung berbagai dilakukan oleh ibu-ibu ini memunculkan teori yang didapat dari pendidikan nonformal, berbagai program dan langkah nyata salah satunya adalah penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat, baik di bidang pengajian ibu-ibu yang kerap dilakukan oleh agama, pendidikan, kesehatan, wirausaha, berbagai organisasi perempuan di Indonesia. pengembangan ekonomi, dan lain-lain. Di titik ini, pengajian mempunyai peran vital dalam Tujuan utamanya adalah lahirnya ibu-ibu meningkatkan kualitas hidup masyarakat rumah tangga yang dinamis serta menjunjung jika dikelola dengan baik. Melalui lembaga tinggi nilai-nilai agama. Keberadaan pengajian pengajian ini, ibu-ibu bisa menggandeng sebagai salah satu cara pendidikan non- berbagai elemen untuk meningkatkan peran formal merupakan salah satu alternatif untuk pengajian ke arah yang lebih bermanfaat menangkal pengaruh negatif perkembangan secara global, baik bagi anggota pengajian dan globalisasi. Di samping itu, pengajian sebagai seluruh masyarakat. tempat pendidikan agama merupakan sarana efektif untuk membina dan mengembangkan Sejarah dakwah dan pengajian Wali ajaran agama Islam dalam upaya membentuk Songo manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT. Menurut catatan Dinasti Tang China Berbagai aktivitas pengajian yang telah pada abad ke-6 M, jumlah warga Muslim di dilakukan merupakan proses pendidikan Nusantara (Indonesia) hanya kisaran ribuan yang mengarah kepada internalisasi nilai-nilai orang. Dengan klasifikasi yang beragama agama sehingga para ibu-ibu rumah tangga Islam hanya orang Arab, Persia dan China. mampu merefleksikan tatanan normatif yang Para penduduk pribumi tidak ada yang mau mereka pelajari dalam realitas kehidupan memeluk Islam. sehari-hari. pengajian adalah wadah pembentuk jiwa dan kepribadian yang agamis Bukti sejarah kedua, Marco Polo singgah yang berfungsi sebagai stabilisator dalam ke Indonesia pada tahun 1200-an M. Dalam seluruh gerak aktivitas kehidupan umat Islam catatannya, komposisi umat beragama di Indonesia, maka sudah selayaknya kegiatan- Nusantara masih sama persis dengan catatan Dinasti Tang; orang Indonesia tetap tidak mau memeluk agama Islam. Bukti sejarah ketiga, dalam catatan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 masehi, tetap hanya orang asing yang memeluk agama Islam. Jika dikalkulasikan dari ketiga catatan tersebut, sudah lebih dari 8 abad agama Islam tidak diterima orang Indonesia. Agama Islam hanya dipeluk segelintir orang asing. Dalam sumber lain disebutkan pula bahwa sebenarnya Islam masuk Nusantara sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan 368 | Ensiklopedi Islam Nusantara

literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal telah ada sebuah perkampungan Arab Islam itu mereka jadikan “teman akrab” dan media di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marco dakwah agama, selama tidak ada larangan Polo menyebutkan, saat persinggahannya dalam nash syariat. di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Wali Songo belajar bahasa lokal, Ibnu Bathuthah, pengembara Muslim yang memperhatikan kebudayaan dan adat, serta ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu M menuliskan bahwa Aceh telah tersebar berusaha menarik simpati mereka. Karena Madzhab Syafi’i. Tapi baru abad 9 H (abad 15 masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian, M) penduduk pribumi memeluk Islam secara maka Wali Songo menarik perhatian dengan massal. Massa itu adalah masa dakwah Wali kesenian, diantaranya dengan menciptakan Songo. tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan dan pertunjukkan wayang dengan Para sejarawan dunia angkat tangan saat lakon Islami. Setelah penduduk tertarik, diminta menerangkan bagaimana Wali Songo mereka diajak membaca syahadat, diajari bisa melakukan mission impossible saat itu: wudhu, shalat, dan sebagainya. membalikkan keadaan dalam waktu kurang dari 50 tahun atau setengah abad, padahal Wali Songo sangat peka dalam beradaptasi sudah terbukti 800 tahun lebih bangsa dan memberikan pengajian, caranya Nusantara selalu menolak agama Islam. menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya, Berbeda dengan dakwah Islam di Asia kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari- Barat, Afrika dan Eropa yang dilakukan dengan hari tertentu setelah kematian keluarga tidak penaklukan, Wali Songo berdakwah dengan diharamkan, tapi diisi dengan pembacaan cara damai. Yakni dengan pendekatan pada tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel, masyarakat pribumi dan akulturasi budaya yang dikenal sangat hati-hati, menyebut shalat (integrasi budaya Islam dan budaya lokal). dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan Dakwah Wali Songo adalah dakwah kultural. hyang) dan menamai tempat ibadah dengan “langgar” mirip kata sanggar untuk melakukan Banyak peninggalan Wali Songo pengajian sebagai sarana menginternalisasi menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi nilai-nilai agama Islam. lokal mereka sepakati sebagai media dakwah. Hal ini dijelaskan, baik semua atau sebagian, Bangunan masjid dan langgar pun dibuat dalam banyak literatur seputar Wali Songo dan bercorak Jawa dengan genteng bertingkat- sejarah masuknya Islam di Indonesia. tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain Misalnya dalam Târikhul-Auliyâ’ karya itu, untuk mendidik calon-calon dai, Wali KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam Songo mendirikan pesantren-pesantren yang dan Perkembangannya di Indonesia karya KH menurut sebagian Sejarawan mirip padepokan- Saifuddin Zuhri; Sekitar Wali Songo karya padepokan orang Hindu dan Budha untuk Solihin Salam; Kisah Para Wali karya Hariwijaya; mendidik cantrik dan calon pemimpin agama. dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Para Sejarawan dunia sepakat bahwa cara Abu Khalid MA. pendekatan dakwah melalui kebudayaanlah yang membuat sukses besar penyebaran Islam Dahulu di Indonesia mayoritas di Indonesia. Namun demikian, mungkin ada penduduknya beragama Hindu dan Budha, benarnya bahwa pendekatan dakwah dengan dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan kebudayaan itu hanyalah bungkus luarnya Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat saja. Yang benar-benar berbeda dan telah itu kental diwarnai kedua agama tersebut. sukses dalam menyebarkan agama Islam saat Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo itu adalah isi dari dakwah Wali Songo. tidak dianggap “musuh agama” yang harus Edisi Budaya | 369

Setelah berhasil mendirikan pesantren, kanuragan mumpuni dan berhasil membuat langgar, maupun masjid, Wali Songo lawan tak berkutik, Wali Songo tetap tidak melakukan dakwah melalui pengajian kepada pernah menyakiti orang yang bermaksud jahat masyarakat yang telah memeluk Islam. Ajaran tersebut sehingga mereka pun sadar dengan agama yang ramah dan meneduhkan membuat budi pekerti luhur mereka yang pada akhirnya masyarakat Nusantara saat itu berbondong- ingin belajar banyak dari para Wali. bondong ingin mengikuti pengajian yang dilakukan oleh para Sunan. Tak pelak hal ini Tak jarang mereka yang selama ini membuat beberapa kelompok saat itu merasa bermaksud tidak baik terhadap pengajian tidak senang sehingga dakwah Wali Songo pun agama yang dilakukan oleh Wali Songo kerap kali mendapat intimidasi serius yang tak akhirnya turut bergabung dan ingin lebih jarang mengancam jiwa para penduduk dan dalam lagi mempelajari berbagai ilmu yang para Sunan itu sendiri. dimiliki oleh mereka, terutama mendalami ilmu agama Islam yang bersifat luhur dan Namun, masalah tersebut selalu bisa menerima semua kalangan itu. Jadi, dalam diatasi oleh para Sunan dengan tetap berlaku kondisi dijahati pun, para Wali tetap berlaku lemah lembut kepada orang yang ingin berbuat luhur sebab walau bagaimana pun, kondisi jahat. Dalam banyak literatur disebutkan, selain tersebut bisa menjadi sarana dakwah dan bekal ilmu agama yang komplit, Wali Songo juga mengembalikan orang pada perbuatan yang mempunyai kemampuan ilmu kanuragan yang lebih baik. digunakan saat diri mereka mendapati bahaya penyerangan fisik. Meskipun mempunyai ilmu [Fathoni Ahmad] Sumber Bacaan Alawiyah, Tuty. Strategi Dakwah Di Lingkungan Majelis Ta’lim. Bandung: Mirzan, 1997. Amin, Mansur. Dakwah Islam dan Peran Moral. Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997. Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1998. Departemen Agama RI. Motivasi Peningkatan Peranan Wanita Menurut Islam. Jakarta, 1994. Husain, Muh. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Lentera, 1997. Mustofa, Bisri. Târikhul-Auliyâ’. Perpustakaan UIN Walisongo Semarang. Poerwadarminto, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2006. Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah. Jakarta: IIman. 2012. Suyuthi, Jalaluddinas. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Wahyudi, Asnan dan Abu Khalid. Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. Zein, Muhammad. Metodologi Pendidikan Agama Islam pada Lembaga Non-Formal. Yogyakarta: Sumbangsih, 1997. Zuhairi, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997. Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif, 1979. 370 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Perang Ketupat Perang Ketupat atau Perang Topat prosesi. Sebelum masuk pada inti acara, yakni adalah tradisi perang periodik antara perang ketupat, pada malam hari sebelum dua kelompok masyarakat dengan esoknya dilaksanakan perang ketupat, warga menggunakan senjata ketupat. Jika perang sudah mengadakan penimbongan. Penimbongan lazimnya menggunakan senjata mematikan adalah tarian-tarian yang dilaksanakan dan didasari kemarahan, ambisi saling pada malam hari di tepi Pantai Pasir Kuning, membinasakan, perang ketupat justru didasari Tempilang. kecintaan pada sesama, berlangsung dengan suka cita, bagian upaya memelihat harmoni, Tarian yang dipertontonkan bermacam- dan ungkaoan syukur serta pengharapan macam. Mulai dari tari seramo, tari serimbang, berkah pada Yang Maha Kuasa. sampai tari kedidi, yakni tarian yang mirip burung kedidi. Prosesi penimbongan awalanya Di Indonesia, tradisi perang ketupat, dipimpin oleh seorang Keman atau tokoh antara lain, ditemukan di Desa Tempilang, adat. Tokoh tersebut memulai prosesi dengan Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Ada membaca mantra dan membakar dupa. Bila lagi di Badung, Bali. Satu lagi di Lombok, Nusa abu dupa sudah melambung, hujan turun Tenggara Barat (NTB). Tradisi perang ketupat seketika. di Bali terkait agama Hindu. Tujuan penimbongan adalah untuk Di Bangka, perang ketupat berkaitan memberikan makanan kepada makhluk dengan tradisi pra-Islam yang mengalami halus yang dipercaya bermukim di darat. Islamisasi. Adapaun di Lombok, perang Esok harinya, dilaksanakan tradisi ngancak. ketupat adalah tradisi bersama antara Islam Berupa pemberian sesaji kepada makhluk dan Hindu, sebagai bagian upaya pemeliharaan halus oleh tiga dukun. Dukun darat, dukun kerukunan beragama. laut, dan dukun senior. Ketiga dukun tersebut membacakan doa dan memberikan sesaji Perang Ketupat di Bangka, dilaksanakan di kepada makhluk halus untuk meminta mereka Tempilang, sebuah desa berjarak 80 kilometer berdamai dengan warga. dari Sungailiat, ibu kota Kabupaten Bangka. Tradisi ini dilaksanakan dua pekan sebelum Usai acara tersebut, acara inti dimulai. memasuki bulan Ramadhan atau pada bulan Dukun darat dan dukun laut berhadapan Sya’ban. Tepatnya, dilaksanakan pada malam bersila di tengah medan pertempuran nishfu Sya’ban pada tanggal 15 Sya’ban ketika membacakan doa. Setelah itu, dukun laut akan bulan sedang bersinar terang. kerasukan arwah leluhur. Masyarakat Tempilang, seperti Dukun yang sudah kerasukan arwah akan masyarakat Jawa, menyebut bulan Sya’ban diminta untuk memberi sambutan acara. dengan sebutan Ruwah. Maka itu, perang Leluhur yang merasuki tubuh salah satu dukun ketupat di Tempilang sering pula dinamai tersebut dipercaya ingin menyaksikan acara. Ruwah Tempilang. Seringpula tradisi ini Bila sudah begitu, maka dukun satunya lagi dinamakan sedekah Ruwah dan taber kampung. yang memberi ceramah. Ruwah Tempilang terdiri beberapa Perang ketupat kemudian dimulai. Sepuluh Edisi Budaya | 371

ketupat ditaruh di masing-masing sisi. Sisi laut tradisi itu sedikit bergeser. Bila sebelumnya dan darat. Sepuluh pendekar masuk ke dalam dukun menyajikan sesaji untuk dimakan arena mengisi masing-masing sisi. Setelah makhluk halus, sesaji tersebut kini dikonsumsi dukun mengucapkan sesuatu, maka masing- oleh warga sekitar secara bersam-sama atau masing pendekar mengambil ketupat lantas kenduri. melemparkan ke lawannya. Sampai situasi makin memanas, dukun kemudian memberi Selain perang ketupat, pada hari itu juga aba-aba berhenti. dilaksanakan Sedekah Tempilang. Sedekah ini dilaksanakan di semua masjid di Desa Kedua belah pihak lalu diminta untuk Tempilang. Sementara untuk perang ketupat saling bersalaman dan berangkulan, dikhususkan di Pantai Pasir Kuning, Bangka. demi terjaga perdamaian. Beberapa pihak mengatakan bahwa ketupat yang dilempar *** tersebut sama sekali tidak sakit. Hal itu terjadi, menurut kerpercayaan warga sekitar, karena Bila di Bangka, tradisi perang ketupat telah diberikan doa oleh sang dukun. telah diwarnai agama Islam, di Bali, perang ketupat dilaksanakan oleh pemeluk agama Perang ketupat diadakan tiga babak. Hindu dan dinamakan perang tipat-bantal. Jumlah pesertanya tidak ada ketentuan pasti. Perang ketupat di Bali ada yang mengatakan Yang pasti, jumlah kedua belah pihak yang sejak tahun 1970-an. Ada yang mengatakan berperang harus sama. Dan Berhenti ketika sejak abad ke-13 Masehi. Tidak ada data pasti. dukun mengatakan selesai. Dilaksanakan setiap bulan keempat Perang ketupat ini memiliki muatan penanggalan bali (sasih kapat), antara bulan spirit perlawanan terhadap penjajah. September sampai Oktober. Ada dua buah Pendekar yang menghadap ke laut dan jenis ketupat. Ketupat pertama bentuknya pendekar yang menghadap ke darat adalah segi empat dari anyaman janur yang berisi simbol perlawanan penjajah. Pendekar dari beras atau dinamakan tipat. Ketupat kedua sisi laut menggambarkan warga lokal yang adalah bantal, terbuat dari beras ketan yang melawan penjajah, sementara pendekar di dibungkus janur dengan bentuk lonjong. Di sisi darat adalah gambaran Belanda yang Jawa, sering disebut lepet. saat itu menjajah. Selain itu, keduanya juga disimbolkan sebagai hantu atau bajak laut. Dua bentuk ketupat tersebut melambangkan feminin dan maskulin Pada acara ini, rumah warga terbuka semesta alam. Dalam konsep Hindu disebut untuk umum. Setiap rumah menyajikan sebagai Purusha dan Predhana. Pertemuan ketupat dengan berbagai macam lauk sesuai tipat dan bantal ini yang kemudian dipercaya kemampuan masing-masing. Dan pada hari memberikan kehidupan pada makhluk di ini, satu-satunya situasi dalam setahun ketika dunia. Kedua hal ini juga perlambang tumbuh Bangka dilanda kemacetan. berkembanganya tanah, bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan dua simbol Seusai acara perang ketupat, prosesi maskulin dan feminin. selanjutnya adalah Taber Kampung. Warga menyebarkan air ke seluruh penjuru untuk Selesai sembahyang di pura, mereka menjaga dan menambah berkah bagi berkumpul dan terbagi dalam dua kelompok. kehidupan mereka. Masing-masing kelompok diberi tipat dan bantal. Tipat dan bantal tersebut nantinya Tidak ada catatan pasti sejak kapan perang digunakan untuk perang. Tradisi ini memiliki ketupat dimulai. Namun perang ketupat ini makna bahwa pangan merupakan senjata telah ada sejak Gunung Krakatau meletus utama untuk bertahan hidup. tahun 1883. Orang asli yang mengadakan acara ini adalah orang Lom. Perang ketupat di Bali dilaksanakan di Kampung Adat Kapal Kabupaten Badung. Seiring masuknya Islam ke tanah Bangka, Sebelum acara dimulai, peserta perang ketupat 372 | Ensiklopedi Islam Nusantara

terlebih dahulu bersembahyang di Pura. Perang di kawasan Pura. Bangunan yang berdiri tidak ketupat diselenggarakan sebagai ungkapan ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. warga bersyukur kepada sang pencipta atas segala rezeki yang telah dilimpahkan. Upacara Perang Topat adalah salah satu seremoni ini dilaksanakan setiap hari punama kapat. bersama umat Hindu dan Islam di Pura Lingsar. Acara itu merupakan simbol *** kerukunan antarumat beragama, khususnya masyarakat etnis Sasak yang beragama Islam Di Lombok, tradisi Perang Topat dan masyarakat etnis Bali yang memeluk merupakan warisan budaya turun temurun agama Hindu. yang dilakukan sepeninggal penjajahan Bali di Lombok. Dilakukan dengan cara saling lempar Tradisi Perang Topat ini digelar setelah ketupat antara umat Islam dan umat Hindu panen raya, sebagai ungkapan syukur kepada Lombok. Kelomp0ok muslim menggunakan Tuhan dan doa agar musim tanam berikutnya pakaian adat khas Sasak dan kelompok Hindu mendapat kesuburan. Perang Topat (ketupat) mengenakan pakaian khas adat Bali. berlangsung setahun sekali. Momentumnya pada saat raraq kembang waru atau gugurnya Upacara keagamaan ini dirayakan tiap bunga waru. tahun di Pura Lingsar, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Ini Perang topat dimulai sejak pukul 15.45 pura terbesar di NTB dengan luas 26 hektar, dan berakhir ketika matahari terbenam. Seusai peninggalan kerajaan Karangasem. Perang Perang Topat, masyarakat biasanya berebutan topat dilaksanakan bertepatan dengan gugur membawa pulang ketupat sisa peperangan. bunga waru atau dalam bahasa Sasaknya “rorok Ketupat itu ditebarkan di sawah agar tanahnya kembang waru”, yaitu menjelang tenggelamnya subur. sinar matahari sekitar pukul 17.30. Malam hari sebelum perang ketupat, Pura Lingsar berada di Desa Lingsar, warga melaksanakan syafaah berupa Kabupaten Lombok Barat (Lobar). Pura Lingsar pembacaan surat Al Ikhlas sebanyak seribu adalah lambang persatuan dan kerukunan kali. Esok harinya,ketika bunga waru mulai beragama di Pulau Lombok, antara umat berguguran (rorok kembang waru) warga Islam dan umat Hindu. Kedua umat beragama mulai melaksanakan perang topat. Manfaat mengelola dan beribadah bersama-sama pada perang topat antara lain mewujudkan rasa waktu-waktu tertentu di Pura Lingsar. syukur kepada sang pencipta, kemudian menumbuhkan rasa kebersamaan antara suku Pura Lingsar dibangun Raja Anak Sasak yangmuslim dan Bali yang Hindu. Agung Gede Ngurah tahun 1714. Dia adalah keturunan Raja Karangasem Bali yang sempat Tradisi itu berkaitan dengan mata air berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad Langser di samping kompleks Pura Lingsar. ke 17 silam. Pura ini terbagi dua bagian. Di Nama Lingsar berasal dari mata air Lingsar. sebelah utara terdapat tempat beribadah umat Di kalangan masyarakat Lingsar beredar hindu, yakni pura Gaduh. Di bagian selatan kepercayaan, mata air itu berasal dari bekas terdapat bangunan Kemaliq untuk umat Islam tancapan tongkat Raden Mas Sumilir, penyebar beribadah dan ritual adat suku Sasak. agama Islam setempat pada abad ke-15. Sebagai lambang pemersatu dua umat Mata air Langser dapat mengairi lahan beragama, di Pura ini terdapat aturan yang pertanian di Lingsar sampai ke wilayah Lombok harus ditaati para pengunjung dan setiap Tengah. Petani yang lahannya menerima aliran orang yang menjalani ritual agama. Salah dari Langser bisa menanam dan memanen satunya, tidak boleh menyajikan sesaji dari padi hingga tiga musim dalam setahun. babi dan sapi. Babi haram bagi umat Islam, dan sapi dianggap suci bagi umat Hindu. Kedua Kegiatan ini sudah menjadi agenda jenis binatang itu juga tidak boleh dipelihara Edisi Budaya | 373

pariwisata. Ada pakem, wanita yang sedang saling lempar antara warga. Ketupat haid tak boleh mengikuti acara ini.Sehari kemudian diperebutkan. Ketupat yang belum sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau dilemparkan tidak boleh dibawa pulang. penaek gawe. Ada pula acara mendak berupa Walaupun ketupat itu sudah babak belur, upacara menjemput tamu agung, terdiri roh tetap diambil orang, khususnya para petani, gaib yang dipercaya berkuasa di Gunung untuk dibawa pulang dan ditaruh di pokjokan Rinjani dan Gunung Agung. Dinas Pariwisata pematang sawah, di tanam dalam tanah atau NTB biasanya menyumbangkan 1.000 ketupat digantung di pohon buah-buahan. Itu sebagai untuk perang- perangan itu. doa agar tanaman tumbuh subur. *** Dimulai dengan lemparan ketupat [Asrori S karni] dari pelempar pertama. Kemudian diikuti Sumber Bacaan: Blongkod, Rauda, Studi Komparatif Tradisi Ketupat, Skripsi, Universitas Negeri Gorontalo, 2014. Chandra, http://www.babelprov.go.id/content/wagub-bangga-terhadap-semangat-perang-ketupat Dahnur, Heru. http://regional.kompas.com/read/2016/05/28/11491311/ sambut.ramadhan.warga.di.bangka.barat. gelar.perang.ketupat http://news.liputan6.com/read/354400/bersyukur-dengan-perang-tipat-bantal http://news.liputan6.com/read/354400/bersyukur-dengan-perang-tipat-bantal http://www.wisatadilombok.com/2013/05/tradisi-lebaran-ketupat-perang-topat-di.html https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Ketupat Kelana, Aries, Perang Ketupat di Negeri Sasak, GATRA, 18 Januari 1997 Nursyamsyi, Muhammad, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/12/13/oi4otr382- perang-topat-tradisi-kerukunan-umat-islam-dan-hindu-di-lombok Yudhistira, Cokorda, http://travel.kompas.com/ read/2014/11/06/ 125000027 / Perang.Tak.Bermusuhan Zainab, Tradisi Perang Ketupat di Desa Tempilang, Bangka, Bangka Belitung, Skripsi, UIN Yogyakarta, 2008 374 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Pesantren Pesantren yang merupakan “Bapak” tergantung kepada daya tarik tokoh sentral dari pendidikan Islam di Indonesia, (Kiai atau Guru) yang memimpin, menuruskan didirikan karena adanya tuntutan atau mewarisinya. jika pewaris menguasi dan kebutuhan zaman. Hal ini bisa dilihat sepenuhnya baik pengetahuan agama, wibawa, dari perjalanan sejarah, dimana bila dirunut ketermpilan mengajar dan kekayaan lainnya kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan yang diperlukan. Sebaliknya pesantren akan atas kesadaran kewajiban dakwah islamiyah, menjadi mundur atau hilang, jika pewaris yakni menyebarkan dan mengembangkan atau keturunan Kiai yang mewarisinya tidak Ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader memenuhi persyaratan. Jadi seorang figur Ulama atau Dai. pesantren memang sangat menentukan dan benar-benar diperlukan. Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah Tempat Belajar Para Santri. Biasanya santri yang telah menyelesaikan Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat dan diakui telah tamat, diberi izin oleh Kiai tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. untuk membuka dan mendirikan pesantren Disamping itu kata “Pondok” juga berasal dari baru didaerah asalnya. Dengan cara demikian bahasa Arab “Funduq” yang berarti “Hotel atau pesantren-pesantren berkembang diberbagai Asrama”. daerah terutama pedesaan dan pesantren asal dianggap sebagai pesantren induknya. Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya Pesantren di Indonesia memang lembaga pendidikan lanjutan. Namun dan tumbuh berkembang sangat pesat. demikian, faktor guru yang memenuhi Berdasarkan laporan pemerintah kolonial persyaratan keilmuan yang diperlukan akan belanda, pada abad ke 19 untuk di Jawa sangat menentukan bagi tumbuhnya suatu saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah, pesantren. Pada umumnya berdiri suatu dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 pesantren yang diawali seorang Guru atau Kiai. orang. Dari jumlah tersebut belum masuk pesantren-pesantren yang berkembang di luar Karena keinginan menuntut dan jawa terutama di Sumatera dan Kalimantan memperoleh ilmu dari Guru tersebut, maka yang suasana kegiatan keagamaanya terkenal masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah sangat kuat. datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu membangun tempat tingggal yang sederhana Asal-usul pesantren: berbagai pendapat disekitar tempat tinggal guru tersebut. Semakin tinggi ilmu seorang guru tersebut, Jauh sebelum masa kemerdekaan, semakin banyak pula orang dari luar daerah pesantren telah menjadi sistem pendidikan yang datang untuk mentut ilmu kepadanya Nusantara. Hampir di seluruh pelosok dan berarti semakin besar pula pondok dan Nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan pesantrennya. Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun menggunakan Kelangsungan hidup suatu pesantren amat Edisi Budaya | 375

nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah tentang posisi Arab—khususnya Mekkah dan di Aceh, Surau di Minangkabau, dan Pesantren Madinah—sebagai pusat orientasi bagi umat di Jawa. Namun demikian, secara historis awal Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi kemunculan dan asal-usul pesantren masih kitab kuning di pesantren. Baginya, kitab menyisakan kontroversi di kalangan para ahli kuning yang berbahasa Arab merupakan salah sejarah. satu bukti bahwa asal usul pesantren dari tanah Arab. Tentang kitab kuning ini. Lebih Banyak penulis sejarah pesantren lanjut, Bruinessen menulis sebagai berikut: berpendapat bahwa institusi ini merupakan lembaga pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. “Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van dari Indonesia. Semua kitab klasik yang Bruinessen yang memandang bahwa pesantren dipelajari di Indonesia berbahasa Arab, bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal dan sebagian besar ditulis sebelum Islam Indonesia. Jika Steenbrink—yang mengutip tersebar di Indonesia. Demikian juga banyak dari Soegarda Poerbakawatja—memandang kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari pesantren diambil dari India, maka Bruinessen Indonesia (meskipun syarah yang ditulis ulama berpendapat bahwa pesantren berasal dari Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran Arab. Keduanya memiliki pendapat untuk perhatian utama dalam tradisi tersebut sejalan memperkuat pendapatnya masing-masing. dengan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah Ada dua alasan yang dikemukakan kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi Steenbrink untuk memperkuat pandangan tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekah bahwa pesantren diadopsi dari India, yaitu atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh alasan terminologi dan alasan persamaan jadi orang Indonesia sendiri).” bentuk. Menurutnya, secara terminologis, ada beberapa istilah yang lazim digunakan Selain bukti tradisi kitab kuning, di pesantren seperti mengaji dan pondok, Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang dua istilah yang bukan dari Arab melainkan menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari dari India. Selain itu, sistem pesantren telah tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan dipergunakan secara umum untuk pendidikan pesantren menyerupai pola pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Selain madrasah dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan madrasah merupakan lembaga pendidikan istilah-istilah di atas kemudian diambil oleh Islam di luar masjid, maka zāwiyah merupakan Islam. lembaga pendidikan Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut- Sementara itu, dari segi bentuknya ada sudut masjid. Kedua lembaga pendidikan Islam persamaan antara pendidikan Hindu di India tersebut merupakan tempat belajar para calon dan pesantren di Jawa. Persamaan bentuk ulama termasuk yang berasal dari Indonesia. tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh Mengingat kiai-kiai besar hampir semua negara bagi kepentingan agama yang terdapat menyelesaikan tahap akhir pendidikannya dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka terletak pada beberapa hal yaitu seluruh sistem di tanah Arab, maka pola pendidikan yang pendidikannya bersifat agama, guru tidak mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah mendapatkan gaji, penghormatan (ihtirâm) air dalam bentuk pesantren. yang besar terhadap guru, dan para siswanya meminta sumbangan ke luar lingkungan Pendapat Steenbrik dan Bruinessen pesantren. yang menyatakan bahwa asal usul pesantren dari India dan Arab, perlu ditelaah kembali Sementaraitu,vanBruinessenberpendapat kebenarannya. Mengingat beberapa istilah bahwa pesantren yang merupakan lembaga Jawa yang digunakan di pesantren, pendapat pendidikan Islam tertua di Indonesia besar bahwa asal-usul pesantren dari India atau kemungkinan berasal dari Arab. Alasannya 376 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Arab tidak dapat diterima. Nurcholish Madjid kitab kuning yang dijadikan sumber belajar mencatat ada 4 (empat) istilah Jawa yang di pesantren ditulis oleh penulis Indonesia dominan digunakan di pesantren, yaitu: yang belajar dan menjadi syekh di Haramain, santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata santri seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, yang digunakan untuk menunjuk peserta didik Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Banjar. di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik Dengan demikian, perlu ditelaah kembali jika yang berarti seseorang yang selalu mengikuti dikatakan bahwa tradisi kitab kuning sebagai guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan alasan untuk menyimpulkan bahwa pesantren untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh berasal dari Arab. sang guru. Istilah lain untuk menunjuk guru di pesantren adalah kiai yang juga berasal Hal penting lainnya adalah bahwa dari bahasa Jawa. Perkataan kiai untuk laki- penggunaan kitab-kitab berbahasa Arab laki dan nyai untuk perempuan digunakan di pesantren tidak dapat dihindari karena oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Mekkah dan Madinah merupakan kiblat bagi Kata kiai dan nyai dalam hal ini mengandung umat Islam Indonesia sejak masuk ke Indonesia pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua. sampai sekarang ini. Hal ini sebagai petunjuk bahwa para kiai dalam mengembangkan Islam Demikian juga kata ngaji yang digunakan di pesantren mengacu kepada model yang untuk menunjuk kegiatan santri dan kiai di dicontohkan Rasulullah SAW. Bagi para kiai, pesantren berasal dari kata aji yang berarti Rasulullah dipandang sebagai model universal terhormat dan mahal. Kata ngaji biasanya yang harus diikuti umat Islam seluruh dunia disandingkan dengan kata kitab; ngaji termasuk muslim santri Jawa itu sendiri. kitab yang berarti kegiatan santri pada saat Selain Rasulullah Saw, para kiai, dalam mempelajari kitab yang berbahasa Arab. Oleh mengembangkan pesantren juga mengacu karena santri banyak yang belum mengerti kepada para wali yang berjumlah sembilan di Bahasa Arab, maka kitab tersebut oleh kiai Jawa. Bagi para kiai, Walisongo di daerah Jawa diterjemahkan kata demi kata ke dalam Bahasa dipandang sebagai model domestik yang perlu Jawa. Para santri mengikuti dengan cermat dicontoh untuk pengembangan pendidikan terjemahan kiainya dan mereka mencatatnya di pesantren. Ini berarti bahwa pesantren pada kitab yang dipelajari, yaitu di bawah kata- merupakan lembaga yang unik di Indonesia, kata yang diterjemahkan. Kegiatan mencatat sehingga dapat dianggap sebagai lembaga khas terjemahan ini di pesantren biasa dikenal Indonesia. dengan istilah njenggoti, karena catatan mereka itu menggantung seperti janggut pada Pendapat bahwa asal-usul pesantren dari kata-kata yang diterjemahkan. tradisi agama Hindu di India seperti yang dikemukakan oleh Steenbrink di atas ternyata Alasan lain yang menolak kesimpulan tidak memiliki alasan yang kuat. Pandangan bahwa tradisi kitab kuning yang berbahasa bahwa keberadaan pesantren di Jawa Arab berasal dari Arab adalah pendapat terpengaruh oleh tradisi India bisa dipahami. Mahmud Yunus. Menurutnya, kitab kuning Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa yang dijadikan materi ajar utama di pesantren asal-usul pesantren dari tradisi agama Hindu. baru terjadi pada tahun 1900-an. Sebelum Tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap itu para kiai menulis kitab-kitab dengan sinkretisme dan senantiasa memperbaharui tangan mereka yang dijadikan bahan dalam kembali melalui sembernya sendiri. pembelajaran di pesantren. Setelah percetakan Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa mulai dikenal secara luas di dunia Islam sumber terpenting bagi Islam tradisional dan beberapa kitab dicetak secara massal, Indonesia adalah kota suci Mekah—pusat mulailah berdiri toko-toko kitab di Indonesia. orientasi semua dunia Islam. Orientasi kedua Pada saat itulah, penggunaan kitab-kitab adalah Madinah—dimana Nabi membangun kuning di pesantren mulai mengambil peran. masjid pertama dan wafat. Konsekuensinya Kemudian, harus diakui bahwa beberapa adalah, hampir semua pengarang Islam dan Edisi Budaya | 377

ulama Indonesia menghabiskan banyak 1. Memakai sistem tradisional yang waktunya di Mekah, Madinah, dan pusat- pusat pengajaran di Timur Tengah. mempunyai kebebasan penuh Selanjutnya, kapan kemunculan pesantren dibandingkan dengan sekolah modern, sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia? Beberapa sumber tidak menyebutkan secara sehingga terjadi hubungan dua arah gamblang tentang kemunculan pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil antara santri dan kiai pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) 2. Kehidupan di pesantren menampakkan pada tahun 1984-1985 diperoleh informasi semangat demokrasi karena mereka bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah praktis berkerja sama mengatasi problem Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura, nonkurikuler mereka. yang didirikan pada tahun 1062. Informasi ini dibantah oleh Mastuhu dengan alasan bahwa 3. Para santri tidak mengidap penyakit sebelum adanya Pesantren Jan Tanpes II, simbolis, yaitu perolehan gelar atau tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang ijazah, karena sebagian besar pesantren lebih tua, dan dalam buku Kementerian Agama tidak mengelurkan ijazah. tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendiriannya. Jadi, mungkin mereka 4. Sistem pondok pesanten mengutamakan memiliki usia yang lebih tua. Selain itu, kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan persamaan, rasa percaya diri, dan setelah Islam masuk ke Indonesia. keberanian hidup. Temuan Departemen Agama tentang 5. Alumni pondok pesantren tidak ingin keberadaan pesantren tertua di Indonesia di menduduki jabatan pemerintahan, atas juga ditolak oleh Martin van Bruinessen. sehingga mereka hampir tidak dapa Menurut Bruinessen, Pesantren Tegalsari dikuasai oleh pemerintah. (salah satu desa di Ponorogo, Jawa Timur) merupakan pesantren tertua di Indonesia Ciri khas pesantren yang didirikan pada tahun 1742 M. Sepanjang penelitiannya, Bruinessen tidak menemukan Sementara itu yang menjadi ciri khas bukti yang jelas adanya pesantren (pada abad pesantren dan sekaligus menujukan unsur- ke-19) sebelum berdirinya pesantren Tegalsari. unsur pokoknya, yang membedakannya Bahkan, sebelum abad ke-20 belum ada dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu: lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok. Pada umumnya, pada 1. Pondok: merupakan tempat tinggal kiai tahun-tahun sebelum abad ke-20, kegiatan bersama para santrinya. Adanya pondok pendidikan Islam di Jawa, Banten, dan luar sebagai tempat tingggal bersama antara Jawa masih berbentuk informal dengan pusat kiai dengan para santrinya dan bekerja kegiatannya di mesjid. sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari merupakan pembeda dengan Mekanisme pesantren lembaga pendidikan yang belangsung di mesjid atau langgar (mushola). Dalam mekanisme kerjanya, sistem yang ditampilkan pondok pesantren mempunyai 2. Adanya Mesjid: sebagai pusat kegiatan keunikan dibandingkan dengan sistem yang ibadah dan belajar mengajar. Mesjid diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yang merupakan unsur pokok kedua dari di antaranya yaitu: pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat unuk melakukan sholat berjamaah setiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai tempat belajar- mengajar. 3. Santri: merupakan unsur pokok dari sebuah pesantren, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu: santri mukim, ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh 378 | Ensiklopedi Islam Nusantara

dan menetap dalam pondok pesantren; tersebut satu persatu, sehingga setiap santri santri kalong, ialah santri-santri yang menguasinya. berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak Metode Bandongan atau Halaqah dan menetap dalam pesantren. Mereka pulang sering juga disebut Wetonan, yaitu para santri ke rumah masing-masing setiap selesai duduk disekitar kiai dengan membentuk mengikuti suatu pelajaran di peantren. lingkaran, dengan cara bandongan ini, kiai mangajarkan kitab tertentu pada sekelompok 4. Kiai: merupakan tokoh sentral dalam santri. Karena itu metode ini biasa juga pesantren yang memberikan pengajaran. dikatakan sebagai proses belajar mengaji Karena itu, kiai adalah salah satu unsur secara kolektif. Baik kiai maupun santri dalam yang paling dominan dalam kehidupan halaqah memegang kitab masing-masing. suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan Kiai membacakan teks kitab, kemudian kehidupan suatu pesantren banyak menerjemahkannya kata demi kata, dan bergantung pada keahlian dan kedalaman menerangkan maksudnya. Santri menyimak ilmu, kharismatik dan wibawa, serta kitabnya masing-masing dan mendengarkan keterampilan kiai yang bersangkutan dengan seksama terjemahan dan penjelasan- dalam mengelola pesantrennya. penjelasan kiai. Kemudian santri mengulang dan mempelajari kembali secara mandiri. 5. Kitab-kitab Islam klasik (Thurats): populer disebut kitab kuning. Unsur pokok ini Perkembagan berikutnya, disamping tetap cukup membedakan pesantren dengan mempertahankan sistem ketradisionalannya, lembaga pendidikan lainnya adalah pesantren juga mengembangkan dan mengelola bahwa pada pesaantren diajarkan kitab- sistem pendidikan madrasah. Begitu pula, kitab klasik yang dikarang para ulama untuk mencapai tujuan bahwa nantinya para terdahulu, mengenai berbagai macam santri mampu hidup mandiri, kebanyakan ilmu pengetahuan agama Islam dan saat ini pesantren juga memasukkan pelajaran bahasa Arab. keterampilan dan pengetahuan umum. Sistem Pengajaran di Pesantren Pada sebagian pondok, sistem penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran Sejarah perkembangan pondok pesantren makin lama makin berubah karena memiliki model-model pengajaran yang dipengaruhi oleh perkembangan kebijakan bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan di tanah air serta tuntutan dari pendidikan dengan menggunakan metode masyarakat di lingkungan pondok pesantren pengajaran sorogan dan wetonan atau itu sendiri. Kemudian sebagian pondok lagi bandongan (menurut istilah dari Jawa Barat). tetap mempertahankan sistem pendidikan yang lama (salaf). Sorogan, disebut juga sebagai cara mengajar per kepala, yaitu setiap santri Secara garis besar, pesantren sekarang ini mendapat kesempatan tersendiri untuk dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: memperoleh pembelajaran seara langsung dari Kiai. Dengan cara sorogan ini, pelajaran 1. Pesantren Tradisional (Salafiyah): yaitu diberikan oleh pembantu Kiai yang pesantren yang masih mempertahankan disebut “Badal”. Mula-mula Badal tersebut sistem pengajaran tradisional, dengan membacakan matan kitab yang tertulis dalam materi pengbajaran kitab-kitab klasik bahasa Arab. Kemudian menerjemahkan yang sering disebut kitab kuning. Di kata demi kata ke dalam bahasa daerah, dan antara pesantren ini ada yang mengelola menerangkan maksudnya. Setelah itu santri madrasah, bahkan juga sekolah-sekolah disuruh membaca dan mengulangi pelajaran umum mulai tingkat dasar dan menengah, dan ada pula pesantren-pesantren besar yang sampai keperguruan tinggi. Murid- murid dan mahasiswa diperbolehkan Edisi Budaya | 379

Suasana Pesantren Termas Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi Pacitan Jawa Timur menonjol, bahkan ada yang cuma sekedar pelengkap, tetapi berubah menjadi mata tinggal di pondok atau di luar, tetapi pelajaran atau bidang studi. Begitu juga mereka diwajibkan mengikuti pengajaran dengan sistem yang diterapkan, seperti kitab-kitab dengan cara sorogan maupun cara sorogan dan bandongan mulai bandongan, sesuai dengan tingkatan berubah menjadi individual dalam hal masing-masing. Guru-guru pada belajar dan kuliah secara umum, atau madrasah atau sekolah pada umumnya Stadium General. Kemudian dalam mengikuti pengajian kitab-kitab pada pertumbuhan dan perkembangannya perguruan tinggi. seiring dengan perkembangan zaman, tidak sedikit pesantren kecil yang berubah 2. Pesantren Moderen (Khalafiyah): menjadi madrasah atau sekolah, atau merupakan pesantren yang berusaha karena kiai yang menjadi tokoh sentral mengintegrasikan secara penuh sistem meninggal dunia. klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk [Fathoni Ahmad] pondok terbagi dalam tingkatan kelas. Sumber Bacaan Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994). Bruinesses, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2011. Nordholt, Henk Schulte, dkk. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2013. Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES, 1986. Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah. Jakarta: IIman. 2012. Vlekke, Bernard H.M. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010. Wahid, Abdurrahman. Islam, the State and Development in Indonesia, Jakarta: LIPI, 1980. _________________. Asal-Usul Tradisi Keilmuan Pesantren, dalam Jurnal Pesantren, edisi Oktober-Desember, 1984. _________________. Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur. Yogyakarta: LKiS. 2012. _________________. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2007. Yusqi, M. Isom, dkk. Mengenal Konsep Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka STAINU, 2015. 380 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Petilasan Masyarakat secara khusus Jawa, cukup nuansanya pun, bagi orang-orang yang gemar familiar dengan istilah petilasan. bertirakat petilasan adalah lokasi yang cocok Kata ini merujuk pada “tilas” atau untuk mengambil/menyerap energi positif. bekas. Suatu tempat yang pernah di datangi Tempat tersebut menjadi sakral-suci sehingga atau ditinggali oleh seseorang yang memunyai perlu dijaga dari hal-hal yang menjauhkan dari jasa besar bagi kehidupan. Dalam konteks ini makna sesungguhnya. seseorang yang pernah tinggal dan mendatangi suatu tempat merupakan orang penting. Dan Dalam alam pikiran yang logis saat ini, karena itu terutama di tanah Jawa, tercatat petilasan dapat dipahami sebagai tempat cukup banyak petilasan yang pernah di tinggali bersejarah yang patut untuk dijaga dan atau didatangi. Karena petilasan tersebut dilestarikan. Dengan begitu, ada makna pernah ditinggali oleh orang penting maka tersirat dari sebuah petilasan untuk dapat dalam perkembangannya orang memandang menjadi “tetenger” atau penanda (tanda) bahwa lokasi tersebut wajib untuk dihormati bahwa generasi sekarang tidak saja menikmati dan dijaga. Walaupun begitu, ada saja orang suasana fisik namun menangkap makna yang menggunakannya sebagai tempat untuk historis dari tempat dimana peristiwa tersebut mencari sesuatu. Meminta sesuatu secara terjadi. Hal ini penting, karena melihat laju instan, yang pada akhirnya menjadikan perkembangan zaman saat ini sepertinya petilasan tersebut mengalami pergeseran menjauhkan diri dari apa yang dinamakan makna sesungguhnya. Perkembangan ini “eling”. Eling atau ingat pada diri dan orang tidak lepas dari pengaruh budaya materi lain. “Eling”, karena dengan eling setiap yang kian mendesak manusia, sehingga pada manusia dapat menemukan jati diri. Yaitu jati kenyataannya mengharapkan sesuatu secara diri sebuah bangsa yang dilatarbelakangi oleh instan. Sejatinya petilasan bukan dimaksudkan sebuah nilai (value) perjuangan. untuk itu, melainkan menjadi tempat untuk dapat diingat bagi generasi tersebut, bahwa di Petilasan, Batu tulis dan Makam tempat itu pernah terjadi peristiwa penting. Petilasan merupakan salah satu dari Dalam hal mistik, petilasan cukup banyak peninggalan sejarah dan budaya Nusantara mengandung penafsiran, yaitu tempat- selain batu bertulis dan makam. Batu Bertulis tempat/petilasan yang pernah didatangi oleh merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan orang penting mengandung energi positif kuno ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Di bagi seseorang yang bisa merasakannya. Nusantara, kebanyakan batu-batu ini dibuat Paling mudah adalah dengan merasakan pada masing-masing zaman kerajaan. Batu suasana dan kesejukan hati disaat berada di diambil dari batu kali yang besar dan kokoh petilasan tersebut selama beberapa menit. (agar awet tak lekang perubahan zaman) dan Mengapa energi tersebut positif? Biasanya ditulis mengenai kejayaan dan kebesaran raja orang penting tersebut memunyai kesaktian atau kerajaan. Contohnya Prasasti Batu Tulis yang mana menurut paranormal diyakini Bogor. Dahulu wilayah batu tulis merupakan masih berada di petilasan tersebut. Selain pusat kerajaan Padjajaran. Dibuat oleh Prabu Edisi Budaya | 381

Surawisesa untuk mengenang kejayaan sosial, daya tarik mereka tidak hanya terbatas ayahandanya Prabu Siliwangi dan kebesaran ketika mereka masih hidup di dunia ini, di kerajaan Padjajaran, Batu Tulis Ciarunteun, alam barzakh pun dampak kontribusi mereka Ciampea, Bogor. Yang menuliskan kebesaran tetap signifikan bagi pemberian spirit baru, Raja Purnawarman dengan kerajaannya baik berupa spirit perjuangan, keagamaan, Tarumanegara. kehidupan maupun spirit moralitas. Indikasi ini bisa dilihat misalnya, daya tarik aura magnetik Sedangkan makam baru ditemui pada di kalangan komunitas para wali sanga yang zaman kerajaan modern. Makam merupakan telah ratusan tahun dimakamkan di kawasan tempat dikuburkannya seseorang yang pulau Jawa ini. Rentang waktu lamanya telah meninggal dunia. Pemakaman yang pemakaman para tokoh Islam tersebut dalam telah ratusan tahun, biasanya banyak yang realitasnya tidak mempengaruhi surutnya berziarah. Contoh: Makam keluarga kerajaan motivasi para peziarah yang berdatangan di Riau di P.Penyengat, Tanjung Pinang, Kepri. tempat itu. Namun ada juga yang sering menyebut Dalam perspektif sosiologis motivasi sebagai petilasan Makam. Istilah makam, ziarah itu adakalanya untuk membangkitkan sebagaimana layaknya yang dipahami semangat perjuangan keagamaan, meneladani masyarakat adalah tempat pemakaman atau nilai-nilai moralitas dan spiritualitas. peristirahatan manusia yang telah dipanggil Sementara itu secara teologis berfungsi oleh Allah untuk memenuhi iradah dan mengingatkan para peziarah terhadap taqdir-Nya. Hampir di setiap komunitas kematian. Tentu saja karena kesucian tokoh- masyarakat di mana saja berada, maqbarah tokoh yang didatangi, tempat itu diyakini (tempat pemakaman) selalu disediakan oleh mengandung nilai berkah yang secara masyarakat setempat. Hal ini, karena mereka langsung berpengaruh dalam kehidupan menyadari bahwa semua manusia yang hidup mereka. Adakalanya nilai berkah itu berupa di dunia ini akan mengalami dan merasakan ketenangan, kemudahan hidup dan rizki kematian dan akan diperistirahatkan di yang melimpah. Hal ini bagi peziarah yang makam. Melalui kematian inilah, manusia memahami agama secara mendalam dianggap memasuki fase kedua yang disebut dengan sebagai akibat dan bukan sebagai tujuan. alam barzakh, alam penantian untuk memasuki Sebagai akibat, ia tidak akan mempengaruhi alam akhirat. Secara fisik, manusia yang telah tujuan utama ajaran ziarah. Hanya saja mengalami kematian ini akan berpisah dengan tidak menutup kemungkinan akibat-akibat kehidupan manusia yang berada di alam dunia, langsung yang juga dirasakan oleh peziarah namun secara psikis, jiwanya masih sanggup awam perlu memperoleh penjelasan secara berkomunikasi dengan kehidupan manusia di teologis maupun sosiologis hikmah ziarah dunia fana ini. kubur tersebut. Keberadaan manusia, dengan ilmunya Motivasi sekunder inilah, tidak jarang yang bermanfaat, amal saleh dan moralitasnya membuat masyarakat awam, baik shari’ah yang mulia di hadapan sesama, membuatnya maupun aqidahnya mengalami bias teologis. akan dikenang selamanya oleh masyarakat Ziarah kubur hanya dimaknai untuk manusia. Sebaliknya bagi manusia yang kepentingan sekunder atau jangka pendek. hidupnya tidak memiliki arti dan peran sosial Pemahaman ajaran ziarah kubur, baik secara apa-apa, keberadaannya akan terputus begitu sosiologis maupun teologis telah mengalami saja setelah ia mengalami kematian. Di sinilah reduksi makna. Namun demikian keyakinan garis batas yang membedakan antara manusia sejenis juga tidak tiba-tiba muncul di tempat- yang şaleh, muslih, suci dan manusia yang tempat makam umumnya. Keyakinan mereka taleh (jelek) yang tidak punya kontribusi apa- seperti itu hanya muncul di beberapa tempat apa di dunianya. makam khusus, yaitu makam orang saleh individual (vertikal) dan sosialnya (horisantal). Bagi manusia yang saleh individu maupun 382 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Tidak hanya itu beberapa makam para Petilasan Sunan Kalijaga di Cirebon. ulama dan tokoh yang memiliki kontribusi sosial dalam mengembangkan ajaran agama, Sumber: http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id/2014/01/ meluruskan moralitas dan membentengi budaya dan peradaban dari berbagai sebagai situs petilasan. Hening, meditasi, kemungkinan perilaku sesat, juga akan mengenal diri merupakan hal biasa dilakukan memperoleh penghargaan dan penghormatan sejak turun – temurun manusia di bumi sosial serupa. Jangankan makam seorang Nusantara. Di suatu wilayah yang leluhur- bangsawan yang telah banyak berjasa kepada leluhur bangsa ini mendapatkan makna atau bangsa, masyarakat maupun agamanya. pengetahuan hasil dari heningnya, kemudian Dalam cerita, makam seorang dukun bayi pun, mereka menandai dengan batu sederhana. karena keikhlasan dalam menjalankan tugas- tugas sosial semasa hidupnya, makam dukun Perlu diketahui bahwa situs petilasan bayi tersebut juga tidak surut dari kunjungan bukanlah makam. Karena sekarang sering masyarakat, karena dimitoskan akan nilai ditemui banyaknya situs petilasan yang berkahnya. dibenahi, namun dengan di rubah bentuk seperti makam/tempat orang dikubur. Ada Singkatnya, daya tarik mereka di tengah juga petilasan yang berbentuk patung-patung masyarakat adalah karena aura atau energi batu. Merupakan simbol dari leluhur itu yang memancar dari perilaku mereka sendiri sendiri. Karena situs petilasan sejak dahulu di masa hidupnya. Pemitosan, pelegendaan, merupakan tempat meditasi atau hening, maka pengkultusan, pensakralan, pensucian sampai sekarang fungsinya masih dijalankan. hingga pada bentuk pencitraan positif yang Contoh Situs petilasan Surya Kencana di G. bermacam-macam menurut versi dan istilah Bunder, Bogor, Petilasan permaisuri Prabu yang muncul dari masyarakat, juga karena Siliwangi di tengah lingkungan Kebun Raya aura kesucian yang selalu memancar dari Bogor, Puser Jawa, G. Ketep di Magelang Jawa jiwanya. Daya tarik ini tidak bisa dibuat-buat Tengah, Petilasan empat orang terdekat prabu dan direkayasa. Dalam sejarah para peziarah, Siliwangi (mahaguru, pengawal dan emban), belum pernah dijumpai di antara mereka yang yang masih berlokasi di wilayah batu tulis sengaja mendatangi makam yang hampa dari Bogor. kenangan-kenangan historis, baik kenangan teologis maupun sosiologis. Demikian juga para peziarah objek wisata ritual Gunung Kawi. Adapun, situs petilasan itu sendiri lebih luas daripada makam. Situs petilasan merupakan tanda dimana leluhur-leluhur besar bangsa ini pernah menginjakkan kaki dan mendapat makna atau pengetahuan luhur di wilayah tersebut. Beberapa bentuk situs petilasan Lingga-Yoni. Lingga merupakan batu panjang seperti huruf Alif, dipancang tegak di suatu wilayah. Lingga berarti makna kebenaran sejati, jalan lurus, yang telah dimaknai oleh leluhur yang memancangnya. Terkadang di wilayah Lingga, juga terdapat Yoni. Lingga- Yoni merupakan makna keseimbangan langit dan bumi. Keselarasan feminim dan maskulin. Contoh: Lingga-Yoni terdapat di wilayah Batu Tulis Bogor dan Candi Sukuh di G.Lawu. Batu kecil yang dipancang sederhana, disebut juga Edisi Budaya | 383

Petilasan dan Mistiknya Sebagai Folklor sebagai pembentuk solidaritas sosial. Kadang- kadang penyelenggaraan folklor berkaitan Kebudayaan adalah keseluruhan sistem dengan ritual mistik. Tujuannya adalah untuk gagasan, tindakan dan hasil karya manusia memeperoleh ketentraman hidup. dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Salah Laku nenepi di makam Panembahan satu unsur kebudayaan adalah sistem religi Senopati bertujuan untuk ngalap berkah yang di dalamnya terkandung agama dan atau memohon berkah. Berkah yang ingin kepercayaan. Menurut Tylor, mengenai budaya didapat dari pelaku nenepi diantaranya sebagai berikut “Budaya atau peradaban yaitu, keberhasilan dalam usaha, menambah adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari kekayaan, dan memohon keselamatan. pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, Menurut Bascom fungsi- fungsi folklor adalah: adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan 1) Sebagai sistem proyeksi (projective system), dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia yakni sebagai alat pencermin angan-angan sebagai anggota masyarakat.” suatu kolektif, 2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan- Biasanya keyakinan akan kekeramatan kebudayaan, c) sebagai alat pendidikan situs petilasan diwariskan secara lisan serikut anak (pedagogical device), dan d) sebagai alat legenda atau cerita-cerita mistisnya. Cerita pemaksa dan pengawas agar norma-norma lisan tersebut dalam ilmu budaya dikena masyarakat akan selalu dipatuhi anggota folklor sebagai bagian dari budaya. Danandjaya kolektifnya. Fungsi folklor tradisi laku nenepi menyatakan bahwa “kata folklor adalah makam Panembahan Senopati yaitu, sebagai pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata itu sarana pengembangan budaya yang telah adalah kata majemuk, yang berasal dari dua menjadi warisan leluhur. Salah satu folklor yang kata dasar folk dan lore.” Menurut Danandjaya masih dilestarikan oleh masyarakat berupa budaya yang diwariskan secara lisan atau tradisi laku nenepi di Petilasan Panembahan melalui suatu contoh yang disertai dengan Senapati, Kotagede, Bantul, Daerah Istimewa gerak isyarat atau alat pembantu pengingat Yogyakarta. (mnemoniac device)…., folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan Orang Jawa percaya bahwa jasad diwariskan secara turun temurun, di antara leluhur patut mendapat penghormatan dari kolektif macam apa saja, secara tradisional keturunannya atau ahli warisnya. Leluhur dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk dipercaya masih terus menyertai kita dan lisan maupun contoh yang disertai dengan dapat dimintai pertolongan. Diungkapkan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat ( Koentjaraningrat bahwa “makam nenek mnemoniac device). moyang adalah tempat melakukan kontak dengan keluarga yang masih hidup, dan Seperti di suatu situs petilasannya dimana keturunannya melakukan hubungan Panembagan Senopati yang pernah melalukan secara simbolik dengan roh orang yang Laku nenepi. Tradisi laku nenepi telah turun sudah meninggal”. Koentjaraningrat juga temurun menjadi tradisi bagi masyarakat menambahkan Keberadaan dan kedudukan pendukungnya. Diwariskan oleh leluhur suatu makam atau petilasan masih dianggap mereka secara lisan, sehingga diteruskan sebagai tempat yang keramat sehingga sering masyarakat pendukungnya sesuai tradisi yang dikunjungi oleh peziarah untuk memohon sudah ada pada sebelumnya. Laku nenepi makam doa restu, terutama bila seseorang akan Panembahan Senopati merupakan folklor menghadapi tugas yang berat, akan bepergian yang sampai sekarang keberadaannya masih jauh, atau bila ada keinginan yang sangat besar diakui masyarakat pendukungnya. Purwadi untuk memperoleh sesuatu. menyatakan bahwa …folklor dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya dengan sukarela Dalam kesehariannya, manusia Jawa dan penuh semangat, tanpa ada paksaan. Di sangat menghormati nenek moyangnya. banyak tempat petilasan, folklor berfungsi Koentjaraningrat menegaskan bahwa orang 384 | Ensiklopedi Islam Nusantara

yang sudah meninggal dapat dihubungi oleh Mutlak, suatu upaya yang mencerminkan kerabat serta keturunannya setiap saat jika hasrat jiwa manusia yang ingin mengenal diperlukan. Penghormatan dapat berupa dan mendapatkan kesadaran langsung dari pemberian sesaji tertentu yang berupa kebenaran mutlak. Mistik merupakan wacana makanan, jajan pasar, buah-buahan, minuman budaya yang bertujuan untuk mendekatkan kegemaran pada waktu masih hidup yang diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Istilah diletakkan di suatu tempat khusus di dalam mistik dalam dunia Jawa pada dasarnya rumah. Selain itu dengan penghormatan merujuk pada wacana budaya spiritual yang terhadap makam, manusia Jawa dapat dianut oleh sebagian masyarakat Jawa. Mistik memberi penghormatan dengan cara sebagai pengetahuan yang mempengaruhi memberikan taburan bunga yang biasanya pola pikir manusia pada akhirnya akan muncul berupa bunga mawar, melati, kanthil, dan dalam bentuk budaya. Mistik merupakan suatu kenanga. Selain memberikan bunga, ada juga yang universal (hampir dipastikan di negara yang menyiramkan air kelapa muda di atas manapun mempunyai keyakinan dalam bentuk pusara atau petilasan, ada yang membakar mistik) dan seringkali merupakan suatu hal di kemenyan atau dupa yang dapat menyebarkan luar kebiasaan manusia pada umumnya atau bau harum. Aroma harum dipercaya dapat sebaliknya kemudian justru menjadi kebiasaan menyenangkan leluhur. Selain dipercaya manusia. Bagi para pendukung mistik kejawen memberi kesenangan pada arwah leluhur, kebiasaan yang sudah ada sejak dahulu bunga, air, dan dupa atau kemenyan ini juga sampai sekarang masih dilaksanakan untuk berfungsi sebagai sarana untuk meminta memperoleh ketentraman batin. berkah. Karena itu, situs petilasan dipercayai memiliki kekuatan mistik yang dimitoskan Koentjaraningrat menegaskan Menurut secara turun temurun. pandangan hidup ilmu mistik, kehidupan manusia merupakan bagian dari alam semesta Mistik adalah upaya untuk mendekatkan secara keseluruhan dan hanya merupakan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan bagian yang sangat kecil dari kehidupan perantara memuja roh dan kekuatan lain yang semesta yang abadi. Kehidupan manusia itu dapat mendatangkan keselamatan hidup. diibaratkan mampir ngombe di dunia dalam Stange menyatakan bahwa Mistik merupakan rangka perjalanan panjang untuk mencapai fenomena psikis dan gaib yang mengacu tujuan akhir, yakni bersatu dengan Tuhan. pada kebatinan, spiritual dalam pengalaman religius, atau mengacu pada kepercayaan dalam Seperti Laku nenepi adalah laku mistik aktivitas hidup, berkaitan dengan praktek- atau jalan spiritual yang dikenal dengan laku praktek yang berakar pada tradisi kearifan tarekat dan hakikat untuk mencapai makrifat spiritual pribumi yang sudah tua usianya. dengan hubungan langsung dengan Tuhan”. Laku nenepi biasa disebut dengan semedi Kepercayaan merupakan paham yang (berkontemplasi). Semedi memang melibatkan secara keseluruhan dalam adat istiadat rasa yang dinamakan rasa sejati yang dapat sehari-hari dari berbagai suku bangsa yang dicapai melalui diam, menjernihkan pikiran, percaya dengan nenek moyang. Menurut merenung atau mawas diri dan suwung. Endraswara, kepercayaan sumbernya menuju Langkah inilah yang disebut semedi sehingga kepada Tuhan Yang Maha Esa, adapun pelaku mampu menemukan Tuhan di dalam hatinya. budaya itu yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kepercayaan bahwa Situs Petilasan bagi Islam Nusantara pengetahuan tentang hakikat Tuhan dengan melalui kesadaran spiritual yang dilakukan Dalam Islam Nusantara, situs petilasan para pelaku ritual mistik untuk mendapatkan memiliki unsur yang penting melengkapi kemuliaan dari Tuhan. peninggalan-peninggalan Islam lainnya. Sebagai peninggalan fisik, petilasan dapat Dari beberapa pendapat, mistik juga dikaji dengan ilmu arkeologi. Arkeologi dapat diartikan sebagai cinta kepada Yang Edisi Budaya | 385

merupakan suatu ilmu yang mempelajari Dengan demikian, studi arkeologi menjadi kebudayaan manusia melalui material artifak salah satu wahana pokok untuk menemukan yang ditemukan berdasarkan peninggalan peradaban yang mungkin telah terkubur manusia di masa lampau. Kalau dulu, arkeologi selama berabad-abad. Untuk itu, arkeologi didasarkan pada peninggalan fisik yang tidak bisa diartikan secara sempit hanya sebagai tertinggal dengan penggunaan metode secara metode inventarisasi belaka. Studi arkeologi teoritis dan filosofis. Sebagian besar, ilmu harus mengemban makna pokok, perumusan ini termasuk dalam hubungan manusia dan kebudayaan dan penulisan sejarah, seperti masih termasuk di dalam ilmu Antropologi. yang dikatakan ahli teori arkeologi Stuart Bagian lain dari antropologi mendukung Piggot, “seorang penggali arkeologi tidak penemuan arkeologi seperti antropologi menemukan benda, dia menemukan manusia”. budaya, yang mempelajari tingkah laku, Hal ini berarti, suatu petilasan tidaklah hanya simbolis, dan dimensi material dari suatu berupa benda saja, tapi sama saja menemukan budaya. Berdasarkan sudut pandang tersebut, leluhur kita beserta budayanya. Islam dapat dipahami dalam berbagai benda- benda peninggalan kebudayaannya. Betapa Di tengah berlarut-larutnya suasana banyak peninggalan kebudayaan umat Islam gamang yang mengarah pada pertentangan hingga dalam perkembangannya sekarang, sentimen kebangsaan, kesukuan, agama, bisa dipelajari dengan berkaca kepada dan ras, pendekatan arkeologi sangat relevan peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga dikedepankan guna merekatkan semangat segala kearifan masa lalu itu memungkinkan persatuan yang mulai memudar. Dengan untuk dijadikan alternatif rujukan di dalam menonjolkan kajian peninggalan budaya menjawab persoalan-persoalan masa kini. material peradaban manusia dari abad ke Di sinilah arti pentingnya peninggalan abad, arkeologi bisa membangkitkan kearifan budaya (arkeologi) bagi umat Islam pada (wisdom) untuk saling menghormati sesama khususnya untuk dijadikan pendekatan dalam manusia dan kembali ke alam, sehingga mempelajari agama. tercipta tatanan sosial yang harmoni. Petilasan Sunan Kalijaga di Gresik. Sumber : https://www.thearoengbinangproject.com/ 386 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Pendekatan arkeologi dalam studi bersusun serta puncak stupa yang adakalanya keagamaan dalam penelitian terhadap berbentuk susunan payung-payung yang bangunan maupun non-bangunan tidak bisa terbuka. Contohnya masjid Agung Cirebon dilihat dari bentuk dan arsitekturnya semata, misalnya mempunyai dua atap, sementara melainkan dari aspek fungsional, struktural, Masjid Agung Demak tiga, dan Masjid Agung dan behavioral pada konteks masyarakat yang Banten lima. Secara umum, bangunan masjid- membuatnya. Salah satu aspek yang harus masjid kuno melanjutkan tradisi bangunan diperhatikan benar adalah masalah rutinitas pra-Islam, terutama Hindu-Budha, namun kegiatan keagamaan masyarakatnya dalam secara fungsional terdapat perbedaan yang menciptakan tradisi penghormatan atas suatu jelas. Arah mihrab yang menuju kiblat, mimbar situs arkeologi (baca: petilasan). yang digunakan khatib dalam berkhotbah, dan menara tempat azan menunjukkan konsepsi Masjid pada dasarnya juga merupakan ibadat Islam. petilasan para penyebar Islam awal sangat penting dalam memahami suatu budaya Selain petilasan, peninggalan Islam dapat masyarakat tertentu. Satu tokoh penyebar juga kita temui dalam bentuk karya seni Islam biasanya mendirikan masjid di tempat seperti seni ukir, seni pahat, seni pertunjukan, yang pernah disinggahi dalam penyebaran seni lukis, dan seni sastra. Seni ukir dan seni Islam, seperti petilasan Sunan Kalijogo di pahat ini dapat dijumpai pada masjid-masjid Cirebon dan Gresik. Masjid-masjid kuno di di Jepara. Seni pertunjukan berupa rebana Jawa dan di beberapa tempat di luar jawa, dan tarian, misalnya tarian Seudati. Pada seni mempunyai atap bersusun atau bertingkat aksara, terdapat tulisan berupa huruf arab- yang bentuknya menyerupai limas, piramida melayu, yaitu tulisan arab yang tidak memakai atau kerucut. Jumlah atapnya selalu ganjil, tanda (harakat, biasa disebut arab gundul). bentuk ini mengingatkan kita pada bentuk atap candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu [Zainul Milal Bizawie] Sumber Bacaan Ani Rostiyati, dkk, Moertjipto. (1994/1995). Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini . Daerah Istimewa Yogyakarta: Proyek Pengkaijan dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendid. Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Cetakan ke- 2. Jakarta: Grafitipers. Endraswara, 2003, Metodologi Penenlitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi. Jilid I.Jakarta: UI Press Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta : UI Press Tilaar, H.A.R., 2002, Pendidikan. Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Cet. III, Bandung: Remaja Rosdakarya Edisi Budaya | 387

Pribumisasi Islam Istilah ‘Pribumisasi Islam’ terdiri dari jaringan makna yang selalu mengalami dua kata yaitu pribumisasi dan Islam. perubahan. Menurut Gus Dur, agama (Islam) Pribumisasi merujuk pada upaya atau bersumberkan wahyu dan memiliki norma- proses menyatu dengan karakter atau kultur norma sendiri. Karena bersifat normatif, ia masyarakat pribumi (asli) atau menjadi milik cenderung permanen. Sedangkan budaya pribumi. Sedangkan Islam adalah agama adalah buatan manusia. Oleh sebab itu, ia yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, berkembang sesuai dengan perkembangan berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an dan zaman dan cenderung selalu berubah. diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah swt. Perbedaan inilah yang menjadi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam Gagasan ‘Pribumisasi Islam’ dikemukakan bentuk kebudayaan. pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Menurut Gus Dur, Pribumisasi Pada ranah kultural inilah Gus Dur Islam adalah rekonsiliasi antara budaya dan menemukan penyebab proses Arabisasi dalam agama. Rekonsiliasi ini menuntut umat Islam krisis identitas yang dialami oleh sebagian memahami wahyu dengan mempertimbangkan muslim. Hal itu berangkat dari ketercerabutan faktor-faktor kontekstual termasuk kesadaran sebagian umat atas akar kebudayaan hukum dan rasa keadilannya. masyarakat yang melingkupinya. Artinya, sebagian muslim yang tetap memaksakan Dari kenyataan historis dan konstruksi Islam universal ala Arab sesungguhnya tengah teoritis yang diungkapkan oleh Gus Dur, mengalami ketidakmampuan pembacaan atas sesungguhnya konsep Pribumisasi Islam identitasnya ketika dihadapkan pada realitas merupakanupayaGusDurdalammenggerakkan kebudayaan masyarakat yang ternyata tidak kajian keislaman sebagai sebuah penelitian sesuai dengan tipe ideal Islam. Dari sinilah kebudayaan. Kajian ini memperluas studi muncul kegairahan untuk mempersoalkan tentang Islam ke permasalahan kebudayaan manisfestasi simbolik Islam, sehingga identitas secara luas, sehingga menemukan gambaran Islam harus ditampilkan secara visual. pergulatan pada tataran realitas, khususnya antara doktrin normatif ajaran agama dengan Dalam perkembangannya, krisis ini telah persepsi budaya masyarakat, di mana kaum membuahkan kesalahan penetapan skala muslim berusaha melerai ketegangan antara prioritas dalam dakwah Islam. Menurut Gus teks formal Islam dengan kenyataan kehidupan Dur, kesalahan tersebut mengacu pada belum yang diusung oleh perubahan sosial. terjadinya kesepakatan mengenai tujuan utama atau pandangan hidup (Weltanschauung) Islam, Pada aspek ini, tawaran Pribumisasi sehingga umat Islam terjebak pada penetapan Islam Gus Dur menyasar kajiannya pada agenda pinggiran (periferal) dan melupakan kecenderungan mengenai ketegangan agenda utama pengembangan masyarakat kultural antara agama dan kebudayaan. Islam secara kultural yang dapat diwujudkan Agama merupakan jaringan aturan yang dengan paradigma Islam sebagai etika sosial tetap, sedangkan kebudayaan merupakan 388 | Ensiklopedi Islam Nusantara

di tengah normatifitas dan legalitas formalnya tersebut. Namun demikian, proses perlawanan secara nash. diskursif ini menuai resistensi yang makin kuat dari kelompok Islam yang sudah terpola Dari dinamika ini, lahir quasi dengan simbolisasi budaya Arab. Bahkan Weltanschauung (syibh nadhariyyah ‘anil hayah) mereka semakin merajalela dengan menuduh yang menjelma ideologi semu, misalnya sesat, bid’ah dan kafir atas ibadah-ibadah gerakan Islam sebagai alternatif. Gerakan yang dipadu dengan tradisi dan budaya lokal. yang oleh Gus Dur dihubungkan dengan tokoh Padahal itulah penerjemahan dari proses seperti Abul A’la al-Maududi ini terjebak pribumisasi Islam yang dimaksud Gus Dur. pada utopia sloganistik nan simbolistik tanpa Artinya, simbol pribumisasi Islam secara menurunkan idealismenya pada tataran semiotik mendapat perlawanan balik secara operasional pemberdayaan umat, sehingga radikal-simbolik oleh mereka yang mengusung akhir dari gerakan itu hanya pemberian lokalitas Arab dan menggerakkan Islam secara kekuasaan absolut sebagian pemimpin politik simbolik bukan substantif. sebagai otoritas tertinggi kuasa keagamaan. Intinya, pribumisasi Islam dalam Dengan konsep pribumisasinya, Gus Dur pemikiran Gus Dur memuat dua hal. Pertama, berupaya mewujudkan metodologi keilmuan pribumisasi Islam adalah kontekstualisasi agama yang mampu menjembatani antara Islam. Di dalam poin pertama ini, terdapat dua ajaran agama yang absolut, universal, dan pemahaman, yaitu: 1) akomodasi adat oleh permanen dengan kebutuhan kebudayaan fikih (al-‘adah muhakkamah). Misal, akomodasi yang selalu mengalami perubahan, bersifat hukum waris Islam atas adat waris lokal seperti lokal dan relatif. adat perpantangan (Banjarmasin) dan gono-gini (Yogyakarta-Solo). 2) pengembangan aplikasi Gagasan ‘Pribumisasi Islam’ pada dasarnya nash. Misal, setelah lahir emansipasi wanita merujuk pada gagasan tentang dialektika (modern), dibutuhkan cara pandang keadilan norma ajaran Islam dengan kebudayaan yang menurut keadilan suami, menjadi keadilan diciptakan oleh manusia tanpa kehilangan menurut istri dalam kasus poligami. Kasus ini identitasnya masing-masing. Proses dialog ini merujuk pada QS. Al-Nisa’ (4) ayat 3. Dengan terjadi sebagai upaya menegasikan gagasan adanya perubahan cara pandang atas keadilan, pemurnian Islam atau proses menyamakan maka istri mendapat keadilan dengan cara keberagamaan suatu masyarakat dengan tidak dipoligami tanpa harus mengganti nash praktik keagamaan masyarakat Muslim di al-Qur’an itu sendiri. Timur Tengah. Inti pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari Kedua, pribumisasi Islam sebagai polarisasi antara agama dan budaya, penempaan Islam dalam kerangka budaya. sebab polarisasi demikian memang tidak Poin inilah yang melahirkan manifestasi terhindarkan. (bentuk) Islam dalam kultur lokal. Contoh, atap Masjid Demak yang menggunakan atap ‘Meru’ Pada titik ini, pribumisasi Islam (Hindu-Buddha), bukan menggunakan kubah memberikan solusi bagi ketegangan antara yang memang lokalitas Arab. Demikianlah Gus normativisme agama dengan relativisme Dur berusaha menjadikan pribumisasi Islam budaya yang sebenarnya tidak mungkin menjadi pandangan hidup (Weltanschauung) dihindari karena sifatnya yang tumpang Islam tanpa harus tercerabutnya tradisi dan tindih. Seperti yang dijelaskan Gus Dur budaya lokal nusantara. sendiri, bahwa model hubungan antara Islam dan budaya bersifat tumpang tindih karena Dalam pribumisasi Islam tergambar mempunyai independensi masing-masing. bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke Secara ekstern, pribumisasi Islam dalam kebudayaan yang berasal dari manusia mempunyai ‘musuh diskursif’ luar, yakni tanpa kehilangan identitasnya masing-masing, Arabisasi yang menyebabkan Gus Dur sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam melahirkan konsep pribumisasi Islam Edisi Budaya | 389

atau proses menyamakan dengan praktik persoalannya terletak pada bagaimana subyek keagamaan masyarakat Muslim di Timur yang berbicara itu menyesuaikan, menyiasati Tengah. dan memaknai unsur-unsur luar. Baso menegaskan bahwa pribumisasi Pribumisasi muncul ke permukaan akibat berbeda dengan istilah-istilah akulturasi, adanya desakan-desakan energi yang kuat konvergensi, inkulturasi, kontekstualisasi, untuk menyuarakan kalangan yang selama yang lebih berupa penyesuaian diri yang ini terpinggirkan, tidak mendapat ruang dan sifatnya pasif, tunggal, searah dan monolitik. dibungkam suaranya, kaum marjinal. Melalui Pribumisasi merupakan proses timbal-balik upaya pribumisasi, masyarakat dapat mencipta yang produktif dan kreatif yang melibatkan dan menghayati kebudayaannya. Dalam subyek-subyek yang aktif melakukan konteks Islam, pribumisasi dapat mengambil akomodasi, dialog, negosiasi maupun bentuk siasat-siasat untuk membuka ruang resistensi. Pribumisasi merupakan arena kemungkinan-kemungkinan dalam ber Islam kontestasi, tempat dipertarungkannya makna dengan mengapresiasi kreatifitas kultur lokal. dan digugatnya ideologi dominan. Dalam Narasi ini menggugat model (ber)agama konvergensi, akulturasi atau inkulturasi, “murni” dan berpolitik yang dikonstruk oleh yang dominan adalah bagaimana unsur kaum puritan, modernis dan lembaga-lembaga luar menyesuaikan diri dengan kebudayaan resmi agama maupun negara. lokal. Sedangkan dalam konteks pribumisasi [Hamdani] Sumber Bacaan Arif, Syaiful, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, Yogyakarta: Arruz, 2013. Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas:Politik Pribumisasi Islam, Jakarta: Desantara, 2000. Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2000. 390 | Ensiklopedi Islam Nusantara

Primbon Primbon adalah tulisan yang memuat adalah keyakinan mengenai hubungan antara hal-hal yang berkaitan dengan salah manusia dan roh-roh halus. Sehingga primbon satu bentuk sistem religi dalam budaya pada level tertentu menjadi media yang Jawa. Primbon tidak hanya berisi ramalan mengantarkan manusia pada ikhtiar untuk (perhitungan hari baik, hari nahas, dan mengetahui penampakan Yang Maha Kuasa sebagainya), tetapi juga menghimpun berbagai secara tidak langsung. pengetahuan kejawaan, rumus ilmu gaib (rajah, mantra, doa, tafsir mimpi), sistem bilangan Pada umumnya, primbon bersifat anonim. yang pelik untuk menghitung hari mujur Kalaupun ada nama yang disebutkan, sebagian untuk mengadakan selamatan, mendirikan besar primbon hanya disebut penyusunnya rumah, memulai perjalanan dan mengurus saja. Kecuali seri Betaljemur Adammakna yang segala macam kegiatan yang penting, baik ditulis oleh pangeran Harya Tjakraningrat dari bagi perorangan maupun masyarakat. Ia juga Kesultanan Yogyakarta. membahas perhitungan untuk mengetahui nasib dan watak pribadi seseorang berdasarkan Menurut Simuh, primbon merupakan hari kelahiran, nama dan ciri-ciri fisik. tulisan (kesusasteraan) yang isinya mencerminkan perpaduan Islam dan budaya Secara etomologis, primbon berasal dari lokal, yakni Jawa. kata dasar “imbu” yang berarti “memeram buah agar matang”, dan kemudian mendapat Sejarah Perkembangan imbuhan pari- dan akhiran -an sehingga terbentuk kata primbon. Secara umum, Sejak kedatangan Islam, kepustakaan primbon adalah buku yang menyimpan Jawa mendapatkan pengaruh yang cukup pengetahuan tentang berbagai hal. Primbon signifikan melalui kepustakaan berbahasa Arab juga dipahami sebagian sarjana berasal dari maupun Melayu. Ada dua kepustakaan yang bahasa Jawa “bon” (“mbon” atau “mpon”). beredar di kalangan masyarakat Jawa, yaitu “Bon” memiliki arti “induk”, lalu kata tersebut kepustakaan yang digunakan kalangan santri mendapat awalan “pri-” (peri-) yang berfungsi dan kepustakaan yang merupakan perpaduan meluaskan kata dasar. Jadi, buku primbon unsur Islam dan budaya Jawa. dapat diartikan sebagai induk dari kumpulan- kumpulan catatan pemikiran orang Jawa atau Berdirinya kerajaan Islam Mataram induk ilmu pengetahuan. membuat kepustakaan Islam Kejawen tumbuh subur. Hal ini terjadi tidak hanya karena Parimbon, perimbon atau primbon juga kecenderungan budaya Jawa yang sinkretis, bermakna sesuatu yang disimpan atau tempat tetapi juga peran para sultan Jawa Muslim simpan menyimpan, dalam hal ini berupa yang menaruh perhatian besar terhadap fusi kitab atau buku. agama dan budaya. Dua Sultan Jawa yang berperan mendamaikan Islam dan Jawa Capt. RP. Suyono berpendapat bahwa adalah Panembahan Seda Krapyak (1601- primbon adalah petangan yang dipakai oleh 1613) dan Sultan Agung (1613-1645). Sultan orang Islam. Yang dimaksud petangan disini yang pertama mendorong kemunculan Edisi Budaya | 391


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook