Berguru Pada Desa Upaya Memaknai Dharma Bakti Para Pendamping
Berguru Pada Desa Upaya Memaknai Dharma Bakti Para Pendamping Hakcipta © Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Pelindung : Abdul Halim Iskandar, Anwar Sanusi Pengarah : Taufik Madjid Peer Review : M. Fahri Co Editor : Nur Said dan Much Taufan Wijayanto Editor : KF Borni Kurniawan dan Fritsam Penulis : Indah Mayasari, Kastolani, Nurcahyo, Lalu M H Ansyori, Agus Solihin, Sumadi, I Putu, Sutarka, Ni Made Wiraseni, Eko Nur Kholis, Maira Erliani, Ales Toteles, Susilawati, Muhammad Yusuf, Amirudin Robo, Sumadi, Rita Rianti, Erna Tsalatsatun, Satya Graha, Bahrianoor, Ronizar, Yulianto, Titus Bassa, Lestari Evi Kadarsih, Yoga Prasetya Adi, Suprapti, Murtodo, Mokhamad Agus Prijadi, Tutik Tri Handayani, Muhammad Subandi, Rudi, Riri Irawan, Merlin Malimongan, Misfahudin, Nur Cholis, Ade Indirani Zuchri, KF Borni Kurniawan, Burhanudin, Ulin Hasanah, M Marwan, Ayub, Deddy, Masjuddin, MS Nijar, Eka Kusala, Nurul Hadi, Nana Suryana. Layout: Ipank Hakcipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit. Diterbitkan oleh: KEMENTERIAN DESA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI Jl. TMP. Kalibata No. 17 Pasar Minggu Jakarta Selatan 12740 Telp. (021) 79172244, Fax. (021) 7972242 Web: www.kemendesa.go.id
Daftar Isi Kata Pengantar.............................................................. ix Prakata.......................................................................... xiii Sambutan...................................................................... xvi Prolog: Mosaik Pendampingan Desa............................. 1 Manajemen Pendamping Pemberdayaan Masyarakat..... 17 Anak Pesantren Nekad Menjadi Pendamping Desa....... 38 Pendampingan Pemberdayaan Masyarakat.................... 62 Maja Laba Daho, EWS Penyimpangan Dana Desa (mini workshop OTW)................................................. 75 Menyampaikan Inisiatif Baru Inovasi............................ 81 Bertatap Muka di Bursa Membuka Inovasi Tersembunyi 87 Mengadvokasi Pemerintah Desa Menuju Keterbukaan Informasi Publik............................................................ 91 Wisata Mangrove, Konservasi, dan Jalan Keluar dari Ketertinggalan............................................................... 96 Perjalanan Menuju Digitalisasi Layanan Desa................ 101 Mencari Jejak Dana Desa.............................................. 108 Semangat Desa Membangun dalam Persimpangan........ 112 Mengapa Perlu Desa Digital.......................................... 119 Tak Rugi Keluar dari Status Buruh Pabrik Swasta.......... 125 Bertransformasi dari Pegawai Bank ke Pendamping Desa 132 Kami Tak Sempurna Tapi.............................................. 139 v
Berguru Pada Desa Mengangkat Pamor Kampung Tari Remo...................... 144 Menapaki Jejak Kemajuan Desa Pulosari....................... 157 Lawan Buta Huruf dengan Taman Baca........................ 169 “Patroli Asi”.................................................................. 175 Catatan Harianku Sebagai Pendamping Desa................ 185 Mengajarkan Teknik Membuat Desain RAB Sederhana 189 Beda Fasilitator PNPM dan Pendamping Desa P3MD.. 194 Mengejar Keotonomian Desa........................................ 200 Saling Menguatkan Kapasitas Pendamping Desa........... 207 Melawan Stigma Negatif Sebagai Pendamping Desa...... 213 Menaklukan Desa-desa Dampingan di Wilayah Terpencil....................................................................... 224 Aku dan Cerita ku (Hanya Sebuah Coretan) ................ 238 Membantu Pengembangan Produk Unggulan Desa....... 251 Suka Duka Pendamping Desa....................................... 263 Geliat BUMDesa Menggapai Harapan.......................... 270 Membasmi DB dengan DD di Desa Gunungsari.......... 283 Mendorong Transparansi Keuangan Desa Mulai dari Proyek Infrastruktur............................................... 288 Peran Pendamping Desa dalam Mewujudkan Kemandirian Desa......................................................... 297 Mendobrak Tradisi Birokrasi Lambat dalam Percepatan Penyaluran Dana Desa................................. 316 Pendamping Desa Kurir Data? ..................................... 325 Menekuni Kerja Sebagai Pendamping Desa................... 336 Petikan Dawai Pendampinganku dari Desa ke Desa...... 345 Musamus, Mutiara Tersembunyi di Tana Merauke........ 359 Memperkuat Inisiatif Desa: Mewujudkan Tata Kelola PAM Desa.......................................................... 363 Meramu Naskah Publikasi............................................. 369 Kaderisasi adalah sebuah Kebutuhan............................. 386 Memugar Kualitas Kesehatan Masyarakat Desa............. 392 vi
Daftar Isi Memotret Geliat Ekonomi Desa.................................... 398 Pendamping Desa,Kerja Teknokratik dan Politik .......... 405 Exploitasi Sumber Daya Alam Desa dan Ketidakadilan Perempuan.................................................................... 420 Berguru dari Kaki Gunung Biru ................................... 430 Awalnya Disepelekan, Kini Hasilkan Puluhan Juta Rupiah.......................................................................... 437 Meraih Hati Masyarakat dengan Transparansi .............. 442 Inisiasi Wisata Terintegrasi; Upaya Ekstensifikasi Pendapatan Desa........................................................... 446 Transformasi PLD dalam Memajukan Desa.................. 450 BPD Kuat Desa Demokratis:Kedudukan Hukum, Implementasi Fungsi dan Kewenangan BPD ............... 456 Dari Potensi Tambang, Kayu sampai Keindahan Alam.. 465 UU No 6 Tahun 2014 dan Bangkitnya Desa Adat......... 474 Membangun Peradaban Desa Sawit Berkelanjutan........ 483 Epilog: Emansipasi Pendampingan Desa ...................... 506 vii
Berguru Pada Desa viii
Kata Pengantar Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setiap tahun desa melaksanakan kegiatan perencanaan dan penganggaran pembangunan guna merumuskan program/ kegiatan prioritas dan struktur belanja pembangunan. Banyak kalangan berpendapat, dalam hal kemampuan teknokratik banyak desa yang belum terampil mengefektifkan perencanaan dan penganggaran pembangunan desa tersebut. Faktor yang mempengaruhinya tentu beragam. Pembaca sekalian mungkin lebih mafhum. Terlepas dari faktor pengaruh tersebut, kurang lebih empat tahun terakir, Kementerian Desa PDTT melaksanakan Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD). Tiga tahun terakhir bersamaan P3MD, kami juga melaksanakan Program Inovasi Desa (PID). P3MD melakukan kerja-kerja fasilitasi dan advokasi terkait dengan upaya penguatan kelembagaan pemerintahan desa dan kelembagaan kemasyarakatan desa, sehingga kedua elemen desa ini berdaya. Pemerintah desa berdaya dan berkapasitas dalam hal keterampilan teknokratik administratif dan birokratik di ix
Berguru Pada Desa satu sisi dan masyarakat berikut kelembagaan masyarakat desa berdaya dan aktif dalam kegiatan pembangunan, sehingga dicapai langgam penyelenggaraan pembangunan desa yang saling partisipatif. PID mengefektifkan pelaksanaan Dana Desa melalui pendekatan knowledge sharing inovasi desa. Terkait PID, program ini telah mampu mendokumentasikan pengalaman inovasi desa dan mendiseminasikannya melalui kegiatan Bursa Inovasi Desa (BID), sehingga pertukaran pengetahuan antardesa berjalan dan proses pembelajaran satu sama lain bekerja, bahkan menghasilkan sistem perencanaan pembangunan yang efektif karena perencanaan dan peng anggaran pembangunan lebih memiliki daya inovatif sebagai mana kita harapkan. P3MD juga telah mampu melahirkan jejaring kerja pendamping desa profesional yang handal sehingga Kemendesa PDTT diakui oleh banyak pihak sebagai kementerian yang leading, dalam hal manajemen data dan publikasi 4.0. Bahkan berkat kekuatan ini, saya mewakili Kementerian Desa PDTT menerima penghargaan Indonesia Digital Inisiative Awards (IDIA() 2019 dari Kemeninfo, karena kemampuan kita mengembangkan website terbaik. Di era digital sekarang ini arus pertukaran informasi telah menjadi salah satu faktor menentukan perubahan dunia. Andilnya teknologi internet yang mampu menghubungan masyarakat secara global, telah memendekan jarak dan memampatkan waktu perjumpaan antar manusia di berbagai belahan dunia sehingga dunia serasa dilipat dan tak berjarak. Unjuk keberhasilan pembangunan antarnegara semakin mudah didapatkan, hanya dengan sekali “klik” tanpa harus bersusah payah melakukan studi banding ke luar negeri. Seperti halnya negara-negara lainnya, Indonesia sedang giat membangun. Saya berani menyatakan kalau pendekatan x
Kata Pengantar Abdul Halim Iskandar pembangun an berbeda karena kita memilih membangun dari pinggir, yaitu membangun Indonesia dari Desa. Undang- Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa manjadi salah satu dasar diterapkannya strategi tersebut. Kewenangan dan keuangan kita serahkan sepenuhnya kepada desa untuk mengelola sesuai dengan kebutuhan prioritas serta berlandasakan musyawarah desa. Selama empat tahun terakhir pemerintah secara konsisten meningkatkan jumlah Dana Desa. Kinilah saat yang tepat bagi Desa untuk menjalankan amanah dari rakyat tersebut. Kami, Kementerian Desa PDTT hanyalah mandataris yang bertugas mengawal, mem bimbing, mengawasi dan menfasilitasi bagaimana Desa dalam melaksanakan amanah tersebut, yaitu mengelola Dana Desa menjadi energi pembangunan nasional yang mampu melahirkan kesejahteraan dan kemakmuran dari desa. UU Desa sangat jelas menyerahkan kewenangan baik yang bersifat rekognisi maupun subsidiaritas kepada desa sebagai energi untuk berprakarsa membangun dan memberdayakan desa menuju desa yang mandiri dan sejahtera serta berlambarkan nilai-nilai demokrasi. Kebijakan pembangunan yang sentra listik sungguh telah melambatkan pembangunan nasional karena semua prakarsa pembangunan desa ditentukan oleh pusat. Karenanya, semangat Presiden Ir. H. Joko Widodo menempatkan desa sebagai beranda depan pembangunan nasional perlu disambut dengan kesiapan desa melaksanakan UU Desa yang bersemangatkan membangun desa dari dalam. Meski arus informasi bergerak sangat cepat karena dukungan teknologi 4.0, masih ada saja sebagian desa-desa yang minor informasi. Termasuk desa yang tak memiliki akses internet. Karenanya sumber informasi berupa buku seperti yang ada di tangan anda, masih penting untuk diproduksi. Untuk itu xi
Berguru Pada Desa saya menyambut dengan senang hati terbitnya buku yang memuat pengalaman kerja para pendamping desa ini. Saya yakin, kehadiran buku ini dapat menjembatani ceruk anomali zaman internet. Ceruk anomali dimaksud yaitu pertama, masih banyak pihak yang belum paham, apalagi mengetahui hasil kerka para pendamping desa karena minimnya publikasi kita, kedua tidak semua desa dapat menjangkau akses teknologi internet, sehingga tidak semua desa dapat secara cepat belajar menerapkan berbagai aturan dan pembelajaran tata kelola Dana Desa. Terlebih membelanjakan Dana Desa secara inovatif. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak terutama rekan kerja kami di Konsultan Nasional Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (P3MD) dan Konsultan Nasional Program Inovasi Desa (KNPID), serta jajaran pejabat dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) yang telah berkontribusi mengukir lahirnya desa- desa progresif dan maju karena kapasitas teknokratik serta daya organik dan inovatifnya. Tak lupa pula saya sampaikan salut dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada desa-desa Nusantara yang telah berhasil menjalankan amanah UU Desa dengan baik hingga melahirkan karya-karya pembangunan yang bermanfaat bagi rakyat. Akhirul kalam Walllahul Muwaffiq Ila Aqwamith Tarieq Wassalamu’alaikum Wr. Wb. MENTERI DESA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI Abdul Halim Iskandar xii
Prakata SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN DESA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGAL DAN TRANSMIGRASI Salah satu keunggulan era industri 4.0 adalah masyarakat yang saling terkoneksi secara global. Melalui berbagai perangkat internet yang terkoneksi secara global, penduduk di bumi secara cepat dapat bertukar pengetahuan. Termasuk desa. Di era sekarang, antardesa dapat saling belajar atas kemajuan pembangunan desa. Dengan cara ini, antardesa dapat saling menginspirasi dan pada akhirnya terbangun tradisi saling mendorong kemajuan. Meski secara konseptual, proses pembelajaran berbasis jejaring teknologi 4.0 tersebut di atas secara idela dapat mendorong jejaring pembelajaran antardesa, pada kenyataannya belum terwujud optimal. Faktor penyebabnya, pertama, infra struktur jaringan internet belum menembus keseluruhan desa, terlebih pada desa-desa yang berada di remote area. Hal ini juga berkaitan dengan perhatian pemerintah kabupaten yang seharusnya memerankan diri untuk menfasilitasi sistem informasi desa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kedua, kapasitas pengetahuan dan keterampilan perangkat desa dan warga masyarakat untuk memanfaatkan teknologi internet untuk membangun orientasi membangun desa yang masih xiii
Berguru Pada Desa belum optimal, walaupun sebenarnya hampir setiap orang di desa punya gadget. Inilah saya kira ceruk pemberdayaan yang masih perlu dioptimalkan di masa mendatang jika kita ingin menjawab tantangan pembangunan desa di era industri 4.0. Hadirnya program pendampingan desa dan inovasi desa yang terrepresentasikan dalam wadah P3MD dan PID, saya kira bertujuan mengisi ceruk tersebut. Pendamping desa, yang secara berjenjang ada dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi memiliki peran kuat menfasilitasi proses pengembangan kapasitas pemerintah desa dan masyarakat dalam kaitannya dengan kebutuhan yang bersifat teknokratik birokratik pemerintahan serta pengembangan partisipasi politik kewargaan. Demikian pula dengan gerakan inovasi desa, yang pelaksanaanya juga diperankan oleh tenaga pendamping desa, telah menambah energi percepatan pembangunan desa. Dengan kata lain, perubahan transmisi teknokratik tata kelola pemerintahan desa dipercepat dengan melumaskannya. Caranya, dengan mendorong tradisi knowledge sharing inovasi desa. Melalui progam inovasi desa, seluruh elemen desa diajak untuk menghargai desa, mendokumentasikan praktik inovasi, hingga menyebarluaskannya melalui media Bursa Inovasi Desa (BID). Dengan cara ini diharapkan akan mampu mendorong efektivitas pelaksanaan Dana Desa. Walaupun hari ini abadnya masyarakat industri 4.0 di mana tradisi penerbitan buku dibrading dalam bentuk buku elektronik, hadirnya buku bertajuk “Berguru Pada Desa Upaya Memaknai Dharma Bakti Para Pendamping” tetap memiliki relevansi. Mengapa demikian, kembali pada tradisi literasi masyarakat di abad virtual belumlah menjamin dengan electronic book akan mendorong lahirnya masyarakat pembaca yang loyal. Dengan kata lain tradisi baca di era xiv
Prakata Anwar Sanusi virtual tetap membutuhkan hadirnya buku dalam versi hard copy sebagaimana buku yang ada di tangan pembaca sekalian. Selanjutnya, sebelum saya tutup lembaran kata sambutan ini, saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada para penulis yang sudah mau menuangkan jejak pengalamannya mendampingi desa, yang mungkin sekian waktu mengendap dalam ruang kognisi anda sekalian, lalu memanggil kembali dan menuangkannya hingga terangka banyak tulisan dalam satu buku ini. Sebenarnya saya berharap, dari sekian ribu pendamping profesional desa, berpotensi melahirkan sekian ribu cerita. Tapi tidak apalah, semoga buku ini dapat mewakili sekian ribu pengalaman lainnya yang belum tertuliskan. Saya yakin, dari pengalaman Kemendesa PDTT menjalankan program pemberdayaan masyarakat melalui program P3MD dan PID ini, kelak akan berkontribusi positif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teori- teori pembangunan, khususnya tentang pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat desa. Akhir kata saya semoga Allah SWT senantiasa memandu gerak dan langkah kita membangun kemajuan peradaban Indonesia dari Desa, hingga pintu gerbang baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur sebagaimana dijanjikanNya terbuka dan mewujud. SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN DESA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI Anwar Sanusi xv
Sambutan Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Saat proses konfigurasi buku berjudul “Berguru Pada Desa Upaya Memaknai Dharma Bakti Para Pendamping”, saya mendapat kesempatan menjadi salah satu panelis bedah buku karya Pak Ahmad Muqowam yang berjudul “Membangun atau Merusak Desa”. Menyimak sejenak buku ini, terbaca kalau buku ini mengurai adanya kelemahan dalam pelaksanaan UU Desa, bahkan menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pembangunan dalam kerangka UU Desa itu “merusak Desa”. Menurut saya, sebenarnya pada saat yang sama buku ini juga menyediakan gambaran informasi peta konflik, jika boleh dinyatakan demikian, sejak UU Desa itu berada dalam proses pembahasan. Artinya, sebelum lahir saja, UU Desa sudah diwarnai fragmentasi politik dan perspektif. Dalam kaitan ini, menurut penulis memetakan ada tiga faksi yang saling berselisih dalam memandang Desa maupun UU Desa yaitu : 1) kelompok bermadzhab “birokratik-administratif. Kelom- pok ini ada dalam tubuh pemerintah, karena kelompok ini masih terbelenggu oleh cara pandang tata kelola Desa se- bagaimana diatur oleh UU No. 5/1979, UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004. UU ini memandang Desa secara xvi
Sambutan Taufik Madjid sempit yakni sebagai kesatuan Pemerintahan terkecil. Di sini, penulis tidak men-state ada di mana kelompok ini. Bila dalam tubuh pemerintah, di kementerian apa. Penu- lis tidak menyebutnya. Sangat mungkin, kelompok ini adalah Kementerian Dalam Negeri. 2) Kelompok bermadzhab legal-formalis. Kelompok ini menurut penulis ada di Kementerian Hukum HAM dan sarjana hukum tata negara dan pemerintahan. Begi kelom- pok ini Desa dan karenanya tidak perlu diatur lagi dalam sebuah UU tersendiri, karena sudah diatur di UUD 1945 pasal 18B ayat (2), yakni Desa cukup ditempatkan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. 3) Kelompok realis-konstruktivis. Kelompok ini terdiri dari poitisi Pansus, para kepala desa, para pegiat desa dan pen- dukung desa, antropolog, termasuk penganut sosiologi hukum. Kelompok ini memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok ke-2 di atas, kelompok ini menjadikan pasal 18B ayat (2) sebagai cantolan hukum dengan tidak mengkerdilkan desa hanya dari aspek hukum pemerintah- an, tapi lebih luas lagi dengan membicarakan desa dari aspek problem empirik sosiologis, politik pemerintahan desa dan ekonomi politik, sehingga didapatkan konstruk- si hubungan negara-desa yang lebih memuliakan. Wacana lain yang diangkat dalam buku ini adalah menyoal paradigma Desa Membangun dan Desa Membangun. Menurut penulis, terminologi pembangunan (development) adalah produk modernisasi-developmentalisme.Karena nya, penulis mengingatkan agar tidak sembarangan meng adaptasikannya dalam konteks Indonesia, utamanya dalam konteks desa, walau secara faktuil pembangunan sebagai konsep generik telah diterima secara luas. Dalam perspektif xvii
Berguru Pada Desa UU Desa, pembangunan digunakan “untuk menjawab masa lalu, menuju kemajuan, keluar dari ketertinggalan dan kemiskinan”. Nah di sinilah lalu ada dua madzhab aksiologis dalam proses mencapai tujuan pembangunan yang saling berhimpitan, yaitu madzhab pertumbuhan dan madzhab pemberdayaan. Madzhab pertumbuhan lebih berparadigma Ekonomi Memandang Desa (EMD) dan Desa Memandang Ekonomi (DME). EMD, menurut penulis merupakan aliran ekonomi yang lebih duluan masuk ke desa dan mampu menciptakan pertumbuhan tapi sekaligus menciptakan ketimpangan, involusi, kemun duran dan marjinalisasi. Namun para penganut ini tetap mempertahankan bahkan merekomendasikan agar desa tetap berada pada jalur ini. Salah satu rekomendasinya adalah mendorong kolaborasi pemerintah dan swasta dalam melakukan akselerasi pembangunan desa, misalnya dengan memasukan investasi besar ke desa yang konkritnya adalah membangun industrialisasi di desa. DME, kemudian oleh penulis ditempatkan sebagai antitesa EMD tadi. DME memandang pertumbuhan ekonomi yang diciptakan oleh kapitalis tidak bermakna lalu melahirkan ketimpangan dan kemiskinan, karena tumpuan ekonominya ada pada segelintir orang kaya, sementara rakyat hanya menjadi pentonton, atau minimal jadi buruhnya. Karenanya dari dalam desa harus diberi power (uang dan kuasa) untuk membangun dari dalam. Praktik ini pernah diterapkan, salah satunya diterapkan dalam kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) dan RPJMDesa. Penulis juga berpesan atas bahayanya reduksionisme UUDesa yang mengkerdil maknanya menjadi Dana Desa. Titik kritiknya pada pembangun rezim keuangan oleh pemerintah xviii
Sambutan Taufik Madjid melalui PP No. 60/2014 di mana didalamnya penyaluran DD disertai dengan pengaturan prioritas pusat yang harus dikerjakan desa. Hal ini menurut penulis sama dengan menstatuskan DD sebagai transfer saja, bukan pemberikan kepercayaan secara penuh pada desa untuk mengelola keuangan pembangunan yang bersumberkan APBN pada desa, sesuai dengan kewengan yang telah dimilikinya dari UU Desa. Jadinya, publik lebih memahami Dana Desa sebagai bagian dari realisasi nawa cita dari pada mandat UU Desa. Hal lain yang menurut penulis menguatkan reduksionisme makna UU Desa menjadi Dana Desa adalah diketatkannya pengawasan oleh Menteri Desa. Menteri Desa tidak hanya membentuk satgas DD, tapi juga menyusulnya dengan MoU antara Mendagri, Kapolri, Kejaksaan, bahkan TNI yang bertujuan menguatkan pengawasan agar DD tidak dikorupsi. Semangat awal pengawasan Desa atas DD, yang ditandai dengan dibentuknya Satgas DD, menurut penulis adalah bukan menangkap kepala desa tapi membantu kepala desa, dalam arti memberikan edukasi dan membangkitkan potensi leadershipnya agar Dana Desa dapat dibelanjakan secara baik. Kini, paradigma kebijakan pengawasan bergeser menjadi semangat penangkapan kepala desa. Buku ini juga mengangkat narasi kritis atas penyelenggaraan program pendampingan desa yang secara umum dialamatkan kepada Kemendedesa PDTT, walau pada saat yang sama sebenarnya banyak juga Kementerian/Lembaga lainnya yang memiliki program ke desa dan menyertainya dengan pendamping atau nama lain. Menurut penulis, pola pendampingan desa sebagai proyek terlalu instrumental. Hal itu diketahui dari proses rekrutmen yang cepat dan terkesan drop-dropan, sehingga hasil sumber daya manusia yang tererkrut kurang kredibel. Penyebabnya, menurut penulis, xix
Berguru Pada Desa karena paradigma berfikir para penyelenggara kebijakan di tingkat pusat maupun provinsi “kurang serius” menggodog dan mengelola program pendampingan desa. Bahkan dinilai gagal memahami kebutuhan desa. Karenanya, tantangan yang kemudian harus dijawab oleh Kemendesa PDTT adalah mampu membangun paradigma pendampingan organik yaitu agenci yang memiliki kepekaan pembaharuan bersama rakyat, dengan kata lain pendamping desa yang menjadi kekuatan otentik motor perubahan secara emansipatporis. Bergerak dari Arus Bawah Keberadaan Kementerian Desa PDTT, merujuk pada sejarahnya adalah pelanjut atas keberhasilan kelompok dengan madzhab realist-konstruktivis yang dalam pertarungan wacana berhasil melahirkan UUDesa. Hanya yang menjadi tantangan kemudian sejak awal berdirinya Kementerian Desa adalah adanya Perpres No. 12/2015 Tentang Kementerian Desa, PDTT di mana Kemendesa PDTT hanya diberikan kewenangan mengurus tentang bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, sementara urusan pemerintahan desa ada di Kemendagri. Dualitas urusan desa di pusat ini di awal-awal berdirinya Kemendesa ini secara politik cukup mengganggu, karenanya proses konsolidasi pelaksanaan UU Desa selalu menghasilkan proses yang yang tak seirama. Sebagai contoh kecil, terkait dengan pemindahan program PNPM MP dari Kemendagri ke Kemendesa PDTT. Kita tahu, dengan berlakunya UU Desa, maka PNPM MP berakhir. Proses pemindahan ini menyita cukup banyak energi. Pertama secara politik proyek, adalah cukup sulit bagi Kemendagri untuk melepasnya. Tapi mau tidak mau harus dilepas dan dialihkan ke Kemendesa karena paradigma dan konsep program PNPM jauh beda xx
Sambutan Taufik Madjid dengan program pemberdayaan baru yang bertitelkan Program Pendampingan Desa atau yang saat ini dikenal P3MD. Bahkan di awal-awal konfigurasi P3MD, khususnya terkait dengan proses rekrutmen, Kemendesa mendapat banyak tembakan kritik karena menghapus PNPM. Padahal itu merupakan mandat UU Desa yang tidak lagi mengizinkan proyek pemberdayaan dengan model CDD yang banyak menumpukan kewenangan pada fasilitator dari pada kepada desa. Dengan demikian dinamika politik yang mengitari proses awal program pendampingan desa ini turut menjadi variabel pengganggu proses rekrutmen dalam rangka menghasilkan calon-calon pendamping desa yang handal. Meski demikian proses rekrutmen, bagaimanapun menurut kami berhasil menelorkan pendamping- pendamping desa yang handal. Buku “Berguru Pada Desa Upaya Memaknai Dharma Bakti Para Pendamping” yang ada di tangan para pembaca sekalian terkumpul banyak cerita pengalaman pendamping desa secara nasional. Di satu sisi dalam story telling berbasis bukti yang mereka tuliskan di buku ini banyak mengemukakan tantangan kerja, bahkan termasuk stigma negatif dari publik yang menyederhanakan pendamping desa sebagai pemburu data. Di sisi yang lain program pendampingan desa ini mampu membuktikan keberhasilan pendekatan dari program pendahulunya. Bila program pemberdayaan desa pendahulunya lebih banyak memerankan desa sebagai penerima proyek, sementara sang fasilitator menjadi pemegang otoritas keuangan proyek, pendampingan desa kali ini menempatkan desa sebagai subyek pembangunan sementara pendamping desa sendiri adalah mitra atau partner desa, sehingga dapat mengambil keputusan arah kebijakannya secara partisipatoris. Ada pembelajaran yang dapat saya garis bawahi dari banyak xxi
Berguru Pada Desa cerita pada pendamping desa di buku ini. Pertama, program pendamping desa menjadi arena baru bagi para pemberdaya desa yang sebelumnya banyak acuh-tak acuh pada desa di sekelilingnya. Beberapa pendamping desa profesional, di dalam buku tadi, mengemukakan bila sebelumnya mereka bekerja di perusahaan swasta dan perbankan nyaris abai kepada desa, tapi setelah bergabung menjadi pendamping menjadi lebih peka dan kreatif menerapkan ilmu dan pengalamannya di bank ataupun perusahaan dalam kerja-kerja sosial sebagai pendamping. Kedua, awalnya kehadiran mereka ke desa banyak mendapatkan penolakan dan cibiran dari banyak pihak, terutama pemerintah desa, karena memandang pendamping desa akan menjadi pengawas jalannya pengelolaan DD secara khusus ataupun penyelenggaraan pembangunan pada umumnya. Penolakan ini sebenarnya karena ketidaktahuan pihak-pihak tersebut atas peran dan posisi pendamping dalam pembangunan desa. Dengan penguatan kapasitas yang terus berkelanjutan kepada para pendamping, serta proses komunikasi yang baik, entah itu yang diperankan Kemendesa PDTT maupun para pendamping sendiri, akhirnya keberadaan mereka diakui karena kapasitasnya. Memang, ada sebagian tugas yang melekat pada diri mendamping untuk mencari data. Pada hakikatnya data ini di satu sisi adalah kebutuhan bagi pendamping desa sebagai bagian dari analisis sosial memahami desa dampingan mereka, tapi di sisi lain data yang mereka kumpulkan (misalnya tentang informasi ABPDesa dan penyaluran DD yang disimpan ke dalam SIPEDE serta IDM) ternyata sangat membantu kementerian lainnya. Perlu disampaikan di sini SIPEDE dibangun secara mandiri tanpa diproyekan oleh para pendamping. Tapi keberadaannya diakui oleh Bappenas dan xxii
Sambutan Taufik Madjid Kemekeu karena mampu menyajikan data secara nasional dengan tingkat kecepatan dan feasibiliti yang baik. Ketiga, pendamping desa menjadi teman diskusi dan bergerak bagi desa dalam merealisasikan gagasan yang inovatif, sehingga pembangunan atau konsep Village Driven development (VDD) hadir menggantikan konsep CDD. Kini banyak sekali inisiatif usaha sosial ekonomi desa yang lahir dari gerakan endogen desa yang kelahirannya tak lepas dari bantuan tenaga dan pikiran pendamping desa. Desa wisata, BUMDesa dan produk inovasi desa tak lepas dari produk interaksi produktif antara pendamping desa dengan pemerintah maupun masyarakat desa. Kelima, pendamping desa memiliki peran positif sebagai terminal yang menjembatani keterhubungan desa dengan pihak lain sehingga muncul inisiatif baru kerjasama desa dengan pihak lain, misalnya inisiatif kerjasam shareholding desa hutan dengan perum perhutani, sehingga kini banyak muncul desa wisata berbasis hutan. Terkait kritik pembangunan ekonomi desa yang oleh Pak Muqowam dinyatakan didominasi pola EMD (Ekonomi Memandang Desa) yakni dominasi industri pada modal atas desa yang melahirkan pemikiran, kini perlu saya sampaikan sudah banyak produksi kegiatan ekonomi yang lahir dari cara pandang desa memandang potensi ekonominya tanpa mendahulukan investor asing masuk. Memang pertumbuhan ekonomi berbasis DME modalnya tak sepadat investor swasta, tapi meski kecil saya percaya kehadiran mereka tidak menumbuhkan ketimpangan sosial berlebih seperti halnya industri swasta tadi. Bukti bentuk usahanya apa saja, saya kira pembaca budiman sekalian akan mendapat sebagiannya dalam buku ini. xxiii
Berguru Pada Desa Terakhir saya sampaikan terima kasih beriringkan apresiasi yang tak terhingga kepada para kontributor buku mulai dari Pendamping Lokal Desa, (PLD), Pendamping Desa (PD), Tenaga Ahli P3MD dari tingkat Kabupaten hingga provinsi maupun para tenaga ahli di Konsultan Nasional P3MD dan PID. Tulisan-tulisan anda sekalian adalah ukiran citra yang kelak akan menjadi jejak sejarah yang positif untuk pembelajaran generasi mendatang, yaitu generasi pecinta desa sebagai kekuatan utama keberdayaan dan kemakmuran Indonesia. Semoga Allah SWT senantiasa menerangi jalan dan langkah kita dalam membangun Indonesia dari Desa. DIREKTUR JENDERAL PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA KEMENTERIAN DESA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI Taufik Madjid xxiv
PROLOG Mosaik Pendampingan Desa Sutoro Eko1 Seribu desa, seribu cerita. Seratus pendamping, seratus cerita. Melalui buku ini, para pendamping desa yang begitu beragam, membuat cerita tentang pengalaman dan darma bakti mereka, yang dalam tradisi penelitian bisa disebut sebagai “cerita kancil”. Saya harus membaca lembar demi lembar cerita kancil ini secara tuntas, untuk menemukan benang merah dan merajut makna atas semesta pendampingan desa. Cerita kancil itu saya maknai sebagai mosaik, yakni keping- keping cerita yang berserak penuh warna-warni, dirajut dan didekor dengan seni secara apik dan bermakna oleh editor menjadi buku bertitel Berguru Pada Desa: Upaya Memaknai Dharma Bakti Para Pendamping. Beragam keluh-kesah adalah sebuah keping cerita, sebagai mana kerap saya dengar langsung dari pendamping desa ketika berjumpa dengan saya di banyak tempat. Keluh kesah adalah perbuatan manusiawi yang wajar dilakukan oleh siapapun. 1 Guru Desa, perancang UU Desa, kini Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. 1
Berguru Pada Desa Tetapi ketika keluh kesah hadir dalam setiap ruang dan waktu, berarti pendamping bisa disebut cengeng, dan wajar pula, ketika kritik datang bertubi kepadanya. Tetapi saya tidak akan ulas keluh kesah pendamping itu. Saya akan ulas soal posisi dan makna pendamping(an) desa, sebagai salah satu keping mosaik yang saya anggap penting, baik untuk refleksi, apreseasi maupun prekripsi masa depan. Ada beberapa posisi pendamping(an) desa, yang saya hadirkan, atas dasar interpretasi saya terhadap tutur para penulis buku ini, yakni: pendampingan sebagai kerja teknokratik, pendampingan sebagai kerja birokratik, pendampingan sebagai kerja seni humanistik, dan pendampingan sebagai kerja politik kritis. Pendampingan desa sebagai kerja teknokratik Meski semua pendamping mengetahui posisi-fungsi pendampingan sebagai bagian dari misi UU Desa, tetapi umumnya pendamping bekerja dengan tema dan target “program dana desa”. Erna Tsalatsatun D.I, Tenaga Ahli Infrastruktur Desa Kabupaten Wonogiri, karena ilmu teknis yang dimilikinya, berujar: ...tugas kami adalah mendidik perangkat desa cakap dalam hal teknokrasi pembangunan”. Bekerja secara teknokratik, berarti bekerja dengan standar dan perangkat yang seragam, lengkap dengan kerangka logis, input, output, lokus, fokus, teknis, sektoral, serta cepat bertutur tentang cerita sukses. Kerja teknokratis tentu juga mengamini cara berpikir “apapun masalahnya, aplikasi solusinya”, yang berbuntut mengepung dan merekayasa desa dengan aplikasi, tanpa menyikapinya secara kritis. Teknikalisasi, instrumentalisasi maupun aplikasi memang sangat penting, tetapi harus ditaruh di belakang sebagai mekanisme dan perangkat pendukung yang memudahkan, bukan menjadi regulasi yang mengatur, membatasi dan 2
Mosaik Pendamping Desa melarang. Hakekat UU Desa adalah “berpikir besar, berkata sederhana-mudah, dan berbuat konkret” secara koheren. Tindakan teknis menjadi bagian dari berbuat konkret untuk menjabarkan dan memudahkan pikiran besar dan perkataan sederhana-mudah menjadi kenyataan. Namun sederhana- mudah bukan berarti simplikasi-reduksi dengan cara menaruh teknokrasi berada di depan gagasan, politik dan kebijakan. Ketika jalan ini yang ditempuh – misalnya RAB mendahului APBDesa -- maka perkara mudah menjadi rumit, membuat parapihak menjadi sibuk dan susah, tetapi tidak membawa perubahan besar, kecuali hanya menghadirkan teknokrasi mengatur desa, perangkat yang membunuh hakekat. Soal begini, Presiden Joko Widodo sudah berulang kali bicara keras dan tegas. Beliau bicara soal ASN yang sangat sibuk mengurus laporan, termasuk bicara: “Kepala desa tidak sibuk mengurus rakyat, tetapi sibuk mengurus laporan”. Soal teknokrasi yang menjadi regulasi yang sibuk dan rumit itu, Presiden juga bicara kembali dengan nada tinggi dan keras: “Kita tidak boleh terjebak pada regulasi yang kaku, yang formalitas, yang ruwet, yang rumit, yang basa-basi, yang justru menyi bukkan, yang meruwetkan masyarakat dan pelaku usaha. Ini harus kita hentikan. Seka- li lagi, ini harus kita hentikan. Regulasi yang tidak konsisten dan tumpang tindih antara satu dan lainnya harus diselaraskan, diseder- hanakan dan dipangkas” Tetapi pendekatan teknokrasi dalam pendampingan desa belum bergeser ke pendekatan humanistik, dan belum melihat desa secara utuh sebagai subyek dan perspektif, melainkan desa sebagai obyek, locus dan fokus. I Putu Sutarka (Badung, 3
Berguru Pada Desa Bali) adalah sosok pendamping atau tenaga ahli yang paling teknokratik plus milenial, meski ia berposisi sebagai TA pemberdayaan. Atas nama kecerdasan dan inovasi, dia tidak berbicara desa sebagai struktur sosial, struktur ekonomi dan struktur politik, tidak pula berbicara nilai-nilai dalam UU Desa, melainkan berbicara hal-hal teknis yang berada di luar UU, hendak merekayasa desa menjadi desa digital, desa cerdas (smart village), dan SDGs. Dengan mendambakan sebuah formasi smart village, ia berujar berikut ini: “Peran pendamping desa ke depan juga harus sudah bergeser ke mindset yang lebih cerdas dari sekarang, supaya cita-cita dan tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Pola-pola pendekatan pendampingan juga sudah harus bergeser ke arah digitalisasi dan peningkatan kapasitas pendamping desa harus mulai ditingkatkan menuju pendamping desa yang benar- benar profesional dalam berkarya”. Saya juga pendamping desa, meski bukan pegawai pen dampingan desa. Saya memilih sebagai pendamping bodoh, tidak ingin menjadi pendamping cerdas seperti I Putu Sutarka. Saya tidak ingin menjual berbagai merk dagang untuk merekayasa desa, melainkan saya pengin teguh membawa nilai ketahanan, kemandirian, kerakyatan, kemakmuran dan kemajuan. Teknologi adalah pilihan untuk memudahkan hidup manusia, sekaligus memudahkan dan memajukan desa, tetapi ketika teknologi dikemas menjadi teknokrasi, maka yang akan terjadi adalah “membangun sambil merusak” dan “memajukan sambil melemahkan”, sebab solusi teknis selalu mengabaikan desa sebagai struktur. Ketika dimaknai dan dijalankan sebagai kerja teknokratik, maka pendampingan desa akan melemahkan pemberkuasaan (empowement), berubah menjadi industri pendampingan. Anda bisa punya imajinasi sendiri tentang sosok industri. Jika 4
Mosaik Pendamping Desa pendampingan dikelola dengan industri, maka kesuksesan hanya terjadi pada pendampingan dan industrinya, tetapi entitas desa yang menjadi ladang industri, tidak pernah akan berubah secara fundamental. Ini sama dengan industri data. Keluarga miskin yang kerapkali didata, ternyata tidak berubah hidupnya, kecuali hanya dibikin senang, sementara data melipatgandakan kekuasaan dan kekayaan pengumpul, pengolah dan pengguna data. Ini juga sama dengan industri penanggulangan kemiskinan, yang hadir ibarat “menarik sapi kurus dengan tali yang besar dan panjang”. Pendampingan desa sebagai kerja birokratik Sahabat saya, Wahyuddin Kessa, dedengkot pendampingan, pernah berujar bahwa pendampingan adalah kerja panggilan (vocation) dan kenabian, bukan kerja sekadar mencari nafkah seperti pegawai (birokrat). Pendamping sejati bukan berdiri di depan atau di atas, melainkan berdiri di belakang yang mendorong dan kadang di samping sebagai sahabat yang menemani. Sebaliknya, pendamping bertipe birokrat, suka berdiri di atas atau di depan, harus kuat seperti superman maupun harus tahu segalanya seperti guru besar. “Seorang pendamping desa harus menempatkan dirinya sebagai seorang superman dan sok tahu bahwa masyarakat menilai seorang pendamping sebagai pioner yang tahu segalanya”, demikian ungkap Titus Bassa (Kabupaten Berau). Pendamping desa berposisi-bertipe birokrat biasa berbicara tentang kewenangan layaknya mandor proyek. Kewenangan dianggap sebagai senjata kekuatan-kekuasaan pendamping dan faktor kunci keberhasilan pendampingan. Suprapti, pendamping di Ngaglik Sleman, yang bertutur tentang “Suka Duka Pendamping Desa”, misalnya, mengungakpan soal kewenangan itu: 5
Berguru Pada Desa Meski demikian masih banyak kendala yang di hadapi pendamping desa dalam melakukan per- baikan pemerintahan desa maupun pengelolaan Dana Desa, banyaknya kepentingan di desa, ja- batan politik desa, dan lemahnya kewenangan pendamping desa membuat Pendamping desa kurang maksimal dalam mendorong peran ma syarakat dalam pengelolaan Dana Desa. Soal kewenangan pendamping, tentu, sudah menjadi bahan diskusi kami sejak awal 2015, ketika tim menyiapkan platform pendampingan desa dan menyusun peraturan menteri. Tanpa berdebat panjang, tim sepakat bulat untuk memotong kewenangan yang pernah dimiliki oleh fasilitator proyek sebelumnya. Wahyuddin Kessa, salah satu tim, yang juga pernah menjadi Korprov PNPM, malah yang tegas memotong kewenangan untuk tidak dilembagakan dalam peran pendamping. Bagi dia, pendamping bukan administrator bukan pula regulator, melainkan organisator layaknya community organizer yang pernah dia lakoni puluhan tahun bersama LAKPESDAM NU. Tim juga sepakat bahwa kerja pendamping tidak perlu memakai Petunjuk Teknis Operasional (PTO), melainkan pendamping harus membaca tuntas UU Desa beserta literatur pendukungnya. Sahabat Bito Wikantosa (pejabat yang kemudian mengurus pendampingan desa), yang selalu kritis terhadap pendekatan rekayasa sosial, berujar bahwa pendamping perlu dibekali dengan materi yang bersifat ideologis dan politik, bukan materi PTO. “Jika pendamping serius membaca, banyak berdiskusi, dan berinteraksi langsung dengan lapangan desa, maka akan hadir pendamping hebat tanpa harus pelatihan”, demikian ungkap Bito Wikantosa, sembari mengatakan bahwa musyawarah desa adalah ruang publik politik untuk 6
Mosaik Pendamping Desa konsolidasi, dan ditopang dengan kaderisasi desa. Itulah, mengapa pendamping yang diposisikan sebagai aktor organisator, bukan sebagai mandor proyek, berbeda dengan fasilitator sebelumnya. Satya Graha, TA Pembangunan Partisipatif Kabupaten Wonogiri, dengan baik memberikan argumen berikut ini: Dari sisi kewenangan pendamping/fasilita- tor juga berbeda. Di PNPM fasilitator memi- liki peran sentral sebagai pengendali project. Tanpa tanda tangan fasilitator, dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tidak bisa di cairkan. Sehingga posisi fasilitator menjadi sedemikian kuatnya, seberapapun kapasitas pendampingannya. Berkebalikan dengan kon- sep yang dikembangkan pada program pen- dampingan desa, pendamping hanya berfung- si sebagai fasilitator untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat. Tan- pa tanda tangan pendamping anggaran desa tetap cair. Sehingga untuk dapat merebut hati masyarakat dan pemerintah desa dibutuhkan kemampuan dan teknik serta metode pen- dampingan yang baik. Karena itu pendampingan dengan cara birokrat, guru besar, superman, maupun mandor proyek. Kekuasaan pendamping bukan terletak pada kewenangan, bukan pada tanda tangan untuk mencairkan dana desa, yang justru akan menciptakan rente. Kekuasaan pendamping terletak pada seni, pergaulan sosial, etos, dan pengetahuan kritis mereka. 7
Berguru Pada Desa Pendampingan desa sebagai seni humanistik Pendekatan ini melampaui (beyond) kerja robot dengan petunjuk teknis. Seni yang paling awal adalah bagaimana pendamping datang masuk ke desa, merebut hati, atau bahkan “menaklukkan” desa. Soal begini, saya jadi ingat film Dances with Wolves, yang disutradarai dan dibintangi secara apik oleh Kevin Cotsner, tahun 1990. Alkisah, Letnan John Dunbar (dilakoni oleh Costner), menjalani tugas ke wilayah perbatasan Dakota, yang sepi, antah berantah dan berantakan. Ia berjumpa dengan seokor serigala liar, yang semula menjadi musuh, tetapi lambat laun menjadi teman yang ia juluki Two Socks, bahkan menjadi pasangan menari. Ia juga berjumpa dengan penguasa wilayah, suku Indian Sioux, yang semula bermusuhan, karena seorang Indian muncul dan mencuri kuda kesayangannya. Tetapi permusuhan lambat laun berubah menjadi persahabatan karena interaksi sosial. Bahkan John Dunbar menjadi bagian dari keluarga suku yang ikut berjikabu berperang melawan musuh suku Indian Pawnee. Tetapi oleh kawan-kawannya, maupun oleh otoritas keamanan, perbuatan Dunbar yang bergabung dengan suku Indian itu dianggap sebagai pembelotan atau pengkhianatan. Perbuatan itu serupa tindakan Gunawan Wibisana yang membelot dari kakaknya Rahwana di Alengka ke Sri Rama di Ayodya, dalam epos Ramayana. Gunawan membelot dari dari nasionalisme ke humanisme. Di mata orang Alengka, termasuk sang kakak Kumbakarna, Wibisana adalah pengkhianat nasionalisme, tetapi Wibisana memaknainya sebagai pembelaan atas kemanusiaan dan kebenaran untuk melawan despostime (kelaliman) dan angkara murka. Dua kisah itu tentu bisa memberi imajinasi bagi para pendamping desa. Semoga para pendamping desa, yang 8
Mosaik Pendamping Desa membelot dari teknokratisme ke seni humanisme, tidak dituding sebagai pengkhianat seperti Wibisono maupun John Dunbar. Pendekatan seni humanisme pada desa itu sangat penting karena sejarah panjang, karena pendekatan birokratisme-teknokratisme yang berhasil secara semu. “Desa menciptakan negara, sebagaimana negara menciptakan desa”, demikian ungkap Clifford Geertz (1980), namun negara tidak pernah sanggup menyerap desa ke dalam tubuhnya kecuali menghisapnya, dan negara tidak pernah berhasil masuk ke dalam ke desa kecuali menindasnya. Argumen itu penting sebagai alarm terhadap pendekatan birokratik-teknokratik yang masuk ke dalam desa. Jika pendekatan produk modernitas ini berhasil, maka desa sudah hebat zaman bahula. Karena itu, betapa pentingnya menggantikan pendekatan rekayasa sosial itu dengan pendekatan seni humanistik, yang memperoleh inspirasi dari kisah film dan epos. Imajinasi pada epos Ramayana dan film Dancing with Wolves mungkin terlalu berat jika dikaitkan dengan pendampingan desa. Toh seni humanisme bisa juga belajar pada kearifan lokal terutama santap bubur panas. Lidah orang bisa meleleh ketika makan bubur panas langsung di tengah, melainkan harus pelan-pelan dari pinggir, yang akhirnya menuntaskan makan habis sampai di tengah. Menurut Orang Jawa, pendekatan ini disebut melipir dari pinggir, atau menurut tradisi NU, cara melipir itu disebut dengan “politik jalan miring”. Ini serupa dengan kehendak Presiden Joko Widodo yang “membangun Indonesia dari pinggiran”, seraya memindahkan pendekatan Jawa-centris ke Indonesia-centris. Pendampingan desa dengan pendekatan seni humanistik, ala melipir dari cara John Dunbar maupun cara makan 9
Berguru Pada Desa bubur panas dari pinggir itu, dilakukan dengan baik oleh para pendamping. Saya memperoleh surprise dan sekaligus memberi apreseasi kepada Eko Nur Kholis (Oku Timur) yang melakukan hijrah dari buruh industri ke pendamping desa, maupun Maira Erliyani (Musirawas) yang memiliki panggilan (vocation) untuk hijrah dari pegawai bank ke pendamping desa. Mereka hijrah dari zona nyaman ke zona tidak nyaman dalam lapangan kehidupan desa, yang mungkin merupakan dunia antah berantah, penuh dengan kecurigaan dan cemooh, serta sulit menerima kehadiran orang baru dari luar. Keduanya menggunakan pendekatan seni humanistik yang melampaui kerja teknokratik-birokratik, dengan cara melipir, dengan etos dan kasih sayang, merajut pergaulan sosial dan persahabatan, sekaligus membangun legitimasi pendamping di hadapan pungawa dan masyarakat. Dengan etos dan seni pergaulan sosial yang apik, sekaligus dengan tutur bahasa yang bagus, Maira Erliyani bercerita berikut ini: Pengalaman dan ilmu yang didapat selama bekerja di bank menjadi modal berharga bagi saya berbakti pada masyarakat. Dengan kata lain pengalaman kerja di bank dan terbiasa berbaur bersama masyarakat saya terapkan dalam kerja mendampingi desa, misalnya dalam melakukan pendekatan dan verifikasi lingkungan sekitar dan bagaimana RKL dan plan (rencana) kedepan yang harus dilakukan. Awalmulasayamerasatidaknyaman.Seiringberjalannya waktu saya terus melakukan pendampingan ke desa. Saya berusaha selalu mengajak pemerintah desa untuk berkumpul bersama, sharing, dan duduk bareng sembari minum teh hangat dan singkong goreng. Akhirnya, perlahan baik saya sendiri maupun warga desa dampingan saling timbul rasa sayang dan cinta akan desa. 10
Mosaik Pendamping Desa Eko Nur Kholis juga serupa, menembus rintangan sosial dan politik di belantara desa, dengan etos dan seni pergaulan sosial. Ia bisa diterima dengan baik oleh desa, dan sangat menikmati kerja pendampingan, sebuah profesi baru yang dia geluti. “Menjadi pendamping desa, membutuhkan kesabaran dan ketekunan, utamanya dalam menjalin komunikasi dengan semua pihak agar semua progam dapat berjalan dengan baik”, demikian tuturnya. Pengalaman serupa dilakoni dengan baik oleh Tutik Tri Handayani, TA ID Kabupaten Sleman, yang menaikkan adrenaline ketika menghadapi kritik dan tindakan meremeh kan terhadap dirinya. Dengan penuh etos dan semangat, Tutik berujar berikut ini: Sekumpulan kata-kata meremehkan, ketidakp ercaya an, serta asumsi bahwa seorang TPP hanya akan mengganggu kebijakan dan kerja OPD tingkat Kabu paten, Kecamatan dan Desa, bahwa TPP hanya bisa mengumpulkan dan/atau mencari data, dan lain sebagainya. Berbagai ucapan, sikap, maupun pandangan yang kurang mengenakan tersebut di atas bukanlah faktor penghambat langkah kami, namun sebaliknya menjadi sebuah cambuk penyemangat untuk menunjukkan bahwa TPP mampu melaksanakan program pendampingan terbaik yang dibuktikan oleh tingkat kinerja yang berkualitas. Dengan cara agak romantis, yang tidak mau terjebak pada pendekatan teknokratik-birokratik, Muhammad Yusuf, pen damping desa di Jombang, menempuh jalur pendekatan sejarah dalam pendampingan desa. Barangkali ingatan sejarah bisa menjadi pintu masuk untuk mempersatukan desa, menemukan kepentingan masyarakat setempat, bisa juga untuk merajut modalitas kemakmuran. Berikut tutur Yusuf: 11
Berguru Pada Desa Menjadi pendamping desa yang penuh dengan jejak sejarah sungguh sangat menyenangkan. Sebagaimana kita tahu, desa-desa di Jombang, boleh dikatakan adalah bagian dari wilayah ibu kota Kerajaan Majapahit. Karenanya tak mengherankan bila desa dampingan saya yaitu Desa Pulosari terdapati beberapa situs bersejarah. Di sinilah menariknya bekerja sebagai pendamping desa. Di samping menjalankan tugas teknokratik pendampingan di mana tugas dan fungsi yang kami perankan tak lepas dari petunjuk operasional dari pusat, utamanya terkait dengan pencapaian visi pemerintah, kami juga perlu mengembangkan sisi gerakan pemberdayaan dalam bentuk kerja pendokumentasian sejarah lokal desa. Siapa tahu bermanfaat, utamanya dalam penyusunan profile desa, utamanya dalam penyusunan dokumen RPJMDesa. Dengan mengutip empat pendamping itu, bukan berarti saya mengistimewakan mereka, mengabaikan lainnya. Para pendamping lain mungkin juga melakukan cara “makan bubur panas dari pinggir” dalam melakukan kerja pendampingan. Tetapi berdasar pada teks, argumen dan tutur, setiap pendamping dan penulis buku ini, tentu mempunyai cita-rasa yang berbeda-beda. Ada yang bercita rasa teknokratik dan birokratik, tetapi juga ada pendamping yang bercita rasa seni humanistik. Jika cara “makan bubur panas dari pinggir” sudah sempurna, jika pergaulan dan persahabatan sudah erat, maka langkah berikutnya adalah menempuh pendekatan kritis “mengupas bawang merah”. Bawang merah yang baru dipanen, tentu, hadir dengan wajah kotor. Orang mengupas bawang merah pelan-pelan, percikan air akan membuat mata pedih, tetapi kupasan yang kian dalam, akan memperoleh lapisan yang 12
Mosaik Pendamping Desa bersih dan jernih. Itulah pemberkuasaan, yang melampaui pendekatan rekayasa sosial, sanggup menemukan hakekat berdesa dan mungkin bisa membongkar struktur sebagai batu landasan perubahan desa. Pendampingan sebagai kerja politik kritis Pada tahun 2015, saya bersama sahabat Bito Wikantosa, sepakat untuk memahami pendampingan sebagai kerja politik kritis (critical politics). Bito selalu bilang soal pemberkuasaan untuk memaknai empowerment dengan politik, untuk menggantikan pemberdayaan yang menerjemahkan empowerment dengan fisika. Dua tahun lalu, saya menulis di media sosial, ada empat politik pendamping(an) desa: (a) PD sebagai mesin politik. Politik berada di depan pendamping. Mereka menjadi alat politik untuk mobilisasi pendukung; (b) PD sebagai mesin anti-politik. Tidak ada politik dalam pendampingan. PD hanya menjadi instrumen administratif, jagoan dalam manajamen keuangan, atau saya sebut sebagai mandor proyek. Mereka tidak punya kepekaan sosial dan politik; (c) PD sebagai penumpang apolitik. Politik berada jauh di belakang pendampingan. Mereka tidak punya panggilan, tetapi sekadar menjadi pegawai proyek atau pencari nafkah; (d) PD sebagai katalis politik. Politik berada melekat dalam pendampingan. PD hadir karena vokasi, mereka mempunyai kepekaan lokal, mengisi ruang politik desa yang kosong, mengorganisir kepentingan politik rakyat, edukasi politik dan merajut deliberasi untuk membangun tradisi berdesa. Pendekatan keempat ini yang saya sebut sebagai politik- kritis, sebagai bentuk pemberkuasaan yang dibayangkan Bito Wikantosa. Sejumlah pendamping desa sudah menempuh haluan politik kritis. Nurcahyo, Banyumas, dengan kritis melihat kondisi 13
Berguru Pada Desa politik desa dan pendampingan desa, berikut ini: Adminitrasi proyek masih sering menjadi tujuan dari beberapa kepala desa dan perangkatnya dalam menyelenggarakan pembangunan desa. Tidak sedikit yang terhanyut dalam belenggu administrasi sehingga membangun desa kehilangan substansinya. Untuk itu pendampingan harus mampu menjembatani antara keharusan pemenuhan administrasi dengan substansi desa membangun. Badan Permusyarwaratan Desa (BPD) sebagai Lembaga Desa masih banyak yang belum bekerja sesuai tupoksinya. Politik praktis kepala desa justru sering menjadikan Kelembagaan BPD sebagai lembaga yang lemah dan formalitas. Pemerintah Desa akan bisa menjadi ancaman bagi desa itu sendiri jika keseimbangan kekuasaan tidak terdistribusi dengan baik. Kondisi ini menuntut advokasi untuk penguatan peran BPD semakin mendesak, ditengah-tengah euforia penguatan kapasitas perangkat pemerintah desa yang dilakukan secara berkelanjutan. Pendampingan Desa harus kritis terhadap keadaan tersebut, dan harus selalu berupaya untuk merubah kondisi dengan beberapa strategi yang bisa dilakukan antara lain dengan melakukan advokasi kepada pemerintah desa untuk melakukan peningkatan kapasitas terhadap LKD, LAD dan Kader Desa, advokasi anggaran, memperbanyak koordinasi dengan lembaga dan kader yang ada dan lain sebagainya. Dengan begitu Nurcahyo tidak ingin hanyut dengan pendekatan teknokratik-birokratik, sudah melampaui pen dekatan seni humanistik, menuju pendekatan politik-kritis untuk membongkar struktur dan menemukan hakekat berdesa. Pandangan senada juga disampaikan oleh Sumadi, Sulawesi Tengah, yang secara kritis berbicara soal daulat desa 14
Mosaik Pendamping Desa dan pendampingan desa yang masih lemah. Berikut tutur Sumadi: Proses pembelajaran melalui Program P3MD sebagai bagian dari program pelaksana UU Desa, selama 4 tahun ini belumlah cukup memberikan ruang kepada desa dalam menjalankan kewenangannya secara penuh. Konsep tentang Desa Membangun belum sepenuhnya dapat diperankan oleh para pendamping desa di semua jenjang. Pola pendampingan yang monton serta belum menyentuh seluruh elemen masyarakat, malah cenderung hanya para elit politik desa, berpotensi melebarkan sudut deviasi pencapaian visi misi membangun desa sebagaimana digariskan UUDesa. Atas dasar itu maka pola-pola pendampingan yang sistematis hingga menyentuh kesuluruh elemen terkecil dari masyarakat menjadi sangat penting. Upaya menyediakan ruang-ruang diskusi dalam lingkup komunitas harus lebih banyak dilakukan sehingga mekanisme kontrol secara partisipatif dapat dijalankan. Desa oh…desa….teramat ruwet masalahnya karena adanya campur tangan pihak lain yang seakan belum melepas sepenuhnya otonomi desa dalam perencanaan, pelaksanaan serta pelestarian dalam dua paradigma Desa Membangun dan Membangun Desa untuk Indonesia. Akhir kata, saya hendak mengatakan beberapa hak. Pertama, posisi pendampingan birokratik dan teknokratik harus disambut dengan refleksi kritis, bahkan harus ditinggalkan. Solusi teknokratik yang suka menjual berbagai merk dagang akan selalu lekang dimakan waktu, suatu saat merk dagang tidak akan laku, lalu tunggang langgang, mencari dan menjual merk baru. Kedua, pendampingan sebagai seni 15
Berguru Pada Desa humanistik, yang melampaui birokratik dan teknokratik, perlu memperoleh apreseasi, sekaligus perlu didorong dan disemangati untuk melakukan transformasi dari pergaulan sosial “makan bubur panasa dari pinggir” ke pendekatan kritis “mengupas bawang merah”. Ketiga, pendekatan mengupas bawah merah itu menjadi modalitas untuk melangkah lebih dalam, menuju pendekatan politik kritis, untuk membongkar struktur, menemukan hakekat berdesa, sekaligus mengubah desa sesuai mandat besar UUDesa. 16
Manajemen Pendamping Pemberdayaan Masyarakat Oleh: Indah Mayasari (Tenaga Ahli Madya Human Resource Development KNP3MD) Terbitnya UU No. Tahun 2016 mengalirkan energi dan paradigma baru terhadap konsep Pemberdayaan Masyarakat Desa, dimana didalam Undang Undang ini Negara memberikan pengakuan atas Hak Asal Usul desa. Desa tidak lagi sebagai obyek tetapi menjadi subyek dalam merencanakan dan mengendalikan pengelolaan pembangunan di Desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015 – 2019 dan Rencana Kerja Pemerintah pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla terbentuklah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) yang merupakan amanat dari Perpres Nomor 12 tahun 2015 sebagai mandat untuk mengelola urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa secara nasional. Dengan mandat tersebut, pemberdayaan masyarakat desa menjadi salah satu fokus utama kementerian ini, dan segera dilaksanakan mulai Tahun Anggaran 2015 melalui Program Pembangunan dan Pemberdayaan 17
Berguru Pada Desa Masyarakat Desa yang disebut dengan P3MD. Sebagai tindak lanjut dari amanat tersebut, maka Kemendesa PDTT melalui Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) melaksanakan kegiatan pendampingan lewat penyediaan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang dikelola langsung Direktorat Pemberdayaan Masyarakat (PMD). Pasal 129 PP 43 Tahun 2014 sebagaimana sudah diubah dengan PP 47 Tahun 2015 menyatakan bahwa Tenaga Pendamping Profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 Ayat (2) terdiri atas: (a) tenaga pendamping lokal desa yang bertugas di desa untuk mendampingi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, kerja sama desa, pengembangan BUM Desa, dan pembangunan yang berskala lokal desa; (b) tenaga pendamping desa yang bertugas di kecamatan untuk mendampingi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, kerjasama desa, pengembangan BUM Desa, dan pembangunan yang berskala lokal desa; (c) tenaga pendamping teknis yang bertugas di kecamatan untuk mendampingi desa dalam pelaksanaan program dan kegiatan sektoral; dan (d) tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang bertugas meningkatkan kapasitas tenaga pendamping dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mengoperasionalkan Program P3MD dalam melaksanakan kegiatan pendamping maka terlebih dahulu menyediakan Tenaga Pendamping Profesional (TPP), sebagaimana agenda pendampingan ini diadakan di seluruh desa di Indonesia sehingga dibutuhkan seni dalam mengelolah program tersebut yang kami sebutkan disini yaitu Manajemen Pendampingan Pemberdayaan Masyarakat Desa 18
Manajemen Pendamping Pemberdayaan Masyarakat Apa itu Pendampingan Pemberdayaan? Pendampingan merupakan strategi yang digunakan dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas dari sumber daya manusia, sehingga mampu mengindentifikasikan sebuah obyek sebagai bagian dari permasalahan yang dialami dan berupaya untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi. Kemampuan sumber daya manusia sangat berpengaruh Oleh karenanya sangat dibutuhkan kegiatan pemberdayaan disetiap kegiatan pendampingan. Pendampingan dalam perspektif pemberdaayaan adalah sebuah pendekatan yang dilakukan oleh seseorang yang di sebut dengan fasilitator sebagaimana yang dimaksud dalam amanat Undang–Undang Desa melalui Permendesa No 3 tahun 2015 yaitu mendampingi Desa, meliputi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap pembangunan Desa dan meningkatakan kapasitas pemberdayaan masyarakat Desa. Pemberdayaan masyarakat desa merupakan upaya mengem bangk an kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Dalam PP No. 43 Tahun 2014 Pasal 126 secara jelas dinyatakan pemberdayaan masyarakat Desa bertujuan memampukan Desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelolal lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan. Bahwa berbicara soal pendampingan tidak lepas dari bagaimana mensejahterakan masyarakat desa melalui pemberdayaan masyarakat desa untuk memampukan Desa dalam melakukan 19
Berguru Pada Desa aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelolah lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan. Perlu kita ingat bahwa sejarah pemeberdayaan masyarakat desa dilakukan oleh pemerintah melalui program pemberdayaan masyarakat berbasis Desa pada tahun 1993/1994 melalui program Impres Desa Tertinggal (IDT). Program IDT bertujuan meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan dengan memberikan bantuan modal usaha berupa dana bergulir kepada lebih 20 ribu desa tertinggal. Pada tahun 1996 pemerintah membuat program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) yakni program penanggulangan kemiskinanan dengan membangun prasarana yang menyedi akan akses dan prasarana penyediaan air bersih dan penye hatan lingkungan di desa tertinggal. Selanjutnya pada tahun 1998 pemerintah membuat Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang berada dibawah binaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) Kementerian Dalam Negeri. PPK berlangsung hingga tahun 2006 hingga akhirnya tahun 2007 program pemberdayaan masyarakat disatukan dibawah payung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Polemik terbentuknya kementrian desa pada awal kepemimpinan pemerintahan Jokowi disinyalir sebagai hasil dari kompromi politik yang berujung pada penggabungan beberapa kementrian menjadi Kementrian desa, PDT dan transmigrasi. Otoritas kemetrian sepenuhnya dalam mengurusi desa menjadi PR besar sebagai kementrian yang baru didirikan. Isi substantif Peraturan Presiden No. 12/2015 tentang Kementerian memberikan kekuatan otoritatif bagi institusi baru ini untuk mengawal “Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa” dan “Pembangunan 20
Manajemen Pendamping Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Perdesaan”. Situasi ini menunjukkakan adanya pembagian peran yang terpisah antara dua kementrian yaitu urusan administasi pemerintahan diurusi kemendagri dan urusan Pembangunan dan Pemberdayaan dan pembangunan diurusi oleh kemendes. Menangani diskursus pemerintahan ini tentunya butuh kekuatan penuh, supporting system dalam mengimplementasikan apa yang terjemahkan dalam Undang– Undang Desa. Hal yang sangat subtantif didalam UU Desa sebagai produk hukum baru adalah adanya hak rekognisi (Hak Asal Usul) dan dan Subsidiaritas (kewenangan dalam mengelolah desa) ini adalah dasar Ideologi Hukum yang dimiliki kemendes dalam menjalankan amanah Undang Undang Desa. Direktorat Dirjend Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagai salah satu institusi yang focus menangani Desa yang terdiri dari 74.000 desa di Indonesia akan menjadi objek pendampingan. tentu membutuhkan pasukan-implementor dalam membuat skema Pendampingan Desa, Bagaimana masa perlalihan Pendamping dari PNPM ke Pendamping desa? Masa Transisi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MPd) berakhir pada Desember 2014 secara bersamaan merubah konsep pemberdayaan dengan dilanjutkannya menjadi Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa yang disebut dengan P3MD, keberadaannya menuai banyak Pro dan kontra yang dianggap bahwa model pendampingan PNPM tidak cocok lagi dijadikan model pendampingan desa, paradigmanya sangat jauh dalam membawa semangat UU Desa. Sehingga muncul istilah Pendamping eks PNPM Versus Pendamping versi UU Desa. jika PNPM merupakan Program dari pusat dan desa 21
Berguru Pada Desa sanagat terikat oleh aturan aturan yang ada di PTO sehingga desa harus mengkuti sepenuhnya pendamping namun UU desa yang memiliki Azas rekognisi dan Azaz Subsidiaritas merupakan payung hukum sendiri atas kewenanagan Desa dalam menentukan sendiri pengelolaan dana desa yang dikucurkan langsung dari Pusat melalu transfer rekening desa. Tidak hanya bersumber dari dana desa masih ada alokasi Dana Desa (ADD), Bagi Hasil Pajak, PADesa, yang pengelolaan di berikan kewenangan sepenuhnya oleh desa. tentu ini sangat tidak relevan lagi dalam menggunakan model PNPM, sehingga tidak bisa lagi diterapkan. Tentangan lain dari diskursus ini adalah dengan berakhirnya program PNPM mengakibatkan banyak pendamping desa eks PNPM Ini akan kehilangan posisi karena harus mengikuti jalur rekrutmen lagi dengan pola dan jalur kepentingan yang berbeda. mereka tetap harus melalui prosedur dan aturan yang ditentukan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi berdasarkan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Hal ini banyak diprotes oleh para bekas pendamping PNPM yang meminta untuk dijadikan Pendamping Desa tanpa melalui prosedur atau seleksi. Padahal, Undang-Undang (UU) melalui Permendes 3 Tahun 2015 Bab III Manajemen Pendampingan Desa memerintahkan Pendamping Desa harus dilakukan seleksi secara terbuka dan memiliki kompetensi sesuai kualifikasi yang ditentukan. Maka dari itu dalam mengoperasionalkan P3MD dalam mejalankan Agenda Agenda Pendampingan dibutuhkan supporting sytem untuk menguatkan dan mensosialisasikan apa esensi dari UU Desa tersebut. Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat desa sebagai pemerintah tidak hanya menghadapi tantangan dalam memproses dan menjalankan setiap kebijakan program ini 22
Manajemen Pendamping Pemberdayaan Masyarakat namun turut menjadi tameng setiap konsekwensi kebijakan yang berefek menuai protes, intrik bahkan ancaman yang luar biasa, berbagai ormas dan kelembagaan bahkan satker di masing masing provinsi ikut mengeluarkan mosi tidak percaya, perdebatan panjang disetiap forum baik formal maupun informal selalu menajdi celah dalam melepar batu protes, aksi-aksi provokasi melalui pemberitaan disejumlah media membawa pengaruh negative kepada para mantan pendamping eks PNPM secara nasioanal yang berujung dengan adanya aksi unjuk rasa dalam menuntut nasib mereka dengan cara mempertahankan posisi pendamping eks PNP tanpa mengikuti alur rekrutmen, artinya mereka menolak untuk ikut jalur rekrutmen.dimana saat itu ada sekitar 10.600 orang eks PNPM yang aktif. Prof. Erani sebagai Dirjend PPMD mengusulkan agar eks PNPM yang dipertahankan didasari pertimbangan pengalaman dan masa pengabdian sedangkan usul calon pendamping menginginkn proses rekrutmen awal karena menganggap kebijakan dahulu pendamping Top- Down dan hanya menjadi instrument untuk menyetujui suatu proyek namun tidak melakukan proses pemberdayaan perangkat desa dan masyarakat desa. Bagaimana mengorganisir pendamping pemberdayaan? Perekrutan pendamping 2015-2019 Pada awal tahun 2015 proses rekrutmen pendamping desa memicu kekisruhan diantara calon pendamping desa, khususnya para calon pendamping dari eks PNPM, berbagai tudingan tendensi politik yang muncul dari yang merasa proses rekrutmen dipersulit untuk ikut seleksi, masing- masing punya jatah sampai kepada politisasi rekrutmen pedamping desa yang ditujukan kepada salah satu “Partai A”. Beberapa 23
Berguru Pada Desa Pendamping Desa yang bergabung dalam aliansi Pendamping professional desa (APPD) melakukan unjuk rasa menuntut transparansi dalam rekrutmen pendamping desa.Pihak Kemendes sendiri membantah adanya tudingan ini karena semua proses rekrutmen berdasarkan pada ketentuan yang sudah ditentukan, ada kode etik yang tertuang dalam UU No.6 tahun 2014 bahwa Undang Undnag tersebut melarang adanya pendamping desa yang berafiliasi kepada partai.belum lagi serangan vertical oleh kelompok kelompok yang melawan konsep Undng Undang desa ini karena menganggap praktek praktek negara terlalu dalam melalakukan control terhadap pemerintahan local.karena kewenagan sepenuhnya di berikan oleh desa. Mengingat keberadaan pendamping desa mutlak diperlukan dan secepatnya hadir di desa pada tahun 2015 maka kebijakan dikeluarkan untuk menugaskan kembali fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan yang secara bertahap sudah mendapatkan alokasi anggaran dari APBN yakni Dana Desa, apalagi pada bulan april seluruh desa telah menerima pencairan dana desa tahap pertama. Hal ini merupakan kebijakan yang tepat pada masa transisi kewenangan dan urusan dari Kementerian Dalam Negeri ke kementerian Desa, pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi serta transisi paradigmatik pembangunan Desa berdasarkan UU Desa. Meskipun selanjutnya pendamping Desa harus direkrut baru untuk memenuhi rasa keadilan dalam mendapatkan kesempatan bekerja dan mengabdi untuk Desa melalui program pemberdayaan tersebut. Dalam rangka memudahkan pengelolaan pengakhiran PNPM Mandiri Perdesaan dan sekaligus melaksanakan pendampingan desa, maka secara khusus telah dilakukan mobilisasi kembali fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan 24
Manajemen Pendamping Pemberdayaan Masyarakat ke lokasi tugasnya semula. Eks Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan tersebut dikontrak dalam jangka waktu kerja kurang lebih selama 4 (empat) bulan dan diposisikan kembali sebagai Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan yang ditugaskan untuk memfasilitasi pendampingan pengakhirian pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan. Masing-masing konsultan dan fasilitator mempunyai peran dan fungsi yang telah diatur secara berjenjang. Konsultan Nasional Pengembangan Program Transisi (KNPPT) di tingkat pusat berperan secara teknis terhadap strategi pengakhiran pengendalian pelaksanaan program agar program tetap pada kebijakan yang telah ditentukan. Segai upaya untuk menjalankan amanah UU desa Ditjed PPMD mengeluarkan surat 205/DPPMD. 1/Dit.V/VII/2015 tentang Rekrutmen Tenaga Pendamping Professional yang mengacu kepada ketentuan PP No 47 tahun 2015, kebijakan ini tentu mempengaruhi komposisi pendamping desa yang meliputi Tenaga Pendamping Lokal Desa, Pendamping Desa, Tenaga Pendamping Teknis dan Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa. Mengingat rentang kendali yang sangat luas dalam hal pembinaan dan pengelolaan pendampingan maka pemerintah melimpahkan kewenangannya melalui mekanisme Dekonsentrasi, untuk memenuhi kebutuhan dalam menjalankan proses rekrutmen ini maka dibuatkan Panduan Teknis Rekrutmen sebagai pedoman dan tata cara dalam menjalankan proses seleksi secara procedural yang didalamnya menjelaskan memuat jumlah kuota penempatan di Kabupaten, di Kecamatan dan di Desa; Tupoksi dan Kualifikasi TPP; Proses dan tahapan seleksi TPP. Seleksi Aktif Pendamping (Pendamping Teknis Kabupaten, Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa) merupakan lagkah awal dalam pemenuhan akan kebutuhan pendamping maupun 25
Berguru Pada Desa untuk mengisi jumlah kekosongan pendamping. Prosedur dan tata cara seleksi yang sistematis diharapkan dapat menghasilkan tenaga pendamping yang profisional, mumpuni, memenuhi persyaratan kualifikasi yang telah ditentukan serta bertanggungjawab dan memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan implementasi pendampingan program undang undang desa. Rekapitulasi Hasil Analisa Pemetaan TA, PD, dan PLD Tahun 2015 No Jenis TA & Pendamping JUMLAH TA, PD & PLD TERISI DAN KOSONG (%) 1 TA-PMD KUOTA TERISI (%) KOSONG (%) 2 TA-INF 3 TA-PED 434 378 87% 56 13% 4 TA-PP 5 TA-PPD 434 370 85% 64 15% 6 TA-TTG 7 Ass.TA-PMB 431 321 74% 110 26% 8 Ass.TA-INF 9 PD 431 377 87% 54 13% 10 PLD 275 83 30% 192 70% TOTAL 275 81 29% 194 71% 84 67 80% 17 20% 40 38 95% 2 5% 15,128 10,196 67% 4,932 33% 21,118 4,069 19% 17,049 81% 38,650 15,980 41% 22,670 59% Rekapitulasi yang tampak diatas menjelaskan ada 15.980 yang terisi atau sekitar 41 % dari 38.650 kuoata kebutuhan, sehingga masih terdapat kekosongan 22.670 atau 59% dari kuota kebutuhan. Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan pendamping dari sisa hasil rekrutmen Tahun 2015 yang dilakukan oleh Direktorat PMD Ditjend PPMD, kembali menjadi acuan akan dibutuhkannya lagi rekrutmen 26
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 487
- 488
- 489
- 490
- 491
- 492
- 493
- 494
- 495
- 496
- 497
- 498
- 499
- 500
- 501
- 502
- 503
- 504
- 505
- 506
- 507
- 508
- 509
- 510
- 511
- 512
- 513
- 514
- 515
- 516
- 517
- 518
- 519
- 520
- 521
- 522
- 523
- 524
- 525
- 526
- 527
- 528
- 529
- 530
- 531
- 532
- 533
- 534
- 535
- 536
- 537
- 538
- 539
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 500
- 501 - 539
Pages: